Sunday 31 December 2017

[Review Buku] Teror Mencekam dan Misteri Bilik Korek Api



Judul               : Misteri Bilik Korek Api
Penulis             : Ruwi Meita
Penerbit           : Grasindo
Cetakan           : Pertama, Oktober 2017
Tebal               : 240 halaman
ISBN               : 978-602-452-350-3


“Jangan meratapi apa yang tidak kamu miliki. Kamu memiliki banyak orang yang menyayangimu.” (hal 87).

Kita tidak pernah tahu takdir apa yang telah digariskan Tuhan sejak kita diciptakan. Setiap orang pastinya  memiliki skenario masing-masing. Tinggal bagaimana mereka menyikapinya. Menerima dengan lapang dada atau merutuki nasib hingga menggugat pada Tuhan.  Tentang bagaimana proses kita dilahirkan dan tinggal di mana, semua pasti hikmah yang bisa dijadikan renungan.

Menceritakan tentang Sunday yang sudah sejak bayi, tinggal di panti asuhan. Dia sama sekali tidak mengetahui sejarah hidupnya. Siapa nama orangtua bahkan nama asli dirinya sendiri. Dia hanya tahu bahwa dia berasal dari Ambon.  Meski itu tidak membantu, karena tak ada ingatan apa pun tentang Ambon di kepalanya.  

Namun begitu, dia tetap mensyukuri kehidupannya. Di panti dia memiliki adik-adik manis yang sangat dia sayangi.  Dia juga punya sahabat yang  baik—Nugi dan kepala panti—Bu Marta. Hanya satu orang saja yang membuat Sunday merasa sebal dan marah. Dialah Bu Nasti, yang entah kenapa selalu membenci dan mencari masalah dengan dirinya juga anak-anak panti lainnya.

“Kamu pasti senang sekali hari ini, seperti burung kecil yang terbang untuk pertama kali. Tapi ingat, kamu bisa jatuh. Selamat tinggal di tempat baru. Namun, itu tidak membuat statusmu berubah. Kamu tetap yatim piatu.” (hal 2-4).

Beruntung Sunday harus pindah, sehingga dia tidak perlu lagi berurusan dengan Bu Nasti yang menyebalkan itu. Di tempat baru, Sunday mengenal Emola, yang ternyata beradal dari daerah yang sama. Hal itu awalnya cukup membuat Sunday semangat. Mungkin dia bisa mencari tahu masa lalu hidupnya lewat Emola. Tapi semangat itu luntur ketika dia menyadari bahwa Emola tidak sama seperti dirinya. Teman barunya itu sangat aneh.

Bagaimana tidak aneh, Emola tidak pernah mau berkomunikasi dengan teman-temannya.  Dia selalu menyendiri. Satu kebiasaan yang tidak pernah ditinggalkan Emola adalah selalu memegang bandul kalung yang dibungkus kain putih miliknya. Dan kerap kali dia bergumam akan sebuah lagu khas Ambon yang tidak begitu Sunday pahami.

Satu buji ketumbar, dua biji gardamu
Siapa yang pegang batu, dia jadi semut
Cabu ruku rukuku
Cabu ruku rukuku (hal 67)

Konon kata Bu Marta, Emola memiliki trauma pasca kepergian orangtua dan neneknya. Tapi meski Sunday tidak terlalu suka dan nyaman dengan Emola, nyatanya dia harus terima kalau mereka akan tinggal sekamar, bersama teman-teman panti lainnya—ada Linda, Cika, Kiki,  dan Berli.  Di tempat baru, meski kadang tidak nyaman, mereka tetap menjalani aktivitas masing-masing.

Sampai sebuah kejadian membuat kehangatan itu perlahan lenyap. Di mana suatu hari, Sunday dan kawan-kawan kecilnya menemukan sebuah kamar yang penuh dengan korek api. Dan sejak itu kehidupan mereka berubah. Satu persatu teman kecil Sunday mengalami kecelakaan yang aneh. Di mana Sunday meyakini kalau Emola memiliki kaitan yang erat dengan rentetan kejadian itu. Oleh karena itu, Sunday mulai menyelidiki jati diri Emola yang sebenarnya.

Menegangkan, menarik dan bikin penasaran. Itulah yang menggambarkan keseluruhan kisah ini. Pemilihan pov Sunday dan pov dari Emola sebagai narator, membuat kita bisa membaca bagaimana cara pandang masing-masing tokoh ini.  Kita jadi tahu rentetan kejadian yang kerap membuat Sunday kadang sedih dan merasa dirinya tidak berguna, serta mengetahui apa yang dipikirkan Emola, terkait dengan berbagai kejadian yang menimpanya.  Dan dari sisi Emola pula kengerian dan sisi horor terasa sangat kental. Novel ini, sukses bikin merinding dari awal hingga akhir.  

Belum lagi layout buku dalam pergantian pov yang semakin mendukung keseraman dari isi buku ini.  Pun dengan tingkah Emola yang sangat absurd dan aneh. Bagaimana dia memanggil teman-temannya dan hal-hal yang dia lihat namun tak mungkin ditangkap oleh panca indra biasa.
“Busu melihatnya. Ganjaran ketiga akan segera tiba.” (hal 165).

Hanya saja ada bagian di mana yang tidak diekslpore sampai tuntas. Misalnya tentang keluarga Sunday, alasan kenapa dia diberi nama yang artinya busuk—itulah yang dia tahu dari Emola, ketika sempat bertanya.  Serta alasan Bu Nasti yang entah kenapa begitu benci dengan anak-anak panti. Namun mungkin ada  pertimbangan sendiri dari penulis perihal masalah ini.

Tapi lepas dari itu, novel ini sangat asyik buat dinikmati. Saya selalu suka dengan cerita-cerita horor Mbak Ruwi yang menarik dan bikin penasaran.  Dari buku ini kita diingatkan untuk selalu mensyukuri apa yang kita miliki.

“Kalau kamu nggak punya orangtua, lalu kenapa? Toh, dunia ini masih menyedihkan sekaligus menyenangkan seperti dulu. Sunday, setiap hari bahkan setiap detik orang-orang berhenti untuk menyayangi karena beban atau bahkan tanpa sebab. Namun, kamu harus percata bahwa tiap detik banyak orang-orang yang bersyukur karena memiliki orang-orang yang mereka sayangi dan menyayangi mereka. Jadi, jangan meratapi apa yang tidak kamu miliki. Kamu memiliki banyak orang yang menyayangimu.” (hal 86-87).

Dan dari sisi religi kita diingatkan untuk selalu berbaik sangka kepada Tuhan. “Saat permintaanmu tidak dikabulkan Tuhan, bukan berarti Dia tidak mendengarmu. Aku yakin ada hal yang lebih baik yang sedang dipesiapkan-Nya untukmu. Sesuatu yang bahkan lebih indah daripada apa yang kamu inginkan.” (hal 140).

Selain itu dari novel ini kita juga belajar tentang indahnya kasih sayang dan saling percaya. Jangan suka berprasangka buruk dan menilai orang lain tanpa memiliki bukti kuat.

Srobyong, 31 Desember 2017


Saturday 23 December 2017

[Resensi] Inovasi Mengajar di Depan Kelas

Dimuat di Tribun Jateng,  Minggu 17 Desember 2017 

Judul               : Inspiring Classroom Stories
Penulis             : Niken Purwani
Penerbit           : Bhuana Ilmu Populer
Cetakan           : Pertama, Juli 2017
Tebal               : 304 halaman
ISBN               : 978-602-394-718-8
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara

Guru merupakan sosok yang memiliki peran penting dalam mencerdaskan anak bangsa. Dari seorang guru lahirlah para pejuang ilmu yang melek huruf dan bisa membaca. Guru yang baik itu bukan hanya ketika sudah menyampaikan ilmu saja. Tapi guru yang baik adalah guru yang bisa menguasai ilmu juga menguasai ruang kelas—memahami setiap individu anak, agar memudahkan dalam menyampaikan materi sesuai kemampuan murid.
Di sinilah tantatangan yang harus ditaklukkan para guru.  Buku  ini dengan bahasa yang sederhana, mengajak para guru untuk lebih memahami bagaimana cara menjadi seorang guru yang tidak hanya sekadar guru—hanya menyampaikan ilmu, tanpa memedulikan hasil akhir yang dicapai murid.  Tapi guru yang sebenarnya, yang siap berbagi ilmu yang juga peduli dengan hasil akhir yang akan dicapai murid.

Buku ini sendiri merupakan kisah nyata dari penulis yang pada awalnya menganggap profesi guru  hanyalah sosok yang memelas. Berdiri di depan kelas dengan mulut berbuih, mencoba berbagi ilmu kepada para pemburu ilmu belia yang tak pernah peduli (hal 25). Namun pandangan itu akhirnya dia patahkan, ketika di suatu hari, takdir mengantarkannya  menjadi seorang guru. Dia pun kemudian berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi seorang guru yang total ketika mengajar—yaitu berusaha menguasai materi, kelas juga anak didik.

Oleh karena itu, dalam memberi materi, dia ini tidak selalu memakai gaya mengajar yang biasa dan monoton. Dia kerap melakukan berbagai inovasi agar kelas lebih hidup dan para murid juga terlihat semangat dalam belajar. Dia berpendapat, “Mengajar adalah tentang kesabaran dan pantang menyerah terhadap suatu halangan.” (hal 35).

Dia juga meyakini bahwa belajar adalah sebuah proses berbagi yang mampu mengukir senyum mengembang baik dari sang guru mapun muridnya (hal 51). Alasan inilah yang kemudian membuat Niken selalu melakukan tugasnya dengan baik. Dia selalu berusaha mengenal lebih jauh tentang siapa muridnya, agar bisa mengetahui cara menyampaikan materi sesuai dengan kepribadian murid, sehingga  mereka nyaman dalam belajar.  Karena dia menyadari tugas seorang guru bukan hanya tranfer ilmu, tapi juga harus saling memahami sebagai satu keluarga. Di sisi lain, dia  juga tidak melupakan sikap tegas jika diperlukan. Sikap tegas sangatlah perlu ditunjukkan oleh seorang guru jika murid mulai melanggar batasanya (hal 85).

Sebuah buku yang menarik dan patut dibaca bagi para calon guru dan guru.  Di sini kita bisa belajar bagaimana cara menjadi pendidik yang baik. Di sisi lain  dari pengalaman penulis ini, kita juga bisa belajar untuk saling memahami, bahwa dari seorang murid, guru pun bisa belajar dan intropeksi diri.

Srobyong, 27 Oktober 2017 

Thursday 21 December 2017

[Resensi] Tentang Kepergian dan Kesetiaan

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 17 Desember 2017 

Judul               : Seribu Senja Tanpamu
Penulis             : Kamiludin Azis
Penerbit           : Bhuana Sastra
Cetakan           : Pertama, Agustus 2017
Tebal               : 264 halama
ISBN               : 978-602-394-862-8
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama, Jepara

“Meski waktu datang dan berlalu sampai kau tiada bertahan, semua takkan mampu mengubahku.” (hal 13).

Setiap orang sudah pasti akan mati. Karena memang begitulah takdir yang digariskan Tuhan. Kita sama sekali tidak akan tahu kapan ajal itu menjemput, hingga saat waktu telah tiba nanti. Sebagaimana yang dialami Gredy. Dia tidak pernah menduga bahwa Terra—istri yang sangat dia cinta itu ternyata telah dipanggil terlebih dahulu akibat kanker  yang menggerogotinya.

Mengambil tema cinta dan keluarga, novel ini mencoba  menceritakan sisi lain tentang lelaki yang telah ditinggalkan istrinya, karena maut. Di mana penulis memaparkan tentang bagaimana kesedihan lelaki yang ditinggal belahan jiwanya, juga tantangan baru ketika harus mengurusi putri sematawayangnya tanpa adanya campur tangan sang istri.

Gredy tidak menyangka kalau Terra akan pergi secepat itu. Namun begitu dia merasa tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Karena di sisinya masih ada Kinan, putrinya yang masih butuh kasih sayang dan perhatian.
“Ya, Terra pulang meninggalkan rasa sakitnya. Di keabadiannya kini, takkan pernah lagi ia rasakan penderitaan. Ia akan hidup bagahagia karena saat yang ia tunggu telah tiba. Saat semua penyakitnya diangkat, dan saat melihat aku menangisi kepergiannya karena cinta yang begitu dalam. Mungkin aku merasa terluka, tapi aku pun akan bahagia jika Terra pergi dengan kedamaian.” (hal 29-39).   Begitulah cara Gredy memompa semangat untuk dirinya sendiri.

Waktu pun terus berjalan.  Dan dia sangat menyadari ada sesuatu yang terasa sepi dan masih menghimpit ruang hatinya. Tapi setiap dia mengingat Kinan, Gredy selalu menepisnya dan berusaha tegar. Selain itu sejak kepergianTerra, Gredy akhirnya menyadari bahwa wanita itu sangat tangguh dan luar biasa. Mereka bisa melakukan berbagai kesibukan yang luar biasa padat tanpa mengeluh dan terus berulang setiap hari.  Berbeda dengan dia, yang baru pertama kali mencoba mengurusi masalah rumah tangga, sudah sangat kelelahan.

Beruntung Gredy memiliki teman dan suadara yang sangat baik dan peduli padanya. Mereka dengan suka rela membantu Gredy untuk mengurus Kinan sewaktu-waktu jika dia memiliki kesibukan kantor yang tidak bisa ditinggalkan.  Awalnya Gredy sangat bersyukur dengan kebaikan itu.

Namun lambat laut, Gredy menyadari ada sesuatu yang tidak pernah dia duga tentang di balik kebaikan beberapa temannya. Seperti Alina, atasan Gredy yang sejak dulu terkenal galak dan kaku, tiba-tiba baik dan sangat memerhatikan Gredy. Lalu ada Neila—sahabat Terra juga dirinya sejak zaman SMA yang ternyata diam-diam sudah menaruh hati padanya, serta Malika, keponakan Terra yang sangat menyayangi Kinan.  Pada akhirnya Gredy harus membuat keputusan.  Memilih salah satu di antara mereka atau tidak sama sekali. Mungkin di antara mereka ada yang bisa menjadi ibu yang baik bagi Kinan.

Saya merasa sedikit banyak novel ini mencoba membahas tentang dogma laki-laki yang sering dianggap mudah berpaling pada wanita lain, jika telah ditinggal sang istri. Mereka dengan mudah akan menikah lagi dan membangun khasanah pernikahan baru. Berbeda jika yang ditinggal itu wanita, yang lebih memilih tetap bertahan dengan kesendirian dan bertahan hidup sambil membesarkan anak yang dimiliki. Padahal jika mau menilik lebih dalam, masalah kesetian dan cinta itu tergantung pada masing-masing individu. Bukan hanya karena jenis kelamin saja.

Salut dengan penulis yang sejak awal konsisten dalam mengeksekusi kisah ini.  Dengan kelenturan turu bahasa yang dipakai, penulis membuat kita terbuai dalam arus cerita yang dia ciptakan. Menggelitik, membuat penasaran dan  ikut menebak-nebak tentang siapa wanita yang akhirnya bisa menggantikan posisi Terra. Meski terkejut dan tidak menyangkan, saya sangat puas dengan ending cerita. Setidaknya kita bisa memahami bahwa setiap orang memiliki jalur pemikiran yang berbeda.

Dari novel ini saya belajar untuk tidak gegabah dalam mengambil langkah. Selain itu, saya belajar untuk menjadi pribadi yang selalu kuat dalam berbagai posisi.  Kejadian yang menyedihkan tidak harus kita tangisi setiap hari, tapi kita jadi pelajaran untuk terus menempa diri menjadi pribadi yang lebih baik.

Srobyong, 10 Desember 2017

[Resensi] Suka Duka Perjalanan Menjemput Jodoh

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 10 Desember 2017 


Judul               : Menemukan Soulmate Pilihan Allah
Penulis             : Faizal Ainul Adha
Penerbit           : Noura Books
Cetakan           : Pertama, Februari 2017
Tebal               : 168 halaman
ISBN               : 978-602-385-241-3
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

Buku ini dibuka dengan tagline yang menarik “Kalau jodoh  nggak bakal tertukar, direbut orang, apalagi salah pasangan, karena tulang rusuk bukan barang murahan.”

Sebagaimana kematian, jodoh juga rahasia Allah. Kita tidak akan pernah tahu  kapan jodoh kita akan datang. Ada yang  dipertemukan dengan mudah, ada yang penuh liku hingga akhirnya berhasil menuju pelaminan.  Kita juga tidak tahu apakah jodoh kita itu orang dari daerah jauh atau malah tetangga sendiri. Namun begitu kita tidak perlu resah apalagi ragu. Jodoh setiap orang sudah ditentukan Allah  dan tidak mungkin tertukar.  Allah itu Maha Adil dan Maha tahu. Yang terpentig bagi setiap insan adalah selalu memperbaiki diri,  sebagai ikhtiar untuk menjemput jodoh agar nantinya bisa sekufu.

Bukankah Allah pernah menjelaskan? Bahwa jodoh adalah cerminan diri sendiri. Dan jika kita ingin mendapat jodoh yang baik dan beriman, sudah semestinya kita memperbaiki diri.  Buku ini dengan gaya bahasa yang renyah mengajak kita  menyimak kisah-kisah penuh suka duka dalam usaha menjemput jodoh.

Misalnya saja kisah Bushra yang dijodohkan orangtuanya dengan Rafa—anak dari salah satu tetangganya. Memang mereka tidak langsung menikah. Mereka diberi kesempatan untuk saling mengenal dulu. Apalagi mereka sama-sama masih belajar di pesantren.  Namun bagi Bushra entah kenapa dia belum merasa cocok dengan Rafa. Hatinya belum terketuk rasa suk.a Berbeda dengan Busrhar, sejak awal Rafa ternyata sudah menyukai Bushra (hal 12)

Namun begitu, perjodohan tetap dilakukan. Bushra tidak mau menyakiti orangtuanya. Sampai pada suatu hari kakak Bushra, menyatakan melihat Rafa bersama perempuan lain.  Dan hubungan itu tidak terlihat sebagai kawan semata. Mendengar kabar itu, Bushra pun jadi kecewa. Dia merasa dikhianti.  Bushra pun akhirnya jujur mengutarakan bahwa dirinya tidak mau menikah dengan Rafa. Dia menjelaskan semua alasannya dengan sangat detail.

Maka sejak itu perjodohan mereka pun dibatalkan. Meski Rafa dan orangtuanya sudah meminta maaf dan memohon kesempatan kedua, Bushra tetap pada pendiriannya.   Setelah kejadian itu, kehidupan Rafa dan Bushra pun tetap berjalan.  Bushra sempat menjalin hubungan dengan beberapa laki-laki menuju pelaminan. Begitu pula dengan Rafa. Namun siapa sangka, keduanya kembali dipertemukan dalam keadaan yang tidak pernah diduga.

Di sinilah Bushra akhirnya mengerti perihal apa yang difirmankan Allah, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal dia amat baik bagimu, begitu pula sebaliknya.”  (hal 18).

Ada pula kisah tentang tokoh aku yang tengah berusaha menjaga diri dari virus merah jambu. Pada suatu waktu dia mengenal sosok yang di matanya nampak sangat luar biasa. Dia adalah ketua rohis di sekolah. Namanya Akbar.  Kalau dipikir-pikir siapa yang tidak akan menyukai Akbar yang nampak begitu sempurna? Baik cerdas juga rajin ibadah. Namun tokoh aku itu tidak mau terlena. Dia berjuang keras menjaga hatinya agar tidak mengulang kesalahannya di masa lalu. Ketika dia pernah menjalin hubungan dengan seorang kakak kelas namun kandas di tengah jalan.  (hal 28).

Sejak kejadian itu, tokoh aku itu berusaha memperbaiki diri. Sekarang motivasinya adalah belajar dan meraih mimpinya. Untuk masalah jodoh dia hanya berserah pada Allah.  Namun yang mengejutkan, di tahun keempat kuliah, tiba-tiba Akbar meminta sesuatu yang sangat mengejutkan tokoh aku tersebut. Akbar melamar tokoh aku tersebut.

Dari kisah-kisah yang dipaparkan di atas semakin menjelaskan bahwa masalah jodoh memang hanya Allah yang tahu. Seberapa jauh jika memang jodoh pasti tak akan ke mana. Begitu pula sedekat apa pun jika tidak jodoh pasti akan terpisah. Di sinilah kita dituntut untuk selalu memperbaiki diri jika jodoh memang belum datang. Karena di balik itu berarti kita telah melakukan ikhtiar yang terbaik ke pada Allah.

Selain dua kisah itu tentu saja masih banyak kisah-kisah lain yang tidak kalah menarik. Buku itu patut dijadikan renungan. Meski untuk beberapa kisah  saya merasa kurang sreg.  Namun lepas dari kekurangannya, ada setitik manfaat yang bisa kita ambil sebagai jalan memperbaiki diri.

Srobyong, 2 September 2017 

Wednesday 20 December 2017

[Review Buku] Cinta Selalu Menyimpan Misteri



Judul               : Love Catcher
Penulis             : Riawani Elyta
Penerbit           : GagasMedia
Cetakan           : Pertama, 2017
Tebal               : vi + 314 halaman
ISBN               : 979-780-908-9

“Jalan hidup yang kita jalani—suka tidak suka—semua sudah menjadi ketentuan Tuhan, kita hanya bisa berusaha, tapi Tuhan yang berkuasa atas jalan cerita kita.” (hal 160-161).

Kita tidak pernah tahu  kejutan apa yang akan kita dapat di hari esok. Semua masih masih menjadi misteri. Hanya Tuhan-lah Yang Maha Tahu. Namun,  bukan berarti kita tidak berusaha untuk membuat keajaiban agar di hari esok kita bisa memperoleh kebahagiaan, bukan?

Ini kali ke-lima membaca tulisan Mbak Riawani Elyta dalam bentuk novel. Secara keseluruan saya selalu suka dan menikmati buku-buku tulisan Mbak Ria yang selalu dipaparkan dengan renyah dan memikat. Belum lagi nilai-nilai falsafah hidup yang bisa ambil juga quote-quote manis yang bertebaran di dalam setiap karyanya.  Begitu pula dalam novelnya kali ini. Masih tidak jauh-jauh dari masalah cinta—yang memang tidak akan lengkang oleh zaman jika membahasnya—di sini  kita akan diajak berkenalan dengan tokoh bernama Azizi dan Gaby dengan konflik yang menarik ditambah eksekusi yang apik.

Dibuka dengan prolog yang sudah membuat penasaran, saya benar-benar terpikat dengan kisah ini. Percakapan antara dua wanita yang sejak awal saya tebak itu Gaby dan sang adik, benar-benar membuat kita penasaran tentang apa sih yang mereka bicarakan? Namun benarkah dugaan saya perilah dua wanita itu Gaby dan adiknya atau malah Gaby dan sahabatnya, Kania?

Kita pasti pernah mendengar bahwa setiap pasangan yang akan menikah, biasanya akan  menghadapi banyak cobaan atau kasus-kasus yang tidak terduga.  Begitu pula dengan Azizi dan Gaby. Ketika mereka akhirnya saling berjanji untuk mengikat diri dalam jalinan suci bernama pernikahan, tiba-tiba sebuah wacana tidak terduga membuat mereka harus berpikir ulang. Benarkah itu jalan yang terbaik? Tetap melangsungkan pernikahan atau malah membatalkannya?

 “Jika  ada hal lain yang  menghalangi recana kita, itu hanyalah kematian atau  karena kita memang nggak  jodoh.” (hal 17).

Gaby sangat terkejut ketika tiba-tiba Azizi mengatakan bahwa dia harus pindah ke Anambas—Pulau kecil di Indonesia yang terletak di Kepualaun Riau—setidaknya lima tahunan atau lebih. Dan itu berarti dia harus memilih ikut pindah bersama Azizi setelah menikah dan meninggal bisnis cokeletany juga sang mama, atau tetap tinggal di Bandung dengan resiko LDM—Long Distance Married (hal 16).

Masalahnya dua pilihan itu bagi Gaby keduanya sama-sama sulit. Latar belakang keluarga Gaby sejak awal sudah penuh masalah. Di mana karena LDM orangtuanya berpisah, dan membuat keluarganya berantakan. Adiknya Ghea kabur  dan sang kakak Gery lebih sering bertualang entah ke mana.  Gaby juga sadar mamanya tidak mungkin membiarkan dia mengulang kesalahan yang sama. Belum lagi kata mamanya yang benar-benar membuat Gaby tertohok.

“Jangan pernah tinggalkan Mama ya, By. Temani Mama sampai rindu dan sunyi akhirnya merenggut usia Mama di rumah ini.” (hal 21).

Gaby sangat sadar hubungan antara dirinya dan Azizi memang tidak seperti kebanyakan pasangan lainnya. Mereka kenal secara tidak sengaja dalam kejadian yang cukup unik. Dan belum genap tiga bulan tiba-tiba Azizi  menawarkan pernikahan. Gila memang tapi satu kalimat panjang dari Azizi mampu membuat Gaby mengatakan iya.

“Siapa yang bisa menjamin, semakin  banyak yang kita ketahui, hubungan kita  pasti akan langgeng dan berakhir dengan pernikahan?”  (hal 34).

Maka sejak saat itu mereka adalah pasangan yang saling mengisi dan melengkapi. Masing-masing sudah berbagi masa lalu dan berharap bisa membangun rumah tangga menyenangkan. Tapi siapa sangka keadaan bukannya memudahkan langkah mereka, tapi semakin mendekati hari-H jalan terjal itu semakin terlihat.

“Cinta nggak pernah memaksakan kehendaknya, sama juga seperti air, cinta pun memiliki muaranya, yaitu keikhlasan.” (hal 159).

Seperti dugaan Gaby, mama dan Gery tidak setuju jika dia harus pindah. Belum lagi orangtua angkat Azizi ternyata adalah salah satu pelanggan yang tidak puas dengan pelayanan Gaby di kafenya. Lebih dari itu kemunculan Mirza—partner kerja Gaby yang diam-diam juga menyukai Gaby,  menjadi sesuatu yang tidak kalah pelik dan membuat masalah semakin lebar. Gaby harus benar-benar memilih; berbakti pada mamanya atau memilih Azizi.

“Keyakinan itu penting. Kalau kamu sendiri masih ragu, bagaiamana mungkin kamu bisa meyakinkan orang lain? Nggak sedikit pernikahan  gagal atau terancam kandas bukan karena mereka  nggak cinta, tapi karena nggak ada restu orangtua.” (hal 226).

Membaca novel ini asli bikin suasana hati kacau. Ada bagian yang sesekali membuat tertawa lebar namun ada pula yang bikin nyeseg dan sedih banget.  Gemes tingkat akut deh. Baper juga sama Azizi dan Mirza. Dua-duanya sama-sama punya kelebihan yang pastinya bisa membuat para gadis antri mendapatkan mereka.

Suka dengan gaya bertutur Mbak Ria yang lues dan renyah.  Setiap lembar kita dibuat penasaran bagaimana akhir dari kisah ini.  Apalagi pada bagian-bagian akhir bab, Mbak Ria memberi cukup banyak kejutan yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Dan ditutup dengan ending yang membuat saya terpana. Aih, kok bisa gitu, sih?

Dalam novel ini saya menikmati pemilihan pov satu dari sisi Gaby.  Serta pemilihan alur yang  memberi efek penasaran dan bikin ketagihan sampai akhir kisahnya.   Hanya saja untuk setting saya merasa kurang klik perihal suasana Bandung. Entah kenapa masih terasa ada yang kurang.  Meski ada beberapa percakapan yang memang memakai  bahasa sunda—tapi hanya itu saja. Dan jujur sayang sekali dalam novel ini tidak ada teks penjelasan dari bahasa sunda yang ada.  Beberapa ada yang sedikit paham karena mirip bahasa jawa, tapi beberapa kata lainnya, hanya mengira-ngira melihat dari susuna kalimat  dan berakhir pilih googling. Hheh. Dak paham soalnya.  Untuk kesalahan tulis, minim sekali—saya hanya melihat Hatik—yang seharusnya Hati (hal 140).  Tapi untuk pembahasan soal cokelat, saya pikir cukup lengkap. Semua dituturkan dengan manis.

Lepas dari itu, secara keseluruhan, novel ini benar-benar asyik untuk dinikmati. Mbak Ria menempatkan porsi antara cinta dan bisnis dengan sangat baik. Menghibur juga membuka mata tentang berbagai realita hidup yang ada di depan kita. Bahwa masa lalu masih menjadi momok menakutkan bagi siapa saja. Namun begitu seyogyanya masa lalu perlu kita jadikan pelajaran untuk mengulang kejadian yang sama.  Selain itu dari novel ini saya belajar tentang arti keikhlasan, kesetiaan  kejujuran juga pentingnya berbakti pada orangtua.

4 bintang buat novel ini. 


Srobyong, 20 Desember 2017 

[Resensi] Kisah Menggugah dari Banggai

Dimuat di Hariang Singgalang, Minggu 10 Desember 2017 


Judul               : Kisah dari Banggai
Penulis             : Devi Dewi Kurniawati, dkk
Ilustrator         : Khalida Hanum
Penerbit           : Bhuana Ilmu Populer
Cetakan           : Pertama, Juni 2017
Tebal               : 100 halaman
ISBN               : 978-602-394-693-8
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama, Jepara

Indonesia adalah negara  kaya. Baik itu tentang kekayaan alam juga budayanya. Karena Indononesia merupakan negara kepulaan yang terdiri dari berbagai suku, adat, kesenian dan budaya. Hanya saja kadang kita tidak terlalu mengenal setiap potensi daerah yang ada, karena masalah tempat yang berjauhan.

Buku ini dengan kemasan yang apik, mencoba mengenalkan budaya, kesenian dan kegiatan sehari-hari anak-anak yang terjadi di sebuah daerah pedalaman asal Sulawesi Tengah—yaitu daerah Banggai. Buku ini sendiri ditulis oleh para guru yang ditempatkan di sana. Mereka menceritakan pengalaman menarik tentang anak-anak Banggai yang sangat menginspirasi.

Harapan dari para penulis ketika buku ini terbit adalah, agar anak-anak  di seluruh Indonesia saling mengenal dan memahami  teman-temannya yang berada di Banggai  meski hanya lewat cerita.  Karena dari kisah tersebut, kehadiran buku itu diharapkan juga bisa menjadi jembatan untuk saling mengenalkan budaya, adat, kesenian, pahlawan dan banyak lagi untuk semua masyarakat. Dan semoga selain buku ini akan hadir buku-buku lain yang mencoba mengenalkan kisah kehidupan sehari-hari anak-anak di daerah lain.

Terdiri dari 9 cerita, saya sangat menikmati kisah-kisah yang dipaparkan. Misalnya saja dari kisah “Para Pencari Badabah” kisah ini menggambarkan tentang kehidupan di Pulau Tembang, kabupaten Banggai.  Sebuah pulau yang jika kita ingin mengunjunginya maka kita harus naik anggukatan beberapa kali dari Luwuk, ibukota Kabupaten Banggai.  Di mana anak-anak  di sana memiliki kebiasaan, setiap pulang sekolah biasanya suka mencari babadoh—sejenis kerang.

Pulau ini sendiri konon memiliki bentuk seperti mayat terbaring. Namun ada yang mengatakan pulau ini seperti bebek dengan paruh panjang. Suku yang tinggal di sana bernama suku Bajo. Tempat tinggal mereka kebanyakan berada di atas laut. Dan pekerjaan mereka dikenal sebagai penggembara laut (hal 3).

Hanya saja mereka sedih, karena kadang banyak yang mengambil ikan dengan bom. Padahal cara itu sangat berbahaya dan bisa membuat ikan cepat habis.  Dan karena tidak memiliki tempat sampah, banyak warga yang terbiasa membuang sampah dan kotoran di laut.

Kisah ini mengingatkan kita untuk selalu menjaga  lingkungan agar selalu bersih, dan membuang sampah pada tempatnya. Selain itu kita juga diingatkan untuk tidak merusak ekosistem laut dengan mengambil ikan memakai bom dan memburu kima—kerang yang di dalamnya terdapat mutiara. Mengingat binatang ini langka dan dilindungi (hal 12).

Ada pula kisah berjudul “Desaku Ondo-ondolu”. Dalam kisah ini kita dikenalkan dengan desa unik bernama Ondo-ondolu yang berada di kecamatan Batui, Kabupaten Banggai.  Tahu tidak ternyata Banggai memiliki burung khas bernama Maleo.  Telur burung ini sangat besar, ukurannya lebih besar dari telur ayam. Sayangnya burung ini sudah langka. Oleh karena itu kita harus ikut menjaga melestrikannya agar tidak punah.

Di desa ini anak-anak yang bersekolah tidak hanya berasal dari satu suku, tapi dari berbagai suku. Selain suku Jawa, Bali, dan Lombok, ada pula suku Saluan, Bugis dan Sunda. Namun mereka selalu hidup rukun dan berteman baik, sebagaimana semboyan bhineka tunggal ika (hal 22).

Dari kisah ini dapat kita petik pelajaran untuk selalu rukun meski berbeda suku dan budaya. Serta kita harus membantu menjaga binatang yang dilindungi agar tidak punah.

Selain dua kisah tersebut tentu saja masih ada kisah-kisah lain yang tidak kalah menarik dan menginspirasi. Seperti kisah berjudul “Kedatangan Guru Baru”  yang mengajarkan anak-anak untuk saling menghargai dalam perbedaan, dan bertoleransi.   Mengingat  guru baru mereka itu ternyata beragama Kristen, sedangkan  di SDN 2 Sinorang semua anak bergama Islam. Namun itu tidak membuat mereka mengucilkan atau memusuhi guru baru mereka. Mereka tetap menyambut hangat dan mengajak guru baru itu mandi sore di laut setiap minggu, yang ternyata adalah kebiasaan anak-anak yang tinggal di Sinorang.

Sebuah buku yang menarik dan patut dibaca. Tidak hanya bagi anak-anak, tapi  juga patut dibaca masyarakat umum. Karena kisah-kisah yang termaktub di dalamnya selain menceritakan kepolosan anak-anak dan kebiasaan mereka yang sering dilakukan di daerahnya, juga secara  tidak langsung menceritakan tentang budaya dan potensi daerah dengan keberagamaan suku dan budaya.

Srobyong, 3 Desember 2017