Showing posts with label cerpen religi. Show all posts
Showing posts with label cerpen religi. Show all posts

Tuesday, 17 November 2015

[Cerpen] Seraut Hati




Aku memanggilnya Lelaki Pelangi. Aku mengenal dia tanpa sengaja di sebuah Negeri Seribu Batu. Kala itu, aku berada di subuh yang paling sunyi. Aku baru selesai mengambil air wudlu ketika mata kami saling bertemu. Yah, detik itu, jantung ini tidak bisa diajak kompromi. Aku pasti gila dengan perasaan ini. Menyukai seseorang yang harusnya tidak boleh kusukai.

~&~

Malam sunyi, aku ke luar dari bilik kamar. Berjalan cepat untuk mengambil air wudhu. Dadaku sontak kaget ketika langkah kaki akan pergi, ada seseorang berdiri di depanku. Sama sepertiku, orang itu pun kaget bukan kepalang. Sepertinya alam bawa sadar telah membuat dia akan salah masuk di tempat wudhu wanita. Dia bergegas  meminta maaf, undur diri. Dan aku bergegas menundukkan kepala. Tapi, entah kenapa setelah itu ..., aku tidak bisa melupakannya.

Aku jadi tidak konsen dalam pekerjaan juga belajar. Dalam tidur malam dia menjadi mimpi terindah yang membuatku senang bukan kepalang.

“Ya Allah bantulah hambamu ini.” Aku merapalkan tangan.

Ah, sungguh perasaan ini mengusik sekali ketenangan yang selama ini kumiliki. Padahal sejak awal aku datang ke sini, harapan yang kuinginkan hanya satu. Membanggakan Ibu sang pemilik cinta. Aku di sini karena beliau. Menjadi anak sholehah yang selalu didamba. Meski aku harus bekerja keras untuk mewujudkan mimpi itu.  Aku menghela napas bergegas meninggalkan ruang perpustakaan. Aku sudah terlalu lama terpekur di sana. Membayangkan senyumnya yang dimiliki yang kucoba hapus berkali-kali. Lalu memikirkan ibu dan amanah yang diembankan dulu.

“Assalamu’alaikum.” Suara itu membuatku terhenyak. Aku yang tadi menunduk kini menatap asal suara. Jantungku langsung berpacu. Mata abu-abunya membuatku grogi.

“Wa-alai-kum-sa-lam.” Aku menjawab dengan gagap. Kaget.

“Maaf soal yang kemarin, aku sungguh tidak sengaja.” Dia tersenyum. Aku membantin, dia mengenalku?

“Namamu Ifa bukan?” dia kembali membuatku kaget. Bahkan dia tahu namaku.

“Hampir semua orang di pesantren ini tahu kamu, Fah. Bahkan orangtuaku.” Dia tersenyum. Aku menelan ludah.

Begitukah? Kenapa aku sangat terkenal? Dia bilang orangtuanya mengenalku? Aku semakin tidak mengerti.

“Jangan bengong saja. Jadi bagaimana?”

“Hah?” aku ternganga.

“Kok, Hah? Aku dimaafkan, bukan?” Dia tersenyum. Dan jantungku kembali berdetak. Bodoh.

“Ah ..., iya. Tentu saja. Saya permisi dulu.” Aku bergegas pergi.  Tidak memedulikan dia yang sepertinya memanggil namaku. Tapi kenapa dia memanggilku? Entahlah. Mungkinkah aku salah dengar? Suara hatiku berkecamuk.

Aku menarik napas dan menghembuskannya secara perlahan. Mencoba mengontrol jantung yang sedari tadi berdetak tidak karuan. Bergegas aku masuk ke kamar dan berganti pakaian dan mulai mengerjakan tugas yang kuemban.

Dan betapa kagetnya aku ketika menatap dia, yang ada berjajar dengan sosok yang selama ini aku hormati karena kebaikan yang selama ini diberikan padaku. Rumah, pekerjaan hingga pendidikan.
Dia tersenyum padaku. Aku menunduk malu. Kebenaran kenapa dia tahu siapa aku pun terungkap. Dan aku pun tahu dia-lah yang selama ini Kiai dan Bu Nyai ceritakan padaku.

~*~

Pagi yang sunyi. Aku teramat lelah. Perjalan jauh sungguh membuatku payah. Yah, kembali dari negeri suci. Di sana aku belajar dan tak ketinggalan untuk melukis ka’bah, sebagai bonusnya. Sudah belajar hampir empat tahun di sana, kenapa tidak sekalian haji saja? Itu yang kulakukan. Tidak kusangka, karena kelelahan yang teramat itu, aku membuat kesalahan terindah. Aku bertemu dengan pemilik senyum sang bidadari yang membuat molekul hatiku bereaksi tanpa aba-aba. 

Dia terlihat sangat pemalu. Dengan gerak cepat dia menghindar, hingga akhirnya aku tahu, ternyata dia ada di sisiku. Ah, sungguh aku tidak menyangka. Aku pun tidak bisa menahan diri. Aku menemuinya. Ingin meminta maaf dan sekaligus mencoba mengenalnya lebih jauh.

Dan seperti kesan kali pertama jumpa. Dia salah tingkah. Menunduk malu, dan aku menertawaknnya dalam diam. Apalagi ketika dia melihatku bersama orang yang paling dia hormati. Dia menunduk malu. Dan gilanya, aku menyukai segala tingkah konyolnya. Senyum malu-malu juga kegagetannya. Dan yang paling aku suka, aku menemukan harta karunnya.

~*~

Aku menatap langit-lagit kamar. Menatap serpihan rindu yang kini menjangkitku. Ah, ini tidak boleh. Dia adalah lelaki pelangi, dan aku bukan siapa-siapa. Tidak pantas aku menyukainya. Ini salah. Bagaimana kalau Kiai dan Bu Nyai tahu? Mereka pasti akan kecewa. Sejak aku nyantri di sini dan menjadi abdi dalem, Bu Nyai memang sering menceritakan putra ketiga beliau yang belajar di Arab. Beliau sangat membanggakannya. Bu Nyai sering bilang, beliau ingin putranya ketiga ini mau dijodohkan dengan seorang putri dari kenalan Pak Kiai.

“Doakan, ya, Fah. Semoga harapan ibu menjadi nyata.” Dan aku hanya bisa mengangguk mengiyakan.

“Aamiin, insya Allah bisa, Bu.”  Bu Nyai tersenyum semringah.

Aku menghela napas, potongan percakapan yang dulu kembali terngiang. Dan kemarin, Bu Nyai kembali membicarakan itu padaku. Meminta pendapat tentang putri Kiai siapa yang paling cocok untuk dia. Aku menggigit bibir.  Ini seperti cebol ingin mengambil bintang. Lelaki pelangi itu tidak mungkin kuraih. Dia seperti potret sejuta  mimpi yang hanya bisa kupandang dari jauh.  Yah, seperti pelangi yang selalu indah ketika kemunculannya di langit biru. Kemunculan yang jarang namun selalu dirindukan. Meski sejuta cinta kumiliki, itu tidak ada artinya. Aku harus tetap menghapus rasa itu dan berserah pada-Nya.

Dia terlalu indah untukku yang tak memiliki sinar. Redup. Lagi-lagi aku menghela napas. Aku harus melupakannya dengan segera. Mungkin pulang dulu ke desa untuk menenangkan pikiran barang sebentar.

“Yah, aku harus melakukannya.” Aku bangkit dan bersiap menemui Bu Nyai. Malam ini aku akan pergi.

~*~

She like a rose. Mungkin sebutan itu cocok untuknya. Dia tidak seperti kebanyakan bunga yang dengan mudah mengumbar kecantikannya pada sembarang orang. Dia membentengi diri dengan durinya. Menjaga kehormatan dengan segala daya upaya. Aku  sangat mengaguminya. Kupikir aku sudah yakin dengan jawaban yang akan kuberikan pada ibu.

Aku bangkit dari tempat duduk, menatap sejenak buku bersampul cokelat yang kemarin aku temukan. Tentang coretan hujan di atas kertas. Tarian surat cinta terakhir yang nampak terpotong karena aku menemukannya sebelum surat itu terselesaikan. Aku tersenyum penuh arti. Berjalan dengan ringan untuk soan pada abah dan umi. Mengutarakan niat untuk meminang pemilik senyum sang bidadari.  

Srobyong, 4 September 2015


Sebuah naskah  yang saya ikutkan dalam Event Title happy one yang diadakan Muhammad Agus Riwayanto yang bekerja sama dengan Penerbit LovRinz, di mana saya mengambil judul-judul buku yang pernah diterbitkan di Penerbit LovRinz. Dan alhamdulillah bisa menang. ^^


Friday, 19 June 2015

[Re-Post] [Cerpen] Aku, Kamu Dan Dia

Aku, Kamu dan Dia

quran

Oleh: Kazuhana El Ratna Mida, kazuhanael_ratna@yahoo.co.id

MENATAPMU dalam keadaan seperti ini, jujur buatku ngilu. Tak pernah kusangka ini akan terjadi. Bagaimana bisa? Adakah yang bisa berikanku penjelasan? Kenapa harus aku, kamu dan dia yang terkungkung dalam lingakaran ini.

Tak adakah pilihan lain, hingga aku tak harus berada di antara kalian?

~*~

Masih terekam dalam memoriku, saat kamu masih menampakkan senyum manis wajah ayu. Kamu buat siapa saja menyukaimu. Kau bak seorang peri yang memberi sihir bagi orang-orang yang mengenalmu.
Kamu selalu ramah, menyambut siapapun yang datang ke rumahmu. Tak pernah kamu mencoba kasar, meski itu hanya pengemis jalanan yang ikut menopang di tempatmu. Tapi dengan senang hati kau malah memberi izin untuk bertamu. Tidur sejenak, melepas lelah. Yah, betapa hatimu begitu baik, tak ada duanya.
Kebaikanmu sungguh buatku terkagum-kagum. Hingga diam-diam aku selalu memerhatikanmu. Menikmati indahmu dari sisi nyaman yang kumiliki. Aku sangat menyukaimu. Sungguh.

Namun, ternyata aku tak sendiri. Pernah kulihat dia juga sering memandangmu. Tersenyum penuh arti, kadang buatku cemburu. Setiap hari dia datang mengunjungimu. Duduk bersama saling sapa melepas rindu. Kalian akan berlama-lama, berbagi cerita.

Karena aku selalu mendengar suara merdunya. 
 
“Sepertinya menyenangkan sekali,” liriku sendiri.

Tapi kalian yang terlalu asyik jadi tak memedulikan kehadiranmu. Ah, mungkin karena itu ….
Aku sadar sih, kalian sudah saling kenal sejak dulu. Tepatnya sebelum aku tinggal di sini. Aku hanyalah anak baru yang mungkin belum terlalu mengenalmu. Tapi, sungguh. Aku ingin selalu melindungimu. Lebih dari dia yang kini ada di sisimu.

“Wah, aku harus pulang. Besok aku akan kembali.” Dia bangkit meninggalkanmu sendiri. Dan aku pun harus rela ikut pergi, karena aku adalah bagian dari dia. Tak mungkin aku meninggalkaannya juga. Karena dia aku di sini. Dia yang membawaku membuatku mengenalmu hingga langsung jatuh cinta kala kita bertemu.

“Tak bisakah kita lebih lama lagi, Di?” tanyaku padanya mencoba bernegosiasi.

“Aku harus pergi, Al. Jadi aku tak bisa memenuhi permintaanmu. Besok saja kita ke sini lagi.”

Aku pun pasrah mengikuti dia dan meninggalkanmu sendiri.

~*~

Itulah potret kejadian di masa lalu. ketika aku, kamu dan dia pernah menikmati kebersamaan meski hanya sebentar. Aku yang jatuh cinta padamu, juga dia yang selalu memujamu. Setiap hari kami membicarakan kebaikanmu.

Tak pernah sedetikpun kami lupa bahwa kau itu sungguh telah terpatri indah dalam dada.

“Ya, aku setuju. Dia memang sangat cantik. Memiliki pesona yang luar biasa. Meski harus dipoles sedikit biar lebih memesona,” ucap Di padaku.

“Karena itu, aku ingin merawatnya. Menjadikannya sebagai yang nomor satu di dunia,” lanjutnya.

“Oke, aku mendukungmu.” Aku kegirangan.

Kami tersenyum bahagia. Akhirnya ada yang bisa kulakukan untukmu. Kami saling bahu membahu untuk mewujudkan mimpi itu.

Tapi, sekarang …, lihatlah apa yang terjadi. Kamu rusak sudah tak berbentuk lagi. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang tega melakukan ini padamu.

Kau selalu baik suka membantu. Tapi kenapa masih ada orang jahat yang menghancurkanmu. Katakan padaku, siapa yang tega melakukan ini? Aku akan menuntut balasa padanya. Aku tidak rela kamu disakiti seperti ini.

Kau harusnya dirawat dan dilindungi. Kau adalah pelita yang menyinari bumi. Masih kuingat dengan jelas kebersamaan yang memang tak cukup banyak kita lalui. Tapi membekas di hati.

Aku tak sanggup lagi menahan isak tangis yang sejak tadi kupendam. Sedih melihat ketidakadilan yang kamu alami, La. Malang nian nasibmu. Andai aku bisa membantu.

Sedang dia malah tersenyum senang. Seolah dia puas telah menjatuhkanmu tanpa rasa kasihan. Apa yang membuatnya berubah, ya? Katanya rindu padamu ingin bertemu, tapi setelah perjalanan panjang kembali dari menuntut ilmu, dia malah merusakmu.

“Kenapa kau tertawa, dia dalam bahaya sekarang,” protesku padanya.

“Itu pantas untuknya.”

“Apa kaubilang? Bukankah kau …,” aku tak menerukan ucapanku, karena dia sudah mencengkeramku.
“Apa yang kau lakukan? Kau sudah mengingkari janji yang kita buat dulu,” marahku padanya.

Pada akhirnya, kamu pun bertengkar. Aku marah karena dia egois, dia juga marah karena aku tak mau mencoba mengerti.

Bayangkan, bagaimana aku bisa mengerti jika dia telah bertindak sesuka hati? Dia menghancurkan yang paling kusikai. Dia bahkan bilang akan berjuang membahagiakan kamu bersamaku, dulu. Tapi dia mengingkari janji. Aku tak suka.

Beberapa minggu kami pun tak saling sapa. Aku tak mau diajak ke mana-mana. Dia pun tak berencana mau mengajakku. Aku sangat kecewa. Kupikir dia berbeda dari kebanyakan warga yang kerap mencelamu. Mengatakan ‘untuk apa menjagamu’.

~*~

“Al, kau masih marah? Sungguh tak mau ikut lagi denganku?” tiba-tiba dia sudah ada di depanku. Menatap dengan sungguh-sungguh. Yah, biasanya kami selalu bersama tapi ….

“Akan kutunjukkan sesuatu untukmu,” dia mengulurkan tangan. Aku pun mengalah, mau ikut dengannya. Tak baik berdiam-diaman lebih dari tiga hari antara saudara.

“Maaf, ya. Aku tak jujur padamu, Al. Aku hanya ingin membuat kejutan untukmu. Lala juga setuju.” Di menunjukmu yang tengah tersenyum padaku.

“Kau bilang ingin melihatnya lebih cantik bukan? Supaya kita semakin betah lalu mengumpulkan banyak anggota lain untuk ikut bergabung. Menjadi penggemar Lala yang semakin memesona,” ucapnya panjang lebar.

Aku hanya mengangguk lemah membenarkan setiap kata yang diucapkannya. Meski aku mencintai Lala, aku tak ingin mendominasinya. Aku ingin orang lain juga merasakan cahaya kebaikan darinya. Merasakan lembut kasih sayangnya, jika mau bersamanya.

Mataku mengerjab, melihat sesuatu yang tek terduga.

Aku hampir tak percaya dengan yang kulihat. Lala berubah semakin menawan. Maafkan aku, Di pernah berprasangka buruk padamu. Lagipula manakutahu otakmu memikirkan itu, sedang aku hanyalah benda mati yang selalu menemanimu. Kau tidak pernah cerita tentang hal itu.

Dia tersenyum pun dengan Lala yang makin bersinar. Inilah rumah baru. Tempat kita kan memulai kisah bersama menghidupkan musala yang sempat mati. Yah, itulah kamu musala yang kami cintai aku—Al-Quran dan dia—Adi yang ingin merintis mengajak umat untuk mengaji menghidupkan kembali kejayaan Islam yang hampir mati. Menyeru untuk kebaikan bagi semua warga di sini. []

Srobyong, 4 April 2015
Atau bisa baca langsung di
 
 
 
 

Saturday, 31 January 2015

[Cerpen] Dendang Salawat Nabi




Judul : Dendang Salawat Nabi

Oleh :Kazuhana El Ratna Mida/ Ratna Hana Matsura

Andai beliau masih ada pasti ceritanya berbeda. Akan ada gemerlap cahaya menyemarakkan musala. Membuat jiwa luluh menyenandungkan lagu pada sang kekasih, bergumal rindu rasa ingin bertemu.

~*~

Al-Falah menghela napas. Sejak satu tahun lalu—tepatnya sejak kakek meninggal. Musala ini menjadi sunyi—senyap. Tak ada lagi celotehan anak-anak yang melafalkan huruf hijaiyah, apalagi menyenandungkan salawat Nabi ketika bulan maulid datang.

Sungguh nuansanya sangat berbeda. Al-Falah rindu masa itu. Melihat anak-anak bermain dan bersendau gurau dengan teman-teman, lalu berlatih bersama membaca Al-Barjanji.

Kini masa itu telah tertelan waktu. Ketika pemuka agama—kakek yang selalu menggerakkan dakwah telah berpulang, hilang juga semangat para penerus yang tak punya tekad berjuang. 

Al-Falah miris ingin menangis. Apakah hanya sampai batas ini saja, tak ada lagi perombakan untuk kebaikan?

Ya Allah andai aku bisa ingin rasanya menggerakkan maju seperti dulu, meneruskan jejak perjuangan yang telah didirikan. Batin Al-Falah. Tapi siapalah aku? Aku tak memiliki daya untuk mewujudkan semua tanpa ada penggerak lainnya yang memiliki cita-cita yang sama. Batinnya lagi.

“Aku harus ditopang baru bisa berjalan,” lirih Al-Falah berucap dalam kesendirian.
Ya kesendirian ketika tinggal gelap yang tersisa di sini. Andai bisa Al-Falah ingin berteriak agar para warga mendengar kepiluan hatinya yang telah menggerogoti.

Apalah gunanya musala yang selau direhab setiap saat, namun, warganya kosong tak mau meramaikan. Hanya segelintir orang yang datang silih berganti untuk menunaikan jamaah. Itu pun bisa dihitung dengan jari. Padahal luas musala ini mampu ditempati semua warga di sini.

Al-Falah sungguh sedih dan kadang-kadang menangis dalam sepi. Dia selalu berharap ada seseorang yang memiliki kesadaran melanjutkan perjuangan.

~*~

Hingga dia datang menjadi cahaya terang—seorang yang memiliki semangat juang mulai menghidupkan musala. 

Al-Falah sungguh bangga, ingin berucap syukur—berterima kasih pada dia yang mau mengabdi untuk warga, melanjutkan perjuangan sang kakek yang dulu telah berpulang.

Doa yang diam-diam dipanjatkan kini dijabahi Sang Penguasa Alam. Hadirnya seseorang yang bernama Nur Laila. Namanya secantik akhlaknya menjadi penerang di gelapnya malam yang membunuh warga.

~*~

“Shalluu ‘Alannabi Muhammad.”

Al-Falah mendengarkan suara merdu yang terdengar dari speker. Hatinya terasa damai sejuk penuh haru.
Titik balik setelah satu tahun musala ini sepi tak ada yang mengisi. 

“Alhamdulillah, para warga telah sadar kembali menyalakan pijar dakwah,” Al-Falah berucap syukur.
Sungguh ini adalah hadiah—kado terindah ketika para warga telah mulai sadar, menyemarakkan bulan maulid yang kini datang. Menyongsong tahun baru dengan perubahan. Al-Falah berharap ini akan langgeng dan terus berjalan.

Al-Falah mendengarkan salawat Nabi kini sudah didendangkan. Dia tersenyum senang. Melihat anak-anak kecil dan warga yang ikut meramaikan musala mengobati kehampaan yang dulu menerpa jiwanya.

“Semoga ini bukan untuk awal dan akhir kalinya, tapi akan dimulai lagi untuk dirintis dengan kajian Al-Quran dan Al-Barjanji secara bergantian,” doa Al-Falah dengan senyum mengembang.

Srobyong, 30 Desember 2014.

 Spesial untuk ultah Mbak Lulu Wal Marjaan

[Cerpen] Istana Yang Kurindu

Judul : Istana Yang Kurindu

Oleh : Kazuhana El Ratna Mida

Aku tak butuh apa-apa selain bisa memasuki ruang itu. Ruang yang teramat istimewa yang membuatku jatuh cinta. Aku ingin di sana selamanya. Merajut mimpi dan kasih yang menggelora.

~*~

“Kamu masih ingin ke sana, Ra?” tanya Fifi yang tahu akan ambisiku sejak masih di sekolah dasar.

“Ya, tentu saja.” Aku mengangguk pasti.

“Hahaha, kamu lucu Ra,” ucap Fifi tiba-tiba.

“Kenapa?” tanyaku tak paham.

“Dasar! Kamu tak pernah berpikir bahwa semua itu sia-sia? Mungkin dia sudah memiliki orang lain. Dia melupakanmu, Ra,” tandas Fifi sambil menatapku.

“Tidak mungkin, dia tak seperti itu. Dia akan terus menungguku sampai aku siap,” ucapku yakin.

Aku sangat mengenalnya, sejak dulu selalu bersama. Dia tak akan berkhianat.

Dia pernah bilang padaku. “Datanglah ketika kamu siap, Ra. Ketika kamu mantap untuk selalu dekat denganku selamanya,” ucapnya dengan senyum mengembang.

Sungguh, aku sangat menyukainya, ingin selalu bersama dalam ruang yang sama.

Andai kecelakaan setahun lalu tak terjadi padaku, mungkin aku sudah berada di sisinya. Mengisi hari-hari penuh canda tawa. Ya, tapi apa boleh buat takdir berkata lain. Aku harus jatuh dan kini dalam proses penyembuhan. Tapi aku tak membuang cita untuk bisa selalu dekat dengannya.

Aku percaya janjinya itu pasti. Dia tak pernah sekali pun berbohong padaku. Apa yang dikatakannya selalu dia tepati.

~*~

Senyumku mengembang, akhirnya waktu pun datang berpihak padaku. Aku sudah dinyatakan sembuh dan bisa memulai aktivitas lagi. Meski masih ada wanti-wanti yang harus aku patuhi. 'Jangan terlalu banyak berpikir.

Kalau masalah itu aku pasti bisa. Aku kan orang yang sangat santai, kecuali untuk satu tujuan yang masih aku tanam dalam diri. Berada satu ruangan dengannya dalam istana tak berdinding, namun penuh makna.

“Tunggu aku di sana,” lirih aku berkata.

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, akhirnya kumantapkan niat untuk menemuinya, setelah lama berpisah. Ya, aku sudah cukup sehat untuk memulai rencana yang pernah aku susun dengannya. Aku pasti bisa. Demi berada di sisinya aku akan berusaha.

“Semangat, Ra!” teriakku sendiri.

Dengan modal nekat aku kembali mendekatinya. Memulai semua dari awal. Ya, walau ada sedikit takut yang sejatinya menggelayuti raga. Lama tak bersua, buatku grogi juga.

Ingatan tentang obrolanku dengan Fifi beberapa minggu lalu mencuat, membuatku makin resah.

Tidak mungkin dia menolak, dan melupakanku. Dia pasti masih mau menerimaku, ucapku dalam hati mencoba menyemangati diri.

Akhirnya aku sampai di sana. Kutatap istana yang nantinya akan aku tinggali bersamanya. Ini yang aku tunggu. Aku sudah mantap akan pilihanku.

“Selamat datang,” sapa seorang wanita berjilbab yang kutahu dia adalah salah satu anggota keluarganya—namanya Mbak Indah.

“Sudah sembuh, Ra?” tanya Mbak Indah sambil menatapku.

“Alhamdulillah, Mbak,” jawabku dengan tersenyum.

“Selamat datang kembali, kamu sangat dirindukan untuk kembali,” ceritanya padaku.

Ces!

Betapa aku senang mendengar kabar ini, berati dia tetap menungguku meski aku pergi beberapa lama demi kesembuhanku.

Aku pun masuk dengan semangat. Tak sabar rasanya ingin memeluk dia yang nantinya benar-benar akan menjadi keluargaku. Yang menemani dalam desahan napasku.

“Ra, kamu kembali!” teriak beberapa keluarga lain begitu melihat kedatanganku.

Ada Mbak Meli, juga Mbak Lili. Mereka sangat baik padaku, membantuku selalu untuk dekat dengannya. Merekalah orang yang berjasa telah mengenalkan aku pada dia yang saat ini aku temui, mereka yang mendukung ketika kadang harapanku pasang turun.

Aku memasuki ruang yang menjadi tujuanku. Satu langkah lagi aku akan bertemu.

“Aku kembali, aku sangat merindukanmu.” Pelukku padanya seketika.

Dia hanya tersenyum padaku, membelai jilbab biru yang ada di kepalaku.

“Alhamdulillah, Ra. sudah lama aku menunggumu untuk kembali.” Dia menatapku.

“Peluk, dan belailah aku sepuasmu. Aku sangat rindu ketika kita sering berkencan berdua, baik pagi siang atau malam.” Dia mengerling padaku. Aku tersipu malu.

“Kita mulai lagi ya,” pintanya padaku. Benar kan? Dia tak lupa padaku dia masih menunggu.

“Hem, aku siap. Kita saling mengisi.” Aku mengangguk mantap.

Lalu kumemeluk dia lagi dan mengecupnya, karena sungguh aku sangat rindu. Inilah bukti sayangku.

“Al-Quranku, aku siap untuk menghafalkanmu.”

Ya, inilah istanaku Al-Quran yang nantinya akan membantuku menuju surga Rabb-ku. Pun dengan pondok pesantren tempat menuntut ilmu, juga niat suci untuk menghafalkan Al-Quran, mimpiku sejak dulu.

Di sini tak ada dinding perbedaan akan kasta, aku dan para santri lainnya hanya fokus untuk dekat dengannya, menghafal lalu mengamalkan isinya.
Inilah istana yang selalu kurindu, Al-Quran dan Pondok Pesantren yang selalu ada di dalam kalbu.



Srobyong, 23 Januari 2015.

Saturday, 10 January 2015

[Cerpen] THE WAY I LOVE U


THE WAY I LOVE U



Kazuhana El Ratna Mida

            Tidak pernah terbesit dalam benak Fitra, ketika pada awal memasuki perkuliahan. Saat itu yang dia pikirkan hanyalah bagaiman, bisa menimba ilmu dan meraih impian. Namun detik pertama itu juga dia harus melihat seseorang, yang pada akhirnya menjadi sebuah cerita yang hanya mampu dia simpan dalam dada.

            Fitra melangkah, memasuki ruang di mana dia harus mengikuti ujian tertulis sebagai syarat memasuki sebuah Universitas di daerahnya, setelah itu dia berpindah ruangan untuk mengikuti ujian lisan yang juga dilaksanakan saat itu juga. Fitra sedikit takut dan merasa was-was jika tidak bisa dalam ujian itu. Tapi terus terus menyemangati diri sendiri, agar tidak menyerah di pertengahan jalan yang telah  dilalui.

            Semangat Fitra. Teriaknya dalam hati.

            Di tempat inilah sebuah cerita itu di mulai, dia yang memliki wawasan yang luas yang tidak  dimiliki Fitra. Dia orang pertama yang Fitra temui dalam ujian itu. Karena jujur saja Fitra bukan orang yang mudah bergaul, dia lebih memilih diam dan mengawasi.

Sosok itu bisa dengan mudah menjawab semua pertanyaan yang diberikan penguji, tidak seperti dirinya, yang terpatah-patah karena ada rasa was-was yang menguasai asa. Fitra diam-diam sudah mulai simpati. Namun Fitra mencoba menepisnya, berpikir bahwa ini hanya sebuah rasa kagum karena ilmu yang dimilikinya.

Pertemuan  itu pun berlanjut karena mereka sama-sama diterima di kampus, dan lagi berada dalam satu kelas. Tapi Fitra hanya bisa diam.

            Dalam diam itu Fitra hanya bisa menatap jauh, ketika melihat cowok itu adaa dalam ruang yang sama. Ya, Fitra hanya bisa memerhatikan saja. Menatap dia yang asyik bersenda gurau dengan teman-teman lainnya. Melihat senyumnya  yang hanya sepintas pun membuat Fitra lega. Ya, Fitra tidak bisa melakukan apapun kecuali hanya bisa menatap jauh dan menyematkan doa untuk dia.

            Fitra hanya bisa mengagumi dalam diam, menikmati senyumnya dari jauh tanpa dia tahu. Dia bahkan tidak tahu bahwa mendengar suaranya saja cukup membuat Fitra senang. Hanya ini yang bisa Fitra lakukan. Dia tidak berani berharap lebih kecuali karena kuasaNya.

            Seperti ketika Fitra selalu berkesempatan satu kelompok dengan dia, itu membuatnya bisa lebih banyak waktu untuk saling diskusi. Tapi, Fitra tetap tak bisa apa-apa dan masih dengan diamnya.

            Ya, Fitra menikmati cara yang  dipilihnya, meski sakit dan kadang menyusahkan hati. Bagaimanapun juga, rasa itu tetap menghampiri. Dan Fitra hanya bisa menatap jauh dia yang tak pernah tahu rasa yang bersarang di hati.

            Fitra berjuang sendiri menata hati ini. merajut rasa ini agar tidak terkungkung dari rasa yang menggebu. Meski dia bilang mampu dan akan berusaha menyukai dalam diam, kadang dia juga tidak bisa mengelola rasa. Ada kalanya Fitra lelah dan ingin membuka tabir yang ada. Tapi, dia sadar diri, siapalah dirinnya? Fitra merasa tidak pantas bersamanya, mungkin inilah cara terbaik yang bisa dilakukannya dalam mengagumi.

            “Salahkah aku jika rasa ini menyapaku? Menjadikanku pengagum rahasiamu.” Fitra berucap lirih. Mencoba mencari jawaban dari keresahan yang mendera.

            Hanya cara inilah yang bisa dia lakukan. Takutnya  jika Fitra  jujur akan rasa ini, dia malah akan pergi.  Fitra memilih menyukai dengan caranya. Dengan diam dan membiarkan rasa itu berada di dalam hati yang tidak diketahui orang lain.

Fitra memilih mencintai dalam diam, karena dalam diam Fitra berdoa jika dia baik untukku semoga Allah menemukan satu titik itu dalam ikatan suci yang diridloi ,namun jika dia tidak baik untuknya, dia berharap bisa ikhlas dan mendoakannya untuk mendapatkan pengganti yang lebih baik. Karena Allah adalah sutradara terbaik di dunia, dan Fitra percaya akan pilihanNya.

            “Inilah caraku mencintaimu, ya, mencintaimu dalam diam.”

            “Diam bukan berarti tidak peduli, karena dengan diam aku menjaga hatiku dan hatimu agar tidak menduakan cinta Allah, mencoba menjaga hati untuk seseorang yang nantinya benar-benar halal, yang patut di cintai sebagai imam diri ini,” ucap  Fitra.

            “Diam adalah caraku mencintaimu agar aku tidak terlalu berharap padamu, karena sebuah harapan hanya aku gantungkan pada Sang Kuasa. Diam adalah caraku mencintaimu agar rasa ini tidak menjadi candu yang membawa pada kubangan nafsu yang menjatuhkan. Diam adalah caraku mencintaimu, agar aku dan kamu tidak terjerat akan godaan syaitan.”

            Fitra menengadah curhat akan rasa yang dimiliki pada Sang Penguasa. Menitipkan segala rasa yang menggelayutinya. Ya, biarlah Allah yang nantinya memutuskan segala rasa ini.

Fitra menutup diary-nya, menyimpan dalam tumpukan coretan yang dia buat,  tak tahu kapan orang itu akan rasa yang disimpan slalu.

“Untukmu yang selalau ada dihatiku,” lirih Fitra.


Srobyong, 1 Januari 2015.


Posting sebelum tidur, ^_^

Mencoba nulis cerita  Narasi yang dominan tapi gagal, hehhh

Saturday, 3 January 2015

[Cerpen] Kenangan Lara, Harapan Baru


Judul :Kenangan Lara, Harapan Baru

Oleh : Ratna Hana Matsura

Sakit itu yang aku rasa ketika tanpa sengaja berpapasan dengan dia yang dulu sempat mengisi relung jiwa. Dia yang dulu menjadi tambatan hati yang aku yakini akan menjadi imam yang begitu sempurna. Namun, semua tinggal kenangan pahit yang harus aku terima. Kini dia sudah memiliki pasangan hati yang sungguh mempersona. Bahkan mereka juga sudah memiliki buah hati yang memiliki paras yang sama.

Kusapa mereka dengan mencoba menutup luka, tabah dengan bersikap biasa.

Kaget mungkin juga dirasa olehnya—mas Farhan. Namun, dia pun mencoba menguasai diri. Selayaknya teman lama kami mengobrol sana-sini. Mbak Mutia pun juga menyambutku dengan ramah. Sejak dulu dia tidak berubah. Sosok yang selalu aku kagumi dan kata-katanya selalu menyejukkan hati. Sahabat sekaligus kakak yang aku miliki di pondok pesantren yang dulu aku mengaji di sana. Juga kakak senior di kampus. Dia meski seorang putri kiai tapi sangat berbudi.

“Kapan menyusul Diah?” tanya Mbak Mutia disela obrolan yang ngalor-ngidul mengenang persahabatan yang dulu kami bina.

Insya Allah secepatnya, doanya saja ya Mbak,” ucapku dengan tersenyum. Padahal jujur saat ini aku belum punya pandangan tentang pernikahan. Aku masih sendiri, mecoba menunggu kunci hati. Mencoba tetap tegar ketika tambatan hati tak kunjung datang meminang.

“Nanti jangan lupa kabari kami ya,” ucapnya lagi sekaligus mengakhiri pertemuan singkat yang tidak disengaja ini.

Insya Allah, Mbak,” ucapku melepas kepergian mereka.

“Semoga Allah memberi calon imam yang terbaik untukmu Diah, karena kamu pantas menerimanya,” Mas Farhan menimpali.
“Aamiin, terima kasih doanya, Mas,” ucapku tulus.

Aku mencoba tersenyum dan melepas kepergian mereka. Duh, Gusti kenapa rasa ini masih sangat mengganggu jiwa yang telah bersemayam lama di hati. Aku harus ikhlas mas Farhan memang bukan jodohku. Dia sudah milik orang lain, Mbak Mutia—sahabatku yang sangat aku sayang.

****

Satu tahun lalu sebuah luka terekam dalam benakku. Aku mendengar kabar itu—kabar pernikahan Mas Farhan dan Mbak Mutia. Betapa hatiku ini hancur berserakan tak lagi bersatu dengan raga. Aku kecewa. Bagaimana mungkin itu terjadi, padahal Mas Farhan bilang akan menunggu aku hingga kelulusan yang tinggal menghitung hari.
Aku dan mas Farhan dulu memang saling menyukai meski saling diam tanpa mengumbar rasa yang ada. Aku malu, pun dengan dia yang juga sangat menjaga pandangannya. Sampai suatu ketika dia datang yang mengungkapkan perilah keinginan untuk mengkhitbahku. Aku senang bukan kepalang. Namun, aku ajukan syarat untuk menunggu hingga gelar sarjana bisa dalam genggaman.

Mas Farhan menyetujui syaratku. Dan aku semakin menggebu menyelesaikan skripsi yang aku susun itu. Memimpikan keindahan hidup yang akan segera menghampiri.

Namun, bagai disambar petir ketika Mbak Mutia datang menyerahkan undangan pernikah yang ingin aku mendatanginya. Hatiku hancur. Aku tidak bisa menyalahkanMbak Mutia yang mungkin tidak tahu apa-apa tentang hal ini. Dia hanya mengikuti perintah abah dan juga ummi. Ya! Perjodohan sepihak yang mengorbankan aku sebagai pihak ketiga.

“Maaf Diah, semoga kamu mendapat calon imam yang lebih baik.” Hanya itu yang Mas Farhan ucapkan padaku kala itu.

Mau bagaimana lagi ketika suratan takdir tidak mempertemukan kami dalam ikatan suci. Aku tidak banyak bertanya alasan kenapa dengan sepihak mereka memutuskan khitbah. Karena pak kiai Cholil—abahnya Mas Farhan telah menjelaskan dengan gamblang perihal kawin gantung yang sempat dilakukan abanya Mas Farhan dan Mbak Mutia dulu. Itu demi melangsungkan kekerabatan mereka yang lahir dari para priyayi.

Inilah yang tidak aku milik, aku bukan siapa-siapa yang memiliki darah biru. Aku tidak secantik dan sepintar Mbak Mutia yang sedari dulu tumbuh dalam lingkungan santri memiliki banyak ilmu.

Mungkin aku adalah bagian kecil dari kesalahan yang ada, karena Mas Farhan pernah menaruh hati padaku. Dan juga kesombongan diri yang berani memberi syarat dalam khtibah yang ditawarkan padaku. Mau bagaimana lagi nasi telah menjadi bubur.

Setelah pernikahan mereka kucoba menata lagi hati ini. Menjalani hari-hari meski terasa kosong karena ternyata tambatan hati yang aku miliki telah terbang tinggi.

Aku gadis berusia 25 tahun yang saat ini masih melajang sendiri, sedang semua teman-temanku telah berpasangan memiliki buah hati. Aku merasa rendah diri. Apalagi dalam tradisi desaku usia seperti itu harunya telah berkeluarga.

Gunjingan tidak sedap tentangku pun menyerebak. Dikatakan pemilihlah, sok jual mahal tidak mau menerima pinangan dari anak pak lurah. Bagaimana aku mau menerima jika kau tahu, dia tidak memilki pegangan agama yang kuat. Aku ini makmum, jadi sebisa mungkin aku ingin memiliki imam yang bisa membimbing dan mengatur aku dari tindak maksiat yang ada.

Salahkah jika aku memiliki kriteria seperti itu? Sungguh aku hanya berharap yang terbaik.

“Kenapa Diah? Sejak dari kantor telihat melamun begitu?” Ibu menepuk pundakku. Membuyarkan aku dari lamunan panjang. Aku menggeleng mencoba menyembunyikan kerisauan yang aku punya.

“Ayo ceritakan saja, jangan dipendam sendiri,” bujuk Ibu.

Dengan tebata-bata akhirnya aku tumpahkan segala uneg-uneg yang menggunung di hati. Mengucapkan maaf yang terdalam pada ibu yang juga mendapat dampak dari punya putri yang tak kunjung laku.

“Diah, jangan berprasangaka buruk pada Allah, biarlah orang berkata apa, jangan dipedulikan,” ucap Ibu lembut.

“Tapi Bu, Diah kadang merasa risih dengan mereka.”

“Serahkan semua pada Allah. Jika saat ini belum datang jodohmu, maka berbaikilah diri dulu semoga jodoh akan segera menghampirimu,” Ibu menasehatiku.

“Allah memberi cobaan sesuai dengan kemampuan hambanya, jadi jangan mudah menyerah.”

Aku mengiyakan ucapan ibu. Mungkin aku belum kuat untuk diberi amanah menjalankan sunnah Nabi. Aku harus memperbaiki diri. Menunggu kuci hati yang mungkin sedang menuju jalan kemari. Biarlah kenangan lara ini akau jadikan cambuk untuk lebih tegar dalam mengarungi hidup ini. Menunggu pangeran kuda putih menjemput bidadari.

Jepara,261014.

NB : Pernah dipostkan di KMB