Dimuat di Jateng Pos, Minggu 8 Oktober 2017
Judul : Soedirman & Alfiah
Penulis : E. Rokajat Asura
Penerbit : Imania
Cetakan : Pertama, Mei 2017
Tebal : xxiv + 440 halaman
ISBN :
978-602-7926-35-6
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumna Universitas Islam Nahdlatul Ulama,
Jepara.
Selama ini kita mengenal Jendral Soedirman sebagai sosok yang pendiam,
keras dan teguh dalam pendirian. Dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia,
Soedirman tidak pernah ragu dan terus melangkah dengan penuh keberanian.
Dia-lah yang mengenalkan siasat perang gerilya yang sukses membuat pasukan
Belanda ketakutan.
Namun siapa sangka, di balik sifat
keras yang dimiliki, Soedirman memiliki sisi lembut. Dia akan menjadi sosok romantis
jika sudah berhadapan dengan Siti Alfiah, istrinya. Dia juga sosok ayah yang
selalu mengayomi anak-anak dan seorang panglima yang selalu peduli pada
pasukannya. Buku ini dengan gaya bahasa yang renyah dan memikat, mengajak kita
mengenal perjuangan Jendral Soedirman melalui catatan kisah percintaan yang
manis dan keseharian Seodirman dalam memanusiakan manusia.
Kisah cinta Jendral Soedirman
dimulai ketika mereka sama-sama bersekolah di MULO Wiworotomo. Saat itu
Soedirman menjadi sekretaris himpunan siswa dan Alfiah sebagai bendahara. Hanya
saja hubungan mereka sempat tidak direstui keluarga besar Alfiah. Namun berkat kegigihan Soedirman, akhirnya
dia bisa meluluhkan Sastroatmojo, ayah Alfiah, sehinga hubungan mereka direstui
dan diizinkan menikah.
Sebagai seorang suami, Jendral
Soedirman selalu memerhatikan keperluan
Alfiah. Pernah suatu hari, setalah
pulang dari rutinitas kerja—sebelum isu perang akan terjadi, dia pulang dengan
membawa banyak bedak dan baju untuk Alfiah.
Ketika istrinya bertanya untuk apa semua barang itu, dengan manis
Jendral Soedirman menjawab, “Baju dan bedak, Bu. Soalnya kalau ada serangan
udara, semua toko bakal tutup. Biar
bagaimanapun, ibu harus tetap terlihat cantik.” (hal 51).
Atau pada suatu waktu, di sela
kesibukan Soedirman saat berkunjung ke Gumilir, dia masih sempat membelikan
baju untuk Alfiah. Dan setiap ada sesuatu—baik tentang masalah mengajar atau
tugas kententaraan, Soedirman tidak
segan-segan bercerita kepada Alfiah.
Mereka adalah pasangan yang hangat dan selalu terbuka.
Kepada tujuh anaknya, Soedirman selalu
mendidik mereka dengan penuh kasih sayang. Dia menekankan nilai-nila moral
agama sebagai dasar nilai-nilai kehidupan. Dia juga selalu mengajarkan kepada
anak-anaknya untuk selalu bersikap jujur dan hidup dalam kesederhanaan. Soedirman
pernah berpesan pada anak-anaknya, “aja reang, aja gegoh, sing guyub, sing
rukun—jangan bertengkar, jangan saling benci, yang rekat, yang jujur.” Dan
kepada para anak buahnya, Soedirman selalu memperlakukan mereka seperti
layaknya keluarga.
Dan untuk tanah airnya, Soedirman
selalu berada di baris paling depan untuk berjuang. Dia tidak pernah gentar
dalam memerangi para penjajah. Dalam
konfersensi TKR—Tentara Keamanan Rakyat—Soedirman pernah menjelaskan tentang
sikap yang harus dimiliki tentara. Di mana dipaparkan tentara mempunyai
kewajiban untuk mempertahankan kedaulatan negara (hal 177).
Oleh karena itu ketika Belanda berkali-kali
melanggar janji—misalnya dalam perjanjian Renville dan Linggarjati—hal itu
benar-benar membuat Soedirman geram. “Perundingan itu tak lebih cara Belanda
untuk mengulur-ulur waktu dan mencuri kesempatan menyerang.” Itulah yang pendapat
Soedirman (hal 228).
Dan ketika Belanda melancarkan
Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta, Soedirman beserta kelompok kecil
tentara dan dokter pribadinya, melakukan perlawanan gerilya selama tujuh bulan. Padahal kala itu
Soedirman baru saja sembuh dari penyakitnya. Namun rasa sakit itu sama sekali
tidak membuatnya gentar. Dia tetap gigih dalam usaha mempertahankan kedaulatan
Indonesia, yang saat itu memang sudah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Soedirman
berkata, “Tubuhku memang semakin lemah, tapi aku tak menyerah.” (hal 337).
Sampai akhir hanyatnya, Soedirman
terus mendikasikan dirinya untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia. Sebuah novel biografi yang patut mendapat
apresiasi dari semua kalangan. Di sini kita diajak membaca sejarah lewat kisah
manis yang tidak monoton dan kaku. Belum
lagi dari buku ini kita juga mengenal sisi lain Jendral Soedirman. Selain
selalu mencintai tanah airnya, dia juga sangat mengayomi keluarga dan selalu
memanusiakan manusia—selalu menghormati tanpa membedakan pangkat atau derajat.
Srobyong, 28 Agustus 2017
Thanks Mbak Ratna.:)
ReplyDeleteSama-sama Mbak
Delete