Thursday 29 December 2016

[Resensi] Pernikahan dan Sekelumit Masalah yang Menyelimuti


Judul               : Critical Eleven
Penulis             : Ika Natassa
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Ketiga, September 2015
Tebal               :  344 hlm
ISBN               : 978-602-03-1892-9

“Hidup itu jangan biasa menikmati yang instan-instan. Jangan mau gampangnya saja. Hal-hal  terbaik terbaik dalam hidup justru seringnya harus melalui usaha yang lama dan menguji kesabaran dulu.” (halaman 21).

Tema pernikahan sudah sering kali dibingkai dalam kisah-kisah novel saat ini.  Namun tetap saja pernikahan dan sekelumit masalah yang sering terjadi, selalu asyik untuk dikulik dan dijadikan cerita. Lagi pula setiap penulis memiliki keunikan tersendiri dalam menuangkan kisah. Serta memiliki gaya bahasa yang berbeda sehingga keberadaan novel-novel itu tetap bisa menambah bacaan yang menghibur dan menginspirasi bagi pembaca. Sebagaimana Critical Eleven—novel yang juga mengusung tema pernikahan namun dengan latar belakang berbeda, serta dikemas dengan gaya bahasa yang asyik. Sehingga novel ini tetap diterima dan bisa membuat pembaca menikmati kisah yang dipaparkan.

Kisah dibuka dengan pertemuan antara Ale—yang seorang petroleum engineer di teluk Meksiko  dan Anya—management consultant, ketika mereka sama-sama melakukan perjalanan ke Sydney.  Ale tengah asyik membaca buku ketika Anya tiba di sisi tempat duduknya (halaman 7). Pada awalnya Anya  berpikir akan kembali terjebak duduk bersama om-om atau anak kecil yang menangis. Tapi perjalanan  kali ini ternyata berbeda. Di sanalah, mereka menghabiskan sedikit waktu dengan obrolan yang cukup menyenangkan, hingga akhirnya mereka saling berbagi nomor kontak.

Pertemuan yang konon disebut critical elevensebelas menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing—karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It's when the aircraft is most vulnerable to any danger (halaman 16).

Sebuah pertemuan yang aneh tapi cukup manis. Dan siapa sangka dari pertemuan tidak terduga itu, Ale dan Anya kemudian memutuskan menikah.   Padahal setelah pertemuan itu mereka tidak saling kontak. Baru sekembalinya Ale dari Teluk Meksiko, tujuh hari mereka bertemu secara intens dan akhirnya memutuskan pacaran (halaman 23).

Pada awalnya pernikahan mereka berjalan lancar. Mereka menjadi sepasang suami istri yang saling memahami dan melengkapi. Namun lima tahun setelah perkenalan itu ... Ale dan Anya dihadapkan pada  sebuah tragedi yang tidak terduga. Tragedi yang membuat mereka harus memikirkan ulang pernikahan mereka.


“Mungkin begini sewajarnya nasib sebuah pernikahan yang dimulai dengan jatuh cinta dalam tujuh hari. Sewajar hujan yang membasahi tanah. Sewajar api yang berasa panas. Dan mungkin, sewajar membenci seseorang yang dulu pernah jadi alasan kita percaya cinta.” (halaman 27).



~*~

Cerita dipaparkan dengan gaya bahasa yang asyik dan memikat. Bahasanya mudah dicerna dan tidak kaku. Pembaca diajak mengenal Ale dan Anya  dari sudut pandang masing-masing tokoh—dengan memakai sudut pandang aku. Jadi kita bebas untuk menyukai, simpati pada tokoh tersebut atau malah membencinya.

Dan kelebihan lain dari novel ini adalah, pemilihan alurnya. Dengan memakai alur  maju mundur penulis berhasil menyimpan puzzle-puzzle yang bisa membuat pembaca penasaran.  Penulis dengan lihai menuntut pembaca untuk terus melanjutkan kisah hingga selesai. Banyak kejutan yang cukup membuat saya terkaget-kaget ketika membaca novel ini secara perlahan-lahan. Hanya bisa berguma “Ohw ... ternyata ....” Memikat.

Dan cara  mengolah tokoh pun  terasa sangat hidup. Baik itu dalam masalah emosi tokoh—ketika membaca novel ini saya bisa ikut merasakan emosi para tokoh dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi. Serta percakapan yang terjadi antara Ale dan Anya. Seperti sedang menonton drama yang membuat gregetan dengan dua tokoh tersebut.

Begitu pula perihal pengolahan setting-nya. Mengingat hal ini juga merupakan salah satu unsur yang penting dalam sebuah cerita. Jika setting dipaparkan dengan baik bisa membuat pembaca nyaman bahkan merasa ikut berada pada suanasa tersebut bahkan melihat gambarannya karena sangat hidup. Berbeda jika setting-nya hanya berusaha tempelan, bahkan seperti membaca artikel. Sedikit banyak hal itu akan mengurangi kenyamanan dalam membaca. Dan pada novel ini saya pikir, penulis bisa mengatasi masalah itu dengan baik. Saya suka cara penulis menggambarkan setiap tempat yang benar-benar terasa nyata.

Tidak kalah menarik adalah perihal konflik yang dihadirkan penulis. Bisa dibilang konfliknya cukup sederhana. Tapi karena dikemas dengan cara berbeda, membuat cerita terasa unik. Saya pikir  nanti akan ada kejutan sebagaimana kisah orang-orang yang bertengkar dalam pernikahannya. Adanya orang ketiga mungkin. Atau perihal sebuah masa lalu yang menyapa. Namun saya salah. Sejak membaca novel ini pembaca diajak menerka-nerka konflik apa yang sampai membuat Ale dan Anya bertengkar hebat dan ingin berpisah? Apa yang membuat Anya sebegitu marahnya pada Ale? Dan kenapa Ale tidak melakukan sesutu dan hanya menuruti kemauan Anya? Rasanya banyak sekali pertanyaan saya ketika membaca novel ini. Dan saya harus sabar agar bisa mengurai benang kusut tersebut.

Meski ini kali pertama membaca karya Ika Natassa, saya cukup terhibur dengan kisah yang dipaparkan.   

Namun tidak ada gading yang tidak retak. Kisah ini memang menarik. Hanya pada pada beberapa bagian dalam novel ini masih terasa hal-hal yang kurang dalam logika saya. Sebagai pembaca saya merasa agak menganggu.

Awalnya saya pikir tokoh novel ini bukan beragama Islam. Karena di sini ada satu bagian menunjukkan Anya menikmati meminum wine (halaman 27).  Tapi saya salah, karena pada bagian lain saya menemukan para tokoh melakukan shalat.  Namun pada bagian lain akhirnya saya menemukan Anya melakukan hal itu karena merasa marah pada Tuhan. Tapi tetap saja saya kurang nyaman pada bagian ini.

Lalu permasalahan Ale yang memelihara anjing. Padahal Anjing adalah binatang yang cukup dihindari, karena air liurnya adalah najis—bahkan harus dicuci sebanyak tujuh kali dengan air dan salah satunya memakai tanah.

Memang sih, ada yang mengatakan boleh memelihara Anjing jika dimaksudkan sebagai penjaga di rumah. Namun di sini saya melihat baik Anya dan Ale terlihat sangat akrab. Sehingga pada kedekatan itu pastinya akan membuat mereka  bisa terkenal air liur anjing.   Mungkin kalau memelihara kucing lebih baik.  (just saran).

Atau mungkin karena ini mengangkat kehidupan masyarakat urban hingga kadang kala beberapa aturan agama sering disepelekan? Siapa yang tahu? Apalagi di era sekarang ini. 

Hal lain yang terasa agak kurang sreg adalah perihal judul Critical Eleven. Pada awalnya saya berpikir kisah kehidupan mereka akan ada hubungannya dengan pesawat—mungkin tokoh perempuan adalah seorang pramugari. Namun lagi-lagi saya salah.  Jadi kejadian yang berhubungan perihal pesawat hanya karena perjumpaan awal saja.  Jauh dari bayangan saya. 

Serta perihal banyaknya membahas berbagai masalah kekayaan atau hal-hal lain yang bagi saya itu agak membosankan.  Lalu kadang pada beberapa bagian saya dibuat bingung peralihan masa lalu dan masa sekarang karena di sana, tidak ada jeda yang memisahkan.

Namun lepas dari kekurangannya, novel ini tetap asyik untuk dinikmati. Novel yang bisa saya bilang minim kesalahan tulis ini memiliki keunikan tersendiri. Covernya sangat menarik dan memikat. Saya tidak kecewa setelah membaca novel ini.

Dan perihal katanya novel ini akan difilm-kan. Bagi saya penikmat buku juga film sudah tidak sabar menanti filmnya. Saya selalu penasaran dengan novel-novel yang bisa difilmkan. Pasti ceritanya bagus. Rasanya tidak sabar membayangkan melihat kehidupan Anya dan Ale.   Meski dalam gambaran saya bukan sosok Reza Rahadian  dan Adinia Wirasti yang akan mendapat peran tersebut.  Entah kenapa saya membayangkan sosok Ale itu sebagai Christian Sugiono dan Anya diperankan Raline Shah (Imajinasi bebas).

Namun segala keputusan perihal nama-nama yang akan hadir mengidupkan kisah Critcal Eleven, tetap saya serahkan pada pihak produksi dan penulis itu sendiri. Saya hanya  berharap semoga  film-nya akan sebagus novel dan pastinya bisa memuaskan para penggemar novel ini.  Sukses selalu untuk tim sukses film Critical Eleven.

Kembali pada soal resensi. Yang membuat saya suka dengan novel ini adalah, di sini saya bisa belajar tentang banyak hal. Yah, novel ini bisa dibilang sarat makna.  Di antaranya adalah bahwa dalam sebuah pernikahan komunikasi itu sangat penting dijaga bagi pasangan suami istri.  Karena memang dalam hubungan rumah tangga itu, kita menyatukan dua kutub yang berbeda. Jadi perlu proses  dan kesabaran untuk saling memahami.  Karena hidup memang tidak ada yang instan. Semua butuh perjuangan. Sebagaimana dalam membangun rumah tangga yang harmonis—perlu usaha yang gigih.

Selain itu kita juga diingatkan untuk menjaga lisan. Karena kadang perkataan itu lebih menyakitkan daripada  tergores pisau. Luka karena tergores bisa segera sembuh, namun luka di hati, bisa dibawa sampai mati. “Mungkin kalau dulu kamu nggak sibuk, Aidan masih hidup.” (halaman 81).  

Dan kita juga diajarkan untuk sabar dan ikhlas ketika mendapat cobaan dari-Nya. Jangan jadikan cobaan sebagai alasan untuk melakukan hal-hal yang dilarang agama.  Berdamai-lah dengan diri sendiri. Selalu berpikir positif. 



Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu dari pada yang sekarang (permulaan) (halaman 121).

Recomended.


Srobyong, 29 Desember 2016

Monday 26 December 2016

[Resensi] Memaknai Hakikat Pulang

Dimuat di Koran Duta Masyarakat, Minggu 18 Desember 2016 



Judul               : Pulang
Penulis             : Tere Liye
Penerbit           : Republika Penerbit
cetakan            : 1, September 2015
Halaman          : iv+ 400 halaman
ISBN               : 978-602-082-212-9
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.


Pulang memiliki berbagai makna dilihat dari konteksnya.  Ada kalanya pulang berarti kembali ke sisi Tuhan. Bisa juga berarti pulang kembali pada jalan yang benar. Atau bermakna pulang—kembali ke rumah, tempat asal.  Pada waktunya, semua orang akan pulang pada tempatnya masing-masing. Itulah hakikatnya. Begitu pula dengan Bujang atau lebih dikenal sebagai si Babi Hutan. Dia harus pulang ketika waktu yang ditentukan telah datang.

Sebuah novel yang memikat dengan gaya bahasa yang  renyah. Mengisahkan tentang Bujang yang pada satuan waktu harus meninggalkan Talang, Sumatra dan ikut ke kota bersama Tauke Muda.  Tepatnya dia diadopsi oleh keluarga Tong.  Salah satu keluarga besar dunia hitam.

Keputusan ini sejatinya sangat ditentang oleh Midah, Mamak Bujang. Bagaimanapun dia tahu pekerjaan apa yang dilakukan Tauke Muda di kota. Dia khawatir  akan jadi apa putrnya itu nanti. Namun, suaminya terus berusa mendesak Midah. Karena dulunya dia pernah membuat sebuah janji dengan Taukde Muda. Merasa tidak ada pilihan, Midah hanya bisa berpesan pada Bujang.

“Pergilah, anakku. Temukan masa depanmu. Sungguh, besok lusa kau akan pulang. Jika tidak ke pangkuan Mamak, kau akan pulang pada hakikat sejati yang ada dalam dirimu. Dan apa pun yang akan kau lakukan di sana, berjanjilah kau tidak akan makan daging babi dan anjing, juga menyentuh tuak. Jagalah perutmu dari makanan haram.” (hal 24).

Selama ikut Tauke Muda, Bujang diberikan pendidikan yang paling baik. Ini sangat tidak terduga sebagaimana persepsi Bujang yang mengira dia akan dijadikan tukang jagal.  Keputusan itu sempat membuat Bujang ingin menolak. Namun Tauke menasihatinya, “Masa depan Keluarga Tong bukan di tangan orang-orang yang pandai berkelahi. Masa depan keluarga ini ada di tangan orang yang pintar.” (hal. 55). 




Selain bersekolah, ternyata Bujang juga dibekali berbagai ilmu bela diri, menembak bahkan tehnik ninja seperti, menggunakan shuriken yang telah dimodifikasi sesuai zaman saat ini. Hal inilah yang kemudian membuat Bujang berbeda dan mendapat julukan si Babi Hutan. Dia sangat pintar dalam menjalankan bisnis hitam, bersiasat juga perkelahian.

Perlahan kekuasaan keluarga Tong semakin kuat. Namun sebuah pengkhianatan dari dalam meluluh lantakkan kejayan keluarga Tong. Belum lagi ditambah rong-rongan keluarga Lin yang sejak awal tidak suka dengan keluarga Tong. Pertikaian pun tidak dapat dihindari.  Banyak hal yang harus dia relakan dari kejadian ini

Bujang sangat kekecewaan dan sedih. Namun dia  menyadari bahwa memang beginilah hidup. Seperti yang terjadi dengan bapaknya. Hidup ini adalah perjalanan panjang dan tidak selalu mulus yang diperlukan adalah kesabaran (hal262). Dari kejadian itu, Bujang dipertemukan dengan pamannya—Tuanku Imam. Pertemuan itu mengingatkan padanya untuk pulang ke tempat asalnya, setelah mengetahui sejarah hidup kedua orangtuanya.  Ada dua makna pulang yang dipilih Bujang. Kembali pada pelukan kedua orangtuanya juga memulai hidup baru pada jalan yang telah lama ditinggalkan.

Novel ini memiliki tema unik namun tetap sarat makna. Sebuah novel yang menceritakan sindikat keluarga yang berkecimpung di dunia hitam. Tapi tetap mengajarkan nila-nilai kehidupan. Bahwa setiap orang selalu punya masalah masing-masing—tidak ada yang sempurna. Novel ini juga menyadarkan akan pentingnya sebuah pendidikan.
Selain itu ada juga sisi religi yang bisa ditangkap dalam novel ini. Bahwa menjauhi makan dan minum yang haram bisa memanggil jiwa yang masih terjaga jiwanya, meskipun sudah banyak kejahatan yang dilakukan.  Lalu mengajarkan tentang kesabaran. Bersabarlah, maka gunung-gunung akan luruh dengan sendirinya, lautan akan kering. Biarlah waktu menghabisi semuanya (hal 288).

Dan ada pula sebuah nasihat yang mengingatkan bahwa jikalau setiap orang punya masa lalu, manusia tetap bisa berubah. (hal. 341).

Srobyong, 22 November 2016 

Sunday 25 December 2016

[Resensi] Mohamad Isa; Pejuang Kemerdekaan yang Visioner

Dimuat di Jateng Pos, Minggu 18 Desember 2016. 

Judul               : Mohamad Isa
Penulis             : Feris Yuarsa
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, Oktober 2016
Halaman          : 235 hlm
ISBN               : 978-602-03-3392-2
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara.


Mohamad Isa adalah sosok nasionalis tulen yang berjuang dan mendamarbaktikan dirinya untuk bangsa dan negara ini (hal 208). Dia lahir di Binjai, Sumatera Utara, 4 Juni 1909.  Sejak kecil  ayahnya, Datuk Haji Ismail mengajarkan tentang  dasar-dasar pendidikan agama dan pelajaran mengaji. Baginya belajar mengaji sama pentingnya dengan menuntut ilmu sekolah (hal 1).

Dia mengenyam pendidikan di H.I.S, MULO (Middlebare Uitgebreid Onderwijs) di Binjai, AMS (Algemene Middlebare School) di Batavia dan terakhir dia belajar ilmu kedokteran di  STOVIT, Surabaya.

Setelah menyelesaikan pendidikan dokterinya, pada tahun 1936 Mohamad Isa menjadi asisten dosen di sekolah dokter gigi STOVIT, Surabaya.  Namun itu tidak berlangsung lama. Di tahun 1938, dia memutuskan hijrah ke palembang dan membuka parktik dokter gigi di sana. Rasa nasionalisme yang tinggi, mendorong dirinya, untuk  rela melepas kehidupannya yang nyaman. Yaitu melepas jabatannnya sebagai asisten dosen di sekolah milik Belanda. Dia memiliki cita-cita untuk memperbaiki nasib bangsanya suatu hari nanti (hal 11).
Di sanalah perjuangannya dimulai. Perkenalannya dengan A.K Gani, seorang dokter juga politisi, mengenalkannya pada  PNI (Partai Nasional Indonesia). Mohamad Isa langsung memiliki keinginan kuat untuk bergabung. Alasannya bergabung,  karena PNI memiliki orientasi ideologi yang tegas serta sarat nilai-nilai patriotik dalam perjuangan melawan kolonialisme (hal 152). Dia tidak tahan melihat kesengsaraan anak bangsa yang terus dijajah kolinal.

Pada masa penjajahan Jepang, Mohamad Isa, A.K Gani dan Nungtjik A.R, bahu membahu mengatur strategi yang tepat untuk menghadapi Jepang agar bisa meraih kemerdekaan.  Selama masa perjuangan, Mohamad Isa dikenal sebagai pejuang yang  visioner. Dia bersikap yang tenang. Selalu berpikir luas dan pandai dalam menganalisa sitiuasi. Serta mendamaikan suasana ketika ada terjadi beda pendapat yang alot.   Dia juga sangat sederhana dan ringan tangan pada bawahannya. Tidak pernah membeda-bedakan kasta antara manusia satu dengan yang lain.

Hal itu-lah yang menjadi alasan kenapa Mohamad Isa selalu disayang dan di hormati.  Karena hal itu pula dia pernah diangkat sebagai anggota Local Joint Commite Palembang, lalu pernah ditunjuk sebagai penasihat ahli Delegasi Republika Indonesia ke Konferesensi Meja Bundar (KMB) (hal 160).  Pernah juga dia ditunjuk sebagai anggota Panitia Persiapan Nasional serta ketua Panitia Perbatasan Daerah Renville dengan daerah Negra Sumatra Selatan.
Karenanya menghormati perjuangan Mohamad Isa, Presiden Megawati Seokarno Putri menganugerahkan Bintang Maha Putra Utama pada Mohammad Isa pada tanggal 3 November 2011.  Penghargaan itu diberikan atas peran Mohamad Isa sebagai salah satu tokoh utama yang menjadi ujung tombak pembentukan dan pengukuhan kedaulatan Republika Indonesia di wilayah Sumatra bagian Selatan.

Dan di masa Presieden Soekarno, dia juga pernah mendapat penghargaan sebagai Bintang Gerilya, Satya  Lencana Perang Kemerdekaan Pertama dan Satya Lencana Perang Kemerdekaan Kedua. 

Mohamad Isa benar-benar mendedikasikan dirinya pada tanah air tercintanya. Karena itu Presiden Soekarno mempercayai Mohamad Isa memimpin, menjadi rektor di Universitas Sriwijaya (UNSRI),  karena tahu benar sosok visoner ini memiliki kepedulian tinggi pada dunia pendidikan. Mengingat dia juga memiliki andil dalam memperkasai universitas tersebut dan berjuang untuk kemajuan pendidikan anak bangsa. Perjuangan yang dilakukan Mohamad Isa terus berlanjut bahkan ketika kemerdekaan Indonesia sudah tercapai.

Buku ini sangat sarat makna. Meski untuk gaya bahasa jujur saya kurang menimati, karena kisah dipaparkan secara melompat-lompat. Namun lepas dari kekurangannya, buku ini memberi keteladan yang bisa diambil. Di antaranya yaitu meneladi sikap Mohamad Isa, yang selalu bijaksana, mengedepankan musyawarah, bersikap mendidik dan setia kawan. Selain itu kita juga mengajarkan tentang nasionalisme,  patriotisme, sikap welas asih, sikap tolong menolong dan semangat juang tinggi. Mohammad Isa pernah menasihatinya anaknya “Jangan pernah menyerah dalam keadaan sesulit apa pun.”  (hal 169). 

Srobyong, 22 November 2016

Friday 23 December 2016

[Tanya Penulis] Wawancara With Irene Dyah Penulis "Love in City of Angels"


Haloha, bertemu lagi dalam sesi Tanya Penulis. Masih tentang para penulis dari seri "Around The World With Love bacth3”

Kali ini siapa yang akan aku ke-poin?

Dan ... jreng ... inilah penulis yang aku ke-poin. Mbak Irene Dyah.  Karena sebelumnya, kan aku sudah menyapa  Mbak Arumi E, Mbak Indah Hanaco dan Mbak Silvarani. J

Nah sebelum ke sesi tanya penulis. Rasanya tidak afdol kalau belum mengenal sepak terjang dari penulis yang satu ini.

Biografi Penulis


Irene Dyah Respati, nomadik sejak SMU. Besar di Solo, tinggal berpindah ke Yogyakarta, Jakarta, Tokyo, Shizuoka, Bangkok;  koleksi daerah jajahan itu terus bertambah seiring kesukaannya berkelana bersama keluarga. Punya (terlalu) banyak hobi, tapi hanya sedikit yang konsisten : membaca, menulis, menari dan kucing—bila itu dapat disebut hobi.
Setelah melepas masa karier sebagai humas perusahaan otomotif terbesar di Indonesia,  hingga kini Irene (dibaca Airin) adalah ibu rumah tanggal purnawaktu dengan 1001 jenis pekerjaan, termasuk sebagai penjinak dua bocah menggemaskan, dan menjadi kawan bermain seekor kucing labil yang takut kesepian. Di dunia literas, selain menulis buku dan artikel untuk majalah, Irene juga aktif menjadi writing coach dewasa dan kanak-kanak.

Novel Irene yang sudah beredar adalah Tiga  Cara Mencintai, Dua Cinta Negeri Sakura, Wheels and Heels, Love in Marrakech, Complicated Thing Called Love, Love in Blue City, dan Wander Woman. Selain itu, kumpulan kisah inspiratif Meniti Cahaya (2015) dan photo essay Jejak Sujud Pengelana (2016). Dia berharap suatu saat bukunya akan difilmkan, agar  suaminya (yang tidak suka membaca tapi maniak film) bisa menikmati kisah-kisah yang dia tulis.

Jika ingin berkenalan dengan penulis bisa disapa di sini :

Twitter : @aikairin
IG        : @aikairin

Mau intip karya-karyanya bisa cek di goodreads

Dan inilah hasil wawancara dengan penulis keren ini J langsung disimak, yuk!

Ratna : Pertanyaan umum nih, Mbak Irene. Bagaimana proses kreatif penulis novel Love in City of Angels. Sejak ditulis, riset sampai terbit memakan waktu beralam lama. Dan adakah kesulitan tertentu ketika menggarap novel ini?

Irene :  Penulisan novel ini alhamdulillah relatif lancar. Pertama karena karakter utama sudah 'tercipta' yaitu Ajeng -- yang character traits-nya sudah matang melalui 2 novel saya dulu. Kedua, karena saya pernah menetap hampir 4 tahun di Bangkok. Jadi tidak perlu lagi riset tentang latar tempat, insya Allah masih ingat ... terutama karena saya memang hanya menggunakan tempat/waktu/event/makanan dll yang pernah saya alami sendiri..

Waktu penulisannya sekitar 1,5 - 2 bulan.

Tantangannya adalah justru karena saya punya banyak sekali memori tentang Bangkok, jadi terlalu banyak hal yg ingin saya sampaikan pada penbaca. Akibatnya, saya mesti lihai dan 'tega' memilah bagian mana saja yg akan digunakan untuk mendukung alur ceritanya.

 Ratna : Alhamdulillah Mbak. Keren aih. Termasuk cepat sekali dalam menyelesaikan novel. Lalu adakah alasan khusus kenapa memilih City of Angels atau Bangkok sebagai setting cerita?

Irene : Alasan khusus adalah karena Bangkok adalah kota yg berkesan bagi saya. Keunikan Bangkok saya angkat juga dalam novel ini; yaitu bahwa Bangkok ini City of Angels sekaligus kota yang 'penuh dosa'. Semua kembali pada kita, ingin menjadi putih atau hitam di Bangkok.

Ada puluhan (ratusan?) tempat ibadah di sana, dan masyarakat secara rutin beribadah, melakukan ritual sesuai kepercayaan mereka. Di sisi lain, free sex secara terbuka, tempat maksiat bisa ditemukan di mana saja (bahkan di dekat sekolah 😁 ), kehidupan malamnya juga sangat bebas..
Dan kedua hal yg bertolak belakang itu bisa berjalan seiring.

Di luar itu, Bangkok memang cantik. Suasana tradisional masih terasa kuat meski kotanya lebih modern dari Jakarta dan dihuni berbagai macam warga negara.

Ratna : Kota yang berkesan ternyata. Pertanyaan selanjutnya, kalau boleh tahu apa alasan Mbak Irene menulis? Bagaimana cara membagi waktu antara menulis dan keperluan keluarga? 

Irene : Saya menulis karena suka berbagi, dan suka bila ada orang yang mau 'mendengarkan' percakapan2 yang ada dalam benak saya. Dan dengan membukukannya, saya jadi punya 'legacy' atas hasil karya saya :)

Saya biasa menulis saat anak-anak  di sekolah. Jam 8-12. Atau saat mereka sudah tidur, yaitu mulai dari jam 9 malam. Nah, kalau anak2 libur sekolah begini, saya jadi nggak nulis deh hehehe

Ratna : Wah alasan menulis dan bagaimana membagi waktunya patut diacungi jempol. J. Sekalian buat promosi, Kenapa kita harus membaca Love in City of Angels. ? Apa keunikannya?

Irene : Keunikan kan buku ini :

-Renyah dan ringan, tapi tetap ada konflik emosional yang jelas. Renyah, ringan, lucu, percakapan dan gaya bertutur yg mengalir alhamdulillah adalah kekuatan utama tulisan saya. Hampir seluruh review biasanya menyebutkan hal ini. Dan saya rasa, tidak semua penulis punya ciri khas seperti ini.

-Karakternya riil. Misal Ajeng. Saya YAKIN banget, ada beneran wanita seperti Ajeng ini. Yang jujur, agak bitchy, punya ketakutan dan harapan; sosok tidak sempurna dan dekat di hati pembaca.

-Buku ini kuat dari segi latar, karena penulis pernah menetap di sana dan berinteraksi langsung dgn masyarakatnya. Jadi ada detil-detil menarik di sana berdasarkan pengetahuan saya akan kearifan lokal setempat, nggak cuma sekedar nyebutin tempat wisata atau hal-hal  yang umum. Misal : kebiasaan orang Thai bikin nick name unik (nama buah, nama benda, bahkan nama cabang olah raga!) sebagai pengganti nama asli mereka yg panjang dan relatif sulit diucapkan lidah asing.
Ratna :  Sip, semga bukunya nanti laris manis Mbak. Setuju banget ada ciri khusus dalam tulisan Mbak Irene. Lalu apa sih yang ingin disampaikan dari novel ini kepada pembaca?

Irene : Yang ingin disampaikan : Saya tidak ingin mengunci tujuan penulisan novel ini dalam poin-poin  tertentu. Tiap pembaca pasti bisa menarik inspirasi atau pesan atau justru pertanyaan yg berbeda-beda dari novel ini.. 😊 Karena saya menulis bukan untuk menggurui :)

Tapi payung utama novel ini adalah : 1. manusia tidak akan pernah bisa jadi hakim yg sempurna atas manusia lain, maupun diri sendiri. 2. mau jadi baik atau buruk, sepenuhnya pilihan ada di tangan kita. Kita tidak bisa menjadikan lingkunan/masa lalu/ keluarga/ dll sebagai alibi atas pilihan yg kita ambil

Ratna : Duh, pesannya mengena banget.  Terakhir, dari kacamata Mbak Irene, apa yang perlu dimiliki ketika ingin menjadi penulis? Dan bagaimana tips biar jadi penulis yang konsisten dan selalu produktif?
Irene : Yang perlu dimiliki utk jadi seorang penulis?

-Mesti tekun. Menulis itu adalah skill, ketrampilan. Makin sering diasah, insha Allah akan makin bagus hasilnya. (Kecuali kamu seorang penulis jenius sih hehehe)

-Mesti konsisten Khususnya menulis novel, menulis itu pekerjaan yg membutuhkan komitmen jangka panjang. Dari bab pembuka sampai ending, semua mesti dikerjakan huruf demi huruf hingga selesai. Nggak bisa instan.

Tips menjadi penulis yg konsisten dan produktif .. Hmmm.. saya belum pada posisi utk kasih tips nih.. Beneran deh. Gimana dong 🙊 🙈

Ratna : Terima kasih jawabannya. ^_^ Aduh ayolah Mbak, bagi tips dikit, lho maksa hehh 😂 Kalau diganti bagaimana mengatasi kemalasan versi Mbak Irene?

Irene : Okeh mengatasi rasa malas nulis aja yaa.
-Bikin writing habit. Jadi kita jadwalkan pada jam tertentu tiap hari mesti duduk di depan laptop dan nulis. Kayak orang kantoran aja.. Nggak mesti panjang waktunya, tapi rutin. Walaupun lagi mentok nggak ada ide, tetap harus duduk dan nulis. Utk membiasakan tubuh dan otak.

-Biasanya pas mau nulis novel saya bikin imagination board yang seru dan ditempel di depan laptop. Isinya foto dan keterangan tentang karakter, gambar mapping cerita, foto tempat yang jadi latar adegan-adegan  tertentu. Bentuk visual semacam ini bisa jadi suntikan mood nulis kalau pas lagi kandas-kandasnya.


 Punya outline cerita dan tabungan ide. Jadi kalau pas mentok bgt ga tau mau nulis apa, bisa intip-intip  di situ utk memancing gairah nulis lagi ((gairah! 😝))

Oke Mbak,  terima kasih atas jawaban-jawaban yang sangat inspiratif dan memotivasi. Semoga sukses selalu untuk Mbak Irene dan semua karyanya laris manis dan diterima pembaca dengan baik. J


Yang penasaran dengan novel terbarunya Mbak Irene, bisa intip resensinya dulu di sini . Kalau penasaran bisa langsung dijemput di toko buku atau pesan langsung sama penulisnya. J