Monday 2 October 2017

[Resensi] Obsesi Monyet yang Mencintai Kaisar Dangdut

dimuat di Tribun Jateng, Minggu 1 Oktober 2017

Judul               : O
Penulis             : Eka Kurniawan
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, Maret 2017
Tebal               : 470 halaman
ISBN               : 978-602- 03-2559-0
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama, Jepara.

Ini merupakan naskah asli, sebelum diedit redaksi Tribun Jateng 

“Baru pertama kali aku dengar di masa lalu semua monyet adalah ikan dan monyet bisa menjadi manusia. Monyet adalah monyet dan manusia adalah manusia, seperti batu adalah batu.” (hal 284).

Siapa yang tidak geli ketika mendengar bahwa monyet bisa menjadi manusia? Bagaimana itu bisa terjadi?  Namun O—seekor monyet yang tinggal di Rawa Kalong selalu percaya bahwa monyet bisa berubah menjdi manusia.  Dia pernah mendengar ada seekor monyet bernama Armo Gundul telah berubah menjadi manusia. Begitupula dengan kekasihnya—Entang Kokasih, yang saat ini telah berubah menjadi Kaisar Dangdut.

Oleh karena itu O terus berjuang agar bisa seperti kekasihnya dan akhirnya mereka bersatu. O tidak peduli meski apa yang dia lakukan bisa dibilang tidak mudah. Demi berubah menjadi manusia, O mengikuti Betalumur—pawang topeng monyet. Meski kerap kali disakiti secara fisik, O tidak pernah menyerah. Karena yang dia tahu, itulah jalan satu-satunya agar dirinya bisa menjadi manusia.  Hal itu sebagaimana yang pernah dia dengar dari para tetua monyet dulu. Bahwa dengan bergabung dengan sirkus topeng monyet, maka seekor monyet bisa menjadi manusia (hal 5).  

“Dengar. Jangan sekali pun kau mau diperbudak manusia. Jadilah Tuhan untuk dirimu sendiri. Kau bisa hidup seperti apa pun yang kau mau.” (hal 74).

Namun di mata Kirik—seekor anjing yang tidak sengaja bertemu dengan O—berpendapat bahwa apa yang dilakukan O itu berbuatan yang konyol dan tidak masuk akal. Bagaimana mungkin monyet bisa menjadi manusia? Kirik belum pernah melihat sejarah seperti itu dan sangat tidak percaya. Kirik juga menasihati O agar meninggalkan Betalamur yang selalu berbuat seenaknya pada O.

 “Lupakan keinginanmu untuk menikah dengan Kaisar Dangdut. Pakai otakmu, O. Sekali menjadi monyet, selamanya monyet. Kau tak perlu mempercayai omong kosong bahwa seekor monyet bisa menjadi manusia.” (hal 279).

Novel ini tidak hanya menceritakan tentang O—seekor monyet yang jatuh cinta dengan Raja Dangdut.  Di sini masih banyak kisah-kisah lain yang tidak kalah menarik dan kisah O Sendiri.  Misalnya saja tentang perjuangan Kirik yang ingin menemukan ibunya, kisah seekor burung  Kakaktua, juga kisah si Kaisar Dangdut sendiri yang penuh intrik.

Semua dipaparkan dengan porsi yang pas oleh penulis. Banyaknya tokoh dalam cerita ini tidak mengurangi keseruan dari perjalanan O dalam usaha bertemu kembali dengan Entang Kosasi. Apalagi dalam setiap kisah memang terdapat benang merah yang saling terkait.

Sebuah novel yang menarik dan memikat. Banyak sindiran-sindiran satire yang ditulis Eka Kurniawan tentang manusia itu sendiri, juga berbagai permasalahan  hidup lainnya. “Hidup hanya perkara siapa memakan siapa. Jika ingin bertahan hidup, jangan biarkan makhluk lain memakan dirinya.” (hal 120).  Ini adalah gambaran nyata kehidupan saat ini. Kerap kali kehidupan saat ini laiknya kembali ke zaman dahulu yang menganut sismtem rimba. Siapa kuat dia yang menang.

Tidak ketinggalan ada nilai-nilai religi yang diperhatikan oleh penulis. “Kita diciptakan oleh Yang Mahapencipta. Tujuan kita di dunia adalah untuk mengikuti apa pun yang diperintahkan Yang Mahapencipta, agar kita memperoleh jalan untuk kembali kepada Yang Mahapencipta.” (hal 165). 

Selain itu tentu saja masih banyak sindiran-sindiran yang patut kita renungkan. Secara garis besar penulis mencoba menunjukkan tentang carut-marutnya kehidupan manusia saat ini. selalu ada sisi positif dan negatif dalam hidupini. Hanya saja dalam novel ini masih ditemukan beberapa kesalahan tulis. Namun begitu kekurangan yang ada tidak sampai merusak mood baca. Belum lagi kisah ini ditutup dengan ending yang tidak terduga. Maka pantas jika buku ini masuku  sebagai 5  besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2016.

Srobyong, 24 September 2017 

No comments:

Post a Comment