Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 1 Oktober 2017
Judul : Lengking Burung Kasuari
Penulis : Nunuk Y. Kusmiana
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, Maret 2017
Tebal : 224 halaman
ISBN : 978-602-03-3982-5
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatu Ulama, Jepara.
Mengambil sudut pandang anak berusia
tujuh tahun, novel ini dipaparkan dengan lugas dan mengalir. Novel
yang merupakan pemenang unggulan Sayembara Novel Kesenian
Dewan Jakarta 2016 ini, mencoba menceritakan tentang keluarga tentara dari Jawa
yang mendapat tugas di Papua.
Kinasih Andarwati, itulah nama tokoh
yang kemudian menjadi pencerita dalam kisah ini. Dikisahkan, keluarga mereka baru saja pindah
ke Papua. Ayah Asih adalah seorang
anggota ABRI dan ibunya—Suyatmi adalah ibu rumah tangga yang kemudian memilih
membuka bisnis kelontong. Asih memiliki
adik bernama Tutik yang lebih cerdas dari pada dirinya.
Asih bersekolah di SD Persit—SD
miliki ABRI Angkatan Darat. Sebagai keluarga yang berasal dari Jawa,
kepindahan ke tanah Papua, sedikit banyak membuat mereka harus mulai
beradaptasi dengan berbagai hal-hal baru. Karena bisa dibilang keadaan di Papua
sangat berbeda jauh dengan Jawa. Di mana
untuk memperoleh bahan makanan tidaklah gampang, juga bahan bakar motor kala
itu juga sulit untuk didapat. Hal itulah yang dimanfaatkaan Suyatmi—Ibu Asih
sebagai bisnis.
Kesibukan ibunya di toko dan ayahnya
yang kerap bepergian, otomatis membuat Asih dan Tutik harus terbiasa di rumah
sendiri. Meski kadang sedih, mereka mencoba menerima semua keadaan itu dengan
sabar. Biasanya Asih memilih menghabiskan waktu kesendirian dengan bermain
dengan Sendy, salah satu tetangganya. Bersama Sendy, Asih kerap memanjat pohon
kersen dan melihat bagaimana adat keluarga Sendy yang memang memiliki keyakinan
agam yang berbeda.
Namun dari semua kebiasaan itu, yang
paling melekat dalam benak Asih adalah tentang “tukang potong kep” Sendy pernah
berkata, “Tukang Potong kep'
adalah tukang potong kepala. Tukang potong kep' sedang mencari kepala
anak-anak. Tukang potong kep suka kepala anak-anak berambut lurus.”
Selain
masalah tentang tukang potong kep Asih, yang memang masih kecil selalu
dimanfaatkan Tante Tamb. Tetangganya itu
kerap menyuruh Asih menjaga Butet, saat dia akan pergi (hal 42). Tidak hanya itu, Tante Tamb,
sering mengambil minyak dan bawang tanpa membayar. Sedang Asih takut memberi tahu ibunya. Dia
pikir itu urusan antara orangtua. Sampai akhirnya Tante Bahar, tetangga Asih
lainnya yang melaporkan tindakan tersebut, hingga membuat semua berubah.
Novel
yang termasuk pemenang unggulan Sayembara Novel Kesenian Dewan Jakarta 2016 ini
bisa dibilang sangat minim konflik dan terasa datar. Perihal “tukang potong kep”
yang pernah disinggung, hingga membuat
Asih dan anak-anak lain takut, ternyata tidak dibahas lebih lanjut. Masalah itu
baru dikulik lagi, ketika kisah hampir selesai.
Tukang
potong kep sedang mencari kepala
anak-anak. Tubuhnya tinggi kekar dan rambutnya keriting yang menempel ketat di
kepalanya menambah kesangaran wajahnya. Dan orang itu berjalan lurus ke arah
Asih dengan langkah tegap sambil membawa parang (hal 220).
Padahal
jika masalah itu dikulik lebih jauh, kisah akan terasa lebih menggigit. Dan
yang sangat disayangkan juga, dalam novel ini yang konon mengungkap kehidupan
di Papua, tapi sama sekali tidak memamarkan tentang adat istiadat atau kebiasan
orang Papua. Di sini penulis hanya
memaparkan tentang bagaimana kehidupan Asih yang harus menjalani kehidupan baru
di Papua, dengan berbagai rutinitas.
Namun
lepas dari kekurangnnya dalam novel ini kita bisa membaca tentang sindiran
tentang bagaimana kehidupan yang kerap terjadi saat ini dengan tutur bahasa
yang haalus. Bahwa seseorang memang sudah semestinya menghormati orang yang
memilki pangkat lebih tinggi, meski orang itu berbuat salah. “Ada jenjang
kepangkatan, kepatuhan kepada atasan, dan sebagainya di dunia militer. Dan
tidak gampang seorang tentara menegur
istri dari tentara yang pangkatnya lebih tinggi.” (hal 94).
Lebih
dari itu, pemilihan sudut pandang anak, cukup memberi keuntungan. Karena pilihan itu, membuat kisah di sini terasa berbeda. Karena
kita diajak melihat kehidupan di zaman sejarah melalui kacamata anak yang masih
polos.
Srobyong,
16 Juli 2017
No comments:
Post a Comment