Wednesday, 4 October 2017

[Resensi] Menghadapi Drama Kehidupan dengan Bijak

Dimuat di Harian Bhirawa, Jumat 29 September 2017 


Judul               : Lelah dengan Drama
Penulis             : Aron Ashab
Penerbit           : Pastel Books
Cetakan           : Pertama, Januari 2017
Tebal               : 136 halaman
ISBN               : 978-602-0851-80-8
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama, Jepara.

“Jangan pernah menggantungkan nasibmu pada orang lain, gantungkanlah pada dirimu sendiri dan berdoalah kepada Tuhan.” (hal 31).

Dalam kehidupan ini, sudah pasti akan banyak drama yang akan kita hadapi. Dimulai dari drama dengan diri sendiri, drama dengaan keluarga, drama di sekolah, hingga drama dengan karir yang kita rintis. Meski begitu,  kita tidak boleh protes, mengeluh, apalagi jika protes dan keluhan itu ditujukan kepada Tuhan.  Tapi seyogyanya kita menganggap berbgai drama itu sebagai perjalanan hidup (hal 9). 

Buku yang ditulis Aron Ashab ini, dengan cara jenaka tapi mengena mengajaka kita untuk   menghadapi berbagai drama dalam hidup dengan bijak.  Karena drama memang ada bukan untuk dimusuhi, tapi dihadapi dan ditaklukkan agar hidup kita lebih berarti.

Biasanya drama dalam diri sendiri yang sering kita hadapi adalah masalah kepercayaan diri. Kita kerap merasa minder atau nervous dengan kemampuan diri sendiri. Kita kerap merasa tidak memiliki bakat atau malah malu menunjukkan kelebihan karena takut ditertawakan dan berbagai alasan lainnya.  Padahal  Untuk mengatasi masalah itu, maka kita harus percaya pada diri sendiri. “Saat kita udah benar-benar percaya, itulah saat di mana satu kaki kita udah sampai di impian kita. Satu kaki lainnya adalah usaha dan kerja keras kita.” (hal 47).

Kalau dalam keluarga, biasanya ada masa di mana kita, ingin dihargai. Di mana kita merasa sudah dewasa dan tidak ingin apa yang kita lakuka dicampuri orangtua. Padahal jika kita maau berpikir lebih dalam, orangtua hanya khawatir dan tidak ingin sampai kita salah jalan. Oleh karena itu, biar tidak ada drama keluarga, maka komunikasi yang baik akan menjadi solusinya. Dengan begitu tidak ada salah paham, apalagi sampa bertengkar karena tidak satu pikiran.

Di sekolah, drama yang sering terjadi adalah, tentang pergaulan—yaitu bagimana kita membawa diri. Apakah kita bergaul dengan teman-teman yang membawa dampak positif—dalam artian, mengajak kita rajin belajar dan melakukan hal-hal bermanfaat, atau malah mendapat teman yang suka membuat onar, sehingga kita terbawa arus jalan yang salah. Selain itu ada juga masalah pem-bully-an.

Dan jika kita pernah salah jalan—dalam artian ikut menjadi anak bermasalah, maka cara mengatasinya adalah dengan bertaubat, mau merubah diri sendiri menjadi pribadi yang lebih baik. Kesalahan yang pernah kita lakukan, bisa kita jadikan pembelajaran untuk ke depannya. Tidak ada kata terlambat dalam memperbaiki diri.  Yang terpenting adalah kita percaya dengan diri sendiri bahwa kita mampu berubah.

Selanjutnya adalah drama yang sering terjadi dalam karir kita.  Kita pasti sudah paham, bahwa konsep hidup kalau apa yang kita rencanaka belum tentu menjadi kenyataaan. Karena ada Tuhan yang menjadi penentu dari segala perjuangan kita. Jika dalam meniti karir—atau meraih cita-cita, ternyata hal itu sesuai harapan kita, maka seyogyanya kita tetap mensyukurinya. Mungkin itu adalah jalan terbaik yang Tuhan berikan kepada kita. Kita harus tetap berusaha yang terbaik dengan apa yang sudah kita capai. Bisa jadi apa yang tidak kita inginkan, malah menjadi pembuka jalan dari harapan awal kita.

Membaca buku ini selain membuat kita terhibur, penulis juga membuat kita terpekur, memikirkan ulang apa saja yang telah kita lakukan selama ini, dalam menghadapi drama kehidupan kita. Sudahkan kita melakukan hal benar atau belum.  Sebuah buku yang menarik. Beberapa kekurangannya tidak mengurangi esensi dari buku ini.

Banyak pembelajaran yang bisa diambil dari buku ini. “Kalau hati bersih dari iri dengki, rasa marah, dan dendam hidup kita pasti jadi lebih ringan. Lebih luas tempat di hati kita untuk hal-hal yang lebih positif. Kita harus coba forgive and forget biar hati kita lebih lega.” (hal 133).

Sebagai penutup saya ingin membagikan  quote  dari penulis yang membuat saya bersemangat. “Everything is possible but not everything is believable make it believable with your mind then it will possibly happen.” (hal 135).


Srobyong, 23 Juli 2017 

No comments:

Post a Comment