Sunday 21 October 2018

[Resensi] Bahagia dengan Belajar Memaafkan

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 7 Oktober 2018


Judul               : Chiken Soup for the Soul : Kekuatan Memaafkan
Penulis             : Amy Newmark & Anthony Anderson
Penerjemah      : Susi Purwoko
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, Januari 2018
Tebal               : 504 halaman
ISBN               : 978-602-03-7508-3
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumna Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Kebahagiaan tidak hanya diukur dengan materi. Karena kebahagiaan yang sebenarnya itu ketika kita bisa menerima dan bersyukur dengan apa yang kita miliki, merasa ikhlas dan mau berdamai dengan diri sendiri, serta mau memaafkan kesalahan yang pernah dilakukan orang lain terhadap kita.  Tidak ada kemarahan atau dendam, karena kedua sikap tersebut hanya akan menghambat hidup kita.  Sedang meninggalkan kemarahan dan dendam di masa lalu, akan membuat kita bebas (hal xi).


Buku ini sendiri berisi 101 kisah tentang kekuatan memaafkan yang dijabarkan dengan bahasa yang mudah dipahami dan sangat persuasif. Kisah-kisahnya sangat  menginspirasi dan akan memotivasi kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Kita akan disadarkan tentang pentingnya memaafkan baik kepada orangtua, diri sendiri, serta berbagai masalah lainnya.

Kita sebut saja kisah yang dipaparkan oleh Kara Sundlun. Dia memaparkan bahwa  memaafkan adalah  hadiah terbesar yang  bisa dia berikan pada diri sendiri (hal 12).  Sejak kecil Kara tidak pernah mengenal sosok ayahnya. Bahkan fotonya pun dia tidak pernah melihat. Sehingga dalam masa kanak-kanaknya itu dia hanya mengetahui dari sang ibu, bahwa ayahnya bernama Bruce Sundlun. Hingga suatu hari ketika dia berusaha 13 tahun, tanpa sengaja dia melihat sosok ayahnya yang saat itu tengah mencalonkan diri menjadi gubernur Rodhe Island.

Akan tetapi saat itu,  Kara harus menelan kekecewaan ketika sang ayah tidak pernah mau  mengakui dirinya sebagai anaknya, bahkan setelah dia melakukan tes DNA. Ayahnya juga tidak mau membalas surat yang dia kirim. Bahkan untuk membantu dirinya membayar uang kuliah pun tidak mau.   Namun di tengah kemarahan dan kekecewaan  yang dialami Kara, tiba-tiba ayahnya mengundang Kara untuk hidup bersama dan saling mengenal sebagai ayah dan anak. Saat itu Kara bisa saja menolak ajakan itu, setelah perilaku ayahnya yang jahat. akan tetapi Kara memilih memaafkan, karena dengan memaafkan hatinya lebih lapang dan dia bisa memulai hidup baru tanpa adanya kemarahan dan dendam.

Ada pula kisah yang dipaparkan oleh Kate White. Sejak kecil dia tinggal bersama seorang ibu yang kecanduan obat-obatan. Ibunya tidak pernah peduli pada dirinya, juga saudara-saudaranya. Ketika ibunya sudah di bawah pengaruh obat-obatan, maka ibunya akan lupa pada sekitarnya, lupa memberi Kate dan saudaranya makan, serta lupa menjemut mereka di sekolah.  Kenangan masa kecil itu, menumbuhkan kebencian Kate pada ibunya. Dia merasa tidak terima dengan perlakukan ibunya. Kebencian itu dia pupuk hingga delapan belas tahun.

Namun berjalannya waktu, ketika Kate akhirnya menjadi seorang ibu, dia menyadari bahwa ada yang salah pada dirinya. Dia tidak boleh menyimpan kebencian kepada ibunya yang saat itu sudah meninggal. Dia harus memaafkan semua kesalahan ibunya, agar mulai bisa mendidik anak lebih baik, dari didikan yang dia terima sebelumnya. “Ketika kau belum memaafkan mereka yang pernah melukaimu, kau memunggungi masa depanmu. Ketika kau memaafkan, kau mulai berjalan maju.” (hal 61). 

Lalu ada kisah dari Michael T. Smith.  Karena sebuah kesalahpahaman dan keangkuhannya, Michael dan adiknya tidak saling bertemu dan menyapa. Semua bermula dari surat elektronik yang dikirim, Bob, adiknya. Sebenarnya surat itu isinya biasanya saja. Namun karena saat itu hidup Michael sedang kacau dan telah mengangguk beberapa bulan, maka surat itu membuatnya marah. Kemarahan itu pun berlanjut hingga lima tahun lamanya.

Ketika adiknya berulang kali mencoba menghubingi, Michael dengan angkuh tidak pernah mau memedulikan panggilan adiknya.  Sejak saat itu dia menjalani hidup dengan rasa bersalah yang terus menghantuinya. Lalu suatu hari  dia menyadari bahwa menyimpan kemarahan tidak akan menyelesaikan masalah. Dia pun mulai berusaha menghububungi adiknya untuk meminta maaf dan menjalin kembali hubungan keluarga yang pernah diputus itu. “Hidup itu terlalu singkat, dan juga terlalu lama, untuk memelihara dendam.” (hal 151).

Selain tiga kisah tersebut, kisah yang lainnya pun tidak kalah seru dan menginspirasi.  Secara keseluruhan, buku ini mengajak kita untuk menjadi pribadi yang mau memaafkan. Dengan memaafkan hidup kita akan jadi lebih baik dan bahagia. Kita tidak akan diperbudak kemarahan dan dendam. Tony Robbins memaparkan, “Memaafkan adalah hadiah yang kau berikan pada dirimu sendiri.” (hal 418).

Srobyong, 1 September 2018 

Wednesday 17 October 2018

[Resensi] Terapi Islam agar Hidup Lebih Bermakna

Dimuat di Harian Bhirawa, Jumat 28 September 2018


Judul               : Lepas dari Lapas Hidup
Penulis             : KH. Adrian Mafatihallah Kariem, MA
Penerbit           : Republika
Cetakan           : Pertama, Maret 2017
Tebal               : xviii +446 halaman
ISBN               : 978-602-0822-242-6
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumi Univeristas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

“Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (hal x).

Dalam hidup ini kita tidak mungkin terhindar dari berbagai masalah.  Silih berganti berbagai masalah akan hadir dan menjadi bumbu kehidupan kita. Tinggal bagaimana kita menghadapinya. Apakah kita siap untuk mengatasinya atau memilih pasrah menyerah dengan keadaan yang ada.  

Kita pasti menyadari bahwa untuk menjadi sosok yang pandai bersyukur, sabar dan ikhlas bukanlah perkara mudah. Namun, bukan berarti kita tidak bisa melakukannya. Islam sebagai ajaran suci memberikan terapi kehidupan, sarat kebahagian sejati yang menjadi dambaan setiap insan. Buku ini hadir menyajikan risalah-risalah indah agar hidup kita tak gundah, bisa lepas dari lapas masalah. Siap tampil berjuang mencari solusi tidak terisolasi dari masalah (hal xi).

Di antaranya, kita bisa memulainya dengan berlatih bersyukur.  Di sadari atau tidak banyak orang yang berbahagia tetapi belum tentu bersyukur, sebaliknya orang yang bersyukur hidupnya dijamin akan berbahagia. Syukur memilih kekuatan bagi kita dalam menghadapi berbagai masalah yang kita hadapi.   Perlu kita catat orang yang senantiasa bersyukur dengan apa yang ada akan tetap survive dalam keadaan snang dan susah sekalipun. Perjalanan hidupnya diberikan kekuatan keberanian melewati tantangan, walau batu karang kebencian dan fitnah menghadang (hal 10).

Dengan bersyukur maka kita akan tumbuh sukap qanaah (kepuasan jiwa), kemudian akan tercipta istiqamah (konsisten) dan memiliki semangat intropeksi sebagai senjata ampuh melumpuhkan musuh keserakahan dan keangkuhan. Di sisi lain sikap syukur, akan mendekatkan kita kepada Allah (hal  11). 

Penulis menjelaskan, bahwa “hamba yang bersyukur, lisannya kana bertutur teratur, pikirannya terukur, pergerakannya sesuai alur, hatinya tertanam sifat-sifat luhur. Sebaliknya, hamba yang kufur, lisannya akan ngelantur, pikirannya ngawur, hatinya takabur, tingkahnya lakunya tidak tercerminkan budi pekerti yang luhur, sudah pastinya hidupnya akan hancur lebur.” (hal 16).

Kemudian kita harus membiasakan berterima kasih. Berterima adalah ajaran mengagumkan yang menjadikan seseorang beruntung dan hidup tambah babagia, hati lega, lapang jiwa. Tahu berterima kasih menunjukkan bahwa kita termasuk pribadi yang mulia, lepas dari kata terhina, gengsi, perasaan malu. Kita tidak perlu merasa malu ketika mendapat bantuan orang lain. Sebaliknya kita harus bersyukur dengan mengucapkan terima kasih kepada siapa saja yang telah menolong kita.  Kita mengucapkan hamdalah atas rahmat yang Allah berikan.

Tidak kalah penting adalah berbakti kepada orangtua. Kita pasti sudah sering mendengar bahwa rida Allah terletak pada ridah orangtua dan murka Allah terletak pada kemurkaan orangtua. Maka sudah semestinya kita harus selalu berbuat baik dan jangan pernah sekali-kali membatah orangtua. Dari rida mereka-lah hidup kita bisa menjadi berkah. Sebaliknya jika kita bersikap kasar dan bahkan durhaka, maka dipastikan hidup kita pun jadi tidak berkah, rezeki sulit didapat, kehidupan penuh masalah, kesukaran selalu menghadang langkah kita.

Selain beberapa hal yang sudah dipaparkan tentu saja masih banyak risalah lain yang sangat membangun dan memotivasi. Semisal tentang pentingnya memiliki keyakinan tinggi dari motivasi diri bahwa tidak ada yang tak mungkin tercapai kalau tertanam tekad pasti bisa. Ada pula kepercayaan diri bahwa kita memiliki segudang keunggulan yang bisa diexplorasi untuk ditebar manfaatnya.  Atau adapula nasihat bagi kita untuk tidak mudah menyerah dalam menghadapi setiap masalah.  Kita harus berani menghadapi masalah meskipun nanti hasilnya tidak sesuai harapan kita, dan masih banyak lagi.

“Kalah sebelum bertanding itu namanya kemalangan. Sebaliknya berani bertanding itu namanya indah meraih kemenangan.” (hal 149).

Buku ini sangat membantu kita untuk mulai berikhtiar dalam usaha memperbaiki diri agar menjadi pribadi yang lebih baik.  Kita diajak untuk menjadi pribadi tangguh yang tidak mudah terbelenggu berbagai masalah. Dilengkapi dengan kisah-kisah inspiratif dan quote yang membangun, menjadi nilai lebih buku ini.

Srobyong, 18 Agustus 2018 

[Resensi] Mengkritisi Polemik Negeri Lewat Humor

Dimuat di Kabar Madura, Sabtu 29 September 2018


Judul               : Kelakar Madura Buat Gus Dur
Penulis             : H. Sujiwo Tejo
Penerbit           : Imania
Cetakan           : Pertama, Januari 2018
Tebal               : 200 halaman
ISBN               : 978-602-8648-25-7
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Humor adalah cerita pendek yang memiliki unsur kelucuan dan diharapkan  bisa menghibur pembaca. Namun di sisi lain humor juga bisa menjadi salah satu cara mengkritisi secara halus. Buku yang terdiri dari 32 kisah ini mencoba menghadirkan berbagai kritik politik dan sosial dengan cara halus dan lucu. Uniknya kisah-kisah ini mengkaitkan antara Madura dan Gus Dur. Sehingga dari kritik yang ada kita juga bisa mengenal lebih dekat tentang budaya madura dan kearifan Gus Dur, meski dengan sikap nyeleneh yang dimiliki.

Sebagaimana kita ketahui, selain dikenal sebagai Presiden, Kiai, Budayawan dan Penggerak Sosial, Gus Dur dikenal juga sebagai sosok komedian, karena sikapnya yang kadang jenaka. Sikap itu pula yang membuat Gus Dur satu-satunya presiden yang mendapat gelar Humoris Causa dari masyarakat (hal 8). 

Misalnya saja dalam humor yang berjudul “Saya Ini Gembala Sapi, Dik” (hal 49).  Kisah ini membuat kita tertawa lewat jalinan kisah yang renyah dan unik. Namun yang pasti lewat kisah ini kita akan menemukan sindiran halus tentang bagaimana tingkah pola para DRP. Di mana Gus Dur pernah memaparkan bahwa DPR itu sama saja dengan Taman Kanak-Kanak. Karena sikap mereka yang tiap kali ada beda pendapat, bukannya di selesaikan dengan musyawarah dan kepala dingin, namun diselesaikan dengan pertengkaran hingga tinju melayang.

Lalu ada pula humor berjudul “Presiden Semar atas Petunjuk dari Langit. Secara tidak langsung dalam kisah ini penulis memaparkan tentang keluhuran sikap Gus Dur yang disamakan lewat tokoh pewayangan, Semar.  Digambarkan dia memiliki sikap aneh, perpaduan lucu, nyentrik, namun juga cerdas, jujur, sederhana, dan berpengetahuan luas.  Gus Dur juga  sosok yang bersahaja, bijak, sabar, tegas dalam memberantas kedurjanaan.

Tidak kalah menarik adalah “Jabatan Rangkap” yang mana dengan gagasan yang sederhana namun menusuk, tentang kebiasaan orang-orang yang rakus, hingga memiliki jabatan rangkap.  “Lho, Bapak  ini sudah jadi anggota DPR saja masih bisa merangkap jadi anggota MPR, masa nyetir sambil mendorong tidak bisa.” (hal 87).

Ada pula humor berjudul “Carok” selain mengkritisi tentang perseteruan para pejabat tinggai demi memenangkan kursi kekuasaan dan masalah Pansus Buloggate yang konon melibatkan Gus Dur.   Dari humor ini kita akan diajak mengenal lebih dekat tentang carok.  Bahwa carok sebenarnya adalah tradisi perang orang Madura ketika harus menghadapi sebuah permasalahan yang menyangkut harga diri, yang kemudian diikuti antar kelompok atau klan. Biasanya dalam tradisi ini orang madura berperang menggunakan clurit (hal 137).

Selain humor-humor tersebut, tentu saja masih banyak humor lain yang tidak kalah menarik dan bikin penasaran hingga tertawa terpingkal-pingkal. Apalagi penulis sudah piawai dalam mengolah kata. Sederhana namun memikat, legit dan membuat ketagihan.  Misalnya saja humor “Pemilu Paling Murah” yang mengkritisi kebiasaan para caleg dalam kebiasaan bagi-bagi tanda jasa agar memiliki banyak pengikut.

“Kalau gambar-gambar di kertas suara itu nanti ditusuk sate, maka pakunya harus diikutsertakan juga. Kita tidak Cuma menyediakan satu paku untuk setiap pencoblosan. Jumlah paku harus seperti jumlah kertas suara. Bayangkan kalau seluruh Indonesia, sudah berapa paku. Mahal.” (hal 70).

Humor lainnya seperti Nasihat Secara “Sor Mejo Keh Ulane”, Kunjungan dalam Negeri dengan Bejak, Sidang Pansus Buloggate,  Juru Bicara Presiden, Sepatu Tentara, Kisah Pendorong Komedi Putar, Nyanyian Tanah Madura dan banyak lagi.

Maka tepat sekali ketika Moh, Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi 2008-2011, dalam endorsnya memaparkan, “Dengan cara canda yang segar Suwijo Tejo selalu berhasil melancarkan kritik tajam kepada kita tanpa membuat kita marah. Buku Kelakar Madura Buat Gus Dur contohnya. Dia gambarkan Gus Dur menggunakan kekuasaannya dengan enteng, tampa beban dan berani. Dia gunakan setting masyarakat Madura yang lugu, menggemaskan, cerdik tapi tidak licik. Isinya kritik kanan kiri, tembak sana tembak sini.”

Buku ini patut diapresiasi. Membacanya kita akan mendapat banyak pengetahuan juga mendapat hiburan yang menyenangkan.

Srobyong, 22 Juli 2018



[Resensi] Kekuatan Berpikir Positif dan Tidak Mudah Menyerah

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 16 September 2018


Judul               : Jangan Mudah Mengeluh
Penulis             : Dwi Suwiknyo, dkk
Penerbit           : Quanta
Cetakan           : Pertama, Desember 2017
Tebal               : 260 halaman
ISBN               : 978-602-04-5363-7
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Univeritas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

“Teruslah melangkah meski terasa lelah. Teruslah berjuang meski cobaan kian menerjang. Karena kemenangan hanya milik mereka yang tak kenal putus asa.” (hal 7).

Sekali dua kali kita mengeluh mungkin tidak masalah. Mengingat hidup kadang tidak berjalan sesuai dengan rencana kita. Namun yang menjadi masalah adalah ketika kita mengeluh setiap hari, bahkan setiap jam atau setiap menit. Bukankah itu namanya keterlaluan? Padahal masih banyak nikmat dan rahmat yang telah Allah bagikan kepada kita.  Yang penting kita mau berusaha dan ikhtiar.

Buku yang diambil dari kisah nyata—berasal dari sayembara menulis kisah inspriratif yang digalakkan oleh Dwi Suwinyo—akan mengingatkan kepada kita tentang pentingnya bersikap positif dan tidak mudah menyerah. Kita disadarkan bahwa sering mengeluh itu tidak akan menyelesaikan masalah. Mengeluh hanya akan membuat kita lemah dan mudah terjangkit sikap putus asa. Sebaliknya jika kita selalu berpikir positif, maka kita akan menjadi pribadi yang kuat dan terus berusaha sekuat tenaga menyelesaikan masalah atau rintangan yang menghalangi jalan kita.

Terdiri dari 20 kisah yang menarik, inspiratif dan memotivasi, kita akan dibuat hanyut dengan masing-masing kisah. Apalagi dalam setiap kisah diceritakan dengan gaya masing-masing penulis. Sehingga akan ada ciri khas tersendiri yang dan membuat kita tidak mudah bosan saat membaca buku ini. Ditambah lagi dari setiap kisah akan ada uraian menarik tentang berbagai permasalahan hidup. Meski memang dari setiap tulisan masih ada beberapa kekurangannya, tetap saja buku ini patut untuk kita baca dan renungkan. Karena banyak pembelajaran yang pastinya bisa kita dapat.

Misalnya kisah berjudul “Yang Penting Yakin”. Di mana dari kisah ini kita disadarkan bahwa pertolongan Allah itu nyata. Allah itu tidak pernah tidur. Ketika melihat hamba-Nya yang kesusahan, Allah akan membuka pintu rahmat-Nya. Tentu saja hal itu berlaku bagi orang-orang yang percaya dengan  kuasa Allah. Yang tidak mudah mengeluh, dan selalu yakin bahwa Allah selalu bersama kita. 

Siapa sih yang tidak bingung ketika uang tengah menipis, sedang berbagai kebutuhan tengah menanti? Rasanya kita pasti ingin mengeluh dan menangis. Di sini-lah tantangan  penulis yang  harus benar-benar pandai dalam memilih kebutuhan apa yang akan dia pilih. Bagaimana dia menyakipi keadaan tersebut (hal 2).

Ada pula kisah berjudul “Allah Maharomantis” yang mana dalam cerita ini penulis menjabarkan tentang suka duka dalam meraih impian. Bahwa seyogyanya, setiap manusia pasti memiliki target dalam hidupnya. Meski dalam meraih terget impian itu tidak akan mudah. Akan selalu ada kerikil yang menjadi batu sandungan di setiap kesempatan. Ada jatuh bangun yang harus dihadapi. Pada titik ini, kita akan dihadapkan pada pilihan untuk mengeluh dan menyerah jika terasa berat, atau memilih terus melangkah dengan segala suka duka yang ada.

Bisa menyelesaikan tugas akhir (skripsi) tepat waktu merupakan impian terbesar bagi beberapa mahasiswa.  Hanya saja untuk meraihnya tentu bukan perkara mudah. Perlu usaha yang keras, semangat tinggi  dan tidak mudah menyerah. Di mana kita harus berhadapan dengan dosen pembimbing yang kadang rewel, lalu beburu tanda tangan penguji yang sulit sekali ditemui. Hal inilah yang dirasakan penulis dalam usahanya meraih gelar sarjananya.  Membaca kisah ini seperti membuka lembaran saya sendiri, ketika mengejar kelulusan.  Saat itu, kesabaran kita benar-benar diuji.

Delapan belas kisah lainnya pun tidak kalah menarik dan bikin kita terhanyut. Seperti kisah berjudul “Bapak Hendak Membakar Rumah” ini kisah yang menurut saya sangat menggetarkan hati. Saya yakin, pihak-pihak yang terlibat dalam kisah ini memiliki stok kesabaran yang luar biasa.

“Hidup itu selalu tentang keseimbangan antara nyaman atau tidak nyaman. Keduanya bukan pilihan, tapi keharusan. Pemisahnya adalah kesabaran yang mestinya selalu dikuatkan. Sabar ketika di atas agar tidak jumawa dan sabar saat di bawah agar tidak putus asa.” (hal 31).

Membaca buku ini secara keseluruhan, kita dapat menyimpulkan bahwa sebagai manusia kita memang harus selalu berusaha sebaik mungkin. Kita harus berusaha, namun tidak lupa kita berdoa dan tawakal. Karena sudah pasti rencana Allah adalah yang terbaik dari rencana siapa pun di muka bumi ini.

Srobyong, 18 Agustus 2018

Wednesday 10 October 2018

[Resensi] Rencana Perampokan di Toko Emas dan Inspirasinya

Dimuat di Radar Sampit, Minggu 16 September 2018

Judul               : 24 Jam Bersama Gaspar
Penulis             : Sabda Armando
Penerbit           : Mojok
Cetakan           : Pertama, April 2017
Tebal               : xiv + 228 halaman
ISBN               : 978-602-1318-48-5
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

24 Jam Bersama Gaspar  merupakan salah satu novel unggulan dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016.  Berbeda dari naskah unggulannya lainnya, Sabda Armando hadir dengan teknik bercerita yang tidak biasa.  “Ringan dan menyenangkan” itulah pendapat dari keseluruhan dewan juri.

Jika pada Tanah Merah Surga karya Arafat Nur, kita diajak menyelami polemik politik di Aceh. Lengking Burung Kasuari karya Nunuk Y. Kusmiana mengenalkan potret kehidupan tentara Jawa yang tinggal di Papua dan Curriculum Vitame karya Benny Arnas  mencoba mengkritisi berbagai isu-isu sosial.  Maka novel ini menawarkan ide segar tentang kisah detektive yang anti mainstream.

Bercerita tentang Gaspar yang berencana mencuri di  toko emas  milik Wan Ali, karena sebuah kotak hitam. “Sebab kotak itu berisi seluruh ilmu pengetahuan yang ada di jagat raya. Kotak itu sudah berpindah-pindah tangan, melewati lebih dari lima puluh generasi.” (hal 119). Dia dengan tingkah uniknya kemudian mengajak beberapa orang untuk diajak kerja sama. Ada Agnes, Njet, Kik, Pongo dan Pingi—bukan nama asli, tapi panggilan yang sengaja dibuat Gaspar.

Mereka yang awalnya menolak ide gila Gaspar, tapi pada akhirnya memilih setuju karena terprovokasi Gaspar. Padahal mereka tidak tahu ternyata ada misi lain yang tengah disembunyikan Gaspar mengenai alasan sebenarnya tentang keinginannya merampok toko emas Wan Ali.  Di mana hal ini juga masih berhubungan dengan kotak juga anak perempuan Wan Ali.  Lalu berhasilkan niat Gaspar dan ada rahasia apa antara  Gaspar dan Wan Ali?

Selain menceritakan rencana Gaspar  yang ingin merampok, buku ini juga diselingi dengan tanya jawab antara seorang polisi dengan dengan wanita tua yang selalu menjawab pertanyaan dengan aneh dan membingungkan. Namun ternyata dari jawabnnya itulah, kota-kotak poin kisah sesungguhnya bisa ditemukan. Dan lagi kita akan dikejutkan dengan twist ending yang tidak pernah kita duga.

Diceritakan dengan cara yang tidak biasa dan menarik, membuat novel ini terasa segar. Penulis memberi wacana berbeda dengan kebanyakan novel yang ada. Kiranya tepat jika juri sayembara Dewan Kesenian Jakarta, menganggap  novel ini mengandung kritik atas konvensi cerita detektive. 

Membaca buku ini kita diajak menyelami tentang sikap manusia itu sendiri. Bahwa sadar atau tidak sadar, selalu ada sisi jahat atau negatif dari setiap insan—siapa saja bisa berbuat jahat.  “Semua orang terlahir  untuk menjadi keparat dan siapa pun yang berkata sebaliknya pastilah delusional atau kalau tidak, ya pendusta berat.” (hal 170). Oleh karena itu, kita perlu  membentengi hati dengan benteng iman dan takwa.  Selain itu ada sindiran halus mengenai sikap manusia, yang rentah mencari pemberanan dalam segala pola tingkah yang dilakukan.

Hanya saja untuk membaca novel ini, kita harus ekstra sabar agar bisa memahami keseluruhan cerita. Karen cerita ini sedikit absurb dan gila.   Tidak ketinggalan kita juga harus sabar menghadapi kegilaan para tokoh, yang kadang menjengkelkan juga kadang mengundang rasa iba.  Namun lepas dari kekurangannya itu, novel ini sedikit menghibur lewat kelucuan dialog dan eksekusi para tokoh.

Srobyong, 28 Oktober 2017 

Friday 5 October 2018

[Cerpen] [Cerma] Insiden Sepatu

Dimuat di Analisa Medan, Minggu 9 September 2018 


*Ratnani Latifah
            Vania memperhatikan deretan sepatu yang ada di hadapannya. Sangat manis dan menggugah selera. Dia melihat dengan seksama model-model flat shoes yang membuat dia makin tergiur. Padahal sudah berpuluh sepatu yang Vania koleksi untuk memadukan dengan setiap baju yang dibeli.
            Mata itu makin mengawasi dengan jeli, melihat sepatu flat warna ungu yang selalu menjadi candu.
            Ketika dia akan mengambil sepatu itu, ternyata tangan seorang cowok mendahului dia dengan cepatnya. Vania terbengong. “Cowok ini lancang sekali.” Vania menggerutu sendiri.
            “Maaf, itu sudah mau gue ambil.” Vania meminta sepatu itu.
            “Tapi, gue yang mengambil duluan.” Cowok itu tidak mau kalah.
            Vania sebal bukan main, apalagi itu model terbaru  Flat Geearsy yang selalu dia tunggu. Dengan warna ungu yang makin membuat dia harus memilikinya.
            “Loe mengambilnya setelah gue pegang. Sini berikan!” Vania berusaha merebutnya. Tapi, cowok itu tetap tidak mau kalah untuk mempertahankannya.
            “Loe kan cowok kenapa tidak mencoba mengalah sedikit dengan cewek sih,” gerutu Vania kesal.
            “Lagipula, buat apa Loe beli sepatu cewek.” Cibir Vania. Cowok itu bukannya menjawab, malah menatapnya Vania dengan  tajam.
            “Bukan urusan Loe,” ucapnya ketus.
            Perdebatan mereka untuk mendapatkan sepatu itu membuat karyawan di toko itu turun tangan untuk memisahkan. Mereka mencoba melerai dan memberi pilihan. Namun sayang, Vania dan cowok itu sama-sama menolak. Karena yang mereka inginkan sepatu itu yang ternyata stocknya tinggal satu dengan ukuran yang sama yang mereka ingin beli. Jadi tidak mungkin diganti.
            Vania dengan muka ditekuk, mencoba mengikhlaskan sepatu flat itu untuk cowok yang menyebalkan yang tidak mau mengalah. Dia pulang dengan tangan kosong tanpa membeli apapun, karena dia sebenarnya masih mengharap sepatu itu.
            “Aaaaaaaa!!” teriak Vania sendiri. Dia meninggalkan toko dengan kecewa. Dia bersumpah tidak akan melupakan cowok brengsek yang tidak punya hati, yang tidak mau mengalah dengan cewek.
            Vania, kini melangkah untuk pulang ke rumah. Dia mau merelaxkan sebentar pikirannya yang masih panas.
            Sesampainya di rumah dia tidak mengindahkan panggilan Radit—kakaknya. Vania langsung pergi begitu saja untuk masuk ke sarangnya.
            “Va, dipanggil kok ngeloyor sih.” Radit mengingatkan adiknya.
            “Vania lagi kesal Kak, nanti aja kalau udah adem.” Vania tidak mempedulian kakaknya.
            Radit mengalah membiarkan Vania mendinginkan otak. Kalau dia mengganggu malah bisa dapat semburan pedas yang berujung adu mulut tak terelakkan.
            Ketika jam makan malam, Vania baru keluar dari persembunyian. Suara peut yang tidak mau berkompromi membuat dia harus keluar demi sesuap nasi. Rasa marah ternyata membuat kelaparan juga.
            “Kenapa Va? Dari pulang sekolah kok  uring-uringan? Lagi dapet ya? Atau ada tugas fisika? Loe kan suka stres kalau harus ngerjain fisika.” Radit mendekati adiknya, mencoba meledek. Vania mengangkat bahu.
            Dia duduk di ruang tengah menungggu panggilan Bunda untuk makan malam bersama. Radit masih berusaha membujuk, dia tahu Vania tidak akan betah menyembunykan masalah dari dia.
            Benar saja, lima menit kemudian, cerita insiden sepatu itu meluncur begitu saja dari bibir mungil Vania. Dia menceritakan semua detil kejadian yang dia lalui. Rencana awal saat ke toko untuk hunting sepatu menjadi gagal total, karena ulah cowok sableng yang merusak mood Vania hilang. Dia pulang tanpa membawa apa-apa kecuali kecewa yang berkepanjangan.
            Radit malah tertawa terbahak membuat Vania bingung dengan ulah Kakaknya.
            “Ich! Apa yang lucu coba Kak,  Vania sebal tahu,” Vania protes.
            “Kau ini Va, gara-gara masalah itu uring-uringan seharian? Lucu tahu, apalagi mendengar kalian cowok dan cewek bersitegang karena sepatu,” Radit kembali tertawa terbahak. Namun, langsung dihentikannya ketika melihat wajah Vania yang semakin lusuh saja.
            “Sudah ikhlaskan saja, nanti juga dapat gantinya.”
            Obrolan itu terhenti, ketika Bunda mereka memanggil menyuruh makan malam, segera mereka berbaur menuju ruang makan.
            “Hmm, baunya sedap sekali.” Vania mencium aroma masakan Bundanya. Segera dia melahap makan malam itu tanpa lupa memulai dengan basmalah.
            Malam itu, rasa kecewa Vania melebur dengan tawa renyah dari keluarganya.
~*~
            Vania terbelalak, dia ingat betul cowok berengsek yang berada di depannya. Pagi-pagi dia sudah harus berurusan dengan cowok menyebalkan itu. Salah apa dia kenapa dia harus melihatnya lagi. Di depan rumahnya lagi.
            “Sudah datang Lex.” Radit muncul dari dalam. Dia tersenyum menyambut Alex temannya.
            Vania melonggo, dia teman Kakaknya.
            “Kenalkan Va, dia ini disainer sepatu kenalan Kakak, karyanya keren-keren lho,” ucap Radit memperkenalkan.
            “Paling di koleksi sepatumu ada juga yang buatan tangan darinya,” Radit menambahkan.
            Vania hanya diam saja, mendengar penjelasan Radit tentang cowok bernama Alex. Disainer? Lalu kenapa dia kemarin harus berbut sepatu dengan dia? Tidak masuk akal. Vania bergelut dengan pikirannya sendiri.
            “Desainer Kakak bilang? Dia nih cowok kemarin yang buat Vania bad mood,” Vania berucap.
            “Adikmu Dit?” Alex membuka suara.
            “Dia tipe keras kepala,” ucap Alex pedas.
            “Apa? Loe tu cowok keras kepala, tak punya hati untuk sesama, egois!” Vania meladeni.
            Radit kini yang bingung, melihat dua orang di depannya yang saling adu mulut dengan ego masing-masing.
            “Bentar, bentar mungkin ada kesalah pahaman di sini,” Radit menengahi.
            Dia menatap Vania dan Alex bergantian. Dia harus mendamaikan anjing dan kucing ini.
~*~
Vania kaget ketika memasuki, Alexa shop, semua karyawan memberi hormat dengan takdim. Vania baru tahu kalau Alexa shop itu, milik Alex. Toko sepatu yang kemarin Varia datangi, bahkan sering dia datangi. Dia tidak tahu bahwa cowok yang bertengkar mulut dengannya kemarin dan tadi pagi adalah pemilih toko sepatu ini. Dia bertengkar dengan pemilik dan pembuat sepatu yang sering dia beli selalu. Hebat banget masih kuliah sudah punya usaha. Pikir Varia.
            Malu! Itu perasaan yang kini bertengger di hati Vania, mau di taruh mana mukanya sekarang. Apalagi saat ini semua mata tertuju padanya. Seharusnya tadi dia menolak untuk diajak ke sini.
            “Kak, kenapa Kak Radit tidak bilang.” Vania menyenggol kakaknya.
            “Kamu kan tidak tanya Va.” Radit membela diri.
            Mereka berjalan di belakang Alex yang mengantarkan mereka pada setiap inci  toko ini.
            “Kenapa kemarin tidak bilang kalau …,” ucapan Vania belum selesai.
            “Ini toko milik gue begitu?” Alex melanjutkan menatap Vania tajam. Vania mengangguk lemah.
            Alex kembali diam, tidak menjelaskan apapun tentang kepemilikan toko ini. Vania tidak tahu, kalau dari kemarin dia di beritahu, pasti kesalah pahaman ini tidak berujung panjang.  Di sini dia seperit mau diadili.
            “Dasar cowok Aneh!” Vania kembali menggerutu. Karena dia tidak tahu jalan pikiran Alex itu.
            Dia sendiri sekarang dianggurkan. Dia dan Radit asyik berbincang entah apa yang tidak Vania pahami. Dia perlahan mencoba menjauh dan memilih area lain untuk mencoba melihat pemandangan lain, dari pada menguntit mereka tanpa ada penjelasan.
            Namun, baru beberapa langkah Varia ingin kabur, Alex menangkap basah dia, hingga membuat Vania harus mengentikan langkah.
            “Mau ke mana Loe? Kabur? Malu?” ledek Alex.
            Cowok ini sungguh, mentang-mentang kaya, melakukan semaunya. Kenapa dia harus di hukum, dipermalukan. Dia kan tidak salah secara dia tidak tahu jati diri Alex sebelumnya. Curang!
            Mereka telah sampai di ruang kantor Alex. Mereka dipersilahkan masuk. Ruangan itu sangat luas dan penuh sepatu indah. Mata Vania berbinar. Dia melihat dengan takjub.
            “Semua buat Loe Va, juga Flat Geearsy warna ungu itu,” Alex berucap datar. Membuat Vania makin tidak mengerti maksud Alex.
            Kini mereka beradu pandang, Vania baru menyadari pesona wajah dan tatapan elang yang selalu menusuk dalam. Menatapnya dengan penuh sayang.
            Kejutan besar yang membuat Vania makin terperangah ketika semua ternyata sudah Alex rekayasa dengan Radit yang sudah tahu kalau Alex sudah jatuh cinta dengan Vania sejak dia menjadi pelanggan tetap di Alexa Shop. Semua dari insiden sepatu dan juga hari ini.
Srobyong, 25 Desember 2014 – September 2017

Thursday 4 October 2018

[Resensi] Meraih Kesuksesan dengan Menerapkan Ikigai

Dimuat di Koran Jakarta  Rabu, 5 September 2018


Judul               : The Book of Ikigai
Penulis             : Ken Mogi, Ph.D.
Penerjemah      : Nuraini Matsura
Penerbit           : Noura Books
Cetakan           : Pertama, Juni 2018
Tebal               : 200 halaman
ISBN               : 978-602-385-415-8
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara


Salah satu cara agar kita bisa meraih kesuksesan adalah dengan menerapkan ikigai dalam kehidupan sehari-hari.  Ikigai sendiri adalah istilah Jepang untuk menjelaskan kesenangan dan makna kehidupan. Secara sederhana ikigai adalah filosofi Jepang yang memberikan motivasi, semangat, gairah dan tujuan untuk menjalani hidup. Di mana dengan ikigai, kita bisa menjalani hidup yang lebih menyenangkan, bisa terhindari dari stres bahkan kita bisa meraih kesuksesan.

Dengan penjelasan yang terperinci dan mudah dipahami, Ken Mogi  dengan bukunya,  The Book of Ikigai mencoba menunjukkan tentang peran penting ikigai dalam meraih kesuksesan, dan kisah-kisah inspiratif pelaku ikigai yang patut kita teladani. Dijelaskan pula lima pilar yang harus kita lakukan ketika ingin menerapkan ikigai agar kita sukses.  

Pertama, mengawali dengan hal yang kecil.  Misalnya kebiasaan bangun pagi. Disadari atau tidak kebiasaan bangun pagi akan membuat kita selangkah lebih depan dari pada orang-orang yang terbiasa bangun siang. Sebagaimana yang dilakukan oleh Jiro Ono, pemilik Sukibayasi Jiro, restoran sushi. Dia selalu bangun pagi agar bisa pergi ke pasar untuk mendapatkan ikan terbaik. Dia juga tidak segan untuk memijit daging gurita selama satu jam, agar hasilnya lebih lezat. Dia juga tidak segan  membersihkan sisik dan usus ikan demi menghasilkan sushi yang nikmat (hal 7).

Kebiasaan sederhana itu, merupakan salah satu kunci sukses yang mengangtarkan Jiro  Ono, sebagai  chef bintang-tiga-Michelin dan restorannya menjadi yang terbaik di dunia. Ada pula Hiroki Fujita, yang berdagang tuna di pasar ikan Tsukiji yang terkenal di Tokyo.  Dia selalu bangun pagi agar bisa memperoleh tuna terbaik. Fujita menyadari  seni memilih tuna itu sangat rumit. Jika dia bangun terlambat, bisa jadi dia tidak akan mendapatkan tuna terbaik, dan tidak memperoleh keuntungan.  Di Jepang sendiri kebiasaan bangun pagi memang sudah menjadi kebiasaan sejak masa era Edo (1603-1868) ketika Jepang diperintah oleh  Keshogunan Tokugawa. Di mana hal ini dilakukan demi meraih kesuksesan dalam bidang pertanian (hal 27).

Kedua, membebaskan diri sendiri.  Artinya kita tidak memedulikan definisi sosial, baik masalah pangkat atau profesi. Menurut Mihaly Csikzentmihalyi, seorang psikolog Amerika kelahiran Hungaria, membebaskan diri sendiri berarti kita berada pada  kondisi flow (mengalir). Di mana kita tidak memerlukan pengakuan  untuk hasil kerja atau upaya yang telah kita lakukan. Kita larut dalam aktivitas  sehingga rasanya tidak ada yang lebih penting (hal 78).

Seperti  Sei Shinagon yang nyaris tidak  pernah merujuk posisinya di masyarakat dalam keseluruhan The Pillow Book. Padahal dia merupakan penulis cerita film-tersebut.  Hal itu juga berlaku bagi Jiro Ono, yang tidak memedulikan posisinya sebagai seorang chef hebat. Baginya yang terpenting adalah selalu menghasilkan sushi terbaik, agar siapa saja yang menikmatinya bisa merasakan kenikmatan dan kelezatannya.

Ketiga, keselarasan dan kesinambungan.  Yaitu kita bisa menyesuaikan diri dalam berbagai lingkungan masyarakat dan siap untuk melanjutkan kebiasaan yang sudah ada tersebut. Mengingat di Jepang memang kaya akan adat dan budaya. Seperti kebiasan dalam minum teh juga olahraga sumo. Keselarasan dan kesinambungan merupakan etos  terpenting dan unik  dari cara berpikir masyarakat Jepang.

Sikap inilah yang dipertahankan Ono dalam menjalankan restorannya. Dia melestarikan salah satu makanan khas di Jepang dengan sushinya. Dia berusaha menghasilkan sushi terbaik agar siapa saja yang menikmatinya merasa senang dan puas. Dia mengerjakannya dengan sungguh-sungguh, hingga masih bertahan hingga sekarang. Karena hal itu pula-lah Jiro Ono berhasil meraih kesuksesan.

Selain tiga pilar tersebut masih ada dua pilar lagi yaitu kegembiraaan dari hal-hal kecil dan hadir di tempat dan waktu sekarang. Semuanya saling melengkapi dan jika kita menerapkannya maka kita pun bisa meraih kesuksesan. Dan kita tidak perlu khawatir ikigai ini bukan hanya bisa dimiliki oleh orang Jepang. Karena setiap manusia juga bisa memiliki ikigai sendiri.  Secara keseluruhan buku ini mengajarkan kita untuk  menerima diri sendiri dalam melakukan sebuah pekerjaan.

“Rahasia terbesar ikigai adalah menerima diri sendiri, apa pun ciri-ciri unik yang mungkin kita miliki semenjak lahir.” (hal 183).

Srobyong, 24 Agustus 2018