dimuat di Tribun Jateng, Minggu 1 Oktober 2017
Judul : O
Penulis : Eka Kurniawan
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, Maret 2017
Tebal : 470 halaman
ISBN : 978-602- 03-2559-0
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatu Ulama, Jepara.
Ini merupakan naskah asli, sebelum diedit redaksi Tribun Jateng
“Baru pertama kali aku dengar di
masa lalu semua monyet adalah ikan dan monyet bisa menjadi manusia. Monyet
adalah monyet dan manusia adalah manusia, seperti batu adalah batu.” (hal 284).
Siapa yang tidak geli ketika
mendengar bahwa monyet bisa menjadi manusia? Bagaimana itu bisa terjadi? Namun O—seekor monyet yang tinggal di Rawa
Kalong selalu percaya bahwa monyet bisa berubah menjdi manusia. Dia pernah mendengar ada seekor monyet
bernama Armo Gundul telah berubah menjadi manusia. Begitupula dengan
kekasihnya—Entang Kokasih, yang saat ini telah berubah menjadi Kaisar Dangdut.
Oleh karena itu O terus berjuang
agar bisa seperti kekasihnya dan akhirnya mereka bersatu. O tidak peduli meski
apa yang dia lakukan bisa dibilang tidak mudah. Demi berubah menjadi manusia, O
mengikuti Betalumur—pawang topeng monyet. Meski kerap kali disakiti secara
fisik, O tidak pernah menyerah. Karena yang dia tahu, itulah jalan satu-satunya
agar dirinya bisa menjadi manusia. Hal
itu sebagaimana yang pernah dia dengar dari para tetua monyet dulu. Bahwa
dengan bergabung dengan sirkus topeng monyet, maka seekor monyet bisa menjadi
manusia (hal 5).
“Dengar. Jangan sekali pun kau mau
diperbudak manusia. Jadilah Tuhan untuk dirimu sendiri. Kau bisa hidup seperti
apa pun yang kau mau.” (hal 74).
Namun di mata Kirik—seekor anjing
yang tidak sengaja bertemu dengan O—berpendapat bahwa apa yang dilakukan O itu
berbuatan yang konyol dan tidak masuk akal. Bagaimana mungkin monyet bisa
menjadi manusia? Kirik belum pernah melihat sejarah seperti itu dan sangat
tidak percaya. Kirik juga menasihati O agar meninggalkan Betalamur yang selalu
berbuat seenaknya pada O.
“Lupakan keinginanmu untuk menikah dengan
Kaisar Dangdut. Pakai otakmu, O. Sekali menjadi monyet, selamanya monyet. Kau
tak perlu mempercayai omong kosong bahwa seekor monyet bisa menjadi manusia.” (hal 279).
Novel ini tidak hanya menceritakan
tentang O—seekor monyet yang jatuh cinta dengan Raja Dangdut. Di sini masih banyak kisah-kisah lain yang
tidak kalah menarik dan kisah O Sendiri. Misalnya saja tentang perjuangan Kirik yang
ingin menemukan ibunya, kisah seekor burung
Kakaktua, juga kisah si Kaisar Dangdut sendiri yang penuh intrik.
Semua dipaparkan dengan porsi yang
pas oleh penulis. Banyaknya tokoh dalam cerita ini tidak mengurangi keseruan
dari perjalanan O dalam usaha bertemu kembali dengan Entang Kosasi. Apalagi
dalam setiap kisah memang terdapat benang merah yang saling terkait.
Sebuah novel yang menarik dan
memikat. Banyak sindiran-sindiran satire yang ditulis Eka Kurniawan tentang
manusia itu sendiri, juga berbagai permasalahan
hidup lainnya. “Hidup hanya perkara siapa memakan siapa. Jika ingin
bertahan hidup, jangan biarkan makhluk lain memakan dirinya.” (hal 120). Ini adalah gambaran nyata kehidupan saat ini.
Kerap kali kehidupan saat ini laiknya kembali ke zaman dahulu yang menganut
sismtem rimba. Siapa kuat dia yang menang.
Tidak ketinggalan ada nilai-nilai
religi yang diperhatikan oleh penulis. “Kita diciptakan oleh Yang
Mahapencipta. Tujuan kita di dunia adalah untuk mengikuti apa pun yang
diperintahkan Yang Mahapencipta, agar kita memperoleh jalan untuk kembali
kepada Yang Mahapencipta.” (hal 165).
Selain itu tentu saja masih banyak
sindiran-sindiran yang patut kita renungkan. Secara garis besar penulis mencoba
menunjukkan tentang carut-marutnya kehidupan manusia saat ini. selalu ada sisi
positif dan negatif dalam hidupini. Hanya saja dalam novel ini masih ditemukan
beberapa kesalahan tulis. Namun begitu kekurangan yang ada tidak sampai merusak
mood baca. Belum lagi kisah ini ditutup dengan ending yang tidak terduga. Maka
pantas jika buku ini masuku sebagai 5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2016.
Srobyong, 24 September 2017
No comments:
Post a Comment