Tuesday 31 January 2017

[Resensi] Ketika Dua Genius Menghadapi Kasus Pembunuhan

Dimuat di Kabar Madura, Senin 21 Januari 2017 

Judul               : Kesetiaan Mr. X
Penulis             : Keigo Higashino
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, Juli 2016
Halaman          : 320 hlm
ISBN               : 978-602-03-3052-5
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara.

Membaca novel ini, kita akan dihadapkan pada analisis kecerdasan. Yaitu kecerdasan dari  fisikawan dan seorang yang genius matematika, dalam mengungkap sebuah kasus pembunuhan.  Menarik dan membuat pembaca ikut berpikir, menebak-nebak  sampai kapan adu kecerdasan itu akan selesai.

Kisah dimulai dengan penemuan mayat di sungai Edo di sisi Tokyo. Mayat itu ditemukan dalam keadaan yang sangat mengenaskan: telanjang bulat; bahkan sepatu dan kaus kakinya tidak ada. Wajahnya hancur seperti semangka dibelah, serta jemarinya juga dibakar.  Selain bekas cekikan di leher, tidak ditemukan luka yang lain dalam tubuh itu (hal 49).

Setelah melakukan penyelidikan, Kusanagi—detektif yang menangani kasus pembunuhan itu, akhirnya mengetahui bahwa mayat itu bernama Shinji Togashi (hal.55). Terungkapnya identitas si mayat, membuat Yasuko Hanaoka—mantan istri Togashi terseret dalam kasus itu dan dianggap sebagai tersangka. Karena konon katanya, meski mereka sudah bercerai Togashi masih sering menghubungi Yasuko.  Bahkan disinyalir Yasuko adalah orang terakhir yang ditemui Togashi.

Kusanagi pun segera mendatangi Yasuko untuk melakukan penyelidikan. Mengecek alibi ibu satu anak  pada tanggal 10 Maret. Meski tidak nyaman Yasuko menjelaskan dengan detail apa yang dilakukannya, dan memastikan dia sama sekali tidak terlibat dalam kasus pembunuhan itu. Merasa belum puas dengan penjelasan Yasuko, Kusanagi mencoba mencari informasi dari tetangga Yasuko. Namanya Ishigami, seorang guru matematika SMA dan penasihat klub judo. Tapi lagi-lagi Kusanagi tidak mendapatkan informasi apa-apa. Karena ternyata Ishigami tidak terlalu dekat dengan tetangganya. 

Merasa buntu dalam menangani kasus ini, Kusanangi berkunjung ke rumah sahabatnya—Yukawa, seorang fisikawan, yang kerap membantunya menyelesaikan kasus.  Kusanangi menjelaskan hal-hal yang mengganjal selama penyelidikan. Seperti alibi Yasuko yang terlalu sempurna, yang malah mengundang rasa penasaran.

Yukawa berkata “Aku sudah bilang, manusia normal tidak akan sampai berpikir menyiapkan tempat penyimpanan  potongan tiket demi sebuah alibi. Apalagi sampai menyelipkannya  dalam pamflet karena  sudah menduga kalian akan datang. Orang seperti itu pantas disebut lawan berat.” (hal. 78).
Tidak ketinggalan Kusanangi menyinggung Ishigami, yang sontak membuat Yukawa kaget tapi juga senang. Yukawa pun mengunjungi, temannya yang sangat genius matematika. Pertemuan dua teman lama itu, pada akhirnya membuka tabir yang selama ini ditutupi   dengan sangat rapat. Yukawa mengetahuis sesuatu, begitupun dengan Ishigami. Hanya saja entah apa yang akan dilakukan dua genius itu ketika menyadari sesuatu yang tengah mereka hadapi saat ini.

Yukawa berkata, “Menurutku cara memecahkan kasus ini adalah menggunakan soal lain, bukannya  soal meruntuhkan alibi. Perbedaannya jauh lebih besar daripada perbedaan antara soal geometri dan fungsi bilangan. Contohnya soal kamuflase—teknik penyamaran. Cara ini sukses membuat polisi tak berkutik.  Saat orang biasa berusaha menutupi kejahatannya serumit mungkin, maka  orang genius tidak akan melakukan itu. Dia akan memilih metode sederhana, tapi tidak pernah terpikirkan atau  bakal dipilih orang biasa.” (hal.241).   

Dipaparkan dengan gaya bahasa yang renyah, membuat novel ini sangat asyik untuk dinikmati. Pembaca diajak bersabar mengikuti alur cerita,  bagaimana detektif Kusanagi bisa mengungkap kebenaran dengan bantuan Yukawa.  Selain itu pembaca akan dibuat terkejut dengan sebuah kenyataan tentang adanya pembunuhan lain yang tidak terduga. Novel ini selain berisi upaya pemecahan kasus pembunuhan, diselipkan juga kisah cinta cukup menyentuh.

Mengajarkan bahwa sebaik apa pun kejahatan ditutupi, pasti akan terkuak juga.  Dan memang tidak mungkin seseorang selamanya menyimpan kejahatan yang diperbuatnya. Karena sudah pasti hidupnya tidak akan tenang. “Memang berat menyembunyikan kebenaran. Ia tak akan memperoleh kebagaiaan sejati jika terus menyembunyikan kebenaran. Ia tidak akan bisa hidup tenang karena terus dihantui perasaan bersalah seumur hidupnya.” (hal 310).


Srobyong, 11 Oktober 2016

Friday 27 January 2017

[Resensi] Menaklukkan Segala Rintangan dengan Sikap Positif

Dimuat di Koran Jakarta, Rabu 18 Januari 2017

Judul               : Kau Tak Pernah Berjalan Sendiri
Penulis             : David Mezzapelle
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, September 2016
Tebal               : xxii + 482 halaman
ISBN               : 978-602-03-2531-6
Peresensi         : Ratnani Latifah, Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.


Dalam hidup ini tidak ada sesuatu yang mudah. Selalu ada banyak masalah yang acap kali menjadi rintangan, sebagai warna  kehidupan.  Buku ini  mencoba menjelaskan bagaimana cara agar bisa menaklukkan segala  rintangan yang kerap kali dialami oleh sebagian orang.   Sebuah buku yang inspiratif dan sangat memotivasi.

Sebut saja Melody Goodspeed. Pada usia 26  tahun dia mempunyai pekerjaan yang nyaris sempurna. Namun siapa sangka beberapa minggu kemudian dia mengalami sesuatu yang mengubah kehidupannya. Dia  kehilangan penglihatan, karena gumpalan darah yang bersarang di kepalanya.  Di sana-lah titik paling rendah dalam hidup Melody. Dia merasa depresi dan putus asa. Bahkan berkeinginan mati.  

Namun Melody sadar kalau dirinya hanya memiliki dua pilihan—menyerah atau berjuang. Dan dia memilih berjuang.  Melody masuk ke pusat rehabilitasi dan belajar hidup sebagai tunanetra. Di sana dia belajar dari instrukturnya, bahwa hidup belum berakhir hanya karena sebuah perubahan.  Dan hidup  tidak pernah memberikan cobaan lebih berat daripada yang bisa kita tangani (hal 22).  Perlahan Melody pun bisa menerimanya dirinya. Bahkan kemudian dia menjadi seorang guru bagi para tunanetra.

Kisah lainnya adalah  Suzanne Miller yang selalu dihantui kanker. Ketika dia kecil ibunya meninggal karena penyakit kanker. Dan ketika dia menikah ternyata suaminya—Rob didiagnosa mengidap tumor otak besar bahkan hingga dirawat di unit perawatan intensif dan meninggal.  Namun tidak cukup pada dua orang yang paling dia sayangi, ternyata dia pun didiagnosa terjangkit penyakit kanker indung telur. Padalah kala itu dia masih harus memikirkan dua anaknya.   Kenyataan itu tentu saja membuat Suzan runtuh, karena dia pikir telah lolos dari takdir yang mengerikan.  Beruntung dia mendapat banyak dukungan dari teman dan saudaranya dari seluruh penjuru dunia. Di sini Suzan seolah mendapat kekuatan dan optimis untuk menjalani pengobatan. Lalu dengan penuh antusias mengayun langkah menuju hidup baru pascakanker (hal 95).

Tidak kalah inspiratif adalah kisah Kimberlee M. Hooper. Ketika berusia 21 tahun dia mengalami  penyakit yang disebut ensefalitis, peradangan akut pada otak.  Dia mengalami kejang dan koma selama beberapa hari dan terbangun tanpa mengingat masa lalu.  Selama laju hidupnya dia selalu dihantui kalau-kalau ensefalitis itu kambuh dan kembali mengambil semuanya lagi—kenangan tentang suami, putrinya, anak yang dikandung, teman dan koleganya.

Namun dia sadar ketakutan itu tidak akan menyelesaikan masalah.  Dia belajar bahwa  yang bisa dilakukannya hanyalah merangkul setiap hari  dan bersyukur atas apa yang dimiliki saat itu. Menciptakan kenangan dan menghargai setiap detik yang bisa dimiliki dengan orang-orang yang dicintai.  Karena masa lalu bukanlah satu-satunya hal yang merumuskan diri. Tapi tindakan dalam membentuk masa depan-lah yang akan menciptakan masa depan yang menyenangkan (hal 188).

Lalu ada juga kisah Emmanuel Ofsu Yeboah. Dia lahir di Ghana 1977  tanpa tulang kering kanan dan kaki kanan yang menggelantung tanpa kekuatan. Dia dianggap anak yang dikutuk sehingga sang ayah meninggalkannya karena malu. Keluarga lain juga teman tidak ada yang menginginkannya kecuali sang ibu.

Dari sang ibu dia belajar untuk tidak mudah menyerah dengan segala keterbatasannya. Dia ingin membuktikan bahwa orang-orang disabilitas pun bisa melakukan hal besar. Emmanuel memutuskan akan bersepeda sejauh enam ratus kilometer berkeliling Ghana.  Dengan bantuan Challenged Athletes Foundation (CAF), organisasi di California yang mendukung atlet dengan disabilitas dan Raja Osagyefuo dari Ghana, yang menyetujui gagasannya, Emmanuel bisa melakukan rencananya.

Dia memulai perjalanannnya dan berhasil mengayuh hampir sejauh 650 kilometer membelah Ghana hanya dengan satu kaki.  Dia menjadi seorang disabilitas yang sangat menginspirasi. Dia mengajarkan bahwa setiap orang bisa mengatasi rintangan selama memiliki percaya diri (hal 199).

Selain beberapa kisah ini masih banyak lagi kisah inspiratif yang sangat menginspirasi. Mengajarkan pada kita bahwa untuk mencapai kehidupan yang bahagia,  kita harus selalu bersyukur bagaimana pun keadaan yang ada.  Menanamkan sikap positif dengan berani menerima segala cobaan dan menghadapinya dengan kesabaran tidak mudah menyerah.  Selalu ada jalan jika kita mau berusaha dan terus mencoba.


Srobyong, 15 Januari 2017 

Atau bisa dibaca di web Koran Jakarta

Thursday 26 January 2017

[Resensi] Membangun Bisnis Sambil Berwisata


Judul               : Laris Manis Bisnis Wisata Halal
Penulis            : Cheriatna
Tebal               : 80 hlm

Bagi yang memiliki hobi jalan-jalan,  buku bisnis ini akan sangat cocok untuk dibaca. Selain bisa mengakses info perjalanan seru wisata halal, buku ini pun memikat dengan memaparkan bagaimana memanfaatkan hobi untuk membangun bisnis. Jadi sekali mendayung dua tiga pulau akan terlampaui.

Pria kelahiran 1974 ini memulai bisnis wisata pada tahun 2010 dengan nama "Cheria Travel". Semasa kecil dia memiliki kekaguman pada pesawat terbang yang sering melintas di atasnya. Dia berandai-andai, pasti menyenangkan jika bisa naik pesawat. Karena begitu kagum, keinginannya naik pesawat sampai terbawa mimpi. Beruntung mimpi itu akhirnya menjadi kenyataan. Pada 1988 dia mendapat kesempatan untuk menimba ilmu di Jepang selama 8 tahun dalam program Noogyou Kenshuu (halaman 5).

Inilah jalan atau cikal bakal yang membuat Cheriatna memiliki rasa penasaran pada pesona keindahan dunia yang penuh warna.  Beruntung dia berkesempatan jalan-jalan gratis dan mengenal negara-negara lain seperti Singapore, Malaysia dan China. Hingga ketika dia membuka jalan bisnis travel, semakin banyak pengalaman dan negara-negara indah yang sempat ditapaki.

Ketika terjun dalam dunia bisnis travel,  penulis menyadari ada potensi besar yang sangat disayangkan untuk dilewatkan.  Tercatat di Indonesia minat warga untuk berpariwisata ke luar negeri itu sekitar  8 juta orang.  Inilah data yang dipaparkan penulis.  Bahwa ada lima negara Asia paling favorit yang paling sering dikunjungi. Yaitu  Singapura yang mencapai 31%, lalu disusul dengan  Malaysia mencapai 25%. Kemudian berikutnya adalah China sebesar 13%, selanjutnya Arab Saudi ( biasanya untuk umroh ) mencapai 7,5% dan Thailand mencapai 5,9% (halaman 6).  Dan disinyalir setiap tahun angka ini akan semakin bertambah.

Selain memahami minat besar dalam pariwisata, penulis juga menyadari bahwa mayoritas  penduduk Indonesia adalah muslim. Sehingga mungkin akan lebih menyenangkan jika dalam berpariwisata—yang memang dalam kunjungannya tidak melulu ke negara muslim tapi juga negara non muslim—ada fasilitas halal—dalam artian memudahkan dalam segala aspek yang diperlukan.   Seperti mudah menemukan makanan halal, tempat ibadah, adanya jam shalat, dan banyak lagi.  

Dipaparkan pula bahwa tren  wisata halal tidak hanya berkembang pesat di Indonesia, namun juga di luar negeri. Seperti Korea, Jepang  bahkan Eropa.  Di sini penulis menunjukkan data-data yang akurat tentang semakin berkembangnya wisata halal.   Dan ternyata wisata halal ini tidak hanya diminati oleh  wisatawan muslim saja, namun juga diminati wisatawan non muslim dengan berbagai aspek alasan. 

(Contoh makanan halal di Korea. Sumber gambar :  Laris Manis Bisnis Wisata Halal)


(Contoh masjid  di Jepang. Sumber gambar : Laris Manis Bisnis Wisata Halal)


Dalam mengembangkan bisnisnya, selain memahami pasar, penulis juga pintar dalam memanfaatkan media sosial untuk menjaring konsumen. Seperti memanfaatkan facebook, google play, tulisan di blog atau google adwords dan banyak media lain yang saat ini mulai merangkak banyak digunakan.

Bukankah ini sebuah jalan yang memikat? Karena ketika  berani mengambil langkah seperti ini, bukan tidak mungkin membuka jalan bagi diri sendiri  untuk memuskan dahaga menyambangi berbagai tempat wisata.   Bagaimana tidak?   Di sana kita bisa  menjadi pemandu wisata yang otomatis bisa ikut jalan-jalan. Atau  melalui fee hasil penjualan tour yang bisa digunakan untuk perjalanan sendiri. Hal ini sebagaimana yang sudah dirasakan salah satu kenalan penulis. 

(Keliling dunia dengan bisnis travel : Sumber gambar : Laris Manis Bisnis Wisata Halal)


Ditambah lagi dari bisnis ini bisa jadi jalan untuk muhasabah diri, menjadi jalan perenungan dan rasa syukur kepada Allah.  Tahu, tidak  traveling adalah salah satu perintah yang disarankan untuk dilakukan bagi seorang muslim. Rasulullah, perawi hadist dan sahabat Rasul sering melakukan perjalanan demi mendapatkan sebuah ilmu atau pencerahan. Traveling ini dapat menjadi media belajar, melapangkan hati, dan mengenal betapa maha dahsyatnya kebesaran Allah di hamparan bumi.  “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya.” (QS.Al-Mulk:15) (halaman 21).

Bisa dibilang Cheria Travel  sudah memiliki nama baik yang tidak diragukan lagi dalam sisi kualitas dan kuantitas. Hal ini bisa kita lihat jelas dan testimoni yang diberikan para wisatawan. 

(Salah satu testimoni wisatawan yang memakai jasa Cheria Travel. Sumber gambar : Laris Manis Bisnis Wisata Halal)


Begitu pula dengan prestasi yang selama ini sudah diraih Cheria Travel. Di antaranya  : 

(Salah satu prestasi Cheria Travel. Sumber gambar : Laris Manis Bisnis Wisata Halal)


Terarik untuk mencoba berwisata melalui Cheria Travel? Atau malah ingin mencoba membuka bisnis yang sama?  Di sini selain kita akan mendapat info perihal wisata, kita juga diajak mengenal bagaimana memulai bisnis  keren ini. Misalnya, apa saja yang diperlukan agar bisnis bisa berjalan lancar? Bagaimana memulainya dan banyak lagi. Insya Allah tidak menyesal karena banyak ilmu yang dipaparkan bisa diambil pembelajaran. 

6 negara ini adalah negara yang bisa menjadi pilihan untuk  wisata halal. Sumber gambar : Laris Manis Bisnis Wisata Halal.




Tertarik dan ingin mencoba?

Dipaparkan dengan gaya bahasa yang lugas dan mudah dipahami, membuat membaca buku ini asyik untuk dinikmati. Ditambah lagi dalam buku ini juga dilampirkan bukti-bukti outentik yang menambah kelebihan.  Apalagi yang lampiran gambar negara yang pernah disambangi dan contoh makanan halal, semakin membuat terpikat untuk mencoba melakukan traveling dan mencoba bisnisnya juga. 


Lebih lengkapnya bisa buka. Hanya saja, saya  di sini saya masih menemukan sedikit salah tulis. Di mana banyak tanda baca yang tidak berada pada tepatnya. 

  • mau ke mana?, asyik = mau ke mana? Asyik (halaman 5).
  • kitapun = kita pun (halaman 5). 
  • pernghargaan  dunia  , tapi = penghargaan dunia, tapi (halaman 20). 
  • rezeki-Nya....."= rezeki-Nya .... (tanda baca kelebihan) (halaman 21). 
  • buat sistem , beriklan = buat sistem, beriklan (halaman 22).
  • Kok bisa?, iya. = Kok bisa, ya? (halaman 22). 


Dan beberapa bagian ada tulisan yang masih terasa loncat-loncat. Dan saya pribadi buku ini kurang panjang biar lebih puas mengenal bagaimana cara bisnis yang baik.  Namun lepas dari kekurangannya buku ini tetap asyik untuk dibaca. 


Srobyong, 26 Januari 2017 

Tulisan  ini diikutkan dalam lomba resensi Buku Laris Manis Bisnis Wisata Halal

Monday 23 January 2017

[Resensi] Makna Genius dari Berbagai Negara

Dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat,  Sabtu 14 Januari 2017 


Judul               :  The Geography of Genius
Penulis             : Eric Weiner
Penerbit           : Qanita
Cetakan           : Pertama, Juni 2016
Tebal               : 576 hlm
ISBN               : 978-602-402-024-8
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.



Sebagian orang mengartikan genius sebagai ciri orang-orang yang cerdas dan memiliki IQ tinggi.  Namun menurut Eric pendapat itu terlalu sempit dan menyesatkan. Pada kenyataannya banyak yang ber-IQ tinggi yang tak punya banyak prestasi. Sebaliknya banyak orang dengan kecerdasan rata-rata melakukan hal-hal besar.

Di sini Eric memiliki definisi favorit mengenai genius—yaitu seseorang dengan kemampuan untuk menelurukan ide-ide yang baru, mengejutkan dan bernilai (hal 15). Bermula dari sana, Eric memiliki pemikiran untuk mencoba mengenal makna lain genius dengan melihat sudut pandang berbeda, bukan dari cara yang lazim.

Hal ini-lah yang pada akhirnya membawa Eric menjelajahi berbagai negara di mulai dari Athena sampai Silicon Valley. Mencari tahu hubungan antara lingkungan, budaya, ide-ide kreatif dan inovatif,  dengan makna  genius.  Kenapa  disebut genius? Apakah karena faktor lingkungan,  gen,  atau ada alasan lain? Dan kenapa Yunani dan beberapa negara lain kerap disebut-sebut segara negara peradapan? Selain tiga pertanyaan ini masih banyak lagi hal yang menarik dan perlu diungkap.

Perjalanan pertama dibuka dengan keberangkatan Eric ke Athena, Yunani. Bahwa genius itu sederhana. Lalu dilanjutkan mengenal setiap jengkal Hangzhou, Cina. Yang mana genius itu bukan hal yang baru di sana. Dari tahun 969 sampai 1276 SM, saat bangsa Eropa masih sibuk mencabuti kutu dari rambut, Cina sudah sibuk menciptakan, menemukan, menulis, melukis dan memperbaiki kondisi umat manusia secara umum (hal 122).

Tidak kalah menarik adalah perjalannya ke Edinburg, Skotlandia. Di sana dianggap genius itu praktis. Bangsa Scotlandia berkontribusi besar untuk—dan  dalam banyak kasus menciptakan—bidang kimia, geologi, teknik, ekonomi, sosiologi, filsafat,  puisi dan lukisan. (hal 251).  

Selain tiga tempat ini, tentu saja masih banyak tempat-tempat lain yang disambangi Eric demi menemukan kolerasi antara lingkungan, budaya,  ide-ide inovatif dengan maksud dari genius. Dipaparkan dengan gaya bahasa lugas, cerdas namun sesekali humoris, membuat buku ini sangat berwarna dalam rasa.

Membaca buku ini selain kita memahami makna kegeniusan dalam sudut pandang lain, kita jadi mengenal tentang peradaban negara-negara maju yang memberi banyak inspirasi dengan berbagai kemajuan zaman yang pada akhirnya kita nikmati saat ini.  Orang genius lebih, bukan kurang, terhubung dengan lingkungan mereka dibanding kita semua. Mereka melihat hal-hal yang tak terlihat oleh kita (hal 211).  Dan orang genius lebih banyak memiliki semangat juang dari yang lain.

Srobyong, 6 Januari 2016



Wednesday 18 January 2017

[Cerma] Si Tukang Tanya

Dimuat di Minggu Pagi, Jumat 13 Januari 2017 

  • Ratnani Latifah

            Raisa menatap takjub tanpa berkedip. Selalu seperti itu ... setiap kali melihat cerpen karya Fina—teman satu kelasnya  dimuat di media.

            “Semoga setelah ini, cerpen aku.” Begitulah kata yang selalu dirapalkan Raisa. Selalu.  Dan setelah itu dia akan menjadi si tukang tanya. Begitulah julukan Raisa. Karena di kepalanya selalu ada banyak pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontarkan.

~*~

            “Selamat, ya, Fin. Dimuat lagi. Itu berapa lama masa tunggunya?” cerocos Raisa tanpa jeda.
         
Fina mengerutkan kening sebentar. Tangannya nampak menghitung. “Kalau nggak salah, hampir satu bulan, Rai. Kenapa?”

            “Nggak, sih. Tanya aja. Lumayan lama, ya,” Raisa menatap Fina meminta persetujuan.

            “Yah, memang begitu prosedurnya, Rai. Kita kan tidak bisa buat aturan sendiri. Bahkan ada yang  masa tunggunya sampai enam bulan.” Raisa mengangguk paham mendengar penjelasan Fina.

             Setelah itu, Raisa kembali berkutat dengan cerpen Fina. Dia membaca cerpen yang berjudul ‘Laki-laki Bermata Cokelat’  dengan saksama. Setelah selesai senyum mengembang nampak di bibir Raisa.

            “Ini, keren sekali, Fin. Asli. Aku selalu suka cerpen-cerpenmu. Bagus banget,” puji Raisa bertubi-tubi.

 “Terima kasih,” jawab Fina kalem.

           “Emm ..., kok  kamu bisa buat kayak, gini, sih, Fin? Caranya gimana? Aku penasaran banget.”

            Fina menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia agak bingung juga kalau Raisa mulai melancarkan aski pertanyaan yang selalu bertubi-tubi.

“Kalau aku, sih, Rai ..., biasanya suka mengamati apa yang ada di sekeliling aku ...,” Fina berhenti sejenak. “trus kalau ada yang menarik, langsung aku tulis. Diendapkan sebentar, editing. Lalu dikirim dan tinggal nunggu. Itu aja.”

“Ah, tidak ketinggalan selalu banyak  baca buku buat nambah kosa kata, dan amunisi otak.” Fina tertawa renyah.

“Nggak ... nggak gitu, Fin.” Raisa menggelengkan kepalanya.

I mean ... bagaimana kamu bisa membuat cerpenmu selalu ada ruhnya? Serasa hidup gitu, deh,  Fin.  Dan lagi setting kami juga detail banget, lokalitasnya kerasa banget. Nah itu bagaimana kamu bisa membuatnya?”

Fina menatap lama teman satu kelasnya itu.  Lalu dengan sabar mulai menjelaskan pertanyaan yang diajukan Raisa.

“Kapan-kapan aku diajari, ya.” Raisa menunjukkan wajah memelas.

“Boleh saja, Rai. Yang penting kamu mau belajar dengan sungguh-sungguh.” Raisa langsung kegirangan.

“Siap, aku selalu bersungguh-sungguh, Rai, makanya aku banyak bertanya biar dapat ilmu.”

 Fina hanya bisa menatap Raisa dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Raisa memang  selalu seperti itu jika berhubungan dengan dunia kepenulisan.  Raisa  akan terus bertanya padanya lagi dan lagi soal tips menulis dan bagaimana cara mengirim naskah.  Karena memang itu-lah hobinya. Sesuatu yang bagus memang, tapi kadang kurang disukai Fina, karena cukup membuat tidak nyaman. Bukannya Fina pelit berbagi ilmu. Ada alasan sendiri kenapa Fina agak tidak menyukai pertanyaan Raisa.  

~*~

Keesokan harinya, Raisa sudah duduk manis di depan bangku Fina.

“Fin, aku mau tanya lagi, nih, soal dunia literasi.” Raisa memamerkan senyum super ceria.

“Boleh, Rai. Nanti kalau bisa insya Alllah aku jawab.” Fina lalu melepas tas yang sedari digendong dan duduk  berhadapan dengan Raisa.

“Asyik!” pekik Raisa dengan suara agak kencang.  “Oh iya, untuk tugas yang kemarin lusa, maaf aku belum sempat menulisnya.  Aku banyak kerjaan di rumah.” Raisa tersenyum penuh sesal.

“Aku akan menulisnya nanti, janji, deh.” Beberapa hari lalu,  Raisa memang sempat belajar menulis bersama Fina di perpustakaan. Selain Raisa ada juga teman-temaan yang lain. 

“Segera ditulis Rai. Sayang idenya kalau tidak dieksekusi. Teman-teman  yang lain katanya sudah mulai menulis.” Fina mengingatkan.  

“Tenang, aku pasti menulisnya. Makanya itu aku mau bertanya lagi padamu, Fin.” Raisa berhentik sejenak. “Jadi gini ...,” Raisa menunjukkan majalah yang dia bawa.

“Kamu tahu, kan ... aku pengen banget bisa nulis kayak kamu, Fin. Apalagi sampai dimuat di media. Itu adalah mimpi aku. Tapi ...,” Raisa menggantung ucapannya sebentar.

“Tapi apa, Rai?” Fina menatap tidak paham.

Raisa menarik napas sebentar. Lalu mulai berkicau dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepalanya.

“Bagaimana biar tulisan itu bagus dan dilirik media? Ayo dong bagi tips biar tembus media, gitu. Trus, apa penulis harus punya nama pena?  Penting nggak sih, nama pena itu? Trus  ... trus gimana cara mengatasi writer’s block? Aku suka gitu soalnya. Dan kapan waktu yang tepat buat nulis? Oh, iya, lupa. Media mana yang menerima cerpen genre remaja?  Boleh minta alamatnya? Kemarin aku lupa belum menyimpannya setelah tanya kamu.”

Fina hanya bisa menarik napas mendengar pertanyaan Raisa yang runtut itu. Temannya itu memang sangat pandai kalau disuruh mengajukan pertanyaan.  Selalu. Setiap hari, tanpa henti. Raisa kalau bertanya sudah seperti radio rusak.  Semua orang mengetahuinya.

“Pertanyaanmu banyak banget, Rai. Sampai bingung.” Fina berusaha bersikap tenang menghadapi temannya yang satu ini.  “Aku jawab satu-satu, ya,”

“Siap, aku akan mendengarkan dengan baik.” Raisa mengacungkan ibu jarinya.

“Tapi sebelum itu aku boleh tanya sesuatu?” Fina menatap manik mata Raisa yang terlihat bingung.

“Em ... tentu saja boleh. Santai saja, Fin.”

“Itu ...,” Fina agak tidak enak. Dia agak ragu menanyakannya. Tapi mungkin ini adalah saat yang tepat. Dia harus mengatakan apa yang dirasakannya pada sikap Raisa selama ini. Setidaknya itu bisa membuat Raisa sadar.

“Ayolah, katakan saja. Ngaak apa-apa, kok?” Raisa tetap terlihat ceria.

“Maaf, kamu bilang selama ini ingin menjadi penulis, kamu juga selalu aktif bertanya dan ikut berbagai diskusi kepenulisan bareng aku dan teman yang laian.” Fina berhenti sejenak.

“Iya, aku memang melakukannya. Kan buat dapat ilmu, Fin. Seperti yang kamu bilang.”

“Jujur ..., aku sangat salut akan antusiasmu. Tapi, kenapa kamu tidak pernah mencoba menulis, Rai? Setiap aku beri tugas, ada saja alasan yang kamu kemukakan. Selama ini kamu hanya bertanya ini dan itu. Padahal modal utama menjadi penulis adalah menulis.  Lalu dibantu  dengan mau  membaca dan  mulai mengirim agar tulisanmu. Pelajari media yang dituju biar tahu tulisan yang disukai.

“Kalau kamu hanya bertanya dan no action, itu akan percuma, Rai. Bukannya semua pertanyaan itu sudah sangat sering kamu tanyakan padaku?”  

Raisa menelan ludah. Seketika wajahnya memerah. 

Srobyong, 24 Oktober – 15 Desember 2016.

Ini naskah asli ketika mengirim, versi aslinya bisa dibaca pada picture atau di Kliping Sastra