Monday 2 October 2017

[Resensi] Sebuah Usaha dalam Menemukan Jodoh Terbaik

Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu 1 Oktober 2017

Judul               : Complicated Thing Called Love
Penulis             : Irene Dyah
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, Februari 2016
Tebal               : 256 halaman
ISBN               : 978-602-03-2557-6
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

“Adilkah sebuah hubungan jika salah satunya begitu mantap, sementara seorang lainnya masih terbata-bata menetapkan hati?” (hal 140).

Setiap orang sudah pasti ingin mendapatkan jodoh sesuai pilihan hati. Seseorang yang memiliki standar kriteria yang kita harapkan dan pastinya juga kita cintai.  Begitu pula dengan Nabila. Dia berpendapat pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Dan dia berharap apa yang dia putuskan nanti adalah pilihan yang tepat. Memilih sosok yang nantinya akan menjadi imam, kekasih, sahabat dan  ayah dari putra dan putrinya tentu harus selektif.

Novel ini dengan mengambil tema utama cinta yang memaparkan dengan apik tentang dilema yang sering dihadapi kaum perempuan. Apalagi kalau bukan jodoh. Membicarkan jodoh itu sama halnya dengan membicarakn cinta—tidak akan pernah habis. Selalu menarik dan asyik untuk diikuti.

Mengisahkan tentang Nabila yang tengah dilema dalam menentukan siapa calon pendamping paling baik dalam hidupnya.  Selama ini,  hidup Nabila sudah terbiasa diarahkan oleh ibunya. Apa saja yang dilakukan Nabila selalu atas  saran dan masukan ibunya. Bahkan ketika dia akhirnya memutuskan melajutkan pendidikan sekolahnya di Jepang. Begitu pula kali ini. Ibunya dengan gencar menjodohkan Nabila dengan Bagas—anak dari salah satu kenalannya.  Memang benar Bagas sangat baik dan memiliki karir cemerlang. Namun apakah itu cukup jika hati Nadia belum sepenuhnya terpatri di dalamnya?

Di sinilah masalahnya. Akhirnya Bagas benar-benar melamarnya. “Semua berjalan seperti yang kita inginkan. Jadi kupikir, sudah waktunya aku menyerahkan cincin pertunangan ini. ibumu juga menyetujuinya .... Restu dari beliau sama pentingnya dengan pendapatmu.” (hal 95).  Belum lagi Bagas juga mengajak Nabila untuk pulang bersama ke Yogyakarta untuk mempersiapkan lebih lanjut tentang pertunangan mereka.

Merasa bingung dan tidak tahu harus bagaimana, Nabila kemudian meminta saran kepada empat sahabat yang dia miliki. Ada Sora, Aalika, Dania dan Dewi. Dia pun dengan jujur menceritakan bahwa masih ada bayang-bayang masa lalu—cinta monyet Nabila yang masih bersarang kuat di hatinya. Bayu itulah laki-laki yang masih memenuhi ruang di hati Nabila.

“Menikah tidak mungkin hanya pakai cinta. Cinta kan bisa dipelajari, bisa dipupuk. Apalagi untuk pasangan nikah. Yang penting pilih calon yang oke dulu, meyakinkan sebagai suami dan bapak. Pilih dulu dengan logika. Urusan hati berikutnya saja menyusul. Belajar mencintai pelan-pelan pasti bisa dilakukan. Pepatah ‘witing tresno jalaran saka kulino itu bukan omong kosong.” Dania memberi saran (hal 108).

Namun nyatanya Nabila masih bingung. Bahkan ketika ketiga temannya masing-masing memberi saran, Nabila tetap masih ragu dalam menentukan pilihan. Antara mempertahankan ego memilih Bayu atau menerima Bagas yang tak sepenuhnya dia cintai.

Ini bukan kali pertama membaca karya Irene Dyah.  Dan selama ini saya selalu menikmati kisah-kisah yang disajikannya. Begitupula dengan novel ini.  Meski ada rasa berbeda dari novel-novelnya yang terdahulu, novel ini tetap sangat menghibur dan memuat banyak pesan moral. Di sini penulis memaparkan kisah dengan bahasa yang renyah dan mudah dipahami.

Membaca novel ini seperti melihat potret kehidupan nyata yang kerap terjadi di sekeliling kita. Bagaimana seorang wanita merasa dilema ketika harus menetukan jodoh terbaik untuk menjadi pasangan seumur hidupnya. Juga tentang sosok ibu yang selalu berusaha mengatur kehidupan sang anak. Memang benar  itu baik. Namun kadang kala sebuah paksaan itu tidak patut dilakukan. Semestinya orangtua harus memberi kesempatan anaknya dan saling berdiskusi untuk jalan yang terbaik.

Dari novel ini kita bisa belajar bahwa dalam memilih pasangan hidup kita harus memikirkan dengan baik dan selektif.  Selain cinta kita juga harus melihat tentang akhlaknya. Karena laki-laki yang baik biasanya akan membawa pasangannya pada jalan yang baik pula. Dan antara anak dan ibu harus ada komunikasi yang baik agar tidak terjadi salah paham.

Srobyong, 2 September 2017 

No comments:

Post a Comment