Thursday 29 March 2018

[Resensi] Meneladani Adab Pergaulan Rasulullah dalam Bermasyarakat

Dimuat di Analisa Medan, Jumat, 23 Maret 2018 



Judul                : Gaul Cara Nabi
Penulis              : Muhamad bin Abdurrahman
Penerjemah      : Fedrian Hasmand
Penerbit            :Noura Books
Cetakan           : Pertama, Februari 2017
Tebal                : 196 halaman
ISBN               : 978-602-385-244-4
Peresensi          : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara.

Nabi Muhammad saw. adalah suri tauladan bagi seluruh umat. Beliau adalah sosok yang tidak akan pernah habis dijadikan tokoh panutan dalam berbagai aspek kehidupan—baik dari segi ibadah, juga akhlakul kharimah. Dalam buku ini pun dipaparkan dengan menarik tentang bagaimana cara Nabi bergaul sebagai landasan dalam membangun masyarakat. Karena disadari atau tidak sebagai makhluk sosial kita memang tidak bisa hidup sendiri. Kita selalu membutuhkan bantuan manusia lainnya.

Apalagi hidup bermasyarakat memang sudah menjadi fitrah manusia. Namun itu tidak menjamin dalam hubungan bermasyarakat bisa langsung terbangun dengan baik. Oleh karena itu  setiap individu perlu mengetahui bagaimana adab atau cara bergaul yang baik dan benar.  Buku ini dengan memakai metode info grafis memaparkan dengan menarik dan memikat tentang bagaimana Nabi Muhammad bergaul yang mana sangat patut diteladani.

Dalam bermasyarakat beliau memiliki cara jitu dalam menciptakan harmoni masyarakat. Salah satu kaidah yang diajarkan adalah, “Perlakukanlah orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan.”—kaidah ini sering disebut sebagai “Golden Rule” yang mendorong orang untuk berhati-hati dalam bertindak ketika menyangkut urusan orang  lain.  Di sini berarti dalam menjalin hubungan dengan masyarakat, Nabi Muhammad selalu menerapkan aspek psikologi.

Hal pertama yang paling ditekankana beliau adalah tentang mengucapkan salam.  Karena ucapan salam menunjukkan sikap welas asih, saling peduli kepada sesama. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dipaparkan, “Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman hingga kalian saling menyayangi. Maukah kalian aku tunjukkan atas sesuatu yang mana apabila kalian mengerjakannya niscaya kalian akan saling menyayangi. Sebarkan salam di antara kalian.” (hal 2).

Meski memulai salam bukan hal yang diwajibkan, namun perlu kita ketahui memulai salam akan membuat kita terbebas dari rasa sombong dan mengulang salam berarti mengulang kebaikan dan menambah kebaikan serta keberkahan. Oleh karena itu dalam mengucapkan salam, Nabi Muhammad juga mengajarkan tentang tata cara yang baik sesuai dengan situasi dan waktu yang tepat.

Selanjutnya beliau juga mengajarkan tentang tata cara berkomunikasi yang baik antara sesama. Di sini beliau mengingatkan agar selalu menjaga lisan supaya tidak berkata buruk dan tercela. Kalau pun ingin bergurau, hal itu bisa dilakukan. Namun tentu saja tetap melihat batas koridor yang perlu diperhatikan. Di sini kita diajak mengenl bagaimana sosok berwibawa Nabi Muhammad yang ternyata juga senang bergurau.

Dipaparkan dalam bergurau kita tidak boleh berbohong, berolok-olok, mengunjing dan mencemooh (hal 41).  Kita harus memerhatikan dengan siapa bercanda, waktu juga tempat kejadian. Karena guarauan yang berlebihan dan keseringan dapat menghilangkan wibawa dan menimbulkan perselisihan.

Tidak kalah penting dalam bergaul dengan masyarakat, seyogyanya kita harus menjadi pribadi yang selalu menepati janji.  Karena menepati janji merupakann satu prinsip manusia yang sangat penting (hal 50).  Mengingat menepati jani berhubungan erat dengan keimanan kepada Allah.  Di samping itu tidak menepati janji bisa menjerumuskan orang ke dalam kemunafikan.  Dan perlu kita catat juga, nilai seorang muslim sesuai dengan ketetapan kata-kata dan janjinya. Selamanya dia tidak melanggar janji, karena tahu bahwa hal itu bukan hanya antara dirinya dan orang lain, melainkan juga antara dirinya dan Allah swt (hal 55).

Kemudian yang harus diperhatikan juga dalam menjalin hubungan dengan masyarakat, kita harus menjadi pribadi yang selalu menutup aib—baik aib sendiri atau aib orang lain. Seperti bagaimana Nabi menyikapi diri ketika disanjung juga ketika dikecam.  Sifat menutup aib orang lain adalah salah satu akhlak mulia, nilai luhur dan sifat baik (hal 74). Rasulullah pernah bersabda, “Siapa saja yang menutupi aib seorang Muslim di dunia, niscaya Allah menutupi aibnya pada hari kiamat.”

Selain apa yang sudah dipaparkan masih banyak lagi sikap yang harus kita miliki dan praktikkan dalam membangun hubungan masyarakat yang baik. Bahwa seyognya kita mengikuti cara bergaul Rasulullah.  Buku ini dipaparkan dengan ringkas dan jelas. Sebuah buku yang patut dibaca oleh semua orang agar menjadi pribadi yang baik dalam menjalin hubungan kemasyarakatan.

Srobyong, 28 Mei 2017

Wednesday 28 March 2018

[Resensi] Kesehatan Gigi dan Rongga Mulut Dijaga Sedini Mungkin

Dimuat di  Koran Jakarta Rabu 21 Maret 2018



Judul               : Tubuh Sehat, Giginya?
Penulis             : drg. Pramono Rendro Pangarso, M. Kes
Penerbit           : Qanita
Cetakan           : Pertama, Okotober 2017
Tebal               : xii + 148 halaman
ISBN               : 978-602-402-088-0
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Fakta yang terjadi di masyarakat saat ini, berbagai masalah kesehatan gigi belum terlalu banyak diketahui. Kenyataan yang ada masyarakat hanya tahu dari pemaparan  orang lain—dari “katanya”—yang artinya  lebih banyak mitos daripada fakta yang dipercayai masyarakat. Prihatin dengan keadaan tersebut, drg. Pramono Rendra Pangarso, M.Kes, mencoba menjelaskan uraian yang benar tentang cara menjaga kesehatan gigi dan mematahkan mitos yang ada di masyarakat.

Di sini penulis mencoba menekankan bahwa kesehatan gigi dan mulut sangatlah penting, baik untuk fungsional (mengunyah, bicara) maupun estetika (senyum dan lain-lain). Sehingga kesadaran untuk memeriksa kesehatan gigi dan mulut idealnya dilakukan sedini mungkin.

Masalah yang kadang kita alami adalah fluorosis atau kelebihan  fluoride. Di mana gigi kita memiliki bercak putihnya. Fluoride sendiri adalah mineral yang memperkuat email gigi dan melindungi terhadap karies (lubang gigi). Memang fluoride ini panting untuk gigi, tapi jika berlebihan bisa menjadi bahaya. Oleh karena itu kita harus menghindari atau mengurangi makanan dan minuman yang mengandung fluoride di antaranya ikan, anggur, teh dan minuman ringan lainnya (hal 3).

Penting untuk kita perhatikan juga adalah cara menyikat gigi.  Agar gigi selalu sehat, kita harus menyikat dengan cara yang benar. Yaitu dengan teknik BASF yaitu dari merah ke putih (artinya dari arah gusi ke gigi). Di sikat dengan gerakan memutar  dan merata ke seluruh permukaan gigi. Jangan menyikat gigi terlalu keras dan horisontal—mitos yang beredar—karena hasilnya bukan gigi yang sehat, tapi kita bisa mengalami abrasi gigi, yaitu hilangnya email gigi atau lapisan luar yang melindungi gigi (hal 64).

Perlu kita ketahui, gigi manusia sangatlah sensifit. Ketika selembar serat daging menempel di gigi, pasti akan terasa sangat menganggu, padahal ketebalannya mungkin hanya 0,1 milimeter saja. Karena itu, rasa sakit biasa pun akan menjadi hal yang sangat serius jika terjadi di daerah mulut. Singkatnya, ganggungan sedikit pada gigi dan mulut dapat membawa dampak buruk yang besar bagi kesehatan (hal 67).

Mitos yang paling sering kita dengar adalah mencabut gigi bisa mengakibatkan kebutaan. Padahal faktanya bukan seperti itu. Runtutan saraf mata dan mulut secara jelas bahwa tidak ada hubungan antara saraf mata dan gigi. Hanya saja, jika ada pasien yang berbohong kalau giginya masih sakit dan memaksa dicabut, ada kemungkinan kuman yang ada di gigi masuk ke dalam pembuluh  darah kapiler dan menyumbat pembuluh darah yang mengalir menuju mata, sehingga pemandangan mata akan menjadi kabur, bukan buta. Di mana kejadian itu bisa disembuhkan dengan pemberian antibiotik dosis tinggi (hal 70).

Oleh sebabnya  sangat penting diketahui, mencabut gigi tidak boleh dalam keadaan sakit gigi ataupun gusi sedang bengkak yang bersisi nanah. Di erah moderen saat ini, sebenarnya gigi yang sudah berlubang sampai terkena sarafnya bisa ditambal, tetapi harus dirawat dulu menggunakan teknik endodontik, yaitu teknik mewarat saluran akar gigi dan mengisinya dengan bahan-bahan pengisi saluran akar.  Pengisian ini membuat gigi tidak perlu dicabut.

Ada mitos lagi yang cukup menggelikan, yaitu tentang gigi berlubang yang awalnya di kiri, kemudian gigi kanan itu berlubang. Oleh sebagian orang mengatakan hal itu akibat ulat di gigi kita menyebar ke gigi yang lain. Dan tentu saja anggapan itu keliru. Kenapa ketika gigi kiri berlubang dan kemudian diikuti gigi kanang, hal itu terjadi karena naluri kita. Artinya ketika gigi sakit karena berlubang, secara otomatis kita  tidak akan menggunakan gigi tersebut untuk mengunyah. Kita akan memilih menggunakan gigi di sebelahnya untuk menguyah. Pengunyahan secara terus menerus inilah yang lama kelamaan akan membuat gigi ikut rusak juga, berlubang, dan mengalami abrasi gigi sehingga menimbulkan rasa sakit.

Selain membahas berbagai masalah keluhan gigi, buku ini juga memaparkan tentang pentingnya kesehatan rongga mulut. Karena kesehatan rongga mulut itu cerminan dari kesehatan diri secara utuh. Yang artinya gambaran penyakit pada tubuh bisa terlihat dari rongga mulut seseorang. 

Tidak ketinggalan dijelaskan pula tentang beberapa tanaman obat yang bisa membantu menjaga kesehatan gigi. Seperti bawang putih yang memiliki antibiotik alami, jahe memiliki hasiat untuk menghilangkan bengkak dan sakit dan banyak lagi. Buku ini mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga kesehatan gigi juga rongga mulut sedini mungkin.


Srobyong, 15 Maret 2018 

Tuesday 27 March 2018

[Resensi] Mengajarkan Cara Mencintai Sesuai Aturan Tuhan

Dimuat di Koran Pantura, Selasa 13 Maret 2018


Judul               : Cinta dalam Ikhlas
Penulis             : Kang Abay
Penerbit           : Bentang Pustaka
Terbit               : Pertama, Februari 2017
Cetakan           : Ketiga, April 2017
Tebal               : viii + 372 halaman
ISBN               : 978-602-291-364-1
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

“Mencintai adalah belajar mengikhlaskan, bukan belajar memiliki, karena yang kita cinta, sejatinya adalah milik Allah. Dan, akan disatukan, lalu dipisahkan atas izin dan rida-Nya. Ikhlas itu memerlukan proses yang terkadang sulit, tetapi kalau kita tidak berusaha untuk belajar ikhlas, hati kita akan menjadi sakit. Proses mengikhlaskan terutama di awal itu memang terasa susah, tetapi jika kita berhasil melakukannya, semuanya akan berakhir indah.” ((hal 151).

Novel ini memiliki nilai-nilai pembelajaran yang banyak. Ketika kita membacanya, kita diajak menyelami bagaimana memaknai hidup. Bagaimana menghadapi cobaan yang datang bertubi-tubi, juga memanage hati—mencintai sesuai aturan yang diajarkan Tuhan. Selain itu dari kisah ini, kita bisa belajar tentang pentingnya bersikap positif, selalu bersyukur, sabar dan tidak mudah menyerah. Sebuah buku yang sangat mencerahkan dan patut dibaca bagia siapa saja.

Kisahnya sendiri berpusat pada Bintang Atharisena Firdaus—yang lebih sering disapa Athar. Pada usia yang baru menginjak 5 tahun dia harus menerima takdirnya sebagai seorang anak  yatim.  Tidak lama kemudian, kakak yang sangat disayangi juga pulang ke rumah Allah. Berkali-kali ditinggal orang yang sangat dia sayang, telah menempanya menjadi sosok yang tegar. Dia tidak boleh larut dalam kesedihan. Karena hidup akan terus berjalan.

Dalam perjalanannya itu, siapa sangka Athar terjabak pada sebuah muara bernama cinta. Ketika dia memasuki masa SMA, dia bertemu dengan Aurora Cinta Purnama—atau kerap disapa Ara. Di sinilah tantangan Athar dalam menjaga hati (hal 18).   Dia sangat menyukai Ara, namun dia tahu kalau dirinya tidak boleh gegabah untuk menyatakan cinta. karena masing-masing dari mereka, masih memiliki jalan panjang untuk mengejar cita-cita.  

Sampai  akhirnya, ketika kelulusan tiba, Athar tidak tahan dan  memberanikan diri mengungkapkan perasaan itu kepada Ara. Namun jawaban yang dia terima sungguh mengejutkan. Di sini, Athar harus kembali belajar untuk mengikhlaskan.

“Cinta itu indah jika sejalan dengan fitrah. Dan, fitrahnya manusia adalah mengikuti gravitasi hati, dengan cara menerima dan mengikuti kehendak-Nya dengan hati rela tanpa terpaksa. Karena rencana-Nya adalah yang terindah. Karena pilihan-Nya yang terbaik.” (hal 152).

Athar pun menerima keputusan yang diberikan Ara. Meski sakit, dia mencoba menerima. Athar lalu menyibukkan diri  untuk masuk kuliah.  Dan lagi-lagi cobaan menyelimuti hidupnya. Selama di sekolah Athar selalu menjadi juara kelas, hal itu yang membuatnya yakin bisa lolos dalam seleksi di ITB. Namun ternyata Allah berkendah lain (hal 163).  Dia tidak lolos dan berakhir kuliah di Sekolah Bisnis di Bandung.

Namun berbagai kejadian itu tidak serta merta membuat Athar goyah. Dia berusaha mencintai apa yang menimpanya dengan ikhlas. Dan tanpa terasa waktu pun berlalu dengan cepat.  Athar sudah menjadi sosok dewasa yang ulet. Hal itu-lah yang akhirnya membuat Tari, sahabatnya saat kuliah, mengajukan proposal ta’aruf (hal 266). Lalu ada Pak Farhan—orang yang sangat berjasa dalam hidup Athar, yang memintanya untuk menikahi putri satu-satunya—Salsabila.

Athar sungguh bingung bagaimana menjelaskan kalau sebenarnya dalam lubuk hatinya dia masih menyimpan nama Ara dalam setiap doanya. Meski dia sama sekali tidak tahu bagaimana kabar Ara. Bahkan bisa jadi Ara sudah menikah.  Hingga akhirnya sebuah kejadian membuat Athar membuat pilihan yang tidak terduga.

Sebuah novel yang menggugah. Banyak motivasi-motivasi positif yang bisa kita petik. Hanya saja, saya merasa ketika membaca novel ini, pemilihan sudut pandang orang pertama, tidak membuat tokoh hidup.  Ditambah lagi pemilihan gaya bahasa yang belum terlalu lentur.  Mungkin karena ini novel pertama, di mana sebelumnya penulis lebih banyak menulis buku motivasi, sehingga masih terbawa dalam menulis buku non-fiksi.

Namun lepas dari semua kekurangannya, novel ini memiliki sisi positif yang cukup banyak. Jadi sangat perlu dibaca bagi siapa saja yang ingin belajar cara mencintai apa pun yang dihadapi dengan ikhlas.

Srobyong, 16 Juli 2017 

Monday 26 March 2018

[Resensi] Langkah Perjuangan Berantas Korupsi

Dimuat di Tribun Jateng, Minggu 18 Maret 2018


Judul               : Novel Baswedan : Biarlah Malaikat yang Menjaga Saya
Penulis             : Zaenuddin HM
Penerbit           : Mizan
Cetakan           : Pertama, November 2017
Tebal               : 272 halaman
ISBN               : 978-602-441-046-9
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara

“Korupsi itu bukanlah masalah sepele. Korupsi itu jauh lebih parah daripada perampokan.” (hal 89).

Sebagaimana kita ketahui korupsi masih menjadi masalah yang cukup rumit di negeri ini. Banyak kasus korupsi yang tidak ditindak dengan benar, bahkan berkahir dibiarkan tanpa adanya hukuman. Karena pada kenyataannya korupsi lebih banyak dilakukan para pemilik kuasa—sehingga sering kali para pelaku korup melakukan lobi hukum karena adanya uang dan kekuasaan.  Inilah yang sangat disayangkan mengingat korupsi pada dasarnya hanya akan merugikan negeri sendiri dan rakyat.

Masalah itulah yang disoroti oleh Novel Baswedan. Sebagai penyidik KPK, dia berusaha keras untuk memberantas korupsi di negeri ini, agar tidak lagi merampas hak-hak warga juga hak negara untuk maju. Buku ini dengan paparan yang menarik dan apa adanya, mengisahkan sepak terjang Novel Baswedan dalam upanya memberantas praktik korupsi di negeri ini.  Menurutnya memberantas korupsi adalah bagian dari amal baik, bahkan ibadah, sehingga dia tidak pernah takut memerangi korupsi, menangkapi koruptor (hal 91).

Hal itu ditunjukkan dengan keberhasilan Novel dalam membongkar kasus-kasus besar korupsi yang ada di negeri ini. Seperti kasus korupsi yang terjadi pada proyek penyesuaian infrastruktur daerah. Di mana atas kasus tersebut, Politikus PAN, Wa Ode Nurhayati, divonis 6  tahun dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan (hal 97).  Ada pula kasus E-KTp, korupsi Wisma Atlet SEA game Palembang.  Selain kasus itu tentu saja masih banyak kasus lain yang telah berhasil Novel beberkan.

Namun di sanalah masalahnya, keberhasilan Novel ini menjadi ancaman bagi dirinya sendiri. Keberaniannya dalam membongkar berbagai kasus besar perihal tindak korupsi, membuat dia memiliki musuh banyak dan berusaha menjatuhkannya. Dia kerap mendapat teror—dimulai percobaan tabrakan motor, hingga disiram air keras. Akan tetapi teror itu sama sekali tidak berhasil menjatuhkan mental dan semangat Novel. Bahkan sebaliknya, dengan integritas tinggi, Novel semakin menunjukkan cakarnya demi memerangi korupsi.

Novel selalu berprinsip jika apa yang dilakukannya memang benar, maka dia tidak perlu takut. Dia juga sosok yang tidak pernah pandang bulu jika itu berhubungan dengan tegaknya hukum. Dia tidak mudah dirayu bahkan oleh orangtuanya sendiri.  

Sebuah buku yang menarik dan memberi pencerahan. Melalui sosok Novel Baswedan kita ditunjukkan tentang kepedulian terhadap masalah korupsi dan bagaimana usaha kita untuk memberantasnya sampai akar. Kita diingatkan pentingnya menegakkan hukum yang adil dan tidak mudah menyerah, selalu berserah diri pada Allah.

Srobyong, 3 Februari 2018


Sunday 25 March 2018

[Resensi] Menjelajahi Indonesia Timur Lewat Sajak dan Cerita

Dimuat di Lampung Post, Minggu 25 Maret 2018 


Judul               : Dari Timur
Penulis             : MIWF
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, Mei 2017
Tebal               :  112 halaman
ISBN               : 978-602-03-5536-8
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama Jepara

Buku ini ditulis oleh  Makassar International Writers Festival—MIWF.  Sebuah ajang festival yang sengaja dibuat dan sudah dimulai sejak tahun 2011 guna menemukan bakat-bakat baru di wilayah timur.  Dalam buku ini sendiri—yang merupakan volume pertama hasil dari festival tersebut terdiri dari sebelas penulis ; Ama Achmad, Cicilia Oday, Deasy Tiroyah, Dicky Senda, Emil Amir, Erni Aladjai, Faisal Oddang, Ibe S. Palogai, Irma Agrayanti, Jamil Massa dan Mario F. Lawi—yang menawarkan puisi dan cerita.

Buku yang diberi judul Dari Timur—mencoba mengenalkan karya sastra dari wilayah Indonesia di bagian timur, wilayah yang dalam indikator pencapaian pembangunan infrastuktur, ekonomi dan kultural, tertinggal dibandingkan wilayah barat—namun disebut sebagai wilayah yang mengandung potensi besar.  Dan karya yang terpilih ini telah menunjukkan kekhasan dalam tema dan kematangan dalam pengungkapan.  Beberapa di antaranya di antaranya bahkan sangat berhasil dalam estetika. Di mana kebanyakan ide tulisan ini mencoba mengungkap isu-isu sosial, identitas dan adat budaya.

Sebut saja kisah berjudul “Air” karya Erni Aladjai  yang mana mencoba mengungkapkan tentang isu air yang akan dijadikan komoditas.  Di mana dipaparkan Zon tiba-tiba terbangun dalam keadaan yang tidak pernah dia duga. Keadan di mana dia harus kesulitan mencari air. Bahkan satu galon air dia harus membayar sebanyak satu juta (hal 17).  Kesulitan air membuat keadaan kacau. Terjadi pertengkaran dalam usaha mendapat air itu sudah biasa.  Dan ketiga Zon mengingat sesuatu dia merasa tertampar.  Apalagi ketika dia melihat para demonstran menulis “Air bukan komoditas. Pasang keran-keran air di ruang publik.

Lalu sebuah sajak karya  Ibe S. Palogai berjudul “Konkusinador” yang menggagas tentang pertempuran yang menelan banyak korban—baik dari pihak sendiri juga pihak musuh. Bahwa peperangan itu selalu mengerikan entah itu kalah atau menang. Karena selalu meninggalkan kesedihan bagi siapa saja yang ditinggal.

Karaeng karunrung, pertaruhan untuk rumahmu// dari rimbun pohon di pantai itu// asap di pucuk pandan dan batang manusia// berjaga sepanjang benteng, karena pasang laut// menghirup wangi gulita// hanyulah kamu// ratusan pasukan asing dan sedarah// antara Binga dan Ujung Tanah// kekalahan kami berbaris sebagai tuan rumah (hal 41).

Tidak kalah menarik adalah cerpen karya Emil Amir  “Silariang” yang mengangkat tema adat  budaya—tentang cinta tidak direstui. Kisah ini tentang cinta segi empat antara Saeba, Andi Jamaluddin, Halimah dan La Saddang. Saeba  dan La Saddang saling mencintai, namun tak ada restu dari orangtuanya, karena menganggap La Saddang dianggap tidak sederajat—kenyataan ibunya yang menikah dengan lelaki biasa, hingga mereka dicoret dari silsilah keluarga (hal 65).  Begitu pula Halimah dan Andi Jamaluddin, mereka saling mencintai namun terputus karena berbagai alasan. Kini Saeba akan menikah dengan Andi Jamaluddin.

Ada pula cerpen karya Faisal Oddang berjudul “Orang-orang dari Selatan Harus Mati Malam Itu” dalam kisah ini kita akan diajak melihat  isu perihal agama. Di mana masyarakat dipaksa menganut agama resmi, mencantumkannya di KTP dan dipaksa menjauhi Tuhan Dewata Sewwae. “Uwak harus memilih, atau hak sebagai warga negara  tidak kalian dapatkan, bisa saja diusir, bisa saja ada yang bertindak di luar  kendali, Uwak sudah  tahu  sendiri,  bukan, apa yang akan terjadi?” (hal 103).

Inilah dilema yang tengah dialami Isuri dan uwaknya. Mereka harus memilih salah satu. Isuki memohon agar Uwaknya mengalah namun bisakah dia membujuk orang yang sangat taan dan ajaran Tolotang?

“Lebih baik ditembaki tentara  daripada dibunuh orang-orang di kampung ini. Lebih baik  menodai aturan pemerintah daripada menodai agama orang lain.” (hal 109).

Selain beberapa yang sudah dipaparkan tentu saja kisah dan sajak yang ada  dalam buku ini, tidak kalah menarik dan memikat. Seperti Anak Penjaga Sekolah, Di Sebuah Biara, Purnama di Atas Rumah dan lain sebagainya. Semua memiliki cara khas dalam bertutur yang membuatnya menarik untuk dinikmati. Keunikan lain dari buku ini adalah kekentalan dalam unsur mistis dan mitos. Dan adanya ilustrasi yang cantik.

Srobyong, 11 Februari 2017 

Thursday 22 March 2018

[Resensi] Bahaya Pusaran Riba dan Cara Menjauhinya

Dimuat di Jateng Pos, Minggu 18 Maret 2018 



Judul               : Hidup Tenang Tanpa Riba
Penulis             : Dwi Suwiknyo dkk
Penerbit           : Diva Press
Cetakan           : Pertama, Maret 2018
Tebal               : 252 halaman
ISBN               : 978-602-391-524-8
Peresensi         : Ratnani Latifah, Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transasi riba, sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (hal 21).

Membahas tentang masalah riba sebenarnya tidak akan ada habisnya. Karena saat ini memang semakin banyak praktik riba baik yang kecil atau yang besar. Dimulai dari pembelian dengan cara kredit hingga pinjaman besar di bank. Yang menjadi masalahnya, kebiasaan riba ini seperti dilegalkan dan dianggap boleh. Padahal dalam Islam praktik riba ini sangat dilarang. Karena riba lebih banyak madaratnya daripada  kemaslahatannya.

Sering kita mendengar kajian bahwa siapa saja yang melakukan praktik riba, maka mereka akan dilaknat oleh Allah. Baik itu orang yang melakukan atau memberi kesempatan riba. Bahkan dari apa yang pernah saya dengar, telah  dijelaskan bahwa memakan harta riba bisa membuat hati kita keras dan tidak mudah dinasihati.  Padahal semua orang pasti tidak ingin hati mereka tertutup dari cahaya Allah.

Riba sendiri itu berhubungan dengan penetapan bunga atau  penambahan jumlah uang pinjamaan saat pengembalian, berdasarkan presentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok. Misalnya saja ketika kita berhutang satu juta, kita harus mengembalikan sebanyak dua juta dengan melakukan cicilan dua puluh ribu sebanyak sepuluh kali.   Oleh karena itu sejak dini kita harus menghindari riba. Kita harus memantapkan niat agar tidak sampai terjerat pada pusaran riba. Karena riba itu selain bahaya di dunia juga bahaya di akhirat. Melalui buku ini kita akan dikenalkan dengan berbagai bahaya riba dan cara agar kita bisa menjauhi riba sedini mungkin.

Buku ini sendiri terdiri dari 15 kisah inspiratif dalam upaya melepaskan diri dari jerat riba. Semua dipaparkan dengan bahasa yang lugas, renyah dan menarik, membuat kita tidak bosan saat membaca. Sebaliknya kita malah akan terhanyut dalam kisah, membuat kita akan berpikir ulang jika kita harus berhadapan dengan riba.

Misalnya saja kisah Nur Ahwat “Melepas Jerat Benang Hitam”.  Bermula dari keinginan ingin memiliki motor, Nur dan suaminya nekat mengambil kredit motor. Namun berjalanya waktu mereka menyadari motor saja tidak akan cukup jika satu keluarga harus pergi bersama. akhirnya mereka membeli mobil. Pada awalnya semua terlihat berjalan lancar. Namun lambat laun, mereka mulai menyadari betapa beratnya membayar dua cicilan—motor dan mobil. Hidup mereka yang awalnya  damai dan nyaman berubah menjadi  penuh kebingungan dan kekhawatiran.

“Berhati-hatilah kamu dalam berutang, sesungguhnya utang itu mendatangkan kerisauan pada malam hari dan menyebabkan kehinaan pada siang hari.” (hal 9).

Pada titik itu, penulis akhirnya menyadari mungkin kehidupannya berubah gersang karena dia sudah terjebak dengan pusaran praktik riba. Menyadari hal itu penulis pun dengan berbagai upaya mulai memperbaiki diri agar tidak terus terjerat riba.


Ada pula kisah Oky E. Noovasari “Insaf dari Riba, Selagi Masih Ada Napas” semua dimulai dari  kebiasaan penulis yang tidak bisa mengendalikan diri dalam menggunakan uang dan kartu kredit yang dimiliki. Jika ada diskon atau barang-barang yang disukai—meski bukan prioritas langsung dibeli. Keadaan itu pun terus berlanjut, hingga akhirnya berbagai tagihan mulai menghantui penulis.  Kerjadian itu pun menyadarkan penulis untuk mulai menata diri dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Selain dua kisah tersebut, masih banyak kisah lain yang tidak kalah menarik dan menginspirasi. Secara keseluruhan buku ini sangat patut dibaca untuk dijadikan pembelajaran. Dapat kita simpulkan riba yang awalnya terlihat menyenangkan itu pada akhirnya akan membuat kita kebingungan. Kita dibuat bingung bagaimana membayar cicilan yang bunganya selangit.  Riba juga membuat tidur kita tidak nyenyak karena terus dihantui rasa bersalah pada diri sendiri juga kepada Allah.  Karena riba juga hati kita jadi tidak tenang dan selalu dirundung ketakutan.

Oleh karena itu kita harus menjauhi riba. Dimulai dengan menghindari utang, tidak membeli  barang apa pun secara kredit hingga melakukan pinjaman di bank. Lebih baik kita menabung untuk digunakan sewaktu-waktu, daripada melakukan riba, namun berakhir derita di kemudian hari.  Sebuah buku yang menarik dan menginspirasi. Banyak pelajaran yang bisa kita teladani dari kisah-kisah yang termatub di buku ini.

Srobyong, 9 Maret 2018 

Monday 19 March 2018

[Resensi] Usaha Menjaga Keutuhan Rumah Tangga

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 18 Maret 2018 



Judul               : (im) Perfect Serenade : Love in Verona
Penulis             :  Irene Dyah
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, September 2017
Tebal               : 244 halaman
ISBN               : 978-602-03-6104-8
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara

Mengambil tema pernikahan, novel ini memaparkan tentang kisah sepasang suami istri yang tengah mengalami dilema rumah tangga yang sudah dibangun selama enam tahun. Kehidupan rumah tangga mereka  awalnya begitu sempurna hingga sebuah badai menjungkirbalikkan semua.

“Semua wanita mengharapkan kisah cinta sempurna, pasangan yang tanpa cacat, kehidupan yang happy ever after tanpa perjuangan setitik pun. Mana bisa? Perjalanan hidup kita kan bukan cerita film atau novel. Kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan.” (hal 59).

Bansar adalah tipe suami yang tidak romantis dan apa adanya. Namun siapa sangka dia memiliki affair dengan Ayang—sekretaris pribadinya. Kenyataan itu tentu saja membuat Serenade merasa dikhianati.  Hal itulah yang membuat Serenade Sukmah yang awalnya menolak project  Wisata Kota Cinta ke Verona, akhirnya dia terima.  Setidaknya kepergiannya itu bisa membuat dia relax untuk sementara—melupakan sejenak masalah rumah tangganya. Selain itu, dia juga  bisa mulai melakukan riset untuk novel terbarunya.

Selama di Verona Seren menjadi sekretaris di Juliet Club—sebuah tempat yang menerima surat cinta atau surat apa saja dari berbagai negeri. Bersama Giovanna dan Saima, mereka saling membantu dan bekerjasama. Keadaan baru di sana benar-benar membuat Serenade sedikit melupakan beban kehidupannya di Indonesia. Dia menikmati setiap jengkal kesempatan yang dia miliki selama di Verona.

Hingga kehadiran Aris Zanetti—penulis asal Verona, membuat Serenade merasakan sesuatu yang selama ini mulai terasa hambar. Manisnya perhatian dan kehangatan dari seorang pria. Di sinilah keadaan mulai pelik.  Di satu sisi Seren merasa bersalah—karena bagaimana pun statusnya masih sebagai seorang istri. Di sisi lain dia juga masih menyimpan kemarahan akibat ulah Bansar. Jika suaminya itu berani selingkuh dengan wanita lain, kenapa dia tidak boleh?

Selain mengalami dilema tentang masalah rumah tangganya, dia juga harus memilih antara memperpanjang kunjungannya di Verona atau kembali ke Indonesia. Bagaimana pun melakukan setting di Verona adalah kesempatan yang langkah. Akhirnya Seren pun mencoba menghubungi Bansar untuk meminta izin. Namun yang mengejutkan tiba-tiba pria itu sudah berada di Verona  dengan sebuah misi (hal 154).

“Setiap perjalanan pasti butuh kata pulang. Dan pulang bagimu, di dunia ini, adalah kembali kepadaku. Kepada rumah kita, dan semua yang kita bangun enam tahun terakhir.” (hal 132).

Lalu bagaimana tanggapan Seren? Akankan dia menerima ajakan Bansar atau tetap memilih di Verona dengan segala sesuatu yang baru? Dengan eksekusi yang apik penulis mampu menyihir kita, membuat kita penasaran bagaimana akhir kisah ini. Karena selalu ada kejutan-kejutan kejadian yang tidak terduga juga membuat kita belajar berbagai permasalahan hidup.

Seperti kisah hidup Giovanna yang selama ini terpaku dengan masa lalu atau kehidupan Saima yang unik. Semua memberi kesan dan semakin menambah keseruan novel ini. Selain itu ada pula kisah dari pengirim surat misterius yang membuat Seren merenungi berbagai cobaan hidupnya. “Setiap orang memiliki perjuangan perangnya sendiri-sendiri. Dan kita semua punya pilihan cara untuk memenangi perang itu.” (hal 116-117).

Nilai tambah lainnya dari novel ini adalah kita bisa menikmati keindahan Verona dan Tanah Rencong. Bahasanya yang renyah dan gurih, membuat kita tidak bosan saat membaca. Meski ada sedikit kesalahan tulis, hal itu tidak mengurangi kenikmatan saat membaca.

Dari novel ini saya belajar bahwa perlu adanya komunikasi antara pasangan agar bisa menyelesaikan masalah.  Dan dalam menghadapi masalah kita tidak boleh mudah menyerah. Kita harus bangkit lagi dan tidak boleh terjebak masa lalu.  “Berhenti menghujat diri sendiri, kamu mesti bangkit  mengatasi masalah, dengan rasa percaya diri.” (hal 98).

Kita pasti tahu bahwa di dunia ini tidak ada orang yang sempurna—baik laki-laki atau perempuan—oleh karenanya ketika pria dan wanita membangun biduk rumah tangga, bukan kesempurnaan yang perlu dicari tapi saling melengkapi untuk membangun pondasi yang kokoh. Dalam bidik rumah tangga selalu ada suka dan duka, kadang tenang kadang bergelombang, tinggal bagaimana menyikapi dan menyelesaikannya dengan kepala dingin.

Srobyong, 16 Februari 2018 


Friday 16 March 2018

[Cerma] Cowok Bermata Cokelat

Dimuat di Analisa Medan, Minggu 11 Maret 2018


*Kazuhana El Ratna Mida

            Rara bernapas lega bisa masuk gerbang tanpa mendapat hukuman. Semua berkat  cowok bermata cokelat itu—Ibra, yang saat ini sedang senter dibicarakan. Dia menyelamatkanku, ucap Rara dalam hati. Rara tersenyum sendiri.  Dia baik sekali. Mau membantu membujuk Pak Satpam untuk meloloskannya sekali ini.

            “Kamu masuk kelas dulu saja, Ra. Aku mau ngomong dulu sama Pak Nano.” Suara Ibra yang serak-serak basah itu membuat Rara terlonjak dari lamunan gilanya sendiri.

            “Ah, iya. Terima kasih untuk hari ini.” Rara langsung mengambil langkah seribu. Meninggalkan  Ibra yang masih berdiri di dekat gerbang berbicara dengan Pak Nano—si satpam. Rasanya dia mau melayang. Bahkan Ibra sudah hapal namaku. Yah, mengingat beberapa kali kami  memang sudah bertemu. Rara kembali berucap dalam hati sambil tersenyum sendiri.

~*~

            “Hoi! Dari tadi senyum-senyum sendiri.” Nina menyenggol bahu Rara.

            Aneh saja, bukankah sejak masuk ke kelas, Rara mendapat teguran dari Bu Indah? Bahkan mendapat hukuman karena ini kali kedua dia terlambat pada pelajaran Matematika. Yup, pada sesi jam pertama dia harus berdiri di depan kelas.

            “Pokoknya hari ini aku sungguh beruntung.” Rara memamerkan senyumnya yang manis.

            “Hah?!” Nina mengernyitkan dahi, “Ditegur Bu Indah dan di strap di depan kelas itu hari keberuntungan?”

            “Bukan!” Rara menggelengkan kepala, “Bukan karena itu, tap—,” belum sempat Rara melanjutkan ucapannya, suara Bu Indah membuat Rara menunduk yang juga diikuti Nina. Mereka saling sikut. Namun, beberapa detik kemudian mereka tertawa cekikikan. Tentu tanpa sepengetahuan Bu Indah. Kalau ketahuan bisa dapat hukuman lagi.

            “Jadi kenapa sedari tadi kamu senyum tidak jelas gitu?” Nina menodong pertanyaan begitu jam kedua dari Bu Indah selesai. Mereka terlihat senang karena baru saja diberitahukan kalau pelajaran ketiga hari ini kosong.

            “Itu karena ...,” Rara menggantung ucapannya. Tatapan yang dimiliki kini terpaku pada sosok  Ibra yang berjalan menuju perpustakaan.  Nina yang penasaran memincingkan mata mengikuti ke mana arah pandangan Rara.

            “Ibra?”  Nina tidak percaya. Bagaimana mungkin?

            Rara mengangguk. Ibra di matanya sosok  itu sungguh luar biasa. Selalu baik hati dan murah senyum. Apalagi jika menatap sepasang mata cokelatnya itu.  Mata itu sungguh teduh, dan membuat Rara betah menatapnya dalam kurun waktu yang lama. Sayangnya, Ibra tidak satu kelas dengan Rara. Dia hanya bisa memerhatikan Ibra kalau kebetulan melihat atau berpapasan dan bertemu di tempat rahasia mereka. Ups!

            “Malah melamun!” Nina menyenggol Rara. “Ke kantikn, yuk.” Nina tanpa menunggu persetujuan Rara langsung mengapit tangan teman sebangkunya itu. Padahal Rara masih ingin berlama-lama melihat Ibra. Pertemuan yang tidak disengaja seminggu  yang lalu sedikit banyak membuat Rara selalu memikirkan  Ibra—cowok bermata cokelat itu.

~*~

             Seminggu yang lalu, Rara tengah asyik membaca novel Ilana Tan di bangku taman sekolah. Dia sedang malas ke kantin dan memilih menghabiskan waktunya di bawah pohon akasia sambil membaca. Saat sedang asyik membaca dia dikagetkan dengan suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Dan Rara lebih kaget lagi ketika mendongkakan kepala. Dia  melihat sosok bermata cokelat yang membuatnya terpana. Orang itu memamerkan senyum yang sungguh manis.

            Rara memerhatikannya dengan saksama. Cowok itu  memakai seragam seperti dirinya. Tapi siapa orang itu? Rara bertanya-tanya.  Karena sebelumnya dia belum pernah melihat cowok itu. Atau karena dia yang murid baru sehingga masih kurang informasi? Entahlah.

            Cowok itu dengan santainya duduk di sebelah Rara. “Ibra. Kelas XII IPA.” cowok itu mengenalkan diri, seolah memahami tatapan aneh dari Rara.

            Rara menganggukkan kepala, lalu teringat dengan kasak-kusuk teman-teman sekelasnya tentang kakak kelas yang katanya cukup tampan dan masih mudah. Rara tersenyum sendiri, sepertinya ucapan mereka benar. Ibra memang memiliki wajah tampan dan senyum yang menawan. Rara diam-diam menatap  Ibra. Memerhatikan rambut hitamnya yang ikal, alis mata yang cukup tebal, bulu mata yang lentik, lalu mata cokelatnya dan hidung yang lebih mancung dari dirinya.  Rara berdecak dalam hati, kakak kelasnya itu sungguh ciptaan Tuhan yang luar biasa.

            “Namamu?” Rara menelan ludah mendengar suara serak-serak basah itu.

            “Rara, XI IPA.” Rara mencoba mengontrol perasaannya yang tengah melayang ke mana-mana.

            Dan sejak hari itu,  taman sekolah itu menjadi tempat favorit Rara.

~*~
            “Ra!” panggilan Nina tidak dijawab. Rara tenggelam dalam lamunannya sendiri. mengabaikan kantin yang saat ini sudah penuh sesak. Karena sebal, Nini kembali menyenggol siku Rara, hingga si empunya  terkesiap. Rara mendelik, Nina tersenyum puas.
            “Ya, habis ..., dipanggil dari tadi tidak mau jawab. Mikirin apa, sih?” Ninia bertanya sambil menyerutup es campur kesukaannya.

            “Ye ..., mau tahu aja, sih, Nin.” Rara tersenyum penuh misteri. Dia memasukkan satu sendok bakso ke mulutnya. Pesanan yang tadi diabaikan kini sudah dinikmati.

            “Alah ..., paling juga  Ibra. Iya, kan?” Nina mengerling. Rara hampir tersedak.

            “Dari pagi, cuma  Ibra yang kamu bicarakan.” Nina tidak peduli dengan muka Rara jadi bersemu merah itu.

            “Jangan-jangan, kamu suka Ibra, ya? Bagaimana bisa?”

            Rara melotot, menyuruh Nina memelankan suaranya. Teman sebangkunya itu sungguh reseh.
            Rara sendiri tidak tahu dengan perasaannya pada cowok bermata cokelat itu. Dia hanya merasa nyaman dan nyambung jika mengobrol. Ibra juga sangat baik.  Dan perasaan itu tumbuh dengan sendirinya tanpa bisa dicegah.
           
            “Ra ..., lebih baik kamu melupakan Ibra, deh.” Suara Nina yang terdengar hati-hati itu membuat Rara bertanya-tanya.

            Kenapa dia harus? Apakah Nina juga menyukai Ibra? Rara menatap Nina dengan pandangan yang sulit diartikan.

            “Bukan aku bermaksud mencampuri urusanmu. Sungguh bukan,” Nina menggelengkan kepala. Menarik napas sebentar dan kembali memerhatikan Rara. “Ah, bagaimana aku mengatakannya?” Nina memegang kepalanya. Rara mengernyitkan dahi.

            “Apa kamu juga suka  Ibra?” pertanyaan itu akhirnya muncul juga. Nina menutup mulut. Menarik napas sebentar lalu menggeleng pelan.

            “Nah, tidak ada masalah, kan? Aku tetap menyukainya.” Rara tersenyum riang.  “Nanti kalau aku berhasil mengajak dia keluar, kamu bisa sekalian ajak pacar kamu yang katanya mau kamu kenalkan?

            Nina hanya bisa menatap sedih dan bingung. Entah bagaimana dia harus menjelaskan kalau Ibra itu pacaranya.

            Srobyong, 18 September 2015-8 November 2016