Dimuat di Harian Analisa Medan, Minggu 2 Juli 2017
Kazuhana El Ratna Mida
Apa yang kita tanam, maka itulah yang nantinya
akan kita raih. Yah, itulah nasihat pernah aku katakan pada Dini. Kami duduk berdua kala itu berhadapan. Hanya
saja dunia kami tidak sana. Aku di sini dan Dini entah berada di mana.
~*~
Dini adalah sahabatku. Dia baik dan
menyenangkan. Hanya saja satu kebiasannya
sungguh membuatku tidak terlalu suka. Dia itu penggila gadget sejati. Jangan
tanya seberapa gila dia dengan barang itu. Sehari-hari dia selalu asyik hingga tak mengenal waktu. Baik di rumah, di
sekolah, bahkan mungkin di kamar mandi, gadget itu akan selalu
menemaninya. Katanya jika tidak bermain gadget
itu tidak seru.
“Din. Kamu dengerin aku ngomong nggak, sih?”
protesku. Sedari dari tadi, aku seolah berbicara dengan tembok. Dianggap
seperti obat nyamuk. Sedang dia terlihat tertawa sendiri sambil menatap layar handphone-nya.
“Maaf, Sa. Aku dengerin, kok,” kilah
Dini masih dengan gadget di tangannya. Jemarinya terlihat lincah tengah
mengetik sesuatu. Pasti dia sedang update status di facebook. Aku
sangat yakin. Lalu upload foto terbaru di instagram. Dan tidak
lama kemudian pasti akan twiiter-an.
“Trus aku tadi cerita apa?” tatapku
penuh selidik.
Dini hanya tersenyum tanpa rasa
bersalah dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Itulah kebiasannya kalau
tertangkap basah tidak konsentrasi kalau aku bertanya pada dia.
Kebiasaan Dini ini acap kali
membuatku sebal. Ketika aku sudah berbicara panjang lebar, Dini sama sekali
tidak mendengarkan dan lebih fokus dengan gadget-nya. Bahkan ketika kelas dimulai, dia diam-diam
masih bermain gadget. Sepertinya dia tidak takut kalau ketahuan dan
dihukum guru BK. Padahal di sekolah ada
larangan tidak boleh membawa handphone.
“Memang
kamu nggak bosen apa main gadget terus?”
“Ya
enggaklah, Sa. Malah seru. Kita bisa whasapp-an, facebook-an, twitter-an
juga instagram-an.” Promosi Dini dengan semangat.
Yah,
aku paham. Aku juga memiliki semua akun yang disebutkan Dini. Aku membukanya
sesekali kalau sedang liburan atau penat, di mana aku butuh sedikit hiburan.
“Tapi
bukan berarti kita harus selalu update
status setiap hari, kan Din?” Aku berkomentar. Apalagi jika update statusnya hanya
sekadar curhat tidak jelas atau marah-marah. Padahal kalau mau curhat lebih
aman sama buku atau langsung pada Allah. Terjaga kerahasiaaannya. Yang ini aku
mengucapkannya dalam hati.
“Ich ..., kamu itu, Sa. Jejaring sosial kan bisa menambah jaringan
persahabatan. Bisa nambah informasi juga. Masak mau hidup sama buku doang.”
Kali ini Dini mencoba menyindirku yang memang lebih suka berdekatan dengan
buku.
“Iya, Din. Aku tahu, kok. Tapi nggak harus setiap hari
kita mantengin jejaring sosial, berjibaku dengan gadget dan lupa
kewajiban kita, kan?” aku balas menyindirnya.
Dini memang sudah kemakan zaman
hingga masuk ke dalam lubang yang paling dalam. Seharusnya dia tetap bisa
memilih mana yang harus didahulukan. Dia sudah kelas tiga, saatnya belajar.
Pikirku sendiri.
“Boleh saja main-main, Din. Tapi kan
ada batasnya.” Ucapku lagi. “Kamu bener nggak pengen berubah, Din? Kita udah
kelas tiga saatnya tobat. Belajar, letakkan gadget sementara,” aku mencoba menasihati lagi.
“Duh, Sa ... kamu itu lama-lama
mirip dengan ibu aku. Suka ceramah.” Dia terkikik sendiri.
“Tapi, kan benar, Din. Semua juga
demi kebaikanmu sendiri. Karena kamu sahabatku, aku harus mengingatkanmu,
bukan?”
“Iya ... iya, Sa. Aku tahu kamu
memang selalu perhatian sama aku. Makasih banget. Makanya nanti kalau aku
kesulitan ujian kamu harus siap membantuku memberi jawaban.” Dini tersenyum lebar tanpa rasa bersalah.
“Serius, kali, Din. Kamu nggak bisa
bergantung sama aku terus.”
“Sudah, ah. Yuk, kekantin! Aku
lapar. Nanti jam istirahat keburu kelar, lho.” Dini malah pergi begitu saja
meninggalkanku. Aku baru ingat kami
mengobrol di kelas terlalu lama.
Dini
memang selalu saja seperti ini setiap kali aku menasihatinya. Padahal, aku
berniat baik padanya. Aku tidak habis
pikir. Apa iya, dia tidak memikirkan persiapan ujian dan nanti akan
untuk kuliah di mana? Apa mungkin dia dan hanya hidup dengan gadget itu. Benda kecil
itu sungguh membuat repot? Aku menggerutu sendiri dalam hati, sambil berjalan
mengikut langkah kaki Dini.
“Kapan, sih anak itu sadar kalau dia harus tetap memiliki
batas tak tergantung pada benda kecil itu?” lagi-lagi aku menggerutu.
Sesampainya di Kantin, aku hanya
bisa menelan ludah, menatap ke
sekeliling, ternyata semua temanku nampak
asyik dengan gadget di tangan masing-masing. Mereka hidup seolah hanya
berdambingan dengan benda itu.
Aku
sungguh tidak habis pikir. Dampak kemajuan zaman ternyata juga membunuh
anak bangsa yang tengah berkembang ini.
Dan lamunanku terhenti ketika
mendengar namaku dipanggil. Aku tahu siapa yang memanggil. Gegas aku mendekati
Dini yang ketika aku melirik, dia sedang
update status di twitter-nya. Lagi dan lagi. Dini sudah
kecanduan.
~*~
Waktu pun berlalu. Dan Dini tetap
dengan pendiriannya. Berkali-kali aku membujukknya, Dini tetap bersikukuh.
Meski kami masih tetap selalu pergi bersama-sama. Hanya saja, dunia kami
berbeda.
Ketika kami ke perpustakaan
misalnya. Aku berlatih mengerjakan soal-soal ujian untuk persiapan. Dan Dini akan
tetap memegang handphone, tertawa sendiri membaca setiap notifikasi yang
masuk. Tentu saja dia menahan tawanya agar tidak lepas kendali, hingga
mengundang perhatian petugas perpustakan, dan kemudian dia akan disuruh pergi.
Atau ketika kami berjanji belajar dan mengerjakan tugas bersama, pada
kenyataanya hanya aku yang belajar dan mengerjakan semua tugas. Dini tetap
terpaku pada dunianya sendiri.
Sampai pada suatu siang, aku
menemukan Dini dalam keadaan kacau. Dia menangis dan memeluknya. Aku melirik,
mencari gadget yang selalu dia bawa ke mana-mana, ternyata tidak terlihat.
“Kenapa Din?” sebagai sahabat, aku
tidak bisa membiarkan Dini susah sendirian. Apalagi Dini sampai datang ke
rumahku langsung.
Mungkinkah
dia menyesal? Ingin mengajakku belajar bersama? Aku bertanya-tanya dalam hati.
Lalu Dini mengulurkan sesuatu, aku menerima sebuah kertas yang kemudian
memahami kenapa dia begitu sedih dan terpukul.
“Bukankah aku sudah bilang Din. Apa
yang kamu tanam itu yang kamu petik.” Aku menatap nilai Dini yang sungguh tidak
bisa aku bayangkan dalam ujian dua hari lalu.
“Yah, dan gara-gara nilai ini, gadget
aku disita sama ayah dan ibu. Aku harus gimana tanpa gadget?” isak
tangis Dini masih terdengar.
Dan aku hanya bisa membekap mulut.
Ternyata Dini masih belum jera.
Srobyong, 26
Februari 2017
No comments:
Post a Comment