Saturday 22 June 2019

[Resensi] Perjuangan dan Pemikiran Sosrokartono, Kakak Kartini


Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 13 Januari 2019


Judul               : Sosrokartono
Penulis             : Aguk Irawan M.N
Penerbit           : Imania
Cetakan           : Pertama, September 2018
Tebal               : 370 halaman
ISBN               : 978-602-7926-42-4
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama, Jepara

Dalam sejarah kita lebih sering mendengar nama besar R.A Kartini, pejuang emansipasi wanita. Kita tidak tahu, bahwa di balik semangat juang Kartini, ada  Sosrokartono, kakak Kartini, yang ternyata merupakan inspirator dan  guru  bagi Kartini. Pria kelahiran Jepara, 10 April 1877, merupakan sosok jenius. Sosrokartono adalah seorang poliglot yang menguasai 26 bahasa asing dan 10 bahasa Nusantara.

Buku ini dengan pembahasan yang lugas dan mudah dicerna, mengajak kita untuk  mengenal lebih dalam tentang sosok Sostokartono, seorang tokoh yang juga memiliki sumbangsih terhadap tanah air Indonesia. Dia memiliki jiwa patriotisme yang tinggi, yang memiliki kepedulian terhadapan pendidikan rakyat Hindia. Hal itu terbutki nyata dari usahanya yang mencoba melobi salah satu petinggi Hindia Belanda, Tuan Rooseboom yang menjabat sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda.

Tanpa rasa gentar Sosrokartono mengungkapkan tentang ketidakadilan pemerintah Hindia Belanda yang membatasi pendidikan kaum pribumi dan meminta kelonggaran agar kaum pribumi bisa mengenyam pendidikan. “Dengan sepenuh jiwa, dari seorang pemuda Hindia yang selalu rindu dan haus akan pengetahuan, saya, sekali lagi memohon Tuan yang bijaksana, untuk memerhatikan pendidikan rakyat Jawa.” (hal 180).

Dia juga memanfaaatkan momen di Kongres Bahasa dan Sastra Belanda, untuk mengemukakan ide dan gagasan tentang pentingnya mempelajari bahasa Belanda bagi kaum pribumi, agar bisa memahami sistem-sistem yang dilakukan para penjajah.  Sehingga tidak ada salah paham antara pemerintah Hindia Belanda dengan rakyat pribumi. Di mana kerap sekali karena kesalahpahaman berbahasa banyak pribumi yang mendapat hukuman tanpa tahu kesalahan mereka.  Tidak hanya itu Sosrokartono juga menggemborkan tentang sikap perdamaian dan kasih sayang bangsa penjajah  dan tidak bertindak semena-mena (hal 200).

Bagi sebagian kaum cendekiawan Belanda sangat salut dengan gagasan Sosrokartono. Akan tetapi bagi para elit cendekiawan yang memiliki mental penjajah sangat marah dengan keberanian pidato yang disampaikan Sosrokartono.  “Untuk mencapai kemajuan, diperlukan usaha yang lebih keras, Tuan. Untuk mencapai kemajuan pula, selalu ada pihak-pihak yang menentang.” (hal 241).

Di antaranya adalah Prof. Dr. Snouck Hurgronje. Di mana menurut pendapatnya jika, sampai pemerintah Hindia Belanda memenuhi harapan Sosrokartono, maka dikhawarikan rakyat pribumi akan menjadi pribadi yang lebih cerdas dan bisa merongrong kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.
Mereka ingin kaum pribumi tetap bodoh. Karena dengan begitu, mereka akan mudah mengendalikannya. Oleh sebab itu, melihat kepintaran dan luasnya pergaulan Sosrokartono, Dr. Snouck sangat khawatir dan mulai mencari kelemahan Sosrokartono untuk dipermalukan dan tidak berani melawan pemerintah Hindia Belanda.

Sosrokartono juga bersumbangsih dalam berdirinya, sebuah organisasi yang bernama Indische Vereegining atau Perhimpunan Hindia, yang awalnya membahas tentang kehidupan para pelajar mahasiswa Hindia di Belanda namun kemudian berubah menjadi organisasi politik yang bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Meskipun  puluhan tahun Sosrokartono bersekolah di Belanda dan mengembara ke Eropa, dia tetap mencitai bangsanya dan tidak mau menghempaskan nilai-nilai pribumi. Di mana dia tegaskan pada saat berpidato di Kongres Bahasa dan Sastra Belandan ke-25 di Gent, Belgia, pada September 1899, “Dengan  tegas saya menyatakan diri saya sebagai musuh dari siapa pun yang akan membikin kita (Hindia Belanda) menjadi bangsa Eropa atau setengah Eropa dan akan menginjak-injak tradisi serta adat kebiasaan kita yang luhur lagi suci. Selamat matahari dan rembulan bersinar, mereka akan saya tantang.”

Buku ini sangat menarik untuk dibaca. Apalagi memang jarang sekali buku yang membahasa tentang biografi Sosrokartono. Pria jenius dengan segudang prestasinya ini adalah sosok yang patut kita teladani. Karena dia merupakan sosok yang luar biasa. Selain sangat mencintai tanah airnya, dia adalah pemuda yang selalu taat kepada ibu dan ayahnya. Tidak hanya itu dia merupakan sosok yang memiliki spritual tinggi. Di mana karena kemampuannya itu dia bisa mengetahui sesuatu yang belum diketahui orang lain dan bisa menyembuhkan penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh dunia medis. Meskipun sedikit banyak masih ada beberapa kekurangan dalam buku ini, hal itu tidak mengurangi esensi yang ditawarkan penulis.

Srobyong, 1 November 2018

[Resensi] Meredakan Islamofobia di Dunia Barat

Dimuat di Jateng Pos, Minggu  13 Januari 2019 

Judul               : Islamofobia
Penulis             : Karen Armstrong, dkk
Penerjemah      : Pilar Muhammad P
Cetakan           : Pertama, Agustus 2018
Tebal               : 352 halaman
ISBN               : 978-602-441-055-1
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Sejak serangan-serangan  terorisme yang mengerikan, seperti kejadian di Amerika (11 September 2001) serta serangan di Paris (13 November 2015) oleh para ekstremis yang mengatasnamakan Islam, sejak itu timbul-lah prasangka, permusuhan,  ketakutan  dan kebencian terhadap sebagian besar umat Islam.  Gejala inilah yang kemudian lazim disebut dengan Islamofobia.

Dan karena sikap para oknum yang mengatasnamakan Islam dalam perbuatan kejinya, kini Islam dianggap sebagai agama yang monolitik (tunggal-kaku tanpa variasi) dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan realitas-realitas baru. Islam dianggap tidak memiliki nilai-nilai yang sama dengan yang diajarkan agama-agama besar lainnya. Islam adalah agama inferior dalam pandangan Barat, yaitu agama yang kuno, biadab dan tidak rasional. Islam merupakan agama kekerasan dan mendukung terorisme. Dan Islam adalah ideoligi politik yang buas (hal 13).

Dari sebagian kecil umat Islam yang bertindak telah bertindak jahat, kini semua muslim disamaratakan sebagai sosok terorisme dan esktrimisme. Padahal jika boleh jujur, dari sekian banyak korban terorisme  adalah umat Islam itu sendiri.  Kenyataan itu tentu saja cukup membingungkan.  Buku ini hadir dalam upaya untuk menemukan alasan dari mana akar kemunculan Islamofobia di Dunia Barat. Namun lebih dari itu, buku ini juga mengajak kita untuk mencoba meredakan islamofobia agar mengembalikan sikap welas asih antar agama dan antar sesama.

Dibuka dengan artikel karya Karen Amstong, di sini kita akan mendapati fakta bahwa sebenarnya islamofobia sudah muncul  cukup lama di dunia Barat. Pada 2013, Uni Eropa menyatakan bahwa Wahabisme adalah sumber utama terorisme global. Namun, mungkin lebih tepat jika dikatakan bahwa semptinya visi Wahabi merupakan lahan subur bagi berkembangnya ekstremisme. Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, para kepala suku beraliran Wahabi memang benar-benar melakukan serentetan ekspedisi militer penuh kekerasan terhadap kaum Syi’ah (hal 19-20).

John L. Espposito, dalam artikelnya memaparkan bahwa dari berbagai penelitian yang ada  islamfobia meningkat secara siginifikan tidak hanya dengan terjadinya insiden terorisme domestik, tetapi juga pada saat pemilu, seperti yang terlihat pada pemilu presiden tahun 2008 dan 2012 dan pemilu kongres tahun 2010. Selama kampanye, Newt Gingrich, Rick Santorum, Herman Cain dan lainnnya berusaha untuk mendapatkan perhatian dengan membuat pernyataan sembrono tentang orang Islam (hal 87).

Sedangkan sejak awal Islam merupakan agama yang mencintai kedamaian. Hal ini bisa kita lihat dari padangan Nabi Muhammad selama mengajarkan Islam. Nabi Muhammad  mengajarkan umatnya untuk selalu mengasihi manusia agar Allah pun mengasihi mereka. Islam melarang membunuh tawanan, membunuh masyarakar sipil. Islam harus menegakkan hukum dan ketertiban, memerdekan budak, melarang pemerkosaan, mewujudkan perdamaian, melarang membakar hidup-hidup makhluk hidup, dan melarang menyebut orang Muslim sebagai orang kafir.
Dan semua sikap itu berbanding terbalik dengan ajaran para terorisme yang tidak memiliki belas kasih terhadap sesama manusia, tega membunuh masyarakat sipil dan melegalkan perbudakan dan menyukai aksi-aksi kekerasan.

Oleh sebab itu penting sekali bagi kita untuk mulai meredakan islamofobia di dunia Barat. Sehingga dalam hubungan keagamaan dan antar sesama, akan tercipta sikap welas asih juga saling menghormati.  Di antaranya kita bisa memulainya dengan menghormati instrumen-instrumen semua agama, baik itu berupa bangunan yang menaungi penganut agam, ayat-ayat suci atau kitab suci yang dianggap merupakan wahyu Tuhan dan sifat kenabian, meluangkan waktu dengan orang-orang Islam di komunitas, berpikiran terbuka dan banyak lagi.

Imam Abdul Malik Mujahid dalam artikelnya memaparkan 14 cara dalam melawan islamofobia.  Di antaranya kita harus mengingat Nabi. Nabi didera penghinaan mengerikan dan kejahatan kebencian dalam masa hidupnya. Dia tetap teguh, sabar dan toleran menghadapi islamofobia ini.

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan anatara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang setia.” (hal 133).

Buku ini sangat patut dibaca sebagai wacana dalam mengenal sejarah tumbuh kembangnya islamofobia dan di Barat dan bagaimana cara kita melawan dan atau merdakan Islamofobia.

Srobyong, 8 Desember 2018