Wednesday, 18 October 2017

[Cerpen] Cerma - Dunia Dini


Dimuat di Harian Analisa Medan, Minggu 2 Juli 2017 

Kazuhana El Ratna Mida
 Apa yang kita tanam, maka itulah yang nantinya akan kita raih. Yah, itulah nasihat pernah aku katakan pada Dini.  Kami duduk berdua kala itu berhadapan. Hanya saja dunia kami tidak sana. Aku di sini dan Dini entah berada di mana.
~*~
            Dini adalah sahabatku. Dia baik dan menyenangkan.  Hanya saja satu kebiasannya sungguh membuatku tidak terlalu suka. Dia itu penggila gadget sejati. Jangan tanya seberapa gila dia dengan barang itu. Sehari-hari dia selalu asyik  hingga tak mengenal waktu. Baik di rumah, di sekolah, bahkan mungkin di kamar mandi, gadget itu akan selalu menemaninya.  Katanya jika tidak bermain gadget itu tidak seru.
             “Din. Kamu dengerin aku ngomong nggak, sih?” protesku. Sedari dari tadi,  aku  seolah berbicara dengan tembok. Dianggap seperti obat nyamuk. Sedang dia terlihat tertawa sendiri sambil menatap layar handphone-nya.
            “Maaf, Sa. Aku dengerin, kok,” kilah Dini masih dengan gadget di tangannya. Jemarinya terlihat lincah tengah mengetik sesuatu. Pasti dia sedang update status di facebook. Aku sangat yakin. Lalu upload foto terbaru di instagram. Dan tidak lama kemudian pasti akan twiiter-an.
            “Trus aku tadi cerita apa?” tatapku penuh selidik.
            Dini hanya tersenyum tanpa rasa bersalah dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Itulah kebiasannya kalau tertangkap basah tidak konsentrasi kalau aku bertanya pada dia.
            Kebiasaan Dini ini acap kali membuatku sebal. Ketika aku sudah berbicara panjang lebar, Dini sama sekali tidak mendengarkan dan lebih fokus dengan gadget-nya.  Bahkan ketika kelas dimulai, dia diam-diam masih bermain gadget. Sepertinya dia tidak takut kalau ketahuan dan dihukum guru BK.  Padahal di sekolah ada larangan tidak boleh membawa handphone.
“Memang kamu nggak bosen apa main gadget terus?”
“Ya enggaklah, Sa. Malah seru. Kita bisa whasapp-an, facebook-an, twitter-an juga instagram-an.” Promosi Dini dengan semangat.
Yah, aku paham. Aku juga memiliki semua akun yang disebutkan Dini. Aku membukanya sesekali kalau sedang liburan atau penat, di mana aku butuh sedikit hiburan.
“Tapi bukan berarti kita  harus selalu update status setiap hari,  kan Din?”  Aku berkomentar.  Apalagi jika update statusnya hanya sekadar curhat tidak jelas atau marah-marah. Padahal kalau mau curhat lebih aman sama buku atau langsung pada Allah. Terjaga kerahasiaaannya. Yang ini aku mengucapkannya dalam hati.
            “Ich ..., kamu itu, Sa.  Jejaring sosial kan bisa menambah jaringan persahabatan. Bisa nambah informasi juga. Masak mau hidup sama buku doang.” Kali ini Dini mencoba menyindirku yang memang lebih suka berdekatan dengan buku.
            “Iya, Din.  Aku tahu, kok. Tapi nggak harus setiap hari kita mantengin jejaring sosial, berjibaku dengan gadget dan lupa kewajiban kita, kan?” aku balas  menyindirnya.
            Dini memang sudah kemakan zaman hingga masuk ke dalam lubang yang paling dalam. Seharusnya dia tetap bisa memilih mana yang harus didahulukan. Dia sudah kelas tiga, saatnya belajar. Pikirku sendiri. 
          “Boleh saja main-main, Din. Tapi kan ada batasnya.” Ucapku lagi.  “Kamu  bener nggak pengen berubah, Din? Kita udah kelas tiga saatnya tobat. Belajar, letakkan gadget sementara,” aku  mencoba menasihati lagi.
            “Duh, Sa ... kamu itu lama-lama mirip dengan ibu aku. Suka ceramah.” Dia terkikik sendiri.
            “Tapi, kan benar, Din. Semua juga demi kebaikanmu sendiri. Karena kamu sahabatku, aku harus mengingatkanmu, bukan?”
            “Iya ... iya, Sa. Aku tahu kamu memang selalu perhatian sama aku. Makasih banget. Makanya nanti kalau aku kesulitan ujian kamu harus siap membantuku memberi jawaban.”  Dini tersenyum lebar tanpa rasa bersalah.
            “Serius, kali, Din. Kamu nggak bisa bergantung sama aku terus.”
            “Sudah, ah. Yuk, kekantin! Aku lapar. Nanti jam istirahat keburu kelar, lho.” Dini malah pergi begitu saja meninggalkanku.  Aku baru ingat kami mengobrol di kelas terlalu lama. 
Dini memang selalu saja seperti ini setiap kali aku menasihatinya. Padahal, aku berniat baik padanya.  Aku tidak habis pikir.  Apa iya, dia tidak  memikirkan persiapan ujian dan nanti akan untuk kuliah di mana? Apa mungkin dia dan hanya hidup dengan gadget itu. Benda kecil itu sungguh membuat repot? Aku menggerutu sendiri dalam hati, sambil berjalan mengikut langkah kaki Dini.
            “Kapan, sih  anak itu sadar kalau dia harus tetap memiliki batas tak tergantung pada benda kecil itu?” lagi-lagi aku menggerutu.
            Sesampainya di Kantin, aku hanya bisa  menelan ludah, menatap ke sekeliling, ternyata semua temanku  nampak asyik dengan gadget di tangan masing-masing. Mereka hidup seolah hanya berdambingan dengan benda itu.
            Aku  sungguh tidak habis pikir. Dampak kemajuan zaman ternyata juga membunuh anak bangsa yang tengah berkembang ini.
            Dan lamunanku terhenti ketika mendengar namaku dipanggil. Aku tahu siapa yang memanggil. Gegas aku mendekati Dini yang ketika aku melirik, dia  sedang update status di twitter-nya. Lagi dan lagi. Dini sudah kecanduan.
~*~
            Waktu pun berlalu. Dan Dini tetap dengan pendiriannya. Berkali-kali aku membujukknya, Dini tetap bersikukuh. Meski kami masih tetap selalu pergi bersama-sama. Hanya saja, dunia kami berbeda.
            Ketika kami ke perpustakaan misalnya. Aku berlatih mengerjakan soal-soal ujian untuk persiapan. Dan Dini akan tetap memegang handphone, tertawa sendiri membaca setiap notifikasi yang masuk. Tentu saja dia menahan tawanya agar tidak lepas kendali, hingga mengundang perhatian petugas perpustakan, dan kemudian dia akan disuruh pergi. Atau ketika kami berjanji belajar dan mengerjakan tugas bersama, pada kenyataanya hanya aku yang belajar dan mengerjakan semua tugas. Dini tetap terpaku pada dunianya sendiri.
            Sampai pada suatu siang, aku menemukan Dini dalam keadaan kacau. Dia menangis dan memeluknya. Aku melirik, mencari gadget yang selalu dia bawa ke mana-mana, ternyata tidak terlihat.
            “Kenapa Din?” sebagai sahabat, aku tidak bisa membiarkan Dini susah sendirian. Apalagi Dini sampai datang ke rumahku langsung.
Mungkinkah dia menyesal? Ingin mengajakku belajar bersama? Aku bertanya-tanya dalam hati. Lalu Dini mengulurkan sesuatu, aku menerima sebuah kertas yang kemudian memahami kenapa dia begitu sedih dan terpukul.
            “Bukankah aku sudah bilang Din. Apa yang kamu tanam itu yang kamu petik.” Aku menatap nilai Dini yang sungguh tidak bisa aku bayangkan dalam ujian dua hari lalu.
            “Yah, dan gara-gara nilai ini, gadget aku disita sama ayah dan ibu. Aku harus gimana tanpa gadget?” isak tangis Dini masih terdengar.
            Dan aku hanya bisa membekap mulut. Ternyata Dini masih belum jera.
Srobyong, 26 Februari 2017 

No comments:

Post a Comment