Tuesday, 17 October 2017

[Cerpen] Cerma - Rindu

Dimuat di Analisa Medan, Minggu 28 Mei 2017 

by Ratnani Latifah
            Seperti biasa, gerembolan genk paling gaul di SMA Setya, kini asyik bercengkrama di kantin sekolah. Menikmati makan siang sambil cuci mata. Rindu adalah salah satu anggota genk hanya mengulum senyum melihat tingkah teman-temannya yang heboh luar biasa. Dia sendiri lebih banyak diam dan menatap entah ke mana. Akhir-akhir ini dia sedikit berbeda. Dia yang biasanya penuh ceria mendadak menjadi pendiam.
            “Hoi! Ngelamun, aja Rin! Mikirin apa, sih?” Mita sengeja berucap sambil menyengol siku Rindu
            “Em … em … nggak ngelamuni apa-apa kok,” ucap Rindu tergagap.
           “Yaelah, nggak ngelamunin apa-apa tapi jawabanya tergagap luar binasa? Hahhh, Ayo jujur aja sama kita-kita, kalau ada masalah pasti kita bantu,” ucap Mita sungguh-sungguh.
            “Yoi, kita kan sohib. So tell us!” Sofa ikut menimpali, tapi Rindu lebih memilih diam.
            Sorry, guys aku nggak bisa cerita sama kalian. Aku pikir ini terlalu pribadi, jadi biarlah gue simpan sendiri. Rindu membatin.
~*~
             Bel pulang sudah berdentang. Seharusnya Rindu ikut dengan sahabat-sahabatnya untuk pergi ke salon langganan mereka seperti biasa. Tapi kali ini dia sedang tidak mood. Hingga akhirnya dia izin pulang duluan, meski keputusannya itu sangat disayangkan.  Sekarang Rindu baru menyadari ternyata,  menjadi popular tidak senyaman yang dia bayangkan. Harus ini harus itu untuk menjaga penampilan. Apalagi kerjaannya hanya pergi ke salon kecantikan. Itu bukan tipe Rindu banget. Huft!
            Rindu berhenti di sebuah toko buku dekat sekolahan, dia mematung di sana memilah-milah banyak buku untuk persediaan di rumah. Yah, karena kenal dengan Nita, Mita, dan Sofa, dia jadi jarang mampir ke sini. Mereka para fashionable yang nggak mau terlalu dekat dengan buku seperti dia yang sebenarnya kutu buku. Ya, itu dulu sebelum dia menginjakkan kaki di kota ini. Dulu ketika Rindu masih SMP, dia mendapat gelar kutu buku, dengan tampilan nerd, membuat dia aneh, dan tidak punya teman. Rambut panjangnya selalu dia kepang dua dengan kacamata yang selalu bertengger di wajahnya. Karena itu, dia bertekad ketika SMA harus merubah penampilannya, dia lelah dibully ketika dulu. Merasa menjadi cewek paling malang tak memiliki keberuntungan.
            Ternyata keberuntungan pun berpihak padanya ketika masuk di SMA ini, tak seorang pun tahu akan masa lalunya, jadi tak ada lagi yang akan  menindasnya. Bahkan dengan tampilan baru, dia malah menjadi sorotan dan menjadi aanggota genk paling ternama.
            Tapi, ada sesuatu yang terasa hilang di hati Rindu. Yah, kebebasan menikmati ruangnya sendiri. Dia ingin kembali menjadi diri sendiri seperti dulu, tanpa harus dijauhi teman-temannya. Mungkinkah bisa? Rindu sadar dia tak seharunya  menjadi orang lain untuk diterima teman-temanya. Dia memang suka sepi dalam tumpukan rak buku, tapi sesekali, dia juga ingin memiliki teman untuk berbagi.
            “Lho, Rindu, tumben nggak barengan Sofa and the genk.” Suara khas seseorang membuat Rindu terbuyar dari lamunannya.
            “Kamu, suka buku juga,” ucapnya sambil tertawa. “Aku pikir, kamu cuma seorang yang gila fashion dan wajah,” cowok itu lagi-lagi tertawa sesuka hati.
            Rindu hanya tersenyum dan langsung pergi meraih buku belanjaannya.
            “Buru-buru amat, Rin, aku anter, ya?” tawar cowok itu. Maklum sejak ketemu Rindu yang sering main dengan kakanya kembarnya, dia jadi tertarik dengan cewek yang baru masuk dalam genk kakaknya—Sofa. Tertarik akan segala keunikan yang tak disadari kakaknya. Yup. Sejak dulu Dion sudah tahu kalau Rindu sering mampir ke toko ini. Tapi, dia hanya diam.
            Rindu menggeleng dan segera pergi berlalu, bagaimana kalau cowok itu nanti melapor pada Sofa. Maka habislah sudah kebohongan yang sering  dia lakukan untuk menghindari ajakan Sofa dan teman-temanya. Rindu takut mereka akan marah.
            “Hoi! Rin, kamu kenapa sih,” Dion masih mengejar Rindu.
            “Please,  Dion jangan bilang kalau kamu ketemu aku di sini sama Sofa, ya,” pinta Rindu akhirnya. Wajahnya pucat.
            “Oke, tapi dengan satu syarat,”  ucap Dion akhirnya.
            Jadilah mereka kini berjalan bersama menuju rumah Rindu yang tak jauh dari sana.  Dalam perjalanan Dion terus mendesak Rindu untuk menceritakan semua. Menceritakan kenapa dia harus tampil dengan membohongi dirinya sendiri.
~*~
            Keesokan hari  sepulang sekolah, Nita, Sofa dan Mita sudah menghadangnya di depan kelas. Wajah mereka terlihat berbeda dari biasanya. Ah, mungkinkah Dion telah membohonginya? Dia tak menjaga rahasia malah menceritaka semua? Tebak Rindu dalam hati. Tapi dia segera menepisnya.
            “Hai, guys, sekarang kita mau ke mana? ” tanya Rindu seolah tak ada apa-apa.
            “Kenapa sih, kamu ngak jujur saja sama kita , Rin,” ucap Sofa menatap Rindu dengan tajam yang seketika membuat Rindu langsung mengerti arah pembicaraan mereka. Rindu hanya diam tak berani berkata apa-apa.
            “Iya, kamu  pikir kita ini apa, Rin? Kita sahabat, kan? Kenapa harus ada main rahasia?” Mita ikut menyudutkan.
            “Kita kecewa sama kamu, Rin. Harusnya kamu itu  jujur,  jangan membohongi  kita seperti kemarin,” ucap Nita, wajahnya terlihat memerah.
            “Kita bertiga sudah tahu, semua!” teriak Sofa.
            Rindu menunduk. Dion telah membohonginya. Katanya tidak akan cerita, kenapa dalam sekejap berita itu sudah sampai di telinga teman-temannya. Kalau bertemu Dion mungkin dia harus membuat perhitungan.
            Aku  benci  Dion. Padahal kemarin dia berucap manis, tapi sekarang dia malah menjerumuskan. Ah, mungkin sudah saatnya aku kembali ke zaman dulu, menjadi gadis yang terkungkung dengan sepi. Suara hati Rindu.
            “Maafin, aku, teman-teman. Aku takut jika jujur, kalian akan menjauh. Kalian teman pertama yang  aku punya, jadi aku tidak ingin kehilangan teman seperti kalian,” Rindu menangis, merasa bersalah.
            “Siapa juga yang mau ngejahuin kamu, Rin. Kita marah karena kamu tidak jujur,” ucap Sofa memeluk Rindu, disusul Mita dan Nita.
            “Kita minta maaf juga karena tidak mengerti perasaan kamu, selalu memaksa  ikut ke tempat yang tak terlalu kamu suka, kita egois,” mereka berempat menangis sesenggukan.
            “Aku juga minta, maaf, ya,” ucap Rindu disela tangisnya.
            Mereka pun kini sudah berbaikan. Saling berjanji untuk tidak lagi menyimpan kebohongan, lalu membuat jadwal untuk sesekali ikut Rindu ke perpustakaan untuk belajar dan ke toko buku langganan. Ya, sahabat kan saling melengkapi. Meski sesekali Rindu harus mau di make over diajak ke salon.
            “Wah, wah,” Dion muncul dengan bertepuk tangan. “sampai terharu melihatnya,” dia terkekeh.
            “Akhirnya, tak ada lagi kesalahpahaman, dan aku  tak perlu disiksa sama nenek sihir,” sindir Dion.
            Sofa nyengir kuda—nenek sihir tentu saja dia yang dimaksud Dion—adik kembarnya.   Kemarin dia menjegat Dion dan langsung menginterogasinya. Mereka yang saat itu sebenarnya khawatir dengan Rindu  yang sudah terlihat aneh sejak pagi. Karena itu Sofa dan teman-temannya bermaksud ke rumah Rindu,  tapi mereka malahan menemukan Dion dan Rindu berjalan berdua.
            Mendengar itu, Rindu jadi merasa bersalah, karena sedari tadi menghujat Dion dan menuduhnya. Karena Dion juga sekarang dia  bisa berbaikan dengan teman-temannya dan kembali menjadi dirinya sendiri. Kembali menjadi pribadi seperti dulu tanpa kehilangan teman yang dia sayang.
            “Dan aku nagih janji yang sudah disepakati,” Dion mengerling nakal pada Sofa.
           Sofa, paham dan segera menarik Nita dan Mita untuk hengkang, membiarkan Dion bersama Rindu sendirian untuk ungkapkan perasaan. Berdua mereka saling diam, malu wajah merona.
            Srobyong, 18  Agustus 2016 

No comments:

Post a Comment