Dimuat di Analisa Medan, Minggu 28 Mei 2017
by Ratnani Latifah
Seperti
biasa, gerembolan genk paling gaul di SMA Setya, kini asyik bercengkrama di
kantin sekolah. Menikmati makan siang sambil cuci mata. Rindu adalah salah satu
anggota genk hanya mengulum senyum melihat tingkah teman-temannya yang heboh
luar biasa. Dia sendiri lebih banyak diam dan menatap entah ke mana.
Akhir-akhir ini dia sedikit berbeda. Dia yang biasanya penuh ceria mendadak
menjadi pendiam.
“Hoi!
Ngelamun, aja Rin! Mikirin apa, sih?” Mita sengeja berucap sambil menyengol siku
Rindu
“Em
… em … nggak ngelamuni apa-apa kok,” ucap Rindu tergagap.
“Yaelah,
nggak ngelamunin apa-apa tapi jawabanya tergagap luar binasa? Hahhh, Ayo jujur
aja sama kita-kita, kalau ada masalah pasti kita bantu,” ucap Mita
sungguh-sungguh.
“Yoi,
kita kan sohib. So tell us!” Sofa ikut menimpali, tapi Rindu lebih
memilih diam.
Sorry,
guys aku nggak bisa cerita sama kalian. Aku pikir ini terlalu pribadi, jadi
biarlah gue simpan sendiri. Rindu membatin.
~*~
Bel pulang sudah berdentang. Seharusnya Rindu
ikut dengan sahabat-sahabatnya untuk pergi ke salon langganan mereka seperti
biasa. Tapi kali ini dia sedang tidak mood. Hingga akhirnya dia izin
pulang duluan, meski keputusannya itu sangat disayangkan. Sekarang Rindu baru menyadari ternyata, menjadi popular tidak senyaman yang dia
bayangkan. Harus ini harus itu untuk menjaga penampilan. Apalagi kerjaannya
hanya pergi ke salon kecantikan. Itu bukan tipe Rindu banget. Huft!
Rindu
berhenti di sebuah toko buku dekat sekolahan, dia mematung di sana memilah-milah
banyak buku untuk persediaan di rumah. Yah, karena kenal dengan Nita, Mita, dan
Sofa, dia jadi jarang mampir ke sini. Mereka para fashionable yang nggak
mau terlalu dekat dengan buku seperti dia yang sebenarnya kutu buku. Ya, itu
dulu sebelum dia menginjakkan kaki di kota ini. Dulu ketika Rindu masih SMP,
dia mendapat gelar kutu buku, dengan tampilan nerd, membuat dia aneh,
dan tidak punya teman. Rambut panjangnya selalu dia kepang dua dengan kacamata
yang selalu bertengger di wajahnya. Karena itu, dia bertekad ketika SMA harus
merubah penampilannya, dia lelah dibully ketika dulu. Merasa menjadi
cewek paling malang tak memiliki keberuntungan.
Ternyata
keberuntungan pun berpihak padanya ketika masuk di SMA ini, tak seorang pun
tahu akan masa lalunya, jadi tak ada lagi yang akan menindasnya. Bahkan dengan tampilan baru, dia
malah menjadi sorotan dan menjadi aanggota genk paling ternama.
Tapi,
ada sesuatu yang terasa hilang di hati Rindu. Yah, kebebasan menikmati ruangnya
sendiri. Dia ingin kembali menjadi diri sendiri seperti dulu, tanpa harus
dijauhi teman-temannya. Mungkinkah bisa? Rindu sadar dia tak seharunya menjadi orang lain untuk diterima
teman-temanya. Dia memang suka sepi dalam tumpukan rak buku, tapi sesekali, dia
juga ingin memiliki teman untuk berbagi.
“Lho,
Rindu, tumben nggak barengan Sofa and the genk.” Suara khas seseorang membuat
Rindu terbuyar dari lamunannya.
“Kamu,
suka buku juga,” ucapnya sambil tertawa. “Aku pikir, kamu cuma seorang yang
gila fashion dan wajah,” cowok itu lagi-lagi tertawa sesuka hati.
Rindu
hanya tersenyum dan langsung pergi meraih buku belanjaannya.
“Buru-buru
amat, Rin, aku anter, ya?” tawar cowok itu. Maklum sejak ketemu Rindu yang
sering main dengan kakanya kembarnya, dia jadi tertarik dengan cewek yang baru
masuk dalam genk kakaknya—Sofa. Tertarik akan segala keunikan yang tak disadari
kakaknya. Yup. Sejak dulu Dion sudah tahu kalau Rindu sering mampir ke toko
ini. Tapi, dia hanya diam.
Rindu
menggeleng dan segera pergi berlalu, bagaimana kalau cowok itu nanti melapor
pada Sofa. Maka habislah sudah kebohongan yang sering dia lakukan untuk menghindari ajakan Sofa dan
teman-temanya. Rindu takut mereka akan marah.
“Hoi!
Rin, kamu kenapa sih,” Dion masih mengejar Rindu.
“Please, Dion jangan bilang kalau kamu ketemu aku di
sini sama Sofa, ya,” pinta Rindu akhirnya. Wajahnya pucat.
“Oke,
tapi dengan satu syarat,” ucap Dion
akhirnya.
Jadilah
mereka kini berjalan bersama menuju rumah Rindu yang tak jauh dari sana. Dalam perjalanan Dion terus mendesak Rindu
untuk menceritakan semua. Menceritakan kenapa dia harus tampil dengan
membohongi dirinya sendiri.
~*~
Keesokan
hari sepulang sekolah, Nita, Sofa dan
Mita sudah menghadangnya di depan kelas. Wajah mereka terlihat berbeda dari
biasanya. Ah, mungkinkah Dion telah membohonginya? Dia tak menjaga rahasia
malah menceritaka semua? Tebak Rindu dalam hati. Tapi dia segera menepisnya.
“Hai,
guys, sekarang kita mau ke mana? ” tanya Rindu seolah tak ada apa-apa.
“Kenapa
sih, kamu ngak jujur saja sama kita , Rin,” ucap Sofa menatap Rindu dengan
tajam yang seketika membuat Rindu langsung mengerti arah pembicaraan mereka.
Rindu hanya diam tak berani berkata apa-apa.
“Iya,
kamu pikir kita ini apa, Rin? Kita
sahabat, kan? Kenapa harus ada main rahasia?” Mita ikut menyudutkan.
“Kita
kecewa sama kamu, Rin. Harusnya kamu itu
jujur, jangan membohongi kita seperti kemarin,” ucap Nita, wajahnya
terlihat memerah.
“Kita
bertiga sudah tahu, semua!” teriak Sofa.
Rindu
menunduk. Dion telah membohonginya. Katanya tidak akan cerita, kenapa dalam
sekejap berita itu sudah sampai di telinga teman-temannya. Kalau bertemu Dion
mungkin dia harus membuat perhitungan.
Aku benci Dion. Padahal kemarin dia berucap manis, tapi
sekarang dia malah menjerumuskan. Ah, mungkin sudah saatnya aku kembali ke
zaman dulu, menjadi gadis yang terkungkung dengan sepi. Suara hati Rindu.
“Maafin,
aku, teman-teman. Aku takut jika jujur, kalian akan menjauh. Kalian teman
pertama yang aku punya, jadi aku tidak
ingin kehilangan teman seperti kalian,” Rindu menangis, merasa bersalah.
“Siapa
juga yang mau ngejahuin kamu, Rin. Kita marah karena kamu tidak jujur,” ucap
Sofa memeluk Rindu, disusul Mita dan Nita.
“Kita
minta maaf juga karena tidak mengerti perasaan kamu, selalu memaksa ikut ke tempat yang tak terlalu kamu suka,
kita egois,” mereka berempat menangis sesenggukan.
“Aku
juga minta, maaf, ya,” ucap Rindu disela tangisnya.
Mereka
pun kini sudah berbaikan. Saling berjanji untuk tidak lagi menyimpan
kebohongan, lalu membuat jadwal untuk sesekali ikut Rindu ke perpustakaan untuk
belajar dan ke toko buku langganan. Ya, sahabat kan saling melengkapi. Meski
sesekali Rindu harus mau di make over diajak ke salon.
“Wah,
wah,” Dion muncul dengan bertepuk tangan. “sampai terharu melihatnya,” dia
terkekeh.
“Akhirnya,
tak ada lagi kesalahpahaman, dan aku tak
perlu disiksa sama nenek sihir,” sindir Dion.
Sofa
nyengir kuda—nenek sihir tentu saja dia yang dimaksud Dion—adik kembarnya. Kemarin dia menjegat Dion dan langsung
menginterogasinya. Mereka yang saat itu sebenarnya khawatir dengan Rindu yang sudah terlihat aneh sejak pagi. Karena
itu Sofa dan teman-temannya bermaksud ke rumah Rindu, tapi mereka malahan menemukan Dion dan Rindu
berjalan berdua.
Mendengar
itu, Rindu jadi merasa bersalah, karena sedari tadi menghujat Dion dan
menuduhnya. Karena Dion juga sekarang dia
bisa berbaikan dengan teman-temannya dan kembali menjadi dirinya
sendiri. Kembali menjadi pribadi seperti dulu tanpa kehilangan teman yang dia
sayang.
“Dan
aku nagih janji yang sudah disepakati,” Dion mengerling nakal pada Sofa.
Sofa,
paham dan segera menarik Nita dan Mita untuk hengkang, membiarkan Dion bersama
Rindu sendirian untuk ungkapkan perasaan. Berdua mereka saling diam, malu wajah
merona.
Srobyong, 18 Agustus 2016
No comments:
Post a Comment