Dimuat di Koran Jakarta, Kamis 26 Oktober 2017
Judul : Douwes Dekker
Penulis : Tim Tempo
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : Pertama, Agustus 2017
Tebal : xii + 188 halaman
ISBN :
978-602-424-395-1
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumna Universitas Islam Nahdlatul Ulama,
Jepara
Selain para pribumi yang menjadi
tokoh pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia, ternyata ada pula beberapa
nama Belanda yang ikut bersumbangsi berjuang demi meraih kemerdekaan Indonesia.
Salah satunya adalah Douwes Dekker, yang memiliki nama lengkap Ernest Francois Eugene Douwes Dekker.
Dia lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 8 Oktober 1879. Dia memiliki darah campuran Belanda, Prancis,
Jerman dan Jawa.
Namun meski bukan penduduk Indonesia
tulen, tapi semangat nasionalismenya lebih menggelora daripada penduduk
bumiputra. Dalam pergerakan revolusi,
Douwes Dekker memiliki pemikiran dan gagasan yang melampaui zaman. Buku ini memaparkan
tentang semangat perjuangan Douwes Dekker dalam meruntuhkan pemerintah
Hindia-Belanda.
Dengan sifat kritis dan penuh
keberanian, dia mengkritisi kekejaman pemerintahan Hindia-Belanda dan berani
menolak diskriminasi. Hal inilah yang pada akhirnya membuat pemerintah Belanda
berang dan menganggap Douwes Dekker sebagai
agitator berbahaya.
Bersama Tcipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar
Dewantara, Douwes Dekker mendirikan partai politik pertama di Indonesia,
bernama Indische Partij. Di mana partai ini didirikan dengan tujuan untuk membangkitkan
rasa patriotisme orang Hindia untuk tanah yang memberikan kehidupan, yang
mendorong untuk bekerjasama atas dasar persamaan hak politik nasional untuk
mengembangkan tanah air Hindia ini, dan untuk mempersiapkan sebuah kehidupan
bangsa yang merdeka (hal 26).
Hadirnya partai ini meniupkan roh di awal masa pergerakan dan merupakana pondasi
penting bagi nasionalisme Hindia. Douwes Dekker adalah sosok organisator yang
tidak pernah lelah berjuang. Dia mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk
kemerdekaan Indonesia. Douwes Dekker yang ternyata masih satu keturunan dengan Eduard Douwes Dekker—penulis buku Max
Havelaar yang memiliki nama pena Multatuli—ini menyerukan ide pentingnya warga
Hindia menjadi satu bangsa, yang membangun kekuatan sendiri.
Dia sama sekali tidak gentar meski
berkali-kali keluar masuk penjara bahkan diasingkan untuk beberapa waktu yang
cukup lama. Memang sejak dia menunjukkan sikap anti penjajah, Belanda sudah
mengawasi dan menganggap Douwes Dekker adalah salah satu tokoh yang berbahaya,
yang bisa mengkompori bumiputra untuk
melawan pemerintah Hindia-Belanda sewaktu-waktu. Oleh karena itu ketika Douwes Dekker
mendaftarkan perjininan berdirinya partai Indische Partij, dengan tegas Beladan
menolaknya, karena partai itu dianggap
berbahaya, mengancam kemananan dan
ketertiban umum.
Tapi bukan Douwes Dekker jika
langsung menyerah. Dengan kemampuannya jurnalistiknya, kerap kali Douwes Dekker
menantang pemerintah Hindia-Belanda lewat tulisan-tulisan yang tajam,
memojokkan dan pedas di berbagai media.
Dia mengkritisi politik etis yang memecah belah penduduk pribumi, indo
dan priyayi. Akibat keberaniannya itu,
Douwes Dekker di mata tokoh-tokoh politik Belanda dianggap sebagai avonturir,
oportunis bahkan schoelje atau “si bangsat” (hal 38). Di mana akibat
dari tulisannya yang kerap kali menggugat, dan mengecam Belanda dan terus
membangkitkan nasionalisme, dia mendapat lima gugatan hukum.
Dia pernah menjalani hukuman penjara
di beberapa negara. Lalu bersama Tcipto
Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker dibuang ke Belanda.
Kemudian mereka memanfaatkan waktu ada untuk melanjutkan sekolah. Selain itu Douwes Dekker juga pernah dituduh menjadi kaki tangan Jepang dan ditahan
di Jakarta, kemudian dibawa ke Ngawi,
Magelang dan Jawa Timur. Di juga pernah diasingkan di Suriname. Namun semua kejadian itu tetap tidak
membuatnya gentar berjuang meraih kemerdekaan Indonesia.
Ketika akhirnya dia kembali ke
Indonesia, dia kemudian memilih berjuang
lewar jalur pendidikan. Dia menjadi guru mengajar di Ksatrian Institut, sebuah
sekolah yang dia bangun bersama beberapa tokoh pentolan Indische Partij. Dalam
sekolah ini Douwes Dekker dengan serius mengajarkan pentingnya bangsa merdeka dan mandiri (hal 64). Hal ini
tentu saja membuat pemerintah Hindia-Belanda semakin membenci Douwes Dekker.
Kiprah Douwes Dekker ini akhirnya
memberi inspirasi bagi para pejuang
muda. Seperti Tjokroaminoto dengan Serikat Islam, juga Sukarno dalam mendirikan
Partai Nasional Indonesia. Sebelum wafat
Douwes Dekker ini menjadi mualaf dan mengganti nama menjadi Danudirja
Setiabudi. Dia meninggal tanggal 28 Agustus 1950 karena sakit. Sebuah buku yang
patut dibaca dan diapresiasi. Mengajarkan kita untuk tidak mudah menyerah dalam
berjuang dan selalu mencintai Indonesia.
Srobyong, 21 Oktober 2017
Wah saya serasa bernostalgia, balik lagi ke jaman SMP waktu ngebahas sosok ini. Dulu waktu SMP, sejarah adalah salah satu pelajaran favorit saya ��
ReplyDeleteIya membahas Douwes Dekker jadi ingat tiga serangkai juga ingat masa sekolah.
DeleteWah sudka sejarah ya, Bu. Pasti jago hafalan :)