Tuesday, 10 October 2017

[Resensi] Kisah-kisah Romantis dan Perjuangan Jendral Soedirman

Dimuat di Jateng Pos, Minggu 8 Oktober 2017 


Judul               : Soedirman & Alfiah
Penulis             : E. Rokajat Asura
Penerbit           : Imania
Cetakan           : Pertama, Mei 2017
Tebal               : xxiv + 440 halaman
ISBN               : 978-602-7926-35-6
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumna Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

Selama ini kita mengenal  Jendral Soedirman sebagai sosok yang pendiam, keras dan teguh dalam pendirian. Dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, Soedirman tidak pernah ragu dan terus melangkah dengan penuh keberanian. Dia-lah yang mengenalkan siasat perang gerilya yang sukses membuat pasukan Belanda ketakutan.

Namun siapa sangka, di balik sifat keras yang dimiliki, Soedirman memiliki sisi lembut. Dia akan menjadi sosok romantis jika sudah berhadapan dengan Siti Alfiah, istrinya. Dia juga sosok ayah yang selalu mengayomi anak-anak dan seorang panglima yang selalu peduli pada pasukannya. Buku ini dengan gaya bahasa yang renyah dan memikat, mengajak kita mengenal perjuangan Jendral Soedirman melalui catatan kisah percintaan yang manis dan keseharian Seodirman dalam memanusiakan manusia.

Kisah cinta Jendral Soedirman dimulai ketika mereka sama-sama bersekolah di MULO Wiworotomo. Saat itu Soedirman menjadi sekretaris himpunan siswa dan Alfiah sebagai bendahara. Hanya saja hubungan mereka sempat tidak direstui keluarga besar Alfiah.  Namun berkat kegigihan Soedirman, akhirnya dia bisa meluluhkan Sastroatmojo, ayah Alfiah, sehinga hubungan mereka direstui dan diizinkan menikah.

Sebagai seorang suami, Jendral Soedirman  selalu memerhatikan keperluan Alfiah.  Pernah suatu hari, setalah pulang dari rutinitas kerja—sebelum isu perang akan terjadi, dia pulang dengan membawa banyak bedak dan baju untuk Alfiah.  Ketika istrinya bertanya untuk apa semua barang itu, dengan manis Jendral Soedirman menjawab, “Baju dan bedak, Bu. Soalnya kalau ada serangan udara, semua toko bakal tutup.  Biar bagaimanapun, ibu harus tetap terlihat cantik.” (hal 51).

Atau pada suatu waktu, di sela kesibukan Soedirman saat berkunjung ke Gumilir, dia masih sempat membelikan baju untuk Alfiah. Dan setiap ada sesuatu—baik tentang masalah mengajar atau tugas kententaraan,  Soedirman tidak segan-segan bercerita kepada Alfiah.  Mereka adalah pasangan yang hangat dan selalu terbuka.

Kepada tujuh anaknya, Soedirman selalu mendidik mereka dengan penuh kasih sayang. Dia menekankan nilai-nila moral agama sebagai dasar nilai-nilai kehidupan. Dia juga selalu mengajarkan kepada anak-anaknya untuk selalu bersikap jujur dan hidup dalam kesederhanaan. Soedirman pernah berpesan pada anak-anaknya, “aja reang, aja gegoh, sing guyub, sing rukun—jangan bertengkar, jangan saling benci, yang rekat, yang jujur.” Dan kepada para anak buahnya, Soedirman selalu memperlakukan mereka seperti layaknya keluarga.

Dan untuk tanah airnya, Soedirman selalu berada di baris paling depan untuk berjuang. Dia tidak pernah gentar dalam memerangi para penjajah.  Dalam konfersensi TKR—Tentara Keamanan Rakyat—Soedirman pernah menjelaskan tentang sikap yang harus dimiliki tentara. Di mana dipaparkan tentara mempunyai kewajiban untuk mempertahankan kedaulatan negara (hal 177).

Oleh karena itu ketika Belanda berkali-kali melanggar janji—misalnya dalam perjanjian Renville dan Linggarjati—hal itu benar-benar membuat Soedirman geram. “Perundingan itu tak lebih cara Belanda untuk mengulur-ulur waktu dan mencuri kesempatan menyerang.” Itulah yang pendapat Soedirman (hal 228).

Dan ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta, Soedirman beserta kelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, melakukan perlawanan  gerilya selama tujuh bulan. Padahal kala itu Soedirman baru saja sembuh dari penyakitnya. Namun rasa sakit itu sama sekali tidak membuatnya gentar. Dia tetap gigih dalam usaha mempertahankan kedaulatan Indonesia, yang saat itu memang sudah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Soedirman berkata, “Tubuhku memang semakin lemah, tapi aku tak menyerah.” (hal 337).

Sampai akhir hanyatnya, Soedirman terus mendikasikan dirinya untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia.  Sebuah novel biografi yang patut mendapat apresiasi dari semua kalangan. Di sini kita diajak membaca sejarah lewat kisah manis yang tidak monoton  dan kaku. Belum lagi dari buku ini kita juga mengenal sisi lain Jendral Soedirman.   Selain selalu mencintai tanah airnya, dia juga sangat mengayomi keluarga dan selalu memanusiakan manusia—selalu menghormati tanpa membedakan pangkat atau derajat.


Srobyong, 28 Agustus 2017 

2 comments: