Sunday 29 October 2017

[Resensi] Perjuangan Douwes Dekker Mendorong Kemerdekaan

Dimuat di Koran Jakarta, Kamis 26 Oktober 2017 


Judul               : Douwes Dekker
Penulis             : Tim Tempo
Penerbit           : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan           : Pertama, Agustus 2017
Tebal               : xii + 188 halaman
ISBN               : 978-602-424-395-1
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumna Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Selain para pribumi yang menjadi tokoh pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia, ternyata ada pula beberapa nama Belanda yang ikut bersumbangsi berjuang demi meraih kemerdekaan Indonesia. Salah satunya adalah Douwes Dekker, yang memiliki nama  lengkap Ernest Francois Eugene Douwes Dekker. Dia lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 8 Oktober 1879.  Dia memiliki darah campuran Belanda, Prancis, Jerman dan Jawa.

Namun meski bukan penduduk Indonesia tulen, tapi semangat nasionalismenya lebih menggelora daripada penduduk bumiputra. Dalam pergerakan  revolusi, Douwes Dekker memiliki pemikiran dan gagasan yang melampaui zaman. Buku ini memaparkan tentang semangat perjuangan Douwes Dekker dalam meruntuhkan pemerintah Hindia-Belanda.

Dengan sifat kritis dan penuh keberanian, dia mengkritisi kekejaman pemerintahan Hindia-Belanda dan berani menolak diskriminasi. Hal inilah yang pada akhirnya membuat pemerintah Belanda berang dan menganggap Douwes Dekker sebagai  agitator berbahaya.  

Bersama  Tcipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker mendirikan partai politik pertama di Indonesia, bernama Indische Partij. Di mana partai ini didirikan dengan tujuan untuk membangkitkan rasa patriotisme orang Hindia untuk tanah yang memberikan kehidupan, yang mendorong untuk bekerjasama atas dasar persamaan hak politik nasional untuk mengembangkan tanah air Hindia ini, dan untuk mempersiapkan sebuah kehidupan bangsa yang merdeka (hal 26).

Hadirnya partai ini meniupkan roh  di awal masa pergerakan dan merupakana pondasi penting bagi nasionalisme Hindia. Douwes Dekker adalah sosok organisator yang tidak pernah lelah berjuang. Dia mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk kemerdekaan Indonesia. Douwes Dekker yang ternyata masih  satu keturunan  dengan Eduard Douwes Dekker—penulis buku Max Havelaar yang memiliki nama pena Multatuli—ini menyerukan ide pentingnya warga Hindia menjadi satu bangsa, yang membangun kekuatan sendiri.

Dia sama sekali tidak gentar meski berkali-kali keluar masuk penjara bahkan diasingkan untuk beberapa waktu yang cukup lama. Memang sejak dia menunjukkan sikap anti penjajah, Belanda sudah mengawasi dan menganggap Douwes Dekker adalah salah satu tokoh yang berbahaya, yang  bisa mengkompori bumiputra untuk melawan pemerintah Hindia-Belanda sewaktu-waktu.  Oleh karena itu ketika Douwes Dekker mendaftarkan perjininan berdirinya partai Indische Partij, dengan tegas Beladan menolaknya, karena partai itu  dianggap berbahaya, mengancam kemananan dan  ketertiban umum. 

Tapi bukan Douwes Dekker jika langsung menyerah. Dengan kemampuannya jurnalistiknya, kerap kali Douwes Dekker menantang pemerintah Hindia-Belanda lewat tulisan-tulisan yang tajam, memojokkan dan pedas di berbagai media.  Dia mengkritisi politik etis yang memecah belah penduduk pribumi, indo dan priyayi.  Akibat keberaniannya itu, Douwes Dekker di mata tokoh-tokoh politik Belanda dianggap sebagai avonturir, oportunis bahkan schoelje atau “si bangsat” (hal 38). Di mana akibat dari tulisannya yang kerap kali menggugat, dan mengecam Belanda dan terus membangkitkan nasionalisme, dia mendapat lima gugatan hukum.

Dia pernah menjalani hukuman penjara di beberapa negara. Lalu bersama  Tcipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker dibuang ke Belanda. Kemudian mereka memanfaatkan waktu ada untuk melanjutkan sekolah.  Selain itu Douwes Dekker juga pernah  dituduh menjadi kaki tangan Jepang dan ditahan di Jakarta, kemudian dibawa ke  Ngawi, Magelang dan Jawa Timur. Di juga pernah diasingkan di Suriname.  Namun semua kejadian itu tetap tidak membuatnya gentar berjuang meraih kemerdekaan Indonesia.

Ketika akhirnya dia kembali ke Indonesia,  dia kemudian memilih berjuang lewar jalur pendidikan. Dia menjadi guru mengajar di Ksatrian Institut, sebuah sekolah yang dia bangun bersama beberapa tokoh pentolan Indische Partij. Dalam sekolah ini Douwes Dekker dengan serius mengajarkan pentingnya  bangsa merdeka dan mandiri (hal 64). Hal ini tentu saja membuat pemerintah Hindia-Belanda semakin membenci Douwes Dekker.

Kiprah Douwes Dekker ini akhirnya memberi inspirasi bagi  para pejuang muda. Seperti Tjokroaminoto dengan Serikat Islam, juga Sukarno dalam mendirikan Partai Nasional Indonesia.  Sebelum wafat Douwes Dekker ini menjadi mualaf dan mengganti nama menjadi Danudirja Setiabudi. Dia meninggal tanggal 28 Agustus 1950 karena sakit. Sebuah buku yang patut dibaca dan diapresiasi. Mengajarkan kita untuk tidak mudah menyerah dalam berjuang dan selalu mencintai Indonesia.


Srobyong, 21 Oktober 2017 

Saturday 28 October 2017

[Resensi] Menikmati Kisah Peraih Nobel Sastra

Dimuat di Kedaulatan Rakyat, Senin 23 Oktober 2017 


Judul               : Maut Lebih Kejam daripada Cinta
Penulis             : Orhan Pamuk, dkk
Penyusun         : Anton Kurnia
Penerbit           : Basabasi
Cetakan           : Pertama, Agustus 2017
Tebal               : 280 halaman
ISBN               : 978-602-6651-04-4
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara.

Karya sastra sendiri merupakan sebuah ciptaan yang dibuat dengan tujuan estetika. Di mana biasanya karya-karya yang diciptakan berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari di masyarakat  dengan tema beragam dan satun waktu yang bergama pula.  Dan Hadiah Nobel Sastra adalah salah satu puncak tertinggi seorang sastrawan melalui karyanya di pentas sastra dunia. Di mana penghargaan itu secara tidak langsung akan menunjukkan tentang kepiawaian penulis juga akan mengangkat nama penulis itu sendiri.

Dalam hal ini, para peraih nobel sastra adalah penulis-penulis luar yang memang sudah tidak diragukan lagi kemampuan mereka dalam mengolak sebuah cerita. Seperti Orhan Pamuk,  Camilo Jose Cela, Albert Camus,  Toni Morrison dan banyak lagi.   Hanya saja tidak semua penulis sastra masih hidup dan terus mengenalkan karya-karyanya.

Oleh karena itu, buku ini hadir untuk mengenalkan  karya-karya sastra menarik dari peraih nobel sastra. Buku ini sendiri terdiri dari 25 kisah yang menarik dan menggelitik.  Di mana tema yang diangkat pun sangat luas. Dari cinta kasih keluarga hingga kritik sosial budaya.

Misalnya saja sebuah cerpen berjudul “Hantu Kekasih” karya Rudyard Kippling—penulis yang mendapat Nobel Sastra di tahun 1970. Dalam kisah ini penulis menyinggung tema cinta yang menarik dan menggemaskan. Ada Pansay  yang  kerap bergonta-ganti pasangan. Dia bahkan tidak segan-segan memutuskan pasangannya jika sudah bosa berhubungan. Namun suatu hari akhirnya dia memutuskan bertunangan dengan Kitty. Keputusannya itu tentu saja membuang salah satu mantan pacar Pansay marah, mengingat Nyonya Wessington masih sangat mencintai Pansay dan tidak mau diputus. Berkali-kali dia mengiba untuk berbaikan. Namun berkali-kali pula Pansay menolak.  Lalu di suatu hari yang tidak terduga tiba-tiba, entah kenapa Pansay menjadi laki-laki aneh hanya karena melihat angkong berwana kuning dan Nyonya Wessington (hal 15).

Selain itu ada pula “Tukang Sepatu” karya John Glasworthy—pemenang nobel sastra tahun 1932.  Cerpen ini penulis mengisahkan tentang tokoh yang selalu memegang teguh ideoliginya ketika berbisnis. Dia tidak mau berbuat curang dan selalu membuat sepatu dengan kualitas terbaik dan penuh kehati-hatian (hal 61).

Selain itu tentu saja masih ada  cerpen-cerpen yang tidak kalah menarik dan menggelitik. Seperti Maut Lebih Kejam daripada Cinta karya Gabriel Garcia Marquez, Gelang Emas karya Naguib Mahfouz, Idiot karya Camilo Jose Cela dan banyak lagi. Sebuah kumpulan cerpen yang menarik. Di sini kita bisa belajar untuk selalau jujur, mau bersedekah serta tidak sombong dan egos. Selain itu kita bisa menambah pengetahuan tentang sejarah penghargaan nobel sastra.

Srobyong, 5 Oktober 2017 

Friday 27 October 2017

[Cerpen] Membakar Langgar[1]

Dimuat di Republika, Minggu 1 Oktober 2017 


Ratnani Latifah

Kosim mengumpulkan warga. Ketika mereka sudah berbondong-bondong datang, dipandangnya lekat-lekat orang yang berjejer itu. Kosim menghela napas. Lalu tangan kanannya yang sudah membawa oncor membuat kuda-kuda untuk melemparkannya.

“Karepmu opo, Sim, gawe geger deso bengi-bengi.”[2] Seorang bapak  menatap tidak suka pada Kosim. Benci.

“Koe pengen kuwalat bakar tempat iki, ngerti ora!”[3]

Kosim hanya tersenyum miring. “Lho buat apa dibiarkan to, Pak. Kalau setiap hari hanya dikosongkan. Tidak ada yang menghidupkan tempat ini. Tidak ada manfaatnya. Kata Bapak, apa-apa yang tidak dimanfaatkan lagi, lebih baik dimusnahkan saja. Iya, kan?”

~*~

[Cerpen] Keputusan Bapak

 Dimuat di  Banjarmasin Post, Minggu 22 Oktober 2017 


Kazuhana El Ratna Mida [ Ratnani Latifah] 

Aku tidak paham, kenapa bapak akhirnya memilih jalan itu. Jalan di mana bapak akan menjadi orang cacat. Bapak tidak akan bisa berjalan lagi. Bapak akan terkurung dalam sepi—tidak bisa ke mana pun yang dia ingini. Padahal aku tahu, bapak sangat suka berpetualang ke berbagai tempat sejak hari menyakitkan itu.  Namun begitu aku hanya bisa berdoa yang terbaik untuk setiap pilihan bapak.

~*~

Saturday 21 October 2017

[Resensi] Menjadi Guru yang Kreatif dan Inovatif dalam Mengajar

Dimuat di Padang Ekspres, Minggu 15 Oktober 2017 


Judul               : Gurunya Manusia
Penulis             : Munif Chatib
Penerbit           : Kaifa
Cetakan           : September 2016
Tebal               : xx + 260 hal
ISBN               : 978-602-0851-45-7
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

Pendidikan yang berkualitas akan mencetak generasi masa depan yang berkualitas juga. Dan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari peran guru. Guru adalah ujung tombak proses pendidikan. Tanpa guru, tidak mungkin Indonsia melek huruf, tidak mungkin program pendirian sekolah dan universitas akan berhasil dan tanpa guru tidak mungkin muncul generasi yang berkualitas.

Di sinilah tantangan para guru untuk terus belajar meningkatkan kualitas diri.  Guru harus selalu up to date dalam berbagai hal demi kemajuan pendidikan. Buku ini mengajak para guru untuk menjadi gurunya manusia—di mana mereka menjadi guru yang tidak hanya untuk materi atau tuntutan profesi, tapi demi mengemban tugas mencerdaskan bangsa. Mengedepankan proses belajar dari pada hasilnya.

Secara gamblang yang  dimaksud gurunya manusia yaitu guru yang punya keikhlasan dalam mengajar dan belajar. Guru yang mempunyai keyakinan bahwa target pekerjaannya adalah membuat para siswa berhasil memahami materi-materi yang diajarkan. (hal 59). Untuk mmenjadi gurunya manusia, ada beberapa syarat yang harus dimiliki para guru. Yaitu, bersedia untuk belajar, secara teratur membuat rencana pembelajaran sebelum mengajar, bersedia diobservasi, selalu tertantang untuk meningkatkan kreativitas dan punya karakter yang baik (hal 66).

Ada tiga unsur penting yang harus dilakukan ketika ingin menjadi gurunya manusia. Yaitu paradigma, cara dan komitmen. Paradigma yang dimaksud di sini yaitu, setiap gurunya manusia wajib punya pandangan atau pola pikir yang menganggap setiap anak adalah juara atau setiap anak memiliki potensi kebaikan, apa pun kondisi yang dialamai anak. Jangan pernah menganggap anak itu bodoh.

Karena paradigma itu bisa mempengaruhi dalam usaha pengajaran. Ketika guru sudah menghakimi salah seorang murid dengan kebodohan, biasanya guru memiliki kecenderungan malas dalam mendidik, karena sudah berpikir anak itu pasti akan kesulitan dalam memahami pelajaran. Padahal yang sebenarnya guru harus merangkul. Mencari metode yang baik agar anak bisa paham dalam pelajaran.

Selanjunya dalam mengajar, gurunya manusia selalu mengajar dengan hati dan selalu berusaha memahami kemapuan para anak dididik secara luas. Dalam artian guru tidak hanya menilai dari segi kemampuan kognitif saja. Disadari atau tidak, kadang suka menilai siswanya hanya dari nilai kognitif.  Tapi mereka tidak tahu bisa jadi nilai sempurna yang didapat siswa itu dari hasil mencontek. Guru juga harus menilai dari segi kemampuan lain yaitu,  memahami kemampuan dari segi psikomotirk dan akfektif (hal 74).  

Dan seorang guru seyogyanya harus melakukan discovering ability, yaitu menjelajah kemampuan anak meskipun itu sekecil debu. Dan ketika guru sudah menemukan kemampuan anak, seorang  guru jangan pelit dalam  memberi semangat dan apresiasi bagi anak. Karena apresiasi itu memberi dorongan dan semangat anak. Dengan melakukan discovering ability pada siswa, ibarat menempatkan kaki-kaki positif pada konsep diri siswa bahwa dia bisa dan dia mampu mengerjakan sesuatu.

Gurunya manusia itu selalu menyenangkan. Hal ini bisa dilihat dari caranya mengajar yang selalu aktif, kreatif dan inovatif. Sehingga anak tidak cepat merasa bosan. Namun selalu nyaman dalam belajar.  Guru harus benar-benar memperhatikan sisi psikologi anak juga.  ketika seorang guru bisa merubah suana kelas menjadi menyenangkan, maka otomatis anak akan semangat. Berbeda jika dalam pengajaran guru menerapkan hanya  metode yang kaku—ceramah saja, biasanya anak akan cepat bosan.  Padahal metode itu bisa divariasi agar lebih asyik dan menyenangkan.

Sebuah buku yang sangat patut diapresiasikan. Para guru wajib membaca buku ini.  Buku ini mengajak para guru untuk menyedari posisi dan tugas mereka sebenarnya. Sebagaimana yang pernah dipaparkan Bobbi DePorter—Presiden Quantum Learning Network, “Salah satu unsur penting dalam kemajuan siswa adalah guru yang betul-betul peduli terhadap anak didiknya dan terampil  merangkul serta berhubungan dengan semua pembelajar—yaitu guru yang menciptakan lingkungan yang nyaman sehingga anak didiknya senang belajar.”

Srobyong, 9 April 2017 

Friday 20 October 2017

[Resensi] Kemuliaan Berbakti kepada Orangtua

Dimuat di Duta Masyarakat, Sabtu 14 Oktober 2017 

Judul               : Mutiara Hikmah Islam
Penulis             : Syamsul Rijal Hamid
Penerbit           : Qibla
Cetakan           : Pertama, 2017
Tebal               : xii + 324 halaman
ISBN               : 978-602-394-661-7
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama, Jepara.

Berbakti kepada orangtua merupakan amal yang utama. Dalam surat Al-Isra’ ayat 23 dijelaskan, “Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jangan sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya, ‘ah’, jangan kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan mulia.”  Hal ini sangat jelas bahwa kita sebagai anak diwajibkan untuk berbakti kepada orangtua.

Buku ini mencoba mengulas lebih dalam tentang kemulian bagi siapa saja yang berbakti kepada orangtua.  Allah pernah memberi wahyu kepada Nabi Musa as, “Wahai Musa, berbuatlah baik kepada orangtuamu karena sesungguhnya orang yang berbuat baik kepada ibu dan bapaknya akan dipanjangkan umurnya dan akan dianugerahi anak yang berbuat baik kepadanya. Sebaliknya barangsiapa durhaka kepada orangtuanya maka akan dikurangi umurnya dan akan diberi anak yang durhaka kepadanya.” (hal 4).

Kewajiban berbakti kepada kedua orangtua ini berlaku bagi siapa saja—termasuk berlaku bagi setiap muslim yang kedua orangtuanya menganut agama lain. Alasannya adalah, meskipun ibu dan bapak kita tidak seiman, harus diakui bahwa merekalah yang telah memelihara dan membesarkan kita. Jadi, kita tetap wajib menghormati dan menyayangi mereka (hal 5).

Perlu diketahui alasan lain kenapa Allah memerintahkan kita berbakti kepada orangtua adalah karena surga berada di telapak kaki ibu. Dan perlu disadari juga bahwa dengan mendapat rida Allah, sama halnya kita mendapat rida dari Allah—tentu saja dalam hal ini menyangkut hal-hal kebaikan.

Ada sebuah kisah tentang betapa berbakti kepada orangtua itu akan membawa kemulian bagi anak. Misalnya kisah Uwais bin Amir. Dikisahkan dia merupakan seorang anak yang sangat berbakti kepada ibunya. Oleh karena itu Allah memberi kemuliaan, berupa doa yang makbul—doanya dikabulkan oleh Allah. sehingga banyak orang berbondong-bondong datang untuk meminta didoakan. Itu merupakan cara Allah mengangkat derjat hambanya.

Ada pila kisah seorang ahli ibadah bernama Juraij. Pada suatu kali Juraij tengah khusuk salat. Lalu ibunya memanggil namanya berkali-kali. Merasa salat lebih penting, Juraij pun mengabaikan panggilan ibunya. Namun ternyata perbuatan Juraij itu mengundang amarah ibunya. Bahkan ibunya  mendoakan Juraij agar mendapat musibah. Benar saja beberapa kemudian, dia terjebak masalah dengan seorang pelacur yang mengaku telah melahirkan anak Juraij.

Kejadian itu membuatnya teringat dengan kemarahan ibunya. Sehingga dengan cepat Juraij meminta ampunan. Setelah itu akhirnya atas kuasa Allah, bayi itu itu bisa berbicara dan menyelamatkannya dari fitnah yang keji.  Selain itu ada pula kisah Abdullah bin Salam yang sehari-harinya ahli ibadah dan selalu bersedekah, namun karena dia telah menyakiti ibunya, dia kesulitan saat sakaratul maut (hal 24).

Maka sudah jelas, betapa berbakti kepada orangtua merupakan kewajiban bagi setiap anak dan tidak boleh disepelekan. Di mana Allah pun telah menjanjikan bahwa barangsiapa yang berbakti kepada orangtua, kita akan dimuliakan, mendapat berkah berlimpat ganda. Dan Allah juga telah memperingatkan jika kita durhakan kepada orangtua, pintu neraka dan azab Allah siap menimpa kita.

Sebuah buku yang sangat memotivasi dan menginspirasi. Mengajarkan kita untuk berbakti kepada orangtua. Selain itu dalam buku ini kita juga dikenalkan dengan berbagai hikmah islami yang bisa dijadikan jalan muhasabah. Di sini kita juga ingatkan bahwa apa yang kita petik adalah hasil dari apa yang kita tanam. Dipaparkan dengan bahasa yang renyah dan memikat membuat buku ini sangat asyik untuk dinikmati.

Srobyong, 28 Juni 2017 

[Resensi] Tukang Sepatu Mengkritik Pebisnis karena Selalu Curang

Dimuat di Koran Jakarta, Selasa 10 Oktober 2017 


Judul               : Maut Lebih Kejam daripada Cinta
 Penulis            : Orhan Pamuk, dkk
Penyusun         : Anton Kurnia
Penerbit           : Basabasi
Cetakan           : Pertama, Agustus 2017
Tebal               : 280 halaman
ISBN               : 978-602-6651-04-4
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumna Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara.

Buku ini merupakan kumpulan cerpen  karya para penulis peraih Nobel Sastra—sebuah  penghargan sastra paling prestesius di dunia yang diberikan kepada penulis.  Dan baru-baru ini telah diumumkan  bahwa pemenang Nobel Sastra 2017 adalah penulis Inggris berdarah Jepang—Kazuo Ishiguro.

Penghargaan ini menunjukkan kemampuan seorang penulis juga seberapa berpengaruhnya tulisaan yang dibuat di mata dunia. Mengingat sastra memang dibuat dengan tujuan esetika.  Namun selain  hadir sebagai hiburan, sastra  juga menjadi jembatan untuk mendiskripsikan berbagai peristiwa, masalah psikologis, hingga  dinamika penyelesaian masalah.

Dari cerita sastra kita bisa mengambil inspirasi atau merenungkan tentang suatu kejadian yang mungkin sering terjadi dalam kehidupan  sosial masyarakat pada waktu tertentu. Dan sastra kadang-kadang juga menjadi pisau tajam dalam mengkritisi masalah politik.  Dalam buku ini terdapat 25 cerita yang menarik dan memikat dengan berbagai tema—ada cinta kasih keluarga hingga kritik sosial budaya.  

Misalnya saja cerpen berjudul “Tukang Sepatu” karya  John Galsworthy. Dia mengkritisi para pebisnis, tentang persaiangan bisnis yang lebih sering memakai kecurangan untuk melariskan produk  yang dimiliki.  Dalam cerpen ini diceritakan, para tukang sepatu tidak memikirkan kenyamana pemakai sepatu, hanya memikirkan keuntungan yang nantinya akan diperoleh. Berbeda dengan Gessler bersaudara yang tetap memegang ideologi, untuk menjadi tukang sepatu yang bertanggung jawab. Gessler selalu berusaha membuat sepatu dengan kualiatas baik.   “Mereka mencari pelanggan  dengan iklan, bukan dengan karya.” (hal 67).

Adapula cerpen berjudul “Maut Lebih Kejam daripada Cinta” karya Gabriel Garcia Marquez. Dalam cerita ini, penulis menyindir seorang senator  yang mudah disuap ketika disuguhi wanita cantik.  Diceritakan Senator Onesimo Sanchez telah divonis akan segera meninggal. Namun karena malu mengakui kenyataan itu dia berusaha mati-matian merahasiakan batas hidupnya.  Dia tetap melakukan kampanye pemilu dan melayani masyarakat yang meminta bantuan kepada dirinya.

Hanya satu orang yang selalu dia tolak, ketika meminta bantuan. Namanya Nelson Farina. Dia meminta tolong pada Senator Onesimo untuk membuat KTP palsu agar tidak bisa lolos dari jangkaun hukum (hal 138). Namun dengan tegas Senator Onesimo menolak permintaan Nelson. Hingga di suati hari, Nelson mengenalkan putrinya—Laura Farina yang sangat rupawan, hingga membuat Senator Onesimo bertekuk lutut, dan tidak bisa lagi menolak keinginan Nelson.

Tidak kalah menarik adalah cerpen berjudul “Gelang Emas” karya  Naguib Mahfouz. Dalam cerita ini, penulis menunjukkan krisis moral yang kerap terjadi di dalam sosial masyarakat.  halal dan haram sudah tidak dipedulikan, bahkan kejujuran pun digadaikan. Diceritakan  Hussein akhirnya diterima menjadi juru tulis di sekolah menengah di Tanta. Kabar itu tentu saja sangat membuat Hussein sangat senang dan antusias. Dengan memperoleh pekerjaan dia bisa membantu keuangan keluarganya.

Tapi di sisi lain, Hussein menyadari untuk pergi ke Tanta dia memerlukan banyak biaya. Sedangkan dia saat itu tidak memiliki uang. Oleh karena itu, dia mencari saudaranya Hassan untuk meminta bantuan. Dan betapa terkejutnya Hussein ketika melihat keadaan Hassan, yang ternyata tidak jauh berbeda dengan dirinya.   Namun yang lebih mengejutkan adalah ketika Hassan tiba-tiba memberikan sebuah gelang emas milik orang lain kepada Hussein untuk dijual (hal 154). Di sinilah dilema Hussein. Dia bingung antara harus menerima gelang emas itu atau menolaknya.   Tapi Hussein akhirnya menerima gelang itu demi bertahan hidup.

Selain cerpen-cerpen tersebut, masih banyak lagi kisah lain yang tidak kalah menarik dan menggelitik. Seperti Idiot karya Camilo Jose Cela, Perempuan Tak Setia karya Albert Camus, Ketika Dara Jatuh Cinta karya Ernest Hemingway,  Namu Hitam karya Orhan Pamuk dan banyak lagi. Semua diceritakan dengan alur menarik dan memikat, membuat kita tidak bosan dalam membaca. Selain itu dalam buku ini juga dilengkapi sejarah perihal Hadiah Nobel Sastra, juga daftar para penulis yang pernah menerima penghargaan sejak tahun 1901- 2016. 

Srobyong, 6 Oktober 2017 

Thursday 19 October 2017

[Resensi] Pandangan Masyarakat Terhadap Seni dan Penulis

Dimuat di  Kabar Madura, Senin 9 Oktober 2017 


Judul               : Alang
Penulis             : Desi Puspitasari
Penerbit           : Republika
Cetakan           : Pertama, Juni 2016
Tebal               : iv + 235 hlm
ISBN               : 978-602-9474-09-1
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

Sudah menjadi berita umum, bahwa profesi sebagai penulis masih dianggap sebelah mata oleh sebagian banyak masyarat. Mereka kerap dianggap sebagai pengangguran dan tidak memiliki masa depan cerah. “Menjadi penulis tidak akan pernah membuatmu kaya. Kau akan hidup terlunta-lunta.” (hal 147).

Selain menulis salah satu profesi lain yang kadang masih disepelekan adalah para pecinta seni. “Hidup di dunia nyata mengajarkan bahwa yang dibutuhkan dalam hidup ini sesungguhnya hanya duit! Dan duit tidak bisa kau dapat dengan bergelut di bidang seni. Seni itu omong kosong. Seni itu tak bisa menghidupi yang ada malah membuatmu mati lebih dini.” (hal 26).

Kedua hal ini kerap dibanding-bandingkan dengan profesi lain yang lebih menjanjikan. Di mana sebagian banyak masyarakat lebih mempercayai bahwa profesi dokter atau pengacara lebih memiliki masa depan yang cerah. Oleh karena itu banyak orangtua yang melarang keras anak-anak mereka  jika didapati memiliki cita-cita menjadi penulis atau  musisi.   Padahal anggapan itu tidak seratus persen benar.  karena setiap profesi pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Novel ini mengambil isu menarik dalam masyarakat dengan dipadukan tema tentang perjuangan dalam meraih mimpi. Membaca  novel ini kita disadarkan,  bahwa kita tidak boleh menilai sesuatu dari sebelah mata—atau dari hal jeleknya saja tapi harus menyeluruh. Selain itu di sini kita juga diingatkan,  untuk menjadi dewasa ada hal-hal yang harus diputuskan dan menanggung resiko yang telah dipilih.

April percaya bahwa bakat itu ada. Tapi tidak semua keberhasilan terwujud karena bakat. April lebih percaya kalau pandai dan sukses itu diraih karena tekun dan bekerja keras, ketimbang melulu menggantungkan diri pada bakat (hal 40). Inilah paham yang dipegang erat oleh April. Karena itu dia berusaha keras dalam mewujudkan mimpinya sebagai seorang penyair. Meski itu harus melawan keinginan orangtua yang selalu menyepelekan mimpinya.

Begitu juga dengan Alang.  Sejak duduk dibangku sekolah dasar, dia sudah sangat menyukai musik.  Diam-diam dia belajar bermain gitar dari guru seninya—Pak Gunawan. Dan agar dia bisa memiliki gitar, Alang bekerja keras sambil bekerja. Hanya saja ayah Alang sama sekali tidak menyukai cita-cita anaknya. Karena di desa mereka pun sudah ada teladan kalau seni itu hanya omong kosong. Tidak ada masa depan bagi penggiat seni.

Kesamaan nasib, membuat April dan Alang menjadi dekat. Hubungan yang semula hanya sebatas sahabat, lambat laun berubah menjadi sesuatu yang spesial.  Setelah meenyelesaikan SMA, Alang mengambil peruntungan untuk melanjutkan sekolah musik di Jakarta. Apalagi dia berkesempatan mendapatkan beasiswa.  Sedangkan April melanjutkan  kuliah di kedokteran. Sebuah perjuangan panjang dan tidak mudah akhirnya mereka mulai. Tentang jatuh bangun dalam berjuang meraih mimpi, juga tentang kenyataan pahit yang setiap saat harus mereka hadapi

“Mimpi itu hanya untuk seorang pemenang, bukan  pecundang. Pemenang itu artinya dia yang tidak mogol atau berhenti di tengah jalan—pada apa pun pilihannya. Pemenang itu juga tidak cengeng. Meski cita-cita dan cintanya kandas, ia akan segera bangkit dan pulih.” (hal 195).  

Dipaparkan dengan gaya bahasa yang renyah dan memikat, membuat novel ini asyik untuk dinikmati.  Apalagi teman yang dianggkat itu cukup dekat dengan dunia literasi serta isu-isu yang kerap menyelimuti. Bahwa seni bukanlah sebuah pekerjaan yang menjanjikan. Meski pada beberapa bagian ada yang terasa lompat-lompat. Namun lepas dari kekurangannya novel ini cukup menghibur. Banyak pesan tersirat yang bisa dijadikan pembelajaran. Seperti sikap tidak mudah menyerah, kekuatan sabar, mau berusaha serta tidak takut dalam mengambil pilihan.

“Kesuksesan itu bukan jalan singkat. Kecuali kamu adalah anak seorang yang sangat kaya, selebihnya kamu harus jatuh bangun berdarah-darah menempuh jalan seni yang terjal.” (hal 217).


Srobyong, 31 Juli  2017 

Wednesday 18 October 2017

[Cerpen] Hikayat Batu Menangis

Dimuat di Koran Dinamikanews, Edisi 395/ 15-31 Oktober 2017 


Kazuhana El Ratna Mida

            Kalian pasti tidak akan percaya bahkan menganggap aku gila, jika bilang,  bahwa aku mendengar batu menangis.  Tapi itulah kenyataannya. Sejak dua minggu lalu, tiba-tiba aku mendengar  batu menangis. Batu itu berukuran seperti  anak kecil berusia satu tahun. Dan batu itu tiba-tiba ada di halaman rumah kontrakanku. Aku sungguh bingung, tapi aku belum sempat meminta tolong pada siapa pun untuk memindahkannya. Jadi aku  memilih membiarkan batu itu di sana untuk sementara.

 Anehnya hanya batu itu yang menangis. Ketika aku ke luar rumah dan melihat batu-batu di tempat lain—batu di halaman rumah Pak Sanusi,  Bu Retno, batu di sekitar pasar, batu di  taman kota dan banyak tempat lainnya yang tidak mungkin aku sebutkan satu persatu,  aku sama sekali tidak mendengar tangisan dari batu-batu itu.

Lebih aneh lagi, tangis  batu yang tiba-tiab ada di rumah itu sungguh memilukan. Dan entah kenapa hatiku jadi tersentuh,  bahkan aku seolah ingin ikut menangis seperti batu itu.

~*~