Dimuat di Republika, Minggu 1 Oktober 2017
Ratnani Latifah
Kosim mengumpulkan
warga. Ketika mereka sudah berbondong-bondong datang, dipandangnya lekat-lekat
orang yang berjejer itu. Kosim menghela napas. Lalu tangan kanannya yang sudah
membawa oncor membuat kuda-kuda untuk melemparkannya.
“Karepmu
opo, Sim, gawe geger deso bengi-bengi.”[2] Seorang bapak menatap tidak suka pada Kosim. Benci.
“Koe
pengen kuwalat bakar tempat iki, ngerti ora!”[3]
Kosim hanya
tersenyum miring. “Lho buat apa dibiarkan to, Pak. Kalau setiap hari hanya
dikosongkan. Tidak ada yang menghidupkan tempat ini. Tidak ada manfaatnya. Kata
Bapak, apa-apa yang tidak dimanfaatkan lagi, lebih baik dimusnahkan saja. Iya,
kan?”
~*~
dari cerita si kosim
ReplyDeleteaku juga jadi inget kampung halaman ku yang sekarang berubah lebih maju
dan bangunan bangunan tinggi mulai padat
tempat lapangan bermain sudah mulai hilang, langgar yang dulu ramai sekarang sepi.. cuma di bula ramadhan ramenya
emang sangat di sayangkan.. harusnya kemajuan teknologi dan kesibukan, manusia tidak seharusnya melupakan yang di atas
Iya Mas, sebuah kenyataan yang membuat sedih.
ReplyDelete