Wednesday 21 December 2016

[Resensi] Rasa Sakit, Masa Lalu dan Usaha untuk Memeluknya


Judul               : Tentang Kamu
Penulis             : Tere Liye
Penerbit           : Republika
Cetakan           : Kedua, Oktober 2016
Tebal               : vi + 524 hlm
ISBN               : 978-602-0822-34-1

Setiap orang sudah pasti memiliki masa lalu. Selalu ada jejak sejarah yang tertinggal dalam perjalanan waktu.  Hanya saja, bagaimana cara menyikapi masa lalu? Hal itu kembali pada pribadi masing-masing. Memilih tetap terjebak dalam kubangan rasa sakit akan masa lalu, atau memeluknya dan memulai membuka lembaran baru.

Novel ini mengisahkan tentang rasa sakit, sebuah masa lalu serta usaha dalam mencoba memeluk semua kesedihan itu.  Tokoh perpusat pada perjalanan hidup Sri Ningsih. Namun dipaparkan dengan tidak biasa oleh penulis, sehingga membuat jalinan kisah ini sangat menarik untuk diikuti.  Tere Liye, selalu memiliki kejutan dalam setiap karya yang diterbitkannya.  Menyajikan cerita unik yang kadang jarang disentuh oleh penulis lain.

Zaman Zulkarnaen adalah salah satu pengacara di  Thompson & co. London.  Dia tidak pernah menyangka akan mendapat kasus yang sangat unik. Bagaimana  tidak? Kliennya ini, konon memiliki kekayaan satu miliar poundsterling dalam bentuk saham. Dan jika dirupiahkan itu akan sama nilainya dengan 19 triliun rupiah.  Hal lain yang menarik adalah kliennya ini terakhir tinggal di sebuah panti jompo di Paris.

Di sinilah tantangan Zaman. Dia harus menyelesaikan kasus perihal pembagian harta warisan yang belum diketahui siapa calon pewarisnya. Mereka hanya menerima pesan  dari klien yang berusia  70 tahun itu, melalui pos. 

“Jika terjadi sesuatu dengan nama yang tertulis di sana, Thompson & co. diberikan mandat untuk menyelesaikan harta warisan wanita tua ini seadil-adilnya  sesuai hukum yang berlaku.” (hal 13).

Dan betapa kagetnya Zaman ketika membaca nama pemilik kekayaan itu ... yang ternyata memiliki nama “Sri Ningsih”—dia orang Indonesia. Sekarang Zaman tahu kenapa dia yang dipilih menyelesaikan kasus ini.

Pada bagian ini,  kisah mulai bergulir pada perjalanan Zaman yang mencoba menelusuri kehidupan Sri. Pertama dia memilih mengunjungi panti jompo yang merupakan tempat terakhir yang ditinggali Sri. Di sana dia mendapati kalau Sri sudah meninggal. Zaman pun melanjutkan perjalanannya. Kali ini dia mendatangi Pulau Bungin—tempat kelahiran Sri. Dia memilih tempat intu mencoba mengikuti jejak tulisan dari diary tipis milik Sri yang diberikan Aimée—pengurus panti.  Itulah satu-satunya petunjuk yang dimiliki Zaman.

Di sana, Zaman menemukan kisah yang diluar dugaan. Dia tidak menyangka masa kecil dilalui Sri dengan begitu keras. Pantas saja dalam diarinya Sri menulis perihal kesabaran.

Ketika kebencian, dendam kesumat sebesar apa pun akan luruh oleh rasa sabar. Gunung-gunung akan rata, lautan akan kering, tidak akan ada yang mampu mengalahkan rasa sabar. Selemah apa pun fisik seseorang, semiskin apa pun dia,  sekali di hatinya punya rasa sabar, dunia tidak bisa menyakitinya. Tidak bisa (hal 48).

Dari Pulau Bungin, Zaman melanjutkan perjalanannya ke Surakarta, mengunjungi Madrasah Kiai Maʹsum.  Di sanalah Sri tinggal setelah bola api melahap semua miliknya—termasuk ibu tirinya. Berkat bantuan Guru Bajang, Sri dan adiknya, Tilamuta bisa belajar di tempat Kiai Ma’sum.  

Sri kemudian bersahabat dengan Nur΄aini, putri bungsu Kiai Maʹsum.  Selain Nur΄aini, ada juga Sulastri, salah satu guru di madrasah yang sejak kecil juga dirawat Kiai Maʹsum.  Persahabatan mereka bisa dibilang sangat kental. Ke mana-mana mereka selalu bersama.  Tapi sebuah kejadian merubah persahabatan itu menjadi kebencian dan kedengkian yang berbahaya.  Bahkan karena kebencian itu, keluarga Kiai Maʹsum berada dalam bahaya.  Bahkan Tilamuta pun ditemukan tewas karena insiden itu. Dan Sri mengalami trauma dan kenangan yang sangat sulit untuk dilupakan.

Keserakahan bisa mengubah orang lain menjadi lebih dari hewan buas (hal 142).

Rasa dengki telah menjadi kebencian luar biasa, yang bahkan bisa membuat pelakunya tega membabi-buta (hal 191).

Lepas dari Surakarta, Zaman menyusuri jejak perjalanan Sri yang memilih Jakarta sebagai tempat hidup selanjutnya. Di sana Sri menunjukkan semangat juang dalam usaha bertahan hidup. Meski berkali-kali jatuh dan gagal dalam usahanya, Sri tidak pernah putus asa dan terus bangkit.

Saat kita sudah melakukan yang terbaik dan gagal  apa lagi yang harus kita lakukan? Berapa kali kita harus mencoba hingga tahu bahwa kita telah tiba pada batas akhirnya? 2x, 5x, 10x, atau berpuluh-puluh kali hingga tak dapat menghitungnya lagi? Berapa kali kita harus menerima kenyataan, untuk tahu bahwa kita memang tidak berbakat, sesuatu itu bukan jalan hidup kita, lantas melangkah mundur? Dan pertanyaan terpenting sejatinya, bukan berapa kali kita gagal, melainkan berapa kali kita bangkit lagi, lagi dan lagi setelah gagal tersebut. Jika kita gagal 1000x, maka pastikan kita bangkit 1001x (hal 210).

Selain itu dipaparkan juga kepiawaian Sri dalam mengelola suatu usaha hingga menjadi seorang yang sukses. Sayangnya ketika dia tengah menuai sukses, tiba-tiba Sri memutuskan menghilang dan menjual semua asetnya.  Sri memulai kehidupan di London.  Yang ternyata pada tahap itu Sri menemukan kisah cinta yang sungguh luar biasa dan memikat.

“Cinta memang tidak perlu ditemukan,  cinta-lah yang akan menemukan kita.” (hal 408).

Hanya saja lagi-lagi Sri menghilang begitu saja dan berakhir di panti jompo di Paris. Entah apa yang membuat Sri melakukan itu.

Di samping permasalahan hidup Sri, Zaman juga harus menghadapi keadaan tidak terduga ketika tiba-tiba ada seseorang yang mengaku sebagai ahli waris Sri—Ningrum yang mengaku putrinya, Murni telah menikah dengan Tilamuta.  Zaman tentu saja tidak bisa menerima begitu saja, apalagi setelah melakukan penyelidikan kalau Tilamuta telah meninggal. Lantas ada unsur apa di balik pengakuan itu? Dan bagaimana Zaman mengatasi permasalahan itu?

~*~

Tere Liye  dikenal sebagai penulis yang  produktif  dalam menghasilkan karya.  Bisa dibilang, setiap tahun  penulis ini selalu mengeluarkan karya baru. Dan  hampir semua bukunya selalu masuk jajaran buku best seller.  Pantaslah jika kemudian,  Tere Liye mendapat penghargaan sebagai Writer of The Year 2016 pada  acara Indonesia International Book Fair (IIBF) oleh IKAPI—Ikatan Penerbit Indonesia.

Selain dianggap sebagai penulis yang produktif, Tere Liye bisa dibilang sebagai penulis yang multitalenta. Bagaimana tidak? Hampir semua genre pernah dia tulis.  Sebut saja genre science fiction, fantasi, romance, buku anak, action dan banyak lagi.  Selain itu dalam setiap kisahnya pasti ada sesuatu yang tidak biasa atau jarang dijamah penulis lain. Seperti pada novel ini yang membumbui kisah Sri dengan masalah saham, dan kerja seorang pengacara handal. Serta  mengikutkan isu perihal krisis K2Y.

Saya sendiri tidak memahami sama sekali perihal krisis  Y2K atau millineum bug, sampai membaca novel ini. Di mana maksud K2Y adalah Eror yang terjadi  karena sistem penanda tahun komputer di seluruh dunia sudah terlanjur di-setting dengan dua digit, maka tahun 00 (merujuk tahun 2000), akan  dianggap sama dengan 1900 oleh komputer. Dunia harus melakukan migrasi sistem besar-besaran, atau jika tidak, sistem  keuangan,  penerbangan, penggajian, persenjataan dan data-data penting akan menjadi kacau balau karena komputer keliru mengenali tanggal. Komputer akan  salah menghitung saldo tabungan, gaji terlambat,  atau lebih serius lagi, sistem nuklir dan rudal mengalami gagal fungsi (hal 33-34).

Atau masalah  transaksi SPV (hal 276)  demi melindungi perusahaan dan kekayaan yang dimiliki. Yang kemudian diketahui berkat cara ini-lah,Sri memiliki kekayaan sebanyak satu miliar poundsterling. Sri menjual pabrik dengan cara menukar kepemilikan saham. Di mana Sri menjual 100% kepemilikan pabrik, tapi sebagai imbalannya, perusahaan raksasa dunia itu memberikan 1% kepemilikan global absolut di perusahaan induknya (hal 275). Saya yakin riset dalam membuat novel ini tidak kalah sulit dengan novel Tere Liye lainnya.  

Selain masalah itu, dalam kehidupan Sri juga sarat berhubungan dengan sejarah di Indonesia.  Di antaranya adalah tentang permasalahan pemberontakan besar akhir September 1965 yang dilakukan PKI (Partai Komunis Indonesia) (hal 181), kejadian yang membuat Sri memiliki trauma berkepanjangan. Lalu ada juga kejadian Malari, Malapetaka 15 Januari—peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial  yang terjadi pada 15 Januari 1974 (hal 251). Pada kejadian ini adalah tumbangnya usaha Sri yang sudah dirintis mulai dari nol. Tapi dari kejadian itu, sedikit banyak membuat Sri memahami arti bangkit kembali.

Kelebihan lain dalam novel ini adalah  gaya bahasa yang renyah dan  memikat. Tere Liye memiliki ciri khusus, bagaimana membuat pembaca penasaran.  Penokohan digarap dengan baik dan kuat. Sehingga ketika membaca novel ini, pembaca seolah bisa merasakan apa yang dirasakan tokoh tersebut.  

Semisal tentang tokoh Zaman yang harus menelusuri jejak kehidupan Sri dari satu masa ke masa lain hanya berbekal diary tua dan surat-surat yang pernah Sri tulis pada Nur΄aini.  Bagaimana perasaan Zaman yang harus menghadapi kejadian demi kejadian yang tidak terduga. Saya pikir ketika membaca ini saya bisa merasakan kekagetan Zaman juga kekaguman pada sosok Sri Ningsih yang begitu tegar dalam setiap langkah menjalani kehidupan yang penuh liku. 

Begitu pula dengan tokoh Sri. Meski sejak awal dia ditakdirkan telah meninggal, membaca kembali kisah masa lalunya, lewat perjalanan yang dilakukan Zaman, membuat saya merasa Sri itu tokoh hidup.  Tokoh ini memiliki efek yang bisa membuat pembaca terharu biru dengan segala kisah hidup yang dijalaninya. 

Jadi ketika membaca novel ini saya kadang-kadang seolah bertransformasi antara merasakan perasaan Zaman juga Sri. Tapi selain dua tokoh sentral ini, masih banyak tokoh pembantu yang kesemuanya memiliki arti penting dalam perjalanan Sri. Dan semua ditampilkan dengan porsi yang pas.

Saya juga suka dengan pemilihan sudut pandangan  yang diambil penulis. Menggunakan sudut pandang orang ketiga, menjadi kekuatan bebas dalam mengeksplore cerita. Begitu pula dengan pilihan alur maju mundur yang terasa sangat rapi, pada setiap pergantian suasana di masa lalu dan masa sekarang. Dengan alur maju mundur, penulis berhasil membuat pembaca merasa penasaran pada setiap membuka lembar cerita.

Tidak kalah penting adalah bagaimana mengolah setting yang tidak terasa tempelan. Kekuatan, setting juga bisa menambah nilai tersendiri ketika membaca sebuah novel. Dan saya rasa Tere Liye berhasil mengatasi masalah ini dengan baik.  Saya menikmati  penjabaran tempat lokasi, khususnya pada setiap langkah petualangan Zaman dalam menelusuri jejak Sri hinggga kembali ke London dan Paris.

Novel ini bisa dibilang cukup bersih dari yang namanya kesalahan penulisan. Hanya saja pada satu bagian saya menemukan ketidaksinkronan penulis dalam menyembutkan usia Sri.  Di sini Sri ditulis masih berusia 14 tahun setelah lima tahun kepergian Nugroho—ayahnya.

Gadis berusia berusia empat belas tahun itu, pada detik terakhir, memutuskan menutupi kesalahan adiknya (hal 117).

“Kamu bukan anak kecil berusia sembilan tahun, kamu sudah empat belas tahun.” (hal 119).

Namun pada halaman lain usia Sri ditulis 15 tahun.  Ode menjenguk Sri, sambil membawa makanan. Gadis usia lima belas tahun itu tampak mengenaskan. (hal 124).

Padahal peristiwa yang terjadi masih dalam kurun waktu yang sama.  Usia Sri masih 14 tahun saat dimarahi ibunya karena air kosong, lalu dia ingin meminjam perahu pada Ode untuk mengambil air hingga keesokan harinya, Sri sakit karena terlalu memaksakan diri. Di sini tidak mungkin dalam waktu sehari dia bisa langsung berusia 15 tahun.  Jadi terasa janggal.

Selain itu yang menjadi pertanyaan saya selama membaca novel ini adalah perihal penampilan Sri. Apakah dia memakai jilbab? Di sini tidak ada deskripsi secara khusus. Namun pada satu bagian saya menyadari Sri tidak memakai jilbab dengan perihal fotonya yang memakai kemeja  lengan pendek (hal 210). Hanya saja ini malah menjadi pertanyaan besar bagi saya. Setelah dari Pulau Bungin lalu menghabiskan hidupnya di sebuah madrasah—yang saya pikir memiliki metode pesantren—kenapa Sri tidak memakai jilbab? Padahal dia juga sempat menjadi guru di madrasah.  Kecuali ada alasan khusus hingga Sri memilih jalan itu. Sayangnya di sini tidak disinggung sama sekali.

Perihal cover, entah kenapa saya tidak terlalu klik dengan gambar sepasang sepatu cokelat. Jujur saya lebih suka tampilan cover Pulang daripada yang ini. Cover itu lebih memikat dan elegan.

Tapi lepas dari semua itu, keseluruhan dari novel ini sangat luar biasa.  Memikat, menginspirasi dan memotivasi. Apalagi kisah ini ditutup dengan ending yang cukup memukau. Ada beberapa bagian sebelum  ending yang memang bisa ditebak sejak awal, namun ada bagian lain yang memang sangat tersimpan rapi hingga akhir.  Saya suka bagaimana penulis menggiring pembaca sampai tahap akhir. Karena banyak puzzle-puzzle yang diolah sedemikian rupa sehingga memberi efek yang membuat penasaran.

Membaca kisah ini seperti diajak melakukan traveling dengan tujuan-tujuan yang tidak terduga. Meskipun bukan tempat berlibur yang wah, namun kisah hidup yang tertinggal di sana sangat menginspirasi. Kita diajari untuk menjadi seseorang yang tidak mudah menyerah dalam segala keadaan. Terus maju dan memeluk kenangan dengan cara cerdas dan elegan.  Selain itu kita juga diingatkan untuk selalu menjaga hati, jangan sampai kebencian bisa menjadi bumerang dalam diri sendiri.  Tidak ketinggalan adalah  pembelajaran tentang keikhlasan juga kesabaran.

Jadilah  seperti lilin, yang tidak pernah menyesal saat nyala api membakarmu. Jadilah seperti air yang mengalir dengan sabar. Jangan pernah takut memulai hal baru (hal 278).

~*~

Ini adalah ketiga kalinya mencoba ikut lomba resensi yang diadakan Penerbit Republika. Dan akhirnya setelah dua kali itu belum beruntung, alhamdulillah meski kali ini belum sebagai pemenang pertama, saya sungguh bersyukur menjadi salah satu resensi yang terpilih. 




Srobyong, 21 Desember 2016 

34 comments:

  1. Klo inget nama "Sri" aku kok lebih mengarah ke Ibu Sri Mulyani ya mbak. hheee
    Smoga bisa milikin buku ini.. huhuuu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hhhe ada-ada aja Rohma. Xiixi :) Btw makasih sudah mampir dan meninggalkan jejak.

      Aamiin, nitip doa semoga kamu bisa segera memiliki buku ini. :)

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Resensi yang bagus. Komplit. (Y) udah baca bukunya dan memang kereeen banget. Semoga menang, mbak ratna. ^-^

    ReplyDelete
  4. Replies
    1. Terima kasih, Mbak, masih belajar meresensi. :) Terima kasih sudah meninggalkan jejak. :)

      Delete
  5. baca resensi ini, aku jadi beli bukunya... siip... tengkyu reviewnya ya, Mba Ratna

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama Mbak Anggarani. Terima kasih juga sudah mampir. Ayuk Mbak langsung cap cus beli, hehh. (Promosi) :)

      Delete
  6. Ini semacam gado-gado, resensinya komplit...
    Jadi pingin 'travelling' juga sama kisah di novel ini. Semoga menang Kak Ratna...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, gado-gado, malah jadi pengen hehh.
      Sama kalau baca novel yang harus jalan-jalan itu jadi pengen ikutan. Hhheh. Aamiin, makasih Annisa. Dan makasih sudah berkenan mampir ^_^

      Delete
  7. Replies
    1. Makasih Isti. :) Punya kamu juga keren. Ada bab-babnya, aku nggak kepikiran macam gitu, hehh :)

      Delete
    2. Yang tanpa kabar tanpa bab. Jadi bingung mau digimanain.

      Delete
    3. Yang tanpa kabar tanpa bab. Jadi bingung mau digimanain.

      Delete
    4. Coba, ditunggu saja Isti, mungkin berjodoh. Belum kamu tarik, kan?

      Delete
  8. Waww review yg komplit dan mendalam.sy jd pengen baca krya tere liye. Asli bikin penasaran.

    Btw goodluck ya mbak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih Mbak, sudah berkenan mampir di gubuku sederhana ini :)

      Ayo Mbak, aku doain segera bisa jemput buku ini. Iya setiap membaca buku Tere Liye, selalu mendapat pengetahuan baru dan pencerahan.

      Aamiin, sukses buat sampeyan juga Mbak ^_^

      Delete
  9. Resensi yang lumayan panjang dan menyisakan rasa penasaran. Nama Sri sepertinya sangat istimewa dalam 'Tentang Kamu'yang biasanya menjadi nama biasa dalam kehidupan nyata. Pingin deh baca.

    ReplyDelete
  10. Iya Mbak dia tokoh senter di sini. Kisah hidupnya sangat menginspirasi ^_^. Ayok-ayok dibaca.

    ReplyDelete
  11. Wow keren, ada unsur sejarah dan iptek ya. Awalnya aku kira ini novel romance gara-gara cover sepatu itu. Kayak lagu sepasang sepatu tapi tak bersama *lupa lirik aslinya* 😂 ternyata malah masalah yg lebih rumit lagi ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama kali pertana blubrnya aku pikir juga gitu Fitra. Eh salah ternyata oh ternyata.

      Makasih yang sudah mampir ^_^

      Delete
  12. Replies
    1. Iya, Mbak. Baca novel sambil nyerap ilmu dan inspirsi diajak traveling juga :) Terima kasih sudah mampir Mbak ^_^

      Delete
  13. Resensinya lengkap, jadi penasaran sama bukunya. *nabung*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih Ko, sudah mampir. Yuk, langsung nabung dan beli hehh :)

      Delete
  14. Bacanya ga berasa ya, Mbak. Awal2 saya mengantuk tapi pas dapat ceritanya langsung penasaran gimana perjalanan cerita Sri. Seru banget. Mbak Ratna teliti sekali :-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mbak. Nggak terasa tahu-tahu sudah tamat :) Seru dan bikin saya penasaran apakah tebakan saya benar atau tidak hehh.

      Punya Mbak Hairi juga teliti sekali. ^_^ Terima kasih sudah mampir.

      Delete
  15. Bacanya ga berasa ya, Mbak. Awal2 saya mengantuk tapi pas dapat ceritanya langsung penasaran gimana perjalanan cerita Sri. Seru banget. Mbak Ratna teliti sekali :-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mbak, nggak kerasa sudah kelar saja :) Asli bikin penasaran

      Delete