[sumber gambar pixiz]
Judul :
Jalani, Nikmati, Syukuri
Penulis :
Dwi Suwiknyo
Penerbit :
Noktah (Diva Press Group)
Cetakan :
Pertama, Januari 2018
Tebal :
260 halaman
ISBN :
978-602-50754-5-2
“Kita memang tidak bisa memilih bagaimana cara kita
memulai hidup ini, tetapi kita masih diberi kesempatan untuk memikirkan
bagaimana cara kita menikmati hidup ini, dan bagaimana cara kita menyikapi
hasilnya.” (hal 10)
Setiap orang sudah pasti ingin menjalani hidup
bahagia. Bohong besar jika ada orang yang ingin hidup dalam kesusahan apalagi
penderitaan. Namun yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana agar kita bisa hidup
bahagia? Apakah harus dengan memiliki harta berlimpah ruah, memiliki rumah besar, mobil dan berbagai
fasilitas mewah lainnya? Atau ... adakah
cara lain agar kita bisa bahagia?
Maka tepat sekali jika kita membaca buku karya Mas
Dwi ini. Dengan bahasa yang lugas,
menarik, gamblang dan apa adanya Mas Dwi mencoba mengupas tuntas tentang
bagaimana kita bisa menjalani hidup bahagia yang sesungguhnya. Di mana fokus pembahasan adalah tiga kata yang sesuai dengan judul buku ini
“Jalani, nikmati dan syukuri”. Jangan sepelekan tiga kata tersebut. Karena di
balik tiga kata itu, tersimpan kekuatan besar yang tidak pernah kita kira. Dari analisis saya setelah membaca
keseluruhan, saya menyimpulkan :
Jalani berarti kita berani menerima
setiap tantangan hidup yang ada di depan kita—baik suka atau duka—karena
keduanya memang satu paket yang tidak mungkin terpisah. Entah hidup miskin atau kaya, semua tetap
dijalani dengan baik.
Nikmati berarti kita menerima ketentuan
Allah dengan sabar dan ikhlas. Jika kita ikhlas pasti apa yang terjadi dalam
kehidupan kita, insya Allah akan lebih ringan. Meski kita dalam kesulitan. Kita
akan selalu yakin di balik cobaan Allah selalu ada berkah.
Syukuri berarti kita harus mensyukuri
apa pun keadaan kita. Jika ada cobaan kita harus tetap mensyukuri, mungkin itu
jalan Allah dalam mengingatkan dan meninggikan derajat kita. Jika kita mendapat
kelimpahan rezeki, syukuri dan tidak lupa saling berbagi sebagai wujud terima
kasih kepada Allah.
Inilah kunci kebahagiaan yang harus kita terapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa kebahagiaan tidak hanya diukur dari uang
atau barang mewah. Lihat saja kenyataan saat ini, orang yang semakin kaya
bukannya hidup tenang, mereka malah takut kehilangan harta yang telah
dikumpulkan. Berbeda dengan orang miskin yang hidup sederhana namun nampak
bahagia karena selalu menerima dan mensyukuri nikmat yang ada. Jadi, bahagia yang
ingin disampaikan penulis adalah tentang sikap menerima dan mensyukuri semua
nikmat Allah. Itulah bahagia yang
sebenarnya.
Buku ini sendiri terdiri 50 (belum prolog dan
epilog) pembahasan yang pastinya akan membuat kita menyadari tentang pentingnya
tiga kata—yaitu jalani, nikmati dan syukuri—yang nantinya akan menuntun kita
pada hidup bahagia.
Secara keseluruhan buku ini sangat menginspirasi dan memotivasi untuk
menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Setiap kali membaca saya jadi berkaca
pada diri sendiri. Sudahkah saya menjalani hidup ini dengan baik dan bahagia?
Sudahkan saya menikmati dan mensyukuri semua yang dititipkan Allah? Belum lagi quote-quote
dan kutipan hadis atau Al-Quran sedikit banyak membuka ruang memori saya
tentang berbagai kejadian hidup yang sempat saya alami. Juga menjadi alarm
pengingat untuk muhasabah diri.
“Jangan
sampai semua kesibukan kita justru mengeraskan hati, mengeruhkan pikiran, dan
harus diwaspadai bila sampai melemahkan iman.”
(hal 11)
Kata-kata ini saya temukan di akhir kalimat prolog
buku. Dan jujur saya sedikit tersentak karena mengingatkan saya tentang kebiasaan
saya yang kadang terlalu fokus dan terforsir akan pekerjaan. Bahkan ketika saya sudah sangat
lelah dan sakit, saya masih berusaha menyelesaikan apa yang sudah saya mulai.
Tapi membaca sebuah kisah nyata yang dipaparkan
penulis, seketika saya menyadari, mungkin ada yang salah dalam pola pikir saya.
Maka selesai mengkhatamkan buku ini, saya mulai mencoba membagi waktu antara
pekerjaan, juga kegiatan lain yang menyenangkan.
Jangan sampai karena terlalu fokus akan pekerjaan,
malah membuat saya lupa diri, bahkan tak memikirkan kesehatan yang sejatinya
tidak kalah penting. Karena nikmat sehat adalah lebih berharga dari segala
nikmat.
“Jika
kita yakin Allah akan mengurus semua urusan kita, tidak akan ada rasa khawatir
apalagi menggugat kehendak-Nya.” (hal 18)
Sebagai hamba, kita harus yakin bahwa adalah
sebaik-baik pemelihara kita. Hanya Allah yang pantas kita sembah dan tempat
kita bersandar dalam segala keadaan kita harus yakin Allah selalu mendengar doa
hamba-hamba-Nya.
Quote ini mengingatkan saya pada kejadian di masa
lalu, tentang keinginan saya yang sangat ingin melanjutkan sekolah ke perguruan
tinggi. Namun sayang beberapa tes beasiswa yang saya ikuti belum berhasil saya raih.
Sedih tentu saja, tapi daripada mendekam dengan rasa
sedih berkepanjangan, saya memilih segera move on dengan kegiatan lain. Tidak lupa dalam sujud
malam, saya selalu menyelipkan doa kepada Allah. karena saya selalu yakin Allah
itu Maha Mendengar dan tahu apa yang terbaik untuk saya. “Berdoalah kepadanya, pasti Aku kabulkan untuk kalian.”
(hal 23)
Hingga akhirnya di penghujung tahun 2010 Allah
memberikan kesempatan saya untuk menuntut ilmu
dengan cara yang tidak terduga.
“Keberuntungan hadir
setelah kita membersihkan diri, yakni dengan berlapang dada (mau menerima)
dengan sabar atas apa pun yang dikehendaki Allah.” (hal 36)
Quote ini semakin membuat saya yakin, bahwa Allah
selalu memiliki skenario yang indah bagi setiap hamba-Nya. Mungkin pada awalnya
kita harus jatuh lebih dulu sebelum kebaikan diberikan kepada kita. Saya pikir
inilah cara Allah menempa kita menjadi pribadi kuat, yang tidak mudah putus asa dan
selalu berjuang.
“Apa-apa
yang menjadi hak kita akan kembali kepada kita. Dan apa-apa yang bukan hak
kita, dikejar-kejar sampai kapan pun, tidak akan pernah kita dapatkan.” (hal
38)
Allah selalu memiliki skenario terbaik. Menempatkan
sesuatu sesuai kebutuhan dan kondisi. Jadi jika harapan yang kita bangun tidak
sesuai, maka kita harus sabar dan bersyukur. Karena selalu ada nilai kebaikan
di balik pilihan Allah.
Pernah suatu hari, naskah saya dimuat di salah satu
media di Indonesia. Konon katanya honor tulisan akan diberikan satu minggu
setelah pemuatan. Itulah yang saya ketahui dari info teman-teman sesama
penulis. Namun setelah satu bulan lebih, ternyata honor saya tidak cair juga.
Penasaran dan kadang sebal juga, kenapa kok media yang terkenal selalu rapi
dalam pencairan honor, pas giliran saya malah seret?
Saat itu saya bingung harus konfirmasi ke mana untuk
menyakan masalah honor. Akhirnya daripada
dikuasai amarah, saya memilih ikhlas dan pasrah kepada Allah. Berpikir
barangkali honor itu belum rezeki saya.
Mungkin akan ada gantinya yang lain yang lebih baik. Kalau memang masih
rezeki pasti akan kembali.
Tapi di suatu hari setelah beberapa bulan berlalu,
dari salah satu grup kepenulisan, tanpa sengaja saya menemukan sebuah
kontak bagian honorarium media tersebut. Maka dengan niat mencoba-coba
saja, saya memberanikan diri bertanya soal horor saya yang belum cair. Siapa sangka jawabannya sungguh melegakan dan
tidak lama kemudian honor pun cair. Wah ... ternyata masih rezeki.
Ada pula kisah lain. Masih berhubungan dengan
masalah honor. Kali ini bukan dengan media koran, tapi dengan salah satu
penerbit yang memang kerap memberi honor jika bukunya diresensi di media
tertentu. Di mana honor akan diberikan
di awal bulan. Tapi setelah menunggu beberapa bulan tidak cair, saya pun
mencoba bertanya secara baik-baik. Dan alhamdulillah ada respon baik juga.
Namun sayangnya sampai saat ini honor tersebut tidak pernah cair. Maka saya menyimpulkan honor tersebut belum
rezeki saya. Ya, sudah ikhlaskan saja.
Pengalaman serta quote ini membuat saya terus
belajar untuk menjadi pribadi yang lebih ikhlas dan menerima. Karena dengan
menerima hati jadi lebih tenang.
“Jangan
khawatir bila hasilnya tidak
seperti yang kita ikhtiarkan. Sebab hadiah dari Allah tak selalu terbungkus dengan indah. Kadang Allah membungkusnya
dengan masalah demi masalah, tetapi di dalamnya selalu ada berkah. Insya
Allah.” (hal 45)
Saya selalu yakin Allah adalah sebaik-sebaik tempat
bersandar. Allah paling tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Sebagaimana yang
pernah saya alami, ketika awal-awal saya mulai mencoba mengirim naskah ke
penerbit mayor.
Saat itu ada sebuah pencarian naskah di salah satu
penerbit besar di Indonesia. Dengan modal nekat, saya pun mencoba menulis dan
mengirimkan naskah tersebut. Tapi sayang, naskah itu belum sesuai dengan selera
redaksi. Konon katanya tema yang saya garap sudah terlalu banyak di pasaran. Meski sempat sedih, akhirnya saya memilih
mencoba mengirim ke penerbit lain yang saya lihat sesuai dengan genre buku yang
saya tulis.
Tapi lagi-lagi Allah belum memudahkan jalan saya.
Naskah itu kembali ditolak. Sakit sih,
karena terus ditolak. Hanya saja saya tidak
mau cepat menyerah. Saya tetap memperbaiki dan berdoa pada Allah. Hingga
di tahun berikutnya, akhirnya naskah itu berhasil terbit di salah satu penerbit
besar di Indonesia.
Inilah pengalaman saya yang semakin membuat yakin
dengan campur tangan Allah yang akan selalu indah pada waktunya. Mengajarkan
pada saya untuk terus berusaha tidak kenal lelah. Meski jatuh kita harus bangkit lagi. Karena kesuskesan
tidak bisa diraih secara instan. Butuh usaha, doa dan keuletan.
“Mulailah
mengubah persepsi kita. Apa-apa yang kita yakini, seketika bisa membuat hidup
kita berubah. Ketika kita meyakini bahwa situasi dan kondisi hidup kita hanya
begini-begini saja, maka masa depan pun terasa suram. Sebalinya, coba simpan
keyakinan yang positif agar hidup kita berubah menjadi lebih optimis.” (hal 51)
Saya sangat suka dengan quote ini. Karena dalam
kalimat itu, kita diingatkan untuk selalu berpikir positif terhadap apa yang
terjadi pada kehidupan kita. Karena
sugesti pikiran kita sesungguhnya memiliki pengaruh dalam hidup yang kita
jalani. Oleh karena itu sebisa mungkin
saya selalu menerapkan sifat positif thinking. Dengan begitu saya akan
lebih mudah bangkit kembali ketika jatuh.
Pernah saya mengalami kegagalan yang berturut-turut
terjadi. Mimpi melanjutkan sekolah gagal, kemudian ujian mendapat syahadah juga
gagal. Saat itu adalah masa yang bagi saya sangat suram. Saya sempat marah pada
Allah. Kenapa saya harus mengalami nasib seperti itu?
Namun kemudian saya sadari, marah tidak akan pernah
menyelesaikan masalah. Saya harus bangkit dan memulai dari awal. Saya harus
yakin bahwa apa yang terjadi ini pasti memiliki hikmah yang lebih baik dari apa
yang saya kira. Beberapa tahun setelah
itu, saya akhirnya benar-benar tahu
Allah sudah menunjukkan jalan terbaik bagi saya.
Buku ini seperti mengajak kita untuk kembali
bernostalgia juga berpikir ke depan untuk memulai lembaran baru dengan jiwa dan
pemikiran yang baru dan segar. Bagaimana tidak, karena setiap kali membaca per
lembar buku ini, saya dibuat terpana juga tersenyum dan geleng-geleng kepala.
Isi buku ini sangat dekat dengan kegiatan sehari-hari kita.
Misalnya saja dalam bab “Yang Penting Yakin”.
Dalam bagian kita diingatkan tentang pentingnya rasa percaya pada Allah. Bahwa
apa yang terjadi pada kita sudah menjadi ketetapan Allah. Kita harus ikhlas
sabar dan selalu bersyukur. Dengan begitu dalam menjalani hidup kita lebih
bahagia.
Dalam bab “Belajar Menerima” di bagian ini,
penulis menekankan apa pun keadaan kita, jangan sampai hal itu membuat kita
merasa rendah diri atau malu. Sebaliknya, kita harus percaya inilah takdir
terbaik yang Allah berikan pada kita. Ingat kisah Tsa’laba yang kala miskin
selalu rajin ibadah? Namun ketika Allah merubahnya menjadi kaya, dia malah
ingkar dan tak mau membayar zakat.
Dalam bab “Kaya Belum Tentu Enak” kita pasti
sering melihat dan menebak-nebak bahwa orang kaya sudah pasti merasa bahagia. Namun
sejatinya prasangka itu tidak selamanya benar. Karena setiap orang pasti
memiliki masalah masing-masing. Jadi daripada memelihara iri dan dengki, lebih baik
memperbaiki diri dan mensyukuri nikmat yang kita miliki.
Tidak kalah menarik pada bab “Berdamai dengan
Diri Sendiri” di sini saya menyadari, kunci kebahagiaan itu berada di
tangan kita sendiri. Bagaimana kita menyikapi setiap masalah dan bagaimana kita
menjalanai hidup ini. Semua kembali pada pribadi masing-masing.
Selain yang sudah dipaparkan tersebut tentu saja
masih banyak bab-bab lain yang tidak
kalah menarik dan memotivasi. Hampir semua materi membuat saya merenungkan
kembali berbagai masalah yang kerap datang silih berganti.
Kekuatan buku ini adalah pada narasi penulis yang
kuat dan persuasif. Sehingga saat kita membaca, kita jadi ikut terpengaruh
untuk segera berbenah diri secepat mungkin. Keunggulan lainnya adalah tentang
ciri khas penulis yang kerap memberikan kisah-kisah inspiratif yang menurut
saya sangat menyenangkan. Karena dari kisah itu, kita mendapat mengambil banyak
keteladan.
Selain itu secara tidak langsung kita diingatkan
untuk tidak baik menantap orang-orang yang berada pada kedudukan tinggi.
Sebaliknya kita harus menatap ke bawah, karena di sana ternyata lebih banyak
orang yang lebih menderita dari pada kita, namun tetap bisa bersyukur dan bahagia.
Selain soal tata penyampaian, penulis juga memiliki
ciri khas tulisan dengan memberikan quote-quote inspiratif. Di mana quote-quote
tersebut sangat membantu dalam meluruskan hati dan renungan mendalam.
Sebab
ikhlas itu tak terucap, dan sabar itu tidak berujung(hal 148)
Kemudian soal
pemilihan cover merah ini, saya rasa sangat cocok dengan tema buku yang
menunjukkan keberanian hidup menuju kebahagiaan. Lalu karikatur dalam beberapa
bab juga memberi warna tersendiri dalam buku.
Saya tidak tahu apakah ini karena gaya tulisan atau
tidak, saya menemukan satu kesalahan tulis dalam buku ini—tulisan fitnah—ditulis
fit nah (hal 151). Namun lepas dari
sedikit kekurangan tersebut, buku ini sangat sayang untuk dilewatkan. Karena
buku ini sangat mencerahkan. Mengingatkan kita tentang nilai penting arti
kebahagiaan.
Hidup
bukan lomba berlari, tapi lomba berbagi. Yang berharga bukan seberapa cepat
kita meraih impian, tapi seberapa banyak manfaat yang bisa kita berikan kepada
orang lain saat impian tersebut akhirnya terwujud.” (hal 109)
Alhamdulilla, resensi ini terpilih menjadi juara ke-3 dalam lomba resensi
buku "Jalani, Nikmati, Syukuri" karya Dwi Suwiknyo
yang diadakan Penerbit Diva Press
buku "Jalani, Nikmati, Syukuri" karya Dwi Suwiknyo
yang diadakan Penerbit Diva Press
Srobyong, 22 Januari 2018
Selak pingin moco bukune. Rongjam rampung ora yo, Nduk? Wkwkwk.
ReplyDeleteKayaknya bisa Mbak. Atau bisa lah 2-3 jam. Heheh
DeleteMenarik sekali bukunya, Mbak.. :)
ReplyDeleteIya Mbak. Menarik, inspiratif dan memotivasi 😊
Deletebacanya bener2 bikin saya sadar. mudah-mudahan isinya pun bisa membuat kita lebih bersyukur menjalani hidup.
ReplyDeleteIya, Insya isinya sangat memotivasi dan mengajak kita untuk selalu bersyukur 😊
DeleteIya, Insya isinya sangat memotivasi dan mengajak kita untuk selalu bersyukur 😊
DeleteSukaaak mbak <3
ReplyDeleteTerima kasih ^_^
Delete