Tuesday 29 December 2015

[Resensi] Liburan Asyik Penuh Pengalaman di Buntok



Judul buku                  : Misteri Tambang Mengerung
Penulis                         : Erlita Pratiwi
Penerbit                       : Kiddo
Cetakan                       : 1, Agustus 2015
Halaman                      : 146 hlm
ISBN                           : 978-979-91-0914-9


Dyffa sedang berlibur di Buntok, Kalimantan. Alasan Dyffa liburan sebenarnya adalah untuk mengunjungi ayahnya yang bekerja di  pertambangan batu bara. Tapi  karena suatu hal liburannya berubah menjadi petualangan seru yang mendebarkan.

Pertama tentang pesan Om Danu, “Jangan main-main di sekitar tambang kapur. Tempat itu seram dan sering mengeluarkan suara menegerung.” (hal. 11) Lalu pertemuannya dengan Dian dan Jenta. Di mana ketika dia bertemu Dian, tanpa sengaja mereka mendengar percakapan seseorang tentang rencana penyelundupan kucing hutan. (hal. 21) Hal ini jadi mengingatkan Dyffa tentang cerita dari Kay, sahabatnya yang ada di Jakarta.  Dan ajakan Jenta yang membawa mereka memasuki tungku pembakaran batu kapur dan merasakan keangkeran tempat itu.

Dari kejadian itu Dyffa pun mulai menduga, bahwa ada sesuatu yang aneh dengan tambang mengerung. Bermodal dari hasil jepretan yang tidak sengaja dia ambil, saat memergoki pembicaraan orang yang tengah menangkap kucing hutan itu ..., Dyffa, Dian dan Jenta mulai menyelidiki misteri yang ada.

Namun, siapa sangka ciri-ciri topi dari orang yang pernah Dyffa lihat,  ternyata milik dari teman Om Danu. Tingkah mereka sangat mencurigakan karena berbicara dengan bisik-bisik sambil menyebut nama Pak Malis. Jangan-jangan Om Danu adalah salah satu komplotannya. Dyffa menduga-duga. Tapi bukti yang dimiliki belum cukup untuk membuktikan dugaan yang telah disimpulkan. Mereka pun terus menyelidiki. Saat menyelidiki misteri itu, siapa sangka Dyffa dan Dian malah diteror oleh Panglima Burung (sosok gaib dari suku Dayak). Bahkan mereka juga dijebak dalam perangkap. Tentang bagaimana nasib Dyffa, Dian dan  Kucing Hutan ..., serta di balik suara mengerung, selengkapnya bisa dibaca dalam novel ini.


Buku dengan tema unik dan asyik diikuti. Bahasanya mudah dipahami. Selain itu  juga memuat banyak ilmu pengetahuan. Karena dalam setiap bab penulis menyuguhkan pengetahuan tentang daerah Kalimantan yang diserai gambar, sehingga mudah untuk membayangkan keadaan yang dijelaskan. Pengetahuan yang dimuat antara lain;  menjelaskan tentang daerah Buntok, kucing hutan, air hitam, suku Dayak Ngaju, juhu singkah dan masih banyak lagi. Novel ini juga memiliki banyak pesan. Salah satunya, bahwa sebagai manusia itu harus melindungi hewan langkah, bukan memanfaatkannya demi kepentingan sendiri. Serta anjuran untuk tidak berburuk sangka pada orang lain. Beberapa kesalahan kepenulisan yang ada tidak  mengurangi keasyikan membaca novel ini.

[Ratnani Latifah, penikmat buku dan literasi. Berdomisili di Jepara, Jawa Tengah.]

 [ Dimuat di Radar Sampit, Edisi, Minggu 27 Desember 2015]

Monday 28 December 2015

[Review] Menambah Pengetahuan dengan Membaca Komik Hasna



Judul               :  Hasna: Mengaji Itu Menepati Janji
Penulis             : Linda Satibi
Penerbit           : PT. Elex Media Komputindo
Cetakan           : 1, November 2015
Halaman          : 160 halaman
ISBN               : 978-602-02-7389-1

Pengatahuan itu bisa didapat dari mana saja. Misalnya memalui pengalaman langsung atau lewat buku. Bahkan bisa juga melalui komik, cerita bergambar. Seperti Komik Hasna, di mana komik ini banyak menyimpan pengetahuan yang patut diketahui anak-anak sejak dini. Dalam komik ini nanti akan dijumpai 44 cerita tentang Hasna bersama keluarga dan teman-temannya. Selain tokoh Hasna yang menonjol ada juga tokoh Salman, adik Hasna yang tidak kalah lucu dan pintar, Salman.  Komik ini memang dikemas ringan dan akan membuat tersenyum jika membacanya.

Salah satu cerita yang menarik adalah sebuah cerita yang berjudul “Datang Keundangan”. Diceritakan Ibu Hasna akan menghadiri undangan. Ibu Hasna lalu mengajak Hasna dan Salman. Awalnya mereka menolak karena malas namun tiba-tiba mereka memutuskan ingin ikut. Entah ada alasan apa yang membuat Hasna dan Salman berubah pikiran. (hal. 5) yang pasti cerita ini akan membuat tersenyum.

Ada juga cerita yang berjudul “Jangan Pipis Sembarangan” (hal. 17). Cerita ini tidak kalah lucu dengan yang lain. Menceritakan tentang keinginan ayah Hasna yang ingin ikut kerja bakti untuk membersihkan lorong yang jadi jalan tembus dari blok rumah Hasan ke blok rumah Arik. Lalu Hasna dan Salma ikut berkomentar tentang bau lorong yang sangat menganggu dengan celoteh-celoteh lucu mengenai orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dengan pipis sembarangan. Kira-kira celoteh apa sih yang diucapkan Salman, ya?

Linda Satibi, sang penulis pandai sekali menyampaikan pesan lewat cerita-cerita sederhana namun sangat mengena di hati.  Lalu sebuah cerita lain, “ Makan Banyak, Nggak Kenyang?” (hal.  42) Bagimana hal itu bisa terjadi? Padahal biasanya kalau setelah makan, itu kan pasti kenyang. Cerita lengkapnya bisa dilihat dalam Komik Hasna ini.

Atau ada pula cerita “Shalat Juga Harus Rapi” Ada sindiran halus dalam cerita ini  sebagaimana diucapkan Salman “Itu tempat makan kita saja, kalau selesai harus disusun yang rapi, masa’ kita yang shalat nggak rapi ... Betul nggak?” (hal. 61)

Cerita selanjutnya, kita akan diajak untuk menyayangi binatang, langsung saja baca ceritanya yang berjudul “Hewan Juga Punya Perasaan” (hal. 63) Lalu ada pula aturan bagaimana cara memberi salam yang baik (hal.117)

Dan masih banyak lagi cerita-cerita tentang Hasna yang tidak kalah menarik. Cerita dikemas dengan gaya bahasa yang mudah dipahami oleh anak-anak. Meskipun banyak komik yang hampir serupa, Komik Hasna memiliki keunggulan tersendiri dari komik yang lain. Yaitu dalam setiap akhir cerita penulis menambahinya dengan hadis-hadis serta kesimpulan dari cerita tersebut. Misalnya tentang sebuah hadis yang mengajarkan kebersihan “Islam itu agama yang bersih, maka hendaknya kamu menjadi orang yang bersih, sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang bersih.” (hal. 27)

Hanya saja kadang dalam komik ini ditemukan percakapan yang agak membingungkan, salah penempatan pada tokoh seperti pada  cerita "Sayangi Sesama" kalimat yang harusnya diucapkan Salman malah dikatakan temannya. Dan ada juga Tokoh pada judul dengan tokoh cerita tidak sama. Seperti dalam cerita "Ringga Sayang Nenek" dalam cerita ini tokohnya bernama Opang, bukan Ringga. Atau mungkin ini nama panggilan? 

Lepas dari kekurangannya itu, komik  ini memuat banyak sekali pengetahuan seperti : anjuran untuk makan bersama agar bisa berkah, keutamaan memenuhi undangan, selalu menjaga kebersihan, keutamaan menghafal Al-Quran, mengaji bersama, jangan menunda waktu shalat, merapikan barisan shalat, menyayangi binatang, anjuran dan tata cara mengucapkan salam dan masih banyak lagi pengetahuan yang bisa didapat. Sangat cocok untuk dibaca anak-anak. Karena selain menghibur juga memiliki banyak manfaat dan menambah banyak pengetahuan. 

Monday 21 December 2015

[Resensi] Nila-nilai Luhur Warisan Ki Hajar Dewantara




Judul               : Sang Guru; Novel Biografi Ki Hajar Dewantara
Penulis             : Haidar Musyafa
Penerbit           : Penerbit Imania
Cetakan           : 1, November 2015
Halaman          : 420 hlm
ISBN               :978-602-7926-24-0



Pendidikan merupakan sarana paling utama untuk membebaskan masyarakat negeri dari kebodohan. Pendidikan adalah media untuk menyiapkan generasi yang kuat jasmani dan rohani.
Dulu karena para penduduk Indonesia yang kurang berpendidikan maka membuat negara ini dengan mudah dijajah. Karena itulah demi mengusir penjajah, Raden Mas Seowardi atau yang dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara, berjuang keras untuk masalah pendidikan untuk anak-anak Inlander.

Mulanya Ki Hajar Dewantara memang terjun pada perjuangan politik. Di mana dia dan teman seperjuangannya; Tjipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker mendirikan sebuah partai bernama IP (Indische Partij). Selain itu mereka juga terjun dalam dunia jurnalistik. Menerbitkan  banyak artikel yang mengecam ketidakadilan Governemen Hindia Belanda.

Pada 1921, Ki Hajar Dewantara memutuskan keluar dari NIP (National Indische Partij) yang pada awalnya adalah pemekaran dari IP. Dan sejak itu pula Ki Hajar Dewantara memutuskan berjuang dengan cara mengembangkan pendidikan. (hal. 241). Langkah awalnya dia membantu perjuangan kakak sulungnya, Kangmas Soerjopranoto menjadi guru di sekolah Boemi Putra. Namun berjalannya waktu, Ki Hajar Dewantara akhirnya memutuskan untuk membuat sekolah sendiri yang kemudian disebut Tamansiswa yang  diririkan pada tanggal 3 Juli 1922. (hal. 266)

Sistem pendidikan yang diterapkan Ki Hajar Dewantara adalah sistem yang pendidikan yang menekankan pada kebudayaan dan karakter bangsa Indonesia yang tidak mengenal paksaan. Pendidikan akan mudah berkembang jika dididik dengan nilai-nilai tradisional yang berangkat dari kehalusan, kasih sayang, kejujuran dan sopan santun.

Bahwa dalam pendidikan, perserta didik itu sebagai subjek, bukan objek pendidikan yang bisa dipaksa seenaknya dengan aturan dan perintah-perintah. (hal. 287-288).

Tamansiswa memiliki semboyan : Ing Ngarso Sung Tuladha, artinya seorang guru adalah pendidik yang harus memberikan teladan yang baik pada anak didiknya, Ing Madya Mangun Karsa,  artinya seorang guru adalah pendidik yang selalu berada di tengah-tengah anak muridnya, memberi semangat untuk berkarya dan Tut Wuri Handayani, artinya seorang guru adalah pendidik yang terus menerus menuntun, memberi dorongan semangat dan menunjukkan arah yang benar untuk anak didiknya. (Hal. 288) 

Sebuah novel biografi yang sangat inspiratif dan sarat makna. Patut untuk dibaca oleh para guru saat ini. Memakai bahasa yang mudah dipahami. Meski ditemukan beberapa kesalahan penulisan, namun tetap tidak mengurangi kenikmatan membaca novel ini.

[Ratnani Latifah, Penikmat Buku Berdomisili di Jepara, Jawa Tengah] 



[Dimuat di Harian Nasional, Edisi, Sabtu-Minggu,  19-20 Desember 2015]

Thursday 17 December 2015

[Cerpen] The Stalking

[Dimuat di Majalah Online Panchake. Edisi ke-2, 10 Oktober 2015]


Oleh Ratna Hana Matsura [Kazuhana El Ratna Mida]

Jantungku berdegup keras. Kakiku menegang. Aku menggigit bibir bawahku. Kuremas jemari yang basah oleh keringat. Sementara teriak dalam hati tidak aku pedulikan. Aku menarik napas panjang, lalu membuka mata perlahan. Ketika aku sadar bisikan itu lenyap. Kemudian berganti tepukan pelan di pundakku, yang membuatku sedikit terkejut.

“Kau baik-baik saja?”

Tatapanku tertuju pada sosok Mira yang melihatku bingung. Lantas aku mengangguk untuk menjawab pertanyaannya.

“Kalau begitu sebaiknya kita pulang sekarang.” Dia meraih tangan kananku. Menariknya agar aku berjalan dengan cepat.

Aku tersenyum tipis. Menuruti Mira. Namun dalam waktu singkat sesuatu yang luar biasa terjadi. Senyumku pudar dan sebuah perasaan aneh membuatku begidik ngeri. Hidungku mencium bau anyir, sementara tanganku terasa lengket oleh sesuatu yang begitu kental. Aku menatap Mira. Seketika aku membekap mulut menggunakan tangan kiriku. Aku melihat sesosok hitam besar menatapku dan semuanya mendadak gelap dengan cepat.

~*~

Aku terbangun dengan napas tersengal-sengal. Keringat dingin mengalir di tiap lekuk tubuhku. Mataku mengerjap beberapa kali.

“Dia tidak mungkin mengikutiku,” ucapku lirih. “Bagaimana ini?” Aku memegang kepala yang tiba-tiba terasa pening.

Aku mencoba mengontrol napas untuk berpikir jernih. Dia tidak mungkin mengejarku lagi. Dia sudah mati. Bahkan aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Penguntit itu ... dia sudah mati. Aku meyakinkan diri sendiri.

Tap ... tap ... tap!

Aku menelan ludah. Ini sudah tengah malam. Langkah siapa itu? Aku tinggal sendirian di apartemen ini. Aku memegang unjung seprei dengan wajah pias. Bayangan penguntit kembali berkelebat di kepala.

“Tenang .... Aku harus tenang.” Aku berbicara dengan diriku sendiri. Aku tidak boleh panik.

“Penguntit itu sudah mati sehari yang lalu.”

Aku mengingat dengan jelas kejadian itu. Saat itu tanpa sengaja aku yang sedang jalan-jalan dengan Mira dan kecelakaan itu terjadi. Dia terpental saat menyeberang jalan.

Tap ... tap ...tap!

Suara langkah itu kembali terdengar. Aku menelan ludah. Menyentuh tengkuk yang semakin merinding. Aku menatap sekeliling ruangan. Kosong, tak ada apa pun. Lalu kenapa aku merasa ada yang tengah mengintaiku?

Tenang, ini pasti hanya imajinasiku saja, aku membuat persepsi sendiri dalam membatin. Mataku kembali mengerjap ketika sosok tinggi besar membuatku terkejut. Jantungku serasa mau copot.

“Kya ...!” aku berteriak. Memundurkan langkah secara spontanitas. Napasku naik turun tidak beraturan.

“Apa itu barusan? Si penguntit, ‘kah? Tapi—” Aku menggigit bibir. Ketakutanku semakin membesar.

“Kenapa kau menguntitku? Apa salahku?” Aku ingin menangis. Aku mengeratkan tangan pada baju yang kukenakan. Terus memundurkan langkah karena kusadari pasti sosok itu tengah semakin mendekat bahkan aku bisa merasakan napasnya. Napasku tercekat. Aku menutup mata. Aku baru membuka mata secara perlahan ketika kurasakan langkahnya tak lagi terdengar.

~*~

Aku menarik napas panjang. Menetralkan perasaan yang sedang berkecamuk dalam dada. Sampai sekarang, yang masih tidak aku pahami adalah alasan orang itu menerorku. Orang atu ... ah entahlah! Siapa dia? Dan apa maunya? Lagi pula setahuku dia mengalami kecelakaan kemarin.

Aku mendesah. Pikiranku kusut tidak mampu mencerna apa-apa. Aku bersandar di kursi, namun jantungku sontak kembali jumpalitan ketika melihat bayangannya muncul dari balik kaca jendela. Aku menjerit keras dan langsung bangkit. Aku harus pergi dari sini. Segera! Itulah yang ada dipikiranku. Tidak memedulikan jam berapa saat ini. Aku mengambil kunci mobil.

Dalam perjalanan ingatanku terbang pada pertemuanku dengan seorang teman kantor beberapa hari lalu. Kami bertengkar karena beda pendapat. Tapi tidak mungkin bila temanku adalah si penerorku. Aku menggelengkan kepala. Lalu menggigit bibir sendiri. Mungkinkah karena kesalahan itu? Aku menerka mengingat satu rahasia yang sampai saat ini menjadi rahasiaku sendiri. Aib yang pernah aku buat. Tentang aku yang pernah membunuh seseorang.

Mobil kupacu dengan kecepatan tinggi. Ketika menyadari sosok itu telah duduk di bangku belakang dengan tatapan tajamnya yang kudapati dari kaca spion tengah, tiba-tiba saja tubuhku serasa mati. Kaku.

Oh, God, makhluk apa ini? Napasku naik turun. Perlahan aku menghentikan mobil dan buru-buru ke luar meninggalkan sosok itu. Aku berlari sekencang mungkin. Tapi lagi-lagi sosok itu bisa mengejarku.

Aku terjerembab. Dia semakin dekat. Aku menelan ludah yang terasa kering.

“A-apa mau-mu?” tanyaku terbata.

Dia tak menjawab pertanyaanku, tapi dia terus menatapku lekat. Membuatku bergidik ngeri dan ingin segera melarikan diri. Tapi ... entah kenapa tubuh ini beku tak bisa diajak kompromi.

“Ya, kata-kan se-su-at-u!” Aku sungguh ketakutan ketika sosok itu semakin mendekat. “A-pa alasanmu ... mem-per-la-ku-kan ... a-ku seper-ti in-i?”

Grap!

Dia tetap tak menjawab, malah kini dia mencekal kuat pergelangan tanganku. Aku mengeliat berusaha menjauh. Tapi semakin aku bergerak entah kenapa pegangan itu makin kuat membuatku tak bisa banyak bergerak. Aku memohon untuk dilepaskan. Tapi dia tak mendengarkan aku. Dia malah menyeretku, membawaku pada tempat yang membuatku ternganga.

Tempat dengan bau anyir yang membuatku ingin muntah. Lalu pemandangan yang kulihat membuatku ingin memejamkan mata. Sungguh buruk dan menyesakkan dada. Aku tidak ingin melihat ini.

“Kumohon ... biarkan aku pergi pada keluargaku.” Aku menarik napas. “Jangan menggangguku.” Aku berlari menjauh ketika dia mengendurkan cekalanku. Menyusuri jalan yang kuyakini itu menuju rumah orang tuaku. Aku harus minta tolong agar mereka membantuku.

Aku tersenyum senang ketika melihat Mira keluar dari rumah. Aku memanggilnya, tapi dia tak menyahut dan pergi berlalu begitu saja. Kulihat matanya sembap. Aku jadi khawatir padanya. Ingin aku mengejarnya tapi kuurungkan karena kulihat Ibu yang juga tengah menangis sesegukkan.

Bukan hanya Ibu tapi ternyata semua keluarga besarku. Mereka nampak berduka karena sesuatu. Tapi karena apa? Kenapa hanya aku yang tak tahu? Kulangkahkan kaki pada kerumunan orang yang ada di ruang tengah. Dan aku hampir tak bisa bernapas ketika melihat siapa yang tengah terbaring di sana.

Aku menatap sosok yang berdiri tak jauh dariku. Aku ingin kabur tapi dia segera mencekalku. Mengantarkan pada satu tempat yang sungguh kusesali. Seharusnya aku tidak bunuh diri, menabrakkan diri pada mobil di jalan itu.

[Cerpen] Sang Penunggu

[Dimuat di Metro Riau, Edisi; Minggu, 13 Desember 2015]

*Kazuhana El Ratna Mida
            Waktu telah memakan hari-harimu hingga kering kerontang begitupun dengan aku. Kamu terlihat lemas tak berdaya karena masih saja setia menunggu kekasihmu yang tak kunjung datang. Kamu semakin pucat dan kurus tak secantik dulu yang banyak menjadi primadona kota.
            Yah, betapa aku lelah mengingatkanmu untuk pergi saja meninggalkan kekasihmu yang tak setia—menghilang. Namun, kamu tak mau. Kamu bilang kekasihmu pasti kembali lalu menyemai mimpi bersama seperti janji kalian dulu.
            “Ah, lupakan saja dia. Kau harus merawat diri!” marahku padamu.
         “Han, kau itu sangat cantik. Janganlah menyiksa diri,” lanjutku. Namun kamu tetap bersikukuh.  Kamu menggenggam tanganku, meyakinkan aku bahwa kekasihmu tak mungkin mengkhianatimu. Apalagi meninggalkanmu. “Percayalah.” Senyummu terukir indah membuat dadaku sesak. Entah sudah berama lama aku tak pernah melihatmu tersenyum seperti itu. Namun sayang senyum itu bukan buatku, tapi untuk kekasihmu yang tak tahu ada di mana saat ini. Kekasihmu bagai hilang ditelan bumi.
~*~
          

Monday 14 December 2015

[Resensi] Pulang; Sebuah Perjalanan Hidup



Judul               : Pulang
Penulis             : Tere Liye
Penerbit           : Republika Penerbit
cetakan            : 1, September 2015
Halaman          : iv+ 400 halaman
ISBN               : 978-602-082-212-9
Harga              : 65.000,-
Peresensi         : Ratnani Latifah [Penikmat buku dan literasi, berdomisili di Jepara]

Pulang memiliki banyak arti. Di antaranya, jika dia seorang perantau mungkin dia akan pulang ke kampung halaman. Atau bisa jadi pulang ke rumah Tuhan karena jiwanya telah diambil. Pulang juga bisa diartikan kembali jalan Tuhan setelah sekian lama tersesat dalam lembah hitam. Semua orang akan pulang pada tempatnya masing-masing. Itulah hakikatnya. Begitupun Bujang atau lebih dikenal sebagai Si Babi Hutan. Dia harus pulang ketika waktu yang ditentukan telah datang.

Kedatangan Tauke ke Talang, telah merubah hidup Bujang. Atas izin bapak dan ibunya Tauke membawanya  ke kota. Dia diadopsi menjadi keluarga Tong. Salah satu keluarga besar di dunia hitam. Pada awalnya Bujang berpikir bahwa nanti di sana dia akan dijadikan tukang pukul—jagal seperti bapaknya. Namun ternyata dia salah. Di sana dia malah disekolahkan. Pada awalnya dia bersikeras menolak, ingin seperti bapaknya. Namun Tauke menasihatinya, “Masa depan Keluarga Tong bukan di tangan orang-orang yang pandai berkelahi. Masa depan keluarga ini ada di tangan orang yang pintar.” (hal. 55) Pada akhirnya dia menerima keputusan Tauke setelah melakukan kesepakatan bersama. Bahkan pada akhirnya nanti dia bahkan bersekolah hingga keperguruan tinggi di Amerika dan belajar tentang shadow economy.

Namun selain bersekolah, Bujang tetap diajari bagaimana cara berkelahi, menembak bahkan tehnik ninja seperti, menggunakan shuriken yang telah dimodifikasi sesuai zaman saat ini. Sehingga dia mendapat sebutan Si Babi Hutan karena memiliki kehebatan yang luar biasa—pintar, kuat dan tidak terkalahkan. Dia sangat tekenal dikalangan dunia hitam itu. Bujang memang ahli dalam bersiasat.  membunuh, dan melakukan bisnis hitam. Namun ada satu hal yang tidak pernah dilakukannnya, memakan daging babi dan minum khamr. Itulah nasihat terakhir yang diberikan ibunya. Tanpa orang ketahui ..., selain menjauhi makan dan minuman haram itu ..., entah kenapa setiap mendengar adzan subuh ada perasaan aneh yang menyergap hatinya. Namun Bujang selalu menepisnya.

Kemudian dari tahun ke tahun Keluarga Tong pun semakin kuat. Hampir seluruh Kota Provinsi sudah dikuasai. Namun ..., karena kesuksesan itu ..., banyak keluarga lain yang merasa cemburu. Salah satunya Keluarga Lin yang sudah berani mengambil teknologi pemindai yang telah dikembangkan Keluara Tong di Makau. Hal ini yang kemudian memicu perselisahan. Selain perselisihan dari luar, ternyata ada juga perselisihan dari keluarga Tong sendiri—sebuah pengkhianatan orang dalam yang membuat Bujang kaget. Bagaimana mungkin temannya sendiri tega melakukan hal seperti itu? Berusaha mengambil alih kekuasaan dan membunuh Tauke.

Dalam kekecewaan dan rasa tidak percayanya, Bujang menyadari bahwa memang beginilah hidup. Seperti yang terjadi dengan bapaknya. Hidup ini adalah perjalanan panjang dan tidak selalu mulus. (hal.262) yang diperlukan adalah kesabaran. Dari kejadian ini pula, Bujang dipertemukan dengan pamannya—Tuanku Imam. Pertemuan itu mengingatkan padanya untuk pulang ke tempat asalnya. Dan dari pamannya Bujang mengetahui kenapa adzan subuh selalu memanggilnya.  Namun di satu sisi, dia berkeinginan untuk menyelesaikan permasalahan dulu—sebuah kesetian, baru memikirkan apakah dia harus pulang atau tidak.


Novel dengan tema unik namun tetap sarat makna. Sebuah novel yang menceritakan sindikat keluarga yang berkecimpung di dunia hitam. Tapi tetap mengajarkan nila-nilai kehidupan. Bahwa setiap orang selalu punya masalah masing-masing—tidak ada yang sempurna. Lalu menyadarkan akan pentingnya sebuah pendidikan. Selain itu ada juga sisi religi yang bisa ditangkap dalam novel ini. Bahwa menjauhi makan dan minum yang haram bisa memanggil jiwa yang masih terjaga jiwanya, meskipun sudah banyak kejahatan yang dilakukan. Ada pula quote yang mengajarkan kesabaran. Bersabarlah, maka gunung-gunung akan luruh dengan sendirinya, lautan akan kering. Biarlah waktu menghabisi semuanya. (hal. 288). Dan ada pula sebuah nasihat yang mengingatkan bahwa jikalau setiap orang punya masa lalu, manusia tetap bisa berubah. (hal. 341)