Monday 29 January 2018

[Resensi] Belajar Fakta Sains dari Cerita

Dimuat di Kedaulatan Rakyat, Senin 15 Januari 2018 


Judul               : Superkidz Science Story : Keajaiban Alam Sekitar
Penulis             : Lish Adnan
Ilustrator         : Rahmat Algifari
Penerbit           : Visi Mandiri
Cetakan           : Pertama, Agustus 2017
Tebal               : 96 halaman
ISBN               : 978-602-612-257-5
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

Salah satu metode pendidikan yang bisa kita gunakan untuk memberi pelajaran dan wawasan  pada anak adalah metode membaca. Dan salah satu bacaan yang kerap disukai anak-anak adalah cerita-cerita yang juga dilengkapi gambar. Di mana dengan adanya gambar hal itu akan menumbuhkan daya imajinasi anak.

Sebagaimana buku ini, dilengkapi dengan gambar-gambar menarik dan lembar kegiatan aktivitas yang memacu daya ingat anak, pastinya akan membuat anak tertarik. Apalagi dalam buku ini penulis juga menambahkan tentang fakta-fakta sains yang kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya tentang proses fotosintesis, terjadinya hujan, terjadinya siang malam, mengapa daun berwarna hijau, kenapa kita butuh makan dan minuman, serta banyak lagi.  

Tidak ketinggalan, dalam setiap cerita yang disampaikan penulis, juga mengandung nilai-nilai pendidikan moral. Buku ini sangat patut dikenalkan kepada anak. Karena selain sebagai sarana menumbuhkan minat baca, anak bisa belajar tentang sains dan budi pekerti baik dari buku ini.

Misalnya saja kisah berjudul “Daun Merah Muda” yang mengajarkan kita untuk selalu meminta izin jika meminjam barang orang lain. Selain itu kita juga diajak mengenal kenapa daun bisa memiliki warna hijau. Bahwa daun yang berwana hijau berarti daun itu memiliki zat hijau daun atau disebut klorofil.  (hal 12-13). 

Ada pula kisah berjudul “Matahari Hilang”. Kisah ini mengingatkan kita untuk tidak suka memberi komentar negatif pada hal-hal yang kurang kita pahami. Sebaiknya kita bertanya dahulu jika belum paham atau tidak tahu. Lalu dalam masalah sains, dari kisah ini kita diajak mengenal bagaimana proses terjadinya siang dan malam. Di mana proses terjadinya siang malam ini memiliki hubungan erat dengan revolusi dan rotasi bumi (hal 30).

Tidak kalah menarih adalah kisah berjudul “Bentuk Awan yang Lucu”. Dari kisah ini kita diingatkan untuk tidak mudah putus asa. Jika gagal, kita harus segera bangkit dan mencoba  lagi. Dan kita juga dikenalkan dengan asal muasal terjadinya awan (hal 38-39).

Selain tiga kisah tersebut, tentu saja masih banyak kisah-kisah menarik yang patut kita ikuti.  Dengan bahasa yang mudah dimengerti anak, penulis membuat cerita-ceritanya menarik dan bersahabat. Apalagi kisah-kisah yang dituturkan kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari anak. Buku bagus dijadikan bacaan  bagi anak. karena  selain bisa menghibur juga menambah wawasan dan mengajarkan pendidikan budi pekerti baik bagi anak.

Srobyong, 30 Desember 2017 

[Resensi] Pembawa Petaka

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 28 Januari 2018 



Judul               : Game of Hearts ; Love in Las Vegas
Penulis             : Silvarani
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama,  September 2017
Tebal               : 225 halaman
ISBN               : 978-602-03-6634-0
Persensi           : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama, Jepara

Mengambil tema yang tidak biasanya, saya cukup salut dengan keberanian penulis. Di mana dia  mengangkat tema tentang perjudian yang marak terjadi di mana-mana. Mengambil setting di Las Vegas yang memangnya surganya judi, semakin membuat kisah novel ini menarik. Belum lagi selain tentang perjudian, novel ini juga dibumbui dengan berbagai masalah pelik tentang kehidupan keluarga, dendam dan tidak ketinggalan masalah cinta yang selalu menjadi pemanis yang banyak disukai pembaca.

Aldhan Prasetya Aridipta tidak menyangkan kehidupannya yang sudah berantakan—akibat tumbuh dalam lingkungan broken home—korban perceraian orangtua—kini  semakin kacau ketika tiba-tiba dia diminta melakukan perjalanan ke Las Vegas. Sayangnya Aldhan tidak bisa menolak perjalanan bisnis itu. Karena hal itu bersangkutpaut dengan hutang ayahnya dan demi kelancaran bisnis keluarganya.  Belum lagi jika dia menolak, nyawa ayahnya berada dalam bahaya (hal 42).

Perjalanan  itu akhirnya mengantarkan Aldhan mengenal Ryker Preston si pemilik kasino. Di sana dia baru tahu bahwa ayahnya mulai melakukan judi sejak 1997 dan utangnya semakin menumpuk. Yang mana semua dimulai dengan tragedi yang cukup heboh tentang likuidasi bank tahun ’97—yang mana dimulai tahun itu ayahnya memang memilih hidup nonmaden (hal 46).

Lepas dari masa lalu, sejak itu Aldhan menginjakkan kaki di Las vegas,  kehidupan baru  telah dimulai. Aldhan harus melakukan perjalanan dari kasino ke kasino bersama Reika Matilda, salah satu anak buah Ryker Preston—pemilik kasino, tempat Aldhan harus membayar utang. Reika mengajarkan Aldhan cara bermain judi berdasarkan matematika, sehingga dia bisa melunasi utang ayahnya dengan cepat.

Namun semakin hari, petualangannya ke berbagai kasino di Las Vegas membuat Aldhan merasa tidak tenang. Aldhan memang bukan sosok religius, namun dia tetap ingat tentang tumpukan dosa yang akan dia dapat jika terus bersikap tidak terpuji seperti yang kerap dia lakukan—bermain perempuan juga sering meninggalkan kewajiban salatnya. Beruntung dia memiliki sopir pribadnya, Jack—yang sudah dia anggap sebagai keluarga—sering mengingatkannya tentang kebajikan dan nilai-nilai spiritual.

“Hidup adalah meyakini ketentuan Allah. Jika ingin mendapatkan, selalu berusaha, sebaliknya jika tak dapat, ikhlaskan dan tetap berprasangka baik kepada Allah.” (hal 214).

Di sisi lain, Aldhan juga jadi tidak fokus karena selalu kepikiran dengan Reika, yang benar-benar menarik perhatiannya. Tapi Aldhan tidak pernah tahu apa isi kepala Reika yang ternyata menyimpan sebuah bom yang tidak terduga. Yang menjadi pertanyaan berhasilkah Aldhan melunasi utangnya dan bagaimana kisah cintanya dengan Reika? 

“Begitulah hidup. Terkadang apa yang kamu inginkan sulit sekali digenggam. Justru yang tak terlalu kamu inginkan mengemis untuk dimiliki.”  (hal 109).

Membaca novel ini seperti menonton film-film luar tentang perjudian. Cukup seru dan menghibur. Hanya saja dalam novel ini saya merasa ada beberapa bagian yang terasa lambat dan ada beberapa logika kisah yang menurut saya kurang logis. Tapi lepas dari kekurangannya novel ini memiliki nilai lebih tentang bagaimana penulis mengeksplore ceritanya. Pemakaian gaya bahasa yang renyah juga menjadi nilai tambah sendiri.

Yang saya suka dari novel ini adalah nilai-nilai kehidupan dan pesan moral yang ingin disampaikan penulis. Kita diingatkan tentang peran orangtua dan dampak  perceraian orangtua terhadap anak.  Bahwa anak tidak hanya butuh materi saja, namun juga butuh kasih sayang. Selain itu kita diingarkan untuk tidak memelihara dendam. Karena dendam hanya akan membuat kita menjadi pribadi yang rugi.

Tidak ketinggalan poin penting dari novel ini adalah, menunjukkan bahwa judi itu meski terlihat menyenangkan dan praktis, namun juga menyimpan bahaya yang jauh lebih besar. Judi mengundang petaka bahkan bisa jadi mengatarkan nyawa kita hilang. Judi juga perbuatan dosa yang dilaknat Allah.

Srobyong, 20 Januari 2018 

Friday 26 January 2018

[Resensi] Ekspedisi Modigliani di Nias Selatan Tahun 1886

Dimuat di Radar Sampit, Minggu 21 Januari 2018 


Judul               : Tanah Para Pendekar
Penulis             : Vanni Puccioni
Terjemah         :  Nurcahyani Evi, dkk
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, Desember 2016
Tebal               : 376 halaman
ISBN               : 978-602-03-3164-5
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama, Jepara.

Membicarakan tentang Nias, hal pertama yang akan kita ingat adalah tentang fahombo, hombo batu  atau “lompat batu” yang dulu pernah dijadikan gambar pada uang seribu rupiah.   Dulu hombo batu merupakan sebua ritual yang dilakukan oleh penduduk laki-laki di Nias, Sumatra Utara sebagai bentuk kedewasaan diri. Dan sekarang kegiatan itu dikenal sebagai olahraga khas suku Nias.  

Sebagaimana pulau-pulau lain yang berada di Indonesia, pulau Nias juga memiliki adat dan kebiasaan sendiri—khususnya penduduk pedalaman Nias. Hanya saja selama ini kita belum mengetahui secara jelas bagaimana kebiasaan dan adat pulau tersebut yang ternyata menyimpan banyak sekali cerita. Termasuk sejarah etnografi manusia pada masa itu. kenyataan tentang betapa beringas dan menakutkannya para penduduk Nias, tapi juga kenyataan bahwa mereka sejatinya adalah orang-orang yang  baik hati dan terhormat.

Melalui buku ini, Vanni Puciano mencoba memaparkan kembali tentang perjalanan pria berkebangsaan Italia—Elio Modigliani.  Dia menetap di Nias dari April – September 1886, mengekplorasi Nias Selatan yang merupakan daerah kekuasaan suku para pemburu kepala manusia. Dan para pemburu itu tidak pernah berhasil ditundukkan pasukan Belanda.  

Kepergiannya dikawal empat pemburu asal Jawa dengan membawa berbagai barang—salah satunya tembakau—untuk menarik perhatian penduduk Nias. Modigliani berkata kepada ahli hutan bahwa ia berniat mencari dan mengoleksi berbagai jenis burung, tanaman dan kupu-kupu. Tapi sesungguhnya Modigliani memiliki alasan lain yang sungguh menakutkan. Sebuah alasan yang konon membuat dia harus siap mengantarkan nyawa jika tidak cerdas dalam ekspedisinya.

Mengingat penduduk Nias Selatan sangat suka berperang, dan memiliki tradisi unik yaitu memburu kepala manusia. Sebuah tradisi yang memiliki nilai dan arti yang tinggi dalam masyarakat Nias tersebut (hal 25).

Tapi bukan Modigliani jika merasa gentar. Dia sama sekali tidak takut dan terus menelusir setiap jengkal tempat di Nias Selatan. Dia mengeksplorasi satu desa ke desa lain. Dimulai dari Desa Bawolowalani yang mempertemukannya dengan tokoh unik, Faosi Aro—raja Bawolowalani.  Lelaki licik yang mencoba memanfaatkan Modigliani dan mengambil keuntungan dari sikap Modigliani yang dermawan.

Kemudian Modigliani juga mengunjungi Desa Hilizihono, Hilisimaetono, Hilizihono, Hilisimaetono dan  Hilisondrekha—tempat yang akhirnya membuat Modigliani dapat menyaksikan lompat batu untuk pertama kalinya (hal 195) dan banyak tempat lagi yang masih dia eksplore.   Perjalanan menyeberangi sungai dan keluar masuk hutan dengan taruhan nyawa menjadi perjalanan sehari-hari bagi Modigliaano  dengan anggotanya.

Namun pada akhirnya, Modigliani berhasil menuntaskan eksplorasinya di Nias Selatan. Sebuah kenyataan yang tidak terduga, karena pada akhir-akhir perjalanan, konon Modigliano sempat bersitegang dengan rasa dari salah satu suku, dia juga sempat sakit Malaria. Namun nyata Modigliano bisa kembali ke Florence dengan membawa berbagai temuan yang nantikan akan dipajang di Museum Nasional Antropologi dan Etnografi di Florence.

Buku ini sangat mendebarkan dan menarik. Membacanya membuat saya teringat dengan film-film petualangan yang penuh lika-liku dan pembantaian.  Dari buku ini kita bisa mengatahui tentang adat dan kebiasaan suku Nias di zaman dulu. Di mana pada masa itu budaya Nias masih didominasi kekuatan gaib—yang mana jika penduduk sakit, penduduk akan menyerahkan proses pengobatan kepada  dukun (ere), karena dukun adalah satu-satunya perantara dengan dunia gaib (hal 69).  Dan  penduduk Nias memiliki kebiasaan memburu kepala manusia untuk beberapa alasan (hal 177).

Selain memiliki kebiasaan yang bisa dibilang menakutkan, sejatinya masyarakat Nias sebenarnya bangsa yang demokratis dan bebas dari tingkat sosial. Sebuah buku yang menarik dan menambah wawasan, hanya saja dalam buku ini  ada ketidakkonsisten penulis dalam memanggil Modigliani, yang kadang ditulis Elio, terkadang Modigliani.  Namun lepas dari kekurangannya, buku ini patut dibaca untuk semua kalangan.

Srobyong, 29 Juli 2017 

Wednesday 24 January 2018

[Resensi] Sukses Menjadi Muslimah Empowered

Dimuat di Jateng Pos, Minggu 14 Januari 2018 

Judul               : Awe Inspiring Me
Penulis             : Dewi Nur Aisyah
Penerbit           : Ikon imprint of Serambi
Cetakan           : Pertama, Januari 2017
Tebal               : 232 halaman
ISBN               : 978-602-74653-4-3
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama Jepara

“Sukses adalah milik pembelajaran yang tak kenal lelah. Karena ketika kamu tahu lebih banyak, kamu bisa mencapai lebih banyak.” (hal 18).

Buku ini dengan paparan yang apik dan memikat mengajak kita, menjadi para muslimah yang   luar biasa—muslimah empowered. Dalam artian kita diajak menjadi pribadi yang berani mengukir prestasi, berjuang dan pantang menyerah dalam meraih mimpi tanpa melupakan kodrat kita sebagai seorang wanita—tetap tampil anggun dalam kaidah syar’i, pandai mengelola hati serta dekat dengan Ilahi. Terdiri dari enam bab, buku ini sangat patut kita baca sebagai bekal untuk menjadi muslimah berkualitas, muslimah empowered.

Pada bab pertama kita diajak menjadi muslimah yang berani. Kita pasti sangat paham tentang tuntutan bagi muslimah untuk menutup aurat—menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Jilbab merupakan  identitas diri.  Namun kadang masalah jilbab ini  sering dianggap sebagai penganggu atau penghalang meraih mimpi. Ada mitos yang menganggap dengan berjilbab akan membuat gerak jalan kita dibatasi. Tidak bisa melanjutkan pendidikan—apalagi ke luar negeri, sulit mendapat pekerjaan,  jodoh dan terkengkang di lingkungan sosial.

Padahal sesungguhnya pendapat itu sangat salah. Dalam hal ini Dewi Nur Aisyah—penulis buku ini telah membuktikan, meski dia memakai jilbab, nyatanya dia tetap bisa melanjutkan bidang studinya di luar negeri—tepatnya di London. Dan dia mendapat perlakuan yang hangat. 

Tidak hanya itu Dewi ternyata juga banyak mengukir prestasi. Di antaranya menjadi perwakilan Indonesia di ajang internasional Imagene Cup Student Competition di Mesir  dan finalis Altech Young Scientist Programme pada tahun 2010.  Mark Sanborn pernah berkata, “Tidak ada yang bisa mencegahmu memutuskan menjadi luar biasa.” (hal 21).

Kemudian dalam masalah pekerjaan. Memang kadang kala dalam mencari pekerjaan kita akan menyalami kesulitan. Tergantung dengan ikhtiar dari masing-masing individu. Namun kita harus yakin semua itu tidak ada hubungannya dengan  status kita sebagai muslimah.  Mengutip perkataan Asma Nadia, “Jika kita menjadi yang terbaik di bidangnya, tentu tidak akan ada yang menolak kita.” (hal 25).

Jadi jangan pernah takut menjadi diri sendiri—menjadi muslimah yang berdedikasi. Bisa dikatakan, sukses bukanlah suatu kebetulan. Sukses lahir dari kerja keras, kegigihan, banyak belajar, berani berkorban, dan yang terpenting, mencintai hal yang kamu lakukan.”  

Lalu soal jodoh. Sebagai muslimah kita sepatutnya tidak perlu resah dan galau.  Karena Allah sudah menjanjikan dalam firman-Nya yang suci bahwa wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, sedangkan wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik pula.  Jadi sudah menjadi tugas kita dalam masa penantian selalu memperbaiki diri, menjaga kerlip cinta dalam keikhlasan, menjaha kesucian khayalan, lisan, dan perilaku sehari-hari (hal 27).

Lalu pada bab dua, di sini penulis membahas tentang pentingnya menyusun recana masa depan.  Sukses itu tidak terjadi begitu saja, tapi butuh direncanakan. Gagal merencanakan sama saja dengan merencanakan kegagalan (hal 45).  Penting kita ketahui dengan mengetahui rencana dan tujuan apa yang ingin kita sampai, maka kita bisa belajar mengenal kondisi lingkungan sekitar, apa yang dibutuhkan dalam mencapai mimpi atau apa saja rintangan yang akan menghadang.

Kita harus benar-benar memanfaat waktu muda kita dengan diisi hal-hal yang bermanfaat.  Ibnu Qayyim berkata, “Menyia-nyiakan waktu itu lebih parah daripada kematian. Karena, menyia-nyiakan waktu memutuskanmu dari  (mengingat) Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanya memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”

Sedangkan Imam Syafi’i pernah berkata, “Barangsiapa tidak memanfaatkan masa mudanya untuk menuntut ilmu maka bertakbirlah empat kali untunya sebagai tanda kematiannya.” (hal170-118).

Selain dua bab ini, masih ada pembahasan menarik dari bab-ban yang lain. Seperti ketika harus mengadapi kegagalan, cara mendekatkan diri pada Allah serta mengelola hati. Buku ini benar-benar patut dibaca bagi para muslimah. Dilengkapi dengan tata cara membuat rencana meraih impian menambah nilai lebih dari buku ini.  Beberapa kekurangan yang ada tidak mengurasi esensi dari apa yang ingin disampaikan buku ini.  Sebuah buku yang memotivasi mengajak untuk menjadi pribadi yang berkualitas dan berdedikasi tinggi.

Srobyong, 23 Desember 2017

Tuesday 23 January 2018

[Resensi] Dampak Psikologis Anak Korban Perceraian

Dimuat di Harian Bhirawa, Jumat 12 Januari 2018


Judul               : Seruni
Penulis             : Almas Sufeeya
Penerbit           : Republika
Cetakan           : Pertama, Februari 2017
Tebal               : vi +239 hal
ISBN               : 978-602- 0822-39-6
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

“Kadang, kamu harus mengikhlaskan apa yang tidak bisa kamu cegah. Meskipun kamu sangat mencintai, kamu tidak bisa melindunginya dari kehendaknya.” (hal 86).

Novel ini mengambil tema keluarga.  Tentang kisah anak korban dari perceraian orangtua. Di mana mereka harus menyaksikan perpisahan dua orang yang sangat mereka cintai. Tidak hanya itu dalam novel ini, kita  juga  dihadapkan tentang usaha anak beradaptasi dengan lingkungan baru, ketika sang ayah memilih menikahi wanita baru.

Seruni merasa kecewa dengan perceraian ayah dan ibunya. Apalagi akibat perceraian itu sang ibu sampai meninggal dunia. Sejak itu, Seruni pun harus menerima tinggal bersama ayahnya yang menikah dengan wanita lain—Devi.  Wanita yang konon merusak rumah tangga ayah dan ibunya. (hal 117).

Dan kesedihan Seruni semakin menjadi, ketika harus  tinggal dengan ibu tirinya.  Di sana   dia dan kakaknya—Aster tak pernah sekali pun diperlakukan dengan baik.  Devi hanya berpura-pura baik jika dihadapan ayah mereka. Jika ayahnya tidak ada, Devi kerap berlaku sesuka hati. Menyuruh Aster dan Devi melakukan pekerjaan rumah, sedang dia bersantai-santai.  Selain itu dia juga tidak pernah bisa akrab dengan saudari-saudari tirinya. Keadaan itu pada akhirnya membuat Seruni melakukan sesuatu yang mengejutkan. Membuat semua orang tercengang, khususnya sang kakak, Aster (hal 39).
Lalu setelah tujuh tahun berlalu ...Seruni memutuskan kembali ke Indonesia dengan membawa rindu dan penyesalan. Dia sangat rindu dengan kakaknya. Bisakah Seruni merengkuh semua yang telah ditinggalkannya? Dan Aster, sosok yang sangat dia rindukan, sama sekali tidak mengenalinya. Aster telah berubah, dan semakin membuat Seruni merasa bersalah dan dirundung duka.

“Kebohongan hanya menciptakan ketenangan sementara. Ketenangan semu! Aku tidak mau merasa gelisah karena harus menyimpannya seumur hidup.” (hal 93).

Selain Seruni yang merasakan hidupnya kacau balau karena perceriaan orangtuanya, ada pula Taro yang memiliki tragedi yang sama. Taro juga menyimpan amarah, karena gara-gara ibu tirinya—Devi  sang ayah meninggal. Hal itu-lah yang mendorong Taro untuk membuat kesepatakan bersama Seruni. Mereka ingin membalas dendam pada wanita itu.  Hingga membuat kesepakatan yang mengejutkan.

Lalu ada juga Aster—kakak Seruni. Gadis itu merasa terpukul dengan kepergian adiknya. Dia merasa bersalah, karena tidak menyadari kesedihan adiknya akibat perceraian kedua orangtuanya. Aster marah pada Devi, pada dirinya sendiri dan pada ayahnya. Hingga akhirnya Aster memilih bungkam. Bahkan kalau bisa dia ingin mengikuti jejak adiknya.  Sayangnya usahanya selalu dicegah oleh Ana—adik tirinya.  “Kehilangan yang sebenarnya adalah kehilangan semangat hidup.” (hal 86).  Terakhir ada Ana, dia juga korban perceraian. Namun, gadis berjilbab itu memilih menerima kenyataan itu. Mencoba beradaptasi dan ikhlas menerima keadaan.

Masing-masing tokoh memiliki cara tersendiri dalam menghadapi kenyataan tentang perceraian orangtua. Hingga sebuah kejadian membuat masing-masing menyadari, bahwa amarah, rasa sakit, benci dan dendam hanya berakhir mengotori hati—menjadikan hidup gelap gulita. Dan dendam hanya membuatnya jauh dari Tuhan (hal 163). 

Novel ini diramu dengan apik oleh penulis. Kisah terasa hidup.  Mengambil alur maju mundur, semakin membuat pembaca penasaran dengan akhir cerita. Dan selain mengangat tema keluarga, novel ini juga dibumbui kisah cinta yang lucu dan manis. Secara keseluruhan menarik, meski ada beberapa bagian yang terasa loncat-loncat.

Tapi lepas dari kekurangannya, novel ini menarik. Di sini kita diingatkan, bahwa  perpisahan orangtua memiliki banyak dampak kepada anak. Oleh karena itu, jika memang harus berpisah, orangtua harus tetap memberi pengertian dan mendampingi anak.   Selain itu dalam novel ini kita bisa belajar tentang pentingnya bersyukur dan tidak memelihara dendam, juga merajut kebohongan.

Srobyong, 15 Juli 2017 

Monday 22 January 2018

[Resensi] Hidup Bahagia dengan Menjalani, Menikmati dan Mensyukuri


[sumber gambar pixiz] 

Judul               : Jalani, Nikmati, Syukuri       
Penulis             : Dwi Suwiknyo
Penerbit           : Noktah (Diva Press Group)
Cetakan           : Pertama, Januari 2018
Tebal               : 260 halaman
ISBN               : 978-602-50754-5-2

“Kita memang tidak bisa memilih bagaimana cara kita memulai hidup ini, tetapi kita masih diberi kesempatan untuk memikirkan bagaimana cara kita menikmati hidup ini, dan bagaimana cara kita menyikapi hasilnya.” (hal 10)

Setiap orang sudah pasti ingin menjalani hidup bahagia. Bohong besar jika ada orang yang ingin hidup dalam kesusahan apalagi penderitaan. Namun yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana agar kita bisa hidup bahagia? Apakah harus dengan memiliki harta berlimpah ruah,  memiliki rumah besar, mobil dan berbagai fasilitas mewah lainnya?  Atau ... adakah cara lain agar kita bisa bahagia?

Maka tepat sekali jika kita membaca buku karya Mas Dwi ini.  Dengan bahasa yang lugas, menarik, gamblang dan apa adanya Mas Dwi mencoba mengupas tuntas tentang bagaimana kita bisa menjalani hidup bahagia yang sesungguhnya.  Di mana fokus pembahasan adalah  tiga kata yang sesuai dengan judul buku ini “Jalani, nikmati dan syukuri”. Jangan sepelekan tiga kata tersebut. Karena di balik tiga kata itu, tersimpan kekuatan besar yang tidak pernah kita kira.  Dari analisis saya setelah membaca keseluruhan, saya menyimpulkan :

Jalani berarti kita berani menerima setiap tantangan hidup yang ada di depan kita—baik suka atau duka—karena keduanya memang satu paket yang tidak mungkin terpisah.  Entah hidup miskin atau kaya, semua tetap dijalani dengan baik.

Nikmati berarti kita menerima ketentuan Allah dengan sabar dan ikhlas. Jika kita ikhlas pasti apa yang terjadi dalam kehidupan kita, insya Allah akan lebih ringan. Meski kita dalam kesulitan. Kita akan selalu yakin di balik cobaan Allah selalu ada berkah.

Syukuri berarti kita harus mensyukuri apa pun keadaan kita. Jika ada cobaan kita harus tetap mensyukuri, mungkin itu jalan Allah dalam mengingatkan dan meninggikan derajat kita. Jika kita mendapat kelimpahan rezeki, syukuri dan tidak lupa saling berbagi sebagai wujud terima kasih kepada Allah. 

Inilah kunci kebahagiaan yang harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.   Bahwa kebahagiaan tidak hanya diukur dari uang atau barang mewah. Lihat saja kenyataan saat ini, orang yang semakin kaya bukannya hidup tenang, mereka malah takut kehilangan harta yang telah dikumpulkan. Berbeda dengan orang miskin yang hidup sederhana namun nampak bahagia karena selalu menerima dan mensyukuri nikmat yang ada. Jadi, bahagia yang ingin disampaikan penulis adalah tentang sikap menerima dan mensyukuri semua nikmat Allah.  Itulah bahagia yang sebenarnya.

Buku ini sendiri terdiri 50 (belum prolog dan epilog) pembahasan yang pastinya akan membuat kita menyadari tentang pentingnya tiga kata—yaitu jalani, nikmati dan syukuri—yang nantinya akan menuntun kita pada hidup bahagia.

Secara keseluruhan buku ini  sangat menginspirasi dan memotivasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Setiap kali membaca saya jadi berkaca pada diri sendiri. Sudahkah saya menjalani hidup ini dengan baik dan bahagia? Sudahkan saya menikmati dan mensyukuri semua yang dititipkan Allah? Belum lagi quote-quote dan kutipan hadis atau Al-Quran sedikit banyak membuka ruang memori saya tentang berbagai kejadian hidup yang sempat saya alami. Juga menjadi alarm pengingat untuk muhasabah diri.

“Jangan sampai semua kesibukan kita justru mengeraskan hati, mengeruhkan pikiran, dan harus diwaspadai bila sampai melemahkan iman.” (hal 11)

Kata-kata ini saya temukan di akhir kalimat prolog buku. Dan jujur saya sedikit tersentak karena mengingatkan saya tentang kebiasaan saya yang kadang terlalu fokus dan terforsir akan  pekerjaan. Bahkan ketika saya sudah sangat lelah dan sakit, saya masih berusaha menyelesaikan apa yang sudah saya mulai.  

Tapi membaca sebuah kisah nyata yang dipaparkan penulis, seketika saya menyadari, mungkin ada yang salah dalam pola pikir saya. Maka selesai mengkhatamkan buku ini, saya mulai mencoba membagi waktu antara pekerjaan, juga kegiatan lain yang menyenangkan.

Jangan sampai karena terlalu fokus akan pekerjaan, malah membuat saya lupa diri, bahkan tak memikirkan kesehatan yang sejatinya tidak kalah penting. Karena nikmat sehat adalah lebih berharga dari segala nikmat.

“Jika kita yakin Allah akan mengurus semua urusan kita, tidak akan ada rasa khawatir apalagi menggugat kehendak-Nya.” (hal 18)

Sebagai hamba, kita harus yakin bahwa adalah sebaik-baik pemelihara kita. Hanya Allah yang pantas kita sembah dan tempat kita bersandar dalam segala keadaan kita harus yakin Allah selalu mendengar doa hamba-hamba-Nya.

Quote ini mengingatkan saya pada kejadian di masa lalu, tentang keinginan saya yang sangat ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Namun sayang beberapa tes beasiswa yang saya ikuti belum berhasil saya raih.

Sedih tentu saja, tapi daripada mendekam dengan rasa sedih berkepanjangan, saya memilih segera move on  dengan kegiatan lain. Tidak lupa dalam sujud malam, saya selalu menyelipkan doa kepada Allah. karena saya selalu yakin Allah itu Maha Mendengar dan tahu apa yang terbaik untuk saya. “Berdoalah  kepadanya, pasti Aku kabulkan untuk kalian.” (hal 23)

Hingga akhirnya di penghujung tahun 2010 Allah memberikan kesempatan saya untuk menuntut ilmu  dengan cara yang tidak terduga.

“Keberuntungan hadir setelah kita membersihkan diri, yakni dengan berlapang dada (mau menerima) dengan sabar atas apa pun yang dikehendaki Allah.” (hal 36)

Quote ini semakin membuat saya yakin, bahwa Allah selalu memiliki skenario yang indah bagi setiap hamba-Nya. Mungkin pada awalnya kita harus jatuh lebih dulu sebelum kebaikan diberikan kepada kita. Saya pikir inilah cara Allah menempa kita menjadi pribadi kuat, yang tidak mudah putus asa dan selalu berjuang.

“Apa-apa yang menjadi hak kita akan kembali kepada kita. Dan apa-apa yang bukan hak kita, dikejar-kejar sampai kapan pun, tidak akan pernah kita dapatkan.” (hal 38)

Allah selalu memiliki skenario terbaik. Menempatkan sesuatu sesuai kebutuhan dan kondisi. Jadi jika harapan yang kita bangun tidak sesuai, maka kita harus sabar dan bersyukur. Karena selalu ada nilai kebaikan di balik pilihan Allah.

Pernah suatu hari, naskah saya dimuat di salah satu media di Indonesia. Konon katanya honor tulisan akan diberikan satu minggu setelah pemuatan. Itulah yang saya ketahui dari info teman-teman sesama penulis. Namun setelah satu bulan lebih, ternyata honor saya tidak cair juga. Penasaran dan kadang sebal juga, kenapa kok media yang terkenal selalu rapi dalam pencairan honor, pas giliran saya malah seret?

Saat itu saya bingung harus konfirmasi ke mana untuk menyakan masalah honor. Akhirnya daripada  dikuasai amarah, saya memilih ikhlas dan pasrah kepada Allah. Berpikir barangkali honor itu belum rezeki saya.  Mungkin akan ada gantinya yang lain yang lebih baik. Kalau memang masih rezeki pasti akan kembali.

Tapi di suatu hari setelah beberapa bulan berlalu, dari salah satu grup kepenulisan, tanpa sengaja saya menemukan sebuah kontak  bagian honorarium  media tersebut. Maka dengan niat mencoba-coba saja, saya memberanikan diri bertanya soal horor saya yang belum cair.  Siapa sangka jawabannya sungguh melegakan dan tidak lama kemudian honor pun cair. Wah ... ternyata masih rezeki.

Ada pula kisah lain. Masih berhubungan dengan masalah honor. Kali ini bukan dengan media koran, tapi dengan salah satu penerbit yang memang kerap memberi honor jika bukunya diresensi di media tertentu.  Di mana honor akan diberikan di awal bulan. Tapi setelah menunggu beberapa bulan tidak cair, saya pun mencoba bertanya secara baik-baik. Dan alhamdulillah ada respon baik juga. Namun sayangnya sampai saat ini honor tersebut tidak pernah cair.  Maka saya menyimpulkan honor tersebut belum rezeki saya. Ya, sudah ikhlaskan saja.

Pengalaman serta quote ini membuat saya terus belajar untuk menjadi pribadi yang lebih ikhlas dan menerima. Karena dengan menerima hati jadi lebih tenang.

“Jangan khawatir  bila hasilnya tidak seperti  yang kita ikhtiarkan. Sebab  hadiah dari Allah tak selalu terbungkus  dengan indah. Kadang Allah membungkusnya dengan masalah demi masalah, tetapi di dalamnya selalu ada berkah. Insya Allah.” (hal 45)

Saya selalu yakin Allah adalah sebaik-sebaik tempat bersandar. Allah paling tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Sebagaimana yang pernah saya alami, ketika awal-awal saya mulai mencoba mengirim naskah ke penerbit mayor.

Saat itu ada sebuah pencarian naskah di salah satu penerbit besar di Indonesia. Dengan modal nekat, saya pun mencoba menulis dan mengirimkan naskah tersebut. Tapi sayang, naskah itu belum sesuai dengan selera redaksi. Konon katanya tema yang saya garap sudah terlalu banyak di pasaran.  Meski sempat sedih, akhirnya saya memilih mencoba mengirim ke penerbit lain yang saya lihat sesuai dengan genre buku yang saya tulis.

Tapi lagi-lagi Allah belum memudahkan jalan saya. Naskah itu kembali ditolak.  Sakit sih, karena terus ditolak. Hanya saja saya tidak  mau cepat menyerah. Saya tetap memperbaiki dan berdoa pada Allah. Hingga di tahun berikutnya, akhirnya naskah itu berhasil terbit di salah satu penerbit besar di Indonesia.

Inilah pengalaman saya yang semakin membuat yakin dengan campur tangan Allah yang akan selalu indah pada waktunya. Mengajarkan pada saya untuk terus berusaha tidak kenal lelah.  Meski jatuh kita harus bangkit lagi. Karena kesuskesan tidak bisa diraih secara instan. Butuh usaha, doa dan keuletan.

“Mulailah mengubah persepsi kita. Apa-apa yang kita yakini, seketika bisa membuat hidup kita berubah. Ketika kita meyakini bahwa situasi dan kondisi hidup kita hanya begini-begini saja, maka masa depan pun terasa suram. Sebalinya, coba simpan keyakinan yang positif agar hidup kita berubah menjadi lebih optimis.” (hal 51)

Saya sangat suka dengan quote ini. Karena dalam kalimat itu, kita diingatkan untuk selalu berpikir positif terhadap apa yang terjadi pada kehidupan kita.  Karena sugesti pikiran kita sesungguhnya memiliki pengaruh dalam hidup yang kita jalani.  Oleh karena itu sebisa mungkin saya selalu menerapkan sifat positif thinking. Dengan begitu saya akan lebih mudah bangkit kembali ketika jatuh.
Pernah saya mengalami kegagalan yang berturut-turut terjadi. Mimpi melanjutkan sekolah gagal,  kemudian ujian mendapat syahadah juga gagal. Saat itu adalah masa yang bagi saya sangat suram. Saya sempat marah pada Allah. Kenapa saya harus mengalami nasib seperti itu?

Namun kemudian saya sadari, marah tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Saya harus bangkit dan memulai dari awal. Saya harus yakin bahwa apa yang terjadi ini pasti memiliki hikmah yang lebih baik dari apa yang saya kira.  Beberapa tahun setelah itu,  saya akhirnya benar-benar tahu Allah sudah menunjukkan jalan terbaik bagi saya.

Buku ini seperti mengajak kita untuk kembali bernostalgia juga berpikir ke depan untuk memulai lembaran baru dengan jiwa dan pemikiran yang baru dan segar. Bagaimana tidak, karena setiap kali membaca per lembar buku ini, saya dibuat terpana juga tersenyum dan geleng-geleng kepala. Isi buku ini sangat dekat dengan kegiatan sehari-hari kita.

Misalnya saja dalam bab “Yang Penting Yakin”. Dalam bagian kita diingatkan tentang pentingnya rasa percaya pada Allah. Bahwa apa yang terjadi pada kita sudah menjadi ketetapan Allah. Kita harus ikhlas sabar dan selalu bersyukur. Dengan begitu dalam menjalani hidup kita lebih bahagia.

Dalam bab “Belajar Menerima” di bagian ini, penulis menekankan apa pun keadaan kita, jangan sampai hal itu membuat kita merasa rendah diri atau malu. Sebaliknya, kita harus percaya inilah takdir terbaik yang Allah berikan pada kita. Ingat kisah Tsa’laba yang kala miskin selalu rajin ibadah? Namun ketika Allah merubahnya menjadi kaya, dia malah ingkar dan tak mau membayar zakat.

Dalam bab “Kaya Belum Tentu Enak” kita pasti sering melihat dan menebak-nebak bahwa orang kaya sudah pasti merasa bahagia. Namun sejatinya prasangka itu tidak selamanya benar. Karena setiap orang pasti memiliki masalah masing-masing. Jadi daripada memelihara iri dan dengki, lebih baik memperbaiki diri dan mensyukuri nikmat yang kita miliki.

Tidak kalah menarik pada bab “Berdamai dengan Diri Sendiri” di sini saya menyadari, kunci kebahagiaan itu berada di tangan kita sendiri. Bagaimana kita menyikapi setiap masalah dan bagaimana kita menjalanai hidup ini. Semua kembali pada pribadi masing-masing.

Selain yang sudah dipaparkan tersebut tentu saja masih banyak  bab-bab lain yang tidak kalah menarik dan memotivasi. Hampir semua materi membuat saya merenungkan kembali berbagai masalah yang kerap datang silih berganti.

Kekuatan buku ini adalah pada narasi penulis yang kuat dan persuasif. Sehingga saat kita membaca, kita jadi ikut terpengaruh untuk segera berbenah diri secepat mungkin. Keunggulan lainnya adalah tentang ciri khas penulis yang kerap memberikan kisah-kisah inspiratif yang menurut saya sangat menyenangkan. Karena dari kisah itu, kita mendapat mengambil banyak keteladan.

Selain itu secara tidak langsung kita diingatkan untuk tidak baik menantap orang-orang yang berada pada kedudukan tinggi. Sebaliknya kita harus menatap ke bawah, karena di sana ternyata lebih banyak orang yang lebih menderita dari pada kita, namun tetap bisa bersyukur dan bahagia. 

“Lihatlah  orang yang berada di bawah  kalian dan jangan melihat orang yang berada di atas kalian, karena hal itu  lebih pantas agar kalian tidak menganggap rendah nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepada kalian.” (hal 256)

Selain soal tata penyampaian, penulis juga memiliki ciri khas tulisan dengan memberikan quote-quote inspiratif. Di mana quote-quote tersebut sangat membantu dalam meluruskan hati dan renungan mendalam.
Sebab ikhlas itu tak terucap, dan sabar itu tidak berujung(hal  148)

Kemudian  soal pemilihan cover merah ini, saya rasa sangat cocok dengan tema buku yang menunjukkan keberanian hidup menuju kebahagiaan. Lalu karikatur dalam beberapa bab juga memberi warna tersendiri dalam buku.

Saya tidak tahu apakah ini karena gaya tulisan atau tidak, saya menemukan satu kesalahan tulis dalam buku ini—tulisan fitnah—ditulis fit nah  (hal 151). Namun lepas dari sedikit kekurangan tersebut, buku ini sangat sayang untuk dilewatkan. Karena buku ini sangat mencerahkan. Mengingatkan kita tentang nilai penting arti kebahagiaan.

Hidup bukan lomba berlari, tapi lomba berbagi. Yang berharga bukan seberapa cepat kita meraih impian, tapi seberapa banyak manfaat yang bisa kita berikan kepada orang lain saat impian tersebut akhirnya terwujud.” (hal 109)


Alhamdulilla, resensi ini terpilih menjadi juara ke-3 dalam lomba resensi  
buku "Jalani, Nikmati, Syukuri" karya Dwi Suwiknyo 
yang diadakan Penerbit Diva Press

Srobyong, 22 Januari 2018