Tuesday 26 January 2021

Resensi - Masalah Harus Dihadapi, Bukan Dijauhi dengan Melarikan Diri


Judul                : I Love View

Penulis             : Azzura Dayana

Penerbit          : Indiva Media Kreasi

Cetakan           : Pertama, Januari 2021

Tebal               : 232 halaman

Harga Buku     : RP60.000

ISBN                 : 978-623-253-027-0

Peresensi         : Ratnani Latifah


Meski  tidak menjadi juara pada Kompetisi Menulis Indiva 2020, tetapi  novel ini terpilih sebagai karya  yang   mendapatkan penghargaan khusus dari Indiva. Bagaimana tidak ..., novel ini memiliki rasa pemenang yang sangat lekat. Dua kata untuk novel ini. Keren banget!

(Sumber : Facebook Penerbit Indiva. Judul asli novel sebelum diganti "I Love View") 

“Kamu tahu kamu mungkin bisa menyelesaikan masalah ini, dan bisa juga gagal. Tapi kamu memilih untuk tidak melewatinya. Itu namanya menghindar. Lari dari masalah itu lebih simpel. Kamu tidak mau masalah itu selesai. Itu bukan sikap kesatria.” (hal 132).

Setiap orang pasti memiliki masalah. Hanya saja kadarnya berbeda-beda. Karena memang masalah adalah bagian dari hidup. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Apakah kita berani menghadapinya dengan bijak atau memilih untuk lari dari masalah.

Sonia sangat terluka. Berkali-kali ia dikhianati oleh orang-orang yang ia sayang dan percayai. Hatinya remuk redam.  Ia marah, tapi kemarahannya tidak akan pernah mengubah apa yang sudah ada. Karena berbagai masalah pelik itulah, Sonia memutuskan melakukan perjalanan ke Negeri Singa dan Malaysia untuk mencari kedamaian. Apalagi kegiatan traveling semacam ini memang sudah menjadi hobi dan kebiasaannya. Ia berharap dari perjalanannya itu, bisa sedikit menyembuhkan lukanya.

Sayangnya perjalanan yang sudah ia rencanakan sedemikian tidaklah semulus yang ia harap. Banyak kejadian-kejadian yang terduga yang mewarnai perjalanannya.

Menggunakan alur maju mundur, novel ini sangat menarik. Sejak awal kita akan dibius cara bercerita penulis yang menarik dan akan membuat penasaran. Kita  tidak akan berhenti membaca sebelum menamatkan novel ini.  Kita akan dibuat bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dengan Sonia, hingga ia begitu terluka dan membenci bunga.

“Sayangnya, dengan siapa kamu pacaran sekian tahun, belum tentu takdirnya kamu pula yang betul-betul dinikahiya beberapa hari setelah sekian tahun.” (hal 25).

Sonia patah hati, ia tidak menyangka hubungan yang telah dibina bertahun-tahun itu tiba-tiba kandas begitu saja. Ternyata Radin, pacarnya lebih memilih Bunga Sandrina, teman kerja Sonia—dan sosok yang baru dikenal Radin.  Sonia paham temannya itu bak putri yang begi menyilaukan. Ia begitu cantik, dibandingkan dirinya. Ia merasa benar-benar seperti ditusuk dari belakang.

Tidak hanya Radin, ternyata sang papa yang begitu ia percaya juga tega menduakan ibunya demi menikahi wanita lain yang lebih cantik.  Maka lengkap sudah kepedihan Sonia. Meski dalam ucapan ia telah memanfaatkan Radin dan Sandrina, tapi siapa yang tahu kedalaman hati Sonia yang masih mendendam?

Oleh sebab itu, ketika tanpa sengaja mereka bertemu di Melaka,  Sonia sungguh marah dan tidak menyangka. Kenapa mereka bisa sama-sama berada di lokasi yang sama? Padahal ia sudah berusaha menjauh sejauh mungkin. Yang membuatnya semakin sebal, tentu saja kedua orang itu terus berusaha  mendekatinya, ingin bertemu, memintanya menjadi guide, meminta maaf  dan menjelaskan semua permasalahan.

“Nikmati  saja kebahagian kalian saat ini. Tapi tidak usah ajak aku sering-sering melihat itu. Aku belum jadi malaikat, Sandrina. Aku masih manusia.” (hal 68).

Itu baru segelintir konflik yang ada  pada novel ini. Masih banyak konflik-konflik yang tidak kalah seru yang bisa kita simak. Misalnya keberadaan Seon yang begitu baik padanya,  membuat Sonia berhati-hati. Ada pula Hilya, wanita cantik  yang begitu Sonia hindari, tetapi malah berkali-kali mereka dipertemukan karena hal-hal yang tidak terduga.

Azzura Dayana memang penulis yang pandai mengobrak-abrik hati pembaca. Bagaimana perasaan Sonia diceritakan dengan apik hingga mampu menumbuhkan empati dari pembaca.

Dari segi tema, meski nampak sederhana karena mengangkat tema cinta segita tiga, patah hati—tema yang bisa dibilang pasaran—tapi dipadukan dengan cerita traveling yang begitu hidup dan menggoda selera, novel ini benar-benar apik dan menarik.  Membaca novel ini kita seperti ikut menyaksikan keindahan dua negara tetangga. Bikin melipir dan baper ingin traveling juga. Ups. Saat membaca pun jadi tergoda untuk searching tempat-tempat yang dikunjungi Sonia. 

(Sultan Mosque- sumber : Pinterest) 

(Pantai di Sembawang Park -sumber : Mapio.net)

Hal ini sebagaimana novel-novel sebelumnya  yang juga bertema traveling—khususnya pendakian—dari Rengganis: Altitude 3088, Altitude 3676 Tahta Mahameru dan  Altitude 3159 Miqueli—semuanya sangat seru dan nampak benar-benah hidup dari segi cerita juga penggamaran setting cerita. Begitu pula dengan penjabaran setting cerita dalam novel ini. Kita seperti diajak ikut serta menapaki setiap tempat yang dikunjungi Sonia.

(Masjid Terapung Selat Melaka -sumber : tripadvsiro)

(Sunset di Woodlands Waterfront -sumber : tripadvisor)



(Taman Wetlands Putrajaya -sumber : pinterest)


Gaya bahasanya pun ringan, lugas dan mudah dipahami. Kita tidak akan bosan selama membaca novel ini. Yang ada kita akan merasa nagih ingin lagi dan lagi. Pemilihan alur maju mundur, semakin menunjukkan daya tarik novel ini. Karena dari sana kita akan diajak menelusuri kisah hidup Sonia yang tidak terduga dan penuh kejutan.

Banyak plot twist yang disiapkan penulis, yang sedikit banyak akan membuat kita penasaran dan gregetan. Kok bisa seperti itu? Oh ternyata begitu? Mungkin itulah yang ada dipikiran kita. Hanya saja masih ada berapa salah ketik yang sebetulnya tidak terlalu menganggu selama membaca.

Near Seon juga menelepon dua kali è Mungkin maksdunya Near Heart dan Seon atau hanya Seon saja (hal 53)

Sandrinayangbersalah,karenamerekapengkhianat è tulisan ini kurang spasi jadi nampak berdempetan (hal 189).

Namun lepas dari kekurangannya, bagi saya novel ini tetap menarik dan sangat recomended untuk dibaca. Apalagi novel ini sarat akan inspirasi dan motivasi. Banyak pembelajaran yang bisa kita peroleh ketika membaca novel ini.

Di antaranya kita diajak menjadi pribadi yang berani menghadapi masalah dengan bijak. Sebuah masalah tidak akan pernah  selesai jika kita terus melarikan diri seperti Sonia. Melarikan diri hanya akan membuat kita seperti seorang pengecut.  

“Coba temui saja mereka semua. Kalau pun kamu belum bisa memaafkan sekarang, kamu bisa memberitahukan bahwa kamu akan memaafkan mereka pelan-pelan secara bertahap. Terkadang, ada hal-hal baik yang terhalang jalannya karena kita menutup pintu-pintu lainnya. Pintu maaf. Pintu Sulaturrahmi.” (hal 146).

Kita juga diingatkan tentang pentingnya sebuah komunikasi yang baik. Karena dengan komunikasi yang baik, akan memudahkan kita dalam menyelesaikan masalah. Jangan seperti Sonia yang karena kurang komunikasi jadinya terjadi kesalahpahaman yang berkepanjangan. Namun sebal juga sih dengan Radin yang sejak awal tidak berusaha jujur. Ia malah mendekati Sonia setelah menikah tanpa merasa terjadi apa-apa. Lagipula siapa yang bisa tenang bertemu mantan pacar dengan istrinya. Ups.

Selain itu kita juga bisa belajar untuk menjadi seseorang yang lebih pemaaf dan siap menerima takdir Allah. Siapalah kita, setiap hal itu sudah ditentukan oleh Allah. Salah satu masalah jodoh. Ini semacam sindiran halus bahwa pacaran tidak selamanya baik dan berakhir bahagia. Karena pacaran belum tentu jadi pasangan halal.

“...tapi Allah-lah yang memutuskan apakah kalian layak bersama hingga akhirnya. Ternyata, takdir Allah berbeda dari apa yang kalian jalani dan upayakan. Tapi yakinlah, setiap kehilangan akan ada gantinya. Asal kita mau memperbaiki diri, ia tak akan enggan memberi ganti, bahkan mungkin yang lebih baik.” (hal 198-199).

Maka sudah semestinya kita menerima ketetapan Allah. Sedih boleh, tetapi jangan berlebihan. Sewajarnya saja. Bukan hanya kita yang punya masalah.

“Tiap manusia punya problem masing-masing. Berbeda masalah. Berbeda kadarnya juga.” (hal 130).

Jangan pula berburuk sangka pada orang lain. Kita tidak boleh menilai seseorang dari luarnya saja. Kecantikan tidak selamanya melukai juga membawa kebahagiaan. Bahwa sesungguhnya kebahagiaan itu lebih condong hadir karena hati tenterema, mau  bersyukur, karena kita menerima apa yang ditetapkan. Jangan menyalahkan seseorang atau sesuatu karena kemarahan kita.

“Tak semua yang lebih cantik itu membahagiakan. Segala sesuatu yang menenteramkan jiwamu, dan kamu setia di sana, itulah bahagia.” (hal 193).

 

Novel ini banyak menyimpan inspirasi dan motivasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik.  Misalnya Kita diajak untuk selalu menjaga silaturrahmi, selalu  berprasangka baik, sabar ketika mendapat cobaan, bijak dalam menghadapi masalah, juga sayang dan menghormati orangtua.

Ditutup dengan ending yang tidak terduga, novel ini benar-benar sayang sekali jika dilewatkan. Suka dengan quote-quote bijak yang bersebaran di dalam novel ini. Sederhana memang, tapi dalam banget. Plus akronim perihal ‘view’.

“Terkadang manusia butuh motivasi eskternal untuk memutuskan sesuatu. Tapi tetap saja, motivasi internal dari dalam jiwanyalah yang bisa memantapkannya, mengikhlaskannya dalam menjalani keputusan itu. Begitu juga hijrah.” (hal 198).

Srobyong, 26 Januari 2021

Thursday 21 January 2021

Resensi - Petualangan yang Mendidik dan Penuh Hikmah

Judul                : Petualangan Tiga Hari

Penulis             : Dian Dahlia

Penerbit          : Indiva Media Kreasi

Cetakan           : Pertama, September 2020

Tebal               : 256 halaman

Harga Buku     :Rp60.000

ISBN                 : 978-623-253-003-4

Peresensi         : Ratnani Latifah


Sebagai Novel Pemenang Ketiga dari Kompetisi Menulis Novel Remaja yang diadakan Penerbit Indiva pada 2019, novel ini memang sangat menarik. Kisahnya seru dan mendebarkan, tidak hanya itu membaca novel ini kita seakan-akan kita benar-benar ikut melakukan petualangan seru bersama sang tokoh.  Yang paling saya suka dari novel ini adalah ritme cerita yang cepat sehingga tidak terkesan bertele-tele.

Novel ini sendiri menceritakan tentang Mukhlis, remaja yang  semula tinggal di Pallawa Lipu—di mana letaknya berada di salah satu sisi Selat Makasar wilayah perairan Kota Bontang (hal 6).  Sehari-hari ia harus berjibaku dengan laut—dari bermain dengan kawan-kawan, hingga melakukan tugas membantu orangtuanya.  Karena memang dari sanalah ia dan keluarganya bisa menjalani hidup.

Namun diam-diam Mukhlis ini memiliki sebuah impian besar untuk mengunjungi kota Bontang.  Ia memiliki rasa penasaran yang tinggi terhadap hal-hal yang belum pernah ia lihat atau datangi.  Bagaimana bentuk Kota Bontang? Apa saja yang ada di sana? Bagimana suasananya dan banyak lagi. Apalagi kakaknya, Sanusi yang sudah sering ke sana selalu menceritakan hal-hal yang nampak seru dan menarik.  Belum lagi, hampir semua temannya di kelas pun sudah pernah ke Kota Bontang. Hanya ia yang belum pernah.  

Keinginan Mukhlis, sebenarnya sejengkal lagi akan tercapai. Akan tetapi karena suatu hal, mimpinya itu kembali pupus. Mukhlis benar-benar kecewa. Hingga suatu hari sebuah kesempatan tidak terduga, datang menghampirinya.  Tanpa berpikir panjang  ia pun langsung  memanfaatkan momen itu.

“Hei! Jangan disitu! Masuk ke perahu segera kalau memang mau menumpang.” (hal 28).

Akan tetapi keberuntungan dan kenekatan yang dilakukan Mukhlis, menjadi pembuka jalan hidupnya yang penuh kejutan dan tidak terduga.  Dari terpisah dengan rombongan kapal, kelaparan hingga terlunta-lunta di kota tanpa mengenal siapa pun. Beruntung pada beberapa kesempatan ia bertemu dengan orang-orang baik yang mau membantu. Namun di lain kesempatan, Mukhlis juga dipertemukan dengan orang jahat yang berusaha memanfaatkan dirinya.

Membaca novel ini kita akan menyaksikan bagaimana petualangan  Mukhlis yang benar-benar tidak terduga dan penuh lika-liku.  Mukhlis anak dari pulau terpencil yang kurang pengalaman, bertemu dengan hal-hal baru yang membuat ia memiliki cita-cita yang mulia. Konsep ceritanya sederhana tapi sangat mengena sekali kisahnya. Yang paling menegangkan tentu saja ketika ia harus berhadapan dengan seseorang yang bernama Pak Jo.  Seru, mendebarkan juga membuat penasaran. Penulis dengan apik menyiapkan kejutan-kejutan pada setiap babnya.

Jujur saja dibandingkan novel juara pertama dan kedua, saya lebih menikmati kisah ini.  Ada beberapa bagian pada novel kedua yang menurut saya agak kurang logis (nanti dibahas di resensinya sendiri).

Dari segi tema, novel ini sudah menunjukkan keunggulannya. Karena tema yang diangkat memang cukup unik dan jarang ditulis oleh penulis lainnya. Temanya lebih kepada petualangan anak dari pulau terpencil dan  trafficking. Jika kebanyakan kisah remaja lebih berbau aroma merah jambu, maka di sini penulis mengajak pembaca untuk menjadi petualangan dan  belajar menjadi remaja yang berani,  bertanggung jawab, cerdas dan mandiri.

Perihal latar cerita, sedikit banyak penulis mengingatkan saya dengan kebiasaan Tere Liye yang suka mengambil setting di tempat-tempat pedalaman. Dan saya merasa penggambaran latar pun di paparkan dengan apik dan tidak terkesan tempelan. Narasi yang digunakan penulis seolah-olah bisa menyihir pembaca, sehingga bisa ikut merasakan bagaimana tata letak atau suasana yang ada di Pallawa Lipu. Salut buat penulis.

(Pallawa Lipu dalam bayangan saya-sumber gambar : Jessica Helena Wuysang, antara foto)

Dan untuk gaya bercerita pun dipaparkan dengan lugas dan simpel. Bahasanya tidak jlimet, sehingga membuat kita mengernyitkan kening ketika membaca. Dipadukan dengan alur dan plot yang menarik, penuh kejutan, semakin membuat kisah ini tidak membosankan. Kita akan diajak membaca terus dan tidak berhenti sebelum sampai kata finish.

Sedikit kekurangan dari novel ini adalah, di mana saya masih menemukan beberapa kesalahan ketik, yang sebenarnya tidak cukup mengganggu. Namun jika penulisan nama terus salah, tentu saja bisa menjadikan cerita runyam.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Bu Ina mengetuk pintu kamar Muskhlis dan Rifki è Padahal saat itu Muskhlis sekamar dengan Alif.  (hal 211).

Dan jika saja  novel ini diselipi  semacam quote-quote yang membangun, tentu kisahnya akan semakin seru dan mantap.

Namun terlepas dari kekurangannya, novel ini sarat pendidikan dan hikmah. Memuat banyak motivasi dan sangat menginspirasi.  Di antaranya novel ini  mengajarkan kepada  pembaca tentang keberanian. Bahwa kita harus berani melawan orang-orang yang berbuat jahat atau melawan orang-orang licik. Kita tidak boleh takut dan merasa kalah sebelum berusaha untuk mengingatkan orang tersebut, bahwa perbuatannya itu salah. Kita bisa melihat bagaimana  Mukhlis yang begitu berani melawan Pak Jo. Padahal ia tahu orang itu sangat berbahaya. Ia nekat melawan Pak Jo yang ingin menjualnya.


Selain petualangan, novel ini memang sedikit menyoroti tentang trafficking atau pedagangan manusia. Miris memang, tetapi kejadian seperti yang dialami  si tokoh utama memang sering terjadi. Salah satunya di India. Anak-anak yang hilang  banyak dimanfaatkan untuk dijual-belikan. Jadi melalui novel ini setidaknya penulis menghimbau agar  kita selalu berhati-hati di mana pun berada.

Kemudian, tentang kejujuran.  Kita diingatkan dan dimotivasi untuk selalu jujur di mana pun dan kapanpun. Sebagaimana Mukhlis, meski tersesat ia jujur tidak mengambil uang dari dompet yang ia temukan dan berusaha mengembalikan dompet itu pada pemiliknya.  Tokoh cerita juga berlaku jujur ketika menceritakan sebab musabab kenapa ia tersesat dan alasan kenapa ia nekat ikut kapal.

Ada pula motivasi tentang betapa pentingnya menuntut ilmu. Sebagai anak yang tinggal di pulau terpencil, Mukhlis belum mengetahui banyak hal. Namun ketika ia keluar dan menapaki dunia luar, ia kemudian mengenal banyak hal. Termasuk tentang cita-cita dan pentingnya belajar. Maka bagi siapa saja, kita harus bersyukur karena bisa belajar dengan mudah dan fasilitas yang lengkap. Oleh sebab itu kita harus rajin dan bersungguh-sungguh ketika belajar dan menuntut ilmu.

Menyayangi keluarga. Keluarga adalah rumah bagi kita. Itulah sedikit gambaran yang mungkin bisa kita lihat dari kisah ini. Di mana pun berada,  Mukhlis selalu teringat dengan keluarganya. Sebagian cita-citanya pun berhubungan untuk membahagiaan keluarganya. Bahkan Mukhlis tetap menyimpan permen dari temannya, sejak sebelum ia bertualang sampai kembali. Dan itu semua demi sang adik.

Berani mengakui kesalahan. Setiap orang pernah melakukan kesalahan, maka sudah semestinya kita harus berani mengakui kesalahan tersebut. Salah satunya dengan meminta maaf. Sebagaimana Mukhlis yang mengaku salah karena telah berbuat nekat dan tidak berpikir panjang. Karena marah dan kecewa ia telah melakukan sesuatu yang menyusahkan orangtua juga banyak pihak.

Selalu berbuat baik. Kepada siapa saja seyogyanya kita memang harus bersikap baik. Kita tidak boleh bersikap kasar apalagi jahat. Sebagaimana Rifki, meski baru mengenal Mukhlis, ia selalu berbuat baik dan tidak segan menolong.  Begitu juga Mukhlis, meski sudah diperlakukan jahat, ia tetap menolong Pak Jok ketika dalam keadaan terdesak, termasuk ketika disengat ikan pari.

(Ikan pari yang banyak ditakuti, karena sengatannya mengandung 
racun)

Tidak mudah menyerah.  Dalam menghadapi sesuatu kita diharapkan memang tidak mudah menyerah. Kita harus melakukan segala upaya untuk menaklukkan tantangan yang ada di depan kita. Sebagaimana Mukhlis dan Rifki, juga Alif yang berusaha menggalkan upaya Pak Jo yang akan berbuat jahat kepada mereka.

Tentu saja masih banyak pembelajaran, inspirasi dan motivasi yang ada di dalam buku ini.  Penulis juga menyinggung tentang bagaimana mengatasi masalah anak jalanan. Ada pula sedikit sindiran yang dipaparkan penulis adalah bagaimana kebiasaan orang dewasa yang kurang mau mendengarkan pendapat remaja. Karena biasanya seorang remaja itu senang dihargai dan diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya.

“Orang dewasa biasanya bertindak seenaknya kepada anak-anak seperti kita tanpa bertanya.” (hal 153).

Srobyong, 21 Januari 2021

 


 

Resensi -Bakti Anak Pada Ayah

 

Judul          :  Ayah, Aku Rindu

Penulis       : S. Gegge Mappangewa

Penerbit      : Indiva Media Kreasi

Cetakan       : Pertama, Maret 2020

Tebal           : 192  halaman

ISBN           : 978-602-495-290-7

Harga buku  : Rp45.000

Peresensi      : Ratnani Latifah. Penulis dan penikmat buku asal Jepara

Mengambil tema tentang bakti pada orangtua—khususnya kepada sang ayah, novel ini cukup menarik untuk disimak. Perlu kita sadari, tidak hanya kepada ibu bakti kepada ayah juga sangat penting. Karena seorang ayah pun memiliki peran tidak kalah penting dari seorang ibu. Jika ibu berjuang mengandung sampai sembilan bulan, bertaruh nyawa dan merawat kita dengan kasih sayang, seorang ayah pun memiliki peran tidak kalah penting. Ayah adalah pejuang tanggguh yang mau bekerja keras untuk memenuhi segala kebutuhan anak. Tidak peduli panas, atau hujan, lelah atau tidak ia terus berjuang.

Rudi tidak menyangka, bahwa kebersamaan dengan ibunya tidaklah lama. Pada usia yang masih cukup belia ia harus kehilangan sosok yang ia jadikan panutan dan sosok yang ia sayang. Tidak hanya itu, bersamaan dengan kepergian sang ibu, Rudi pun harus menelan pil pahit, melihat keadaan ayahnya, yang ternyata berubah total.

“Luka, duka, derita, tak menunggu orang dewasa dulu untuk kemudian ditimpanya. Semua kepahitan itulah yang akan menempa kedewasaan.” (hal 60).

Sang ayah seperti orang yang kehilangan arah. Ia masih belum bisa menerima kepergian istrinya. Ia tidak segan marah kepada Rudi, jika mengingatkannya kalau ibunya sudah tiada. Tidak hanya itu, sejak kepergian sang ibu, ayahnya seperti tidak lagi mengenali dirinya. Lebih parah, kadang sang ayah berusaha menyakiti dirinya.  Rudi tentu saja sangat sedih. Kesedihan muncul bertubi-tubi dalam kehidupannya.  Meski begitu, Rudi tidak pernah membenci ayahnya. Ia tetap berusaha merawat ayahnya dengan penuh perhatian. Ia sangat berharap suatu hari, ayahnya bisa sembuh sebagaimana sedia kala.

“Harapan selalu ada untuk orang-orang yang bersabar.”  (hal 56).

Di tengah kesedihan yang dialami Rudi, beruntung ada Pak Sadli, yang dengan senang hati selalu mengulurkan tangan untuk menolong Rudi. Gurunya itu entah kenapa selalu bersikap baik kepada dirinya. Hingga suatu hari sebuah tabir misteri tidak terduga, terkuak, dan menjawab segala kebingungan Rudi, atas segala kejadian yang menimpanya. Ia baru sadar bahwa setiap orang pasti memiliki masa lalu dan juga pernah melakukan kesalahan. Tinggal bagaimana menyikapinya. 

“Salah, masalah dan masa  lalu miliki semua orang.”  (hal 56).

Dari segi tema, novel ini memang cukup unik. Mengingat biasanya banyak penulis yang lebih sering menceritakan tentang bakti pada sang ibu daripada kepada ayah. Kebanyakan cerita juga sering menunjukkan bagaimana kedekatan anak pada ibu daripada ayahnya.  Selain mengangkat tema bakti kepada ayah, novel ini juga diselipi kisah-kisah lain yang cukup seru untuk disimak, yang membuat cerita  di dalamnya semakin kompleks dan membuat pembaca penasaran. Karena sedikit banyak kisah itu sangat dekat dengan kehidupan para remaja.  Dari masalah persahabatan, cinta dan hubungan kemasyarakatan.

Saya suka dengan sindiran halus yang disisipkan penulis tentang bagaimana menanggapi masalah cinta untuk para remaja yang masih sekolah. Bahasanya halus tapi sangat mengena.

“Bagiku jatuh cinta itu perlu, tapi untuk memainkanya, sepertinya buku pelajaranku masih butuh belaian lembut tanganku sebagai pelajar.” (hal 22).

Dari segi gaya bahasa, novel ini  sangat  mudah untuk dinikmati. Karena bahasanya lugas dan mudah dipahami. Kita tidak perlu berpikir keras untuk memahami setiap bagian cerita  atau bingung dengan kosakata-kosata baru, mengingat penulis langsung menyertakan catatan kaki untuk pemakaian bahasa daerah. Jadi membaca novel ini terasa sangat nyaman.

Untuk alur dan plot, penulis sebenarnya juga sudah merancangkan dengan sedemikian rupa, sehingga kisahnya terstruktur dengan baik. Hanya saja  dari beberapa segi, saya merasa ada yang kurang dan bahkan terkesan datar, untuk  cerita itu sendiri. Ada semacam rasa kurang greget dari konflik yang dipaparkan penulis.  

Kemudian, untuk pemakaian sudut pandang orang pertama yang tidak konsisten antara menggunakan saya dan aku—meski mungkin pilihan penggunaan aku dan saya memang disengaja penulis—jujur sedikit banyak membuat saya kurang nyaman.  

Sebagai “Pemenang Pertama pada Kompetisi Menulis Indiva 2019 Kategori Novel  Remaja”.  Jujur saya menantikan kisah unik,  seru dan menarik.  Akan tetapi ternyata harapan itu belum saya dapatkan ketika membaca novel ini.   Bahkan untuk ending cerita pun jadi terasa tidak  terlalu wow, karena sudah bisa tertebak sejak awal membaca. Beruntung hal itu cukup tertutupi dengan kejutan-kejutan kecil  yang sudah disiapkan penulis pada setiap babnya.  Jika diminta memilih saya lebih menikmati novel karya penulis yang berjudul “Sabda Luka” di mana kisahnya lebih mengena dan penuh intrik yang menarik dan menegangkan.

Namun lepas dari beberapa kekurangan yang ada, novel ini tetap sarat akan makna dan pembelajaran inspiratif. Selain dari tema dan gaya bahasa, novel ini memiliki cukup unggul dalam masalah penggambaran settingnya. Karena penulis memang dikenal sebagai sosok yang piawai dalam menggambarkan setting cerita dengan apik dan tidak terkesan tempelan.  Penulis juga piawai dalam menyelipkan lokalitas daerah Allakuang, Sidenreng  Rappang.

Di mana dari novel ini kita diingatkan tentang pentingnya berbakti kepada orangtua—di sini bakti kepada ayah—apa pun keadaannya. Sebagai seorang anak, kita memang harus selalu menjaga dan merawat orangtua apa pun keadaannya. Itulah yang digambarkan dalam novel ini. Rudi meski masih remaja, ia memiliki semacam semangat juang dalam merawat ayahnya.

Ia tidak ingin melupakan ayahnya karena masalah gangguan mental yang dialami.  Sebaliknya ia merengkuh dan memeluk, berusaha sekuat tenaga, agar ayahnya bisa sembuh sebagimana sedia kala.  Begitulah seharusnya seorang anak, merawat orangtua memangkewajibannya.  Karena orangtua sudah merawat sejak kecil dengan penuh kasih sayang. Jangan sampai ketika sudah merasa dewasa, kita memilih meninggalkan dan menitipkan orangtua di pantai jompo, ketika sudah usia senja.

 Kita juga diajarkan untuk bersikap jujur. Karena kejujuran adalah modal dalam segala hal. Bagaimana kita bisa dipercaya orang lain jika tidak memiliki kejujuran? Di sini kita bisa melihat Rudi berani mengakui dengan jujur bahwa dalam sebuah lomba yang ia ikuti, ia telah melakukan kecurangan dengan mengirim karya yang bukan miliknya. Ia juga siap dengan segala konsekuensi dari apa yang telah dia lakukan. Secara tidak langsung, penulis seolah mengajak, memotivasi kita untuk melakukan sikap-sikap terpuji salah satunya dengan berlaku jujur dalam segala keadaan.

Tidak putus asa selama berdoa, selalu memiliki harapan,  syukur, sabar dan banyak lagi.   Kadang kala banyak orang yang sudah berdoa tetapi ternyata Allah belum mengabulkan harapan itu. Sedih dan mungkin kecewa, tetapi di sini melalui kisah Rudi, kita diajarkan untuk selalu berbesar hati. Mungkin Allah telah menyiapkan rencana yang lebih baik, sebelum mengambulkan doa yang diinginkan.

Kita seolah diajarkan bahwa sebagai makhluk Allah kita harus selalu memiliki harapan dan berpikir positif terhadap Allah. Kita juga harus selalu mensyukuri apa pun keadaan yang telah Allah tetapkan. Kita juga harus selalu bersabar meski banyak cobaan datang bertubi-tubi. Mungkin melalui cobaan itu Allah telah menyiapkan sesuatu yang tidak terduga.  

 “Jangan terlalu banyak  memikirkan risiko jika yang ingin kamu lakukan adalah kebaikan! Kejujuran memang selalu ditakdirkan untuk merasa pahit di awal. Tapi jika sudah tertelan, pahitnya akan hilang, lalu menghasilkan khasiat.” (hal 150).

Srobyong, 20  Januari 2021

 


Wednesday 20 January 2021

Resensi - Menumbuhkan Sikap Jujur dan Kepedulian

 


Judul               : Tragedi Apel & Buku Ajaib Jiko

Penulis             : Yosep Rustandi

Penerbit           : Indiva Media Kreasi

Cetakan           : Pertama, Juli 2020

Tebal               : 160 halaman

ISBN               : 978-623-253-002-7

Harga Buku     : Rp40.000

Peresensi         : Ratnani Latifah. Penulis dan penikmat buku asal Jepara

“Buku  bisa memberi bantuan kalau kita jujur. Kalau bohong berarti mikir sendiri.” (hal 47).

Menumbuhkan sikap jujur dan kepedulian pada anak itu memang sangat penting. Pendidikan karakter ini akan membangun moral yang baik bagi anak. Sehingga anak tumbuh sebagai pribadi yang lebih bertanggung jawab. Berbeda jika anak tidak dididik dengan karakter tersebut. Anak akan tumbuh dengan sikap kurang peduli dan bertindak sesuka hati.

Buku ini memuat pembelajaran karakter  sikap jujur dan kepedulian, yang sangat menarik dan cocok dibaca untuk anak. Karena cerita yang termaktub di sini, dipaparkan dengan gaya bahasa yang mudah dipahami. Ceritanya juga ringan dan mungkin sering terjadi di sekitar kita. Jadi selama membaca kita tidak akan mengalami kebosanan. Sebaliknya kita akan merasa terhibur dengan cerita juga belajar banyak hal dari kisah tersebut.

Novel ini sendiri menceritakan tentang kisah hidup anak-anak kurang mampu, yang harus menjalani hidup dengan penuh perjuangan. Alin adalah anak yang kurang beruntung. Karena sejak bapaknya meninggal dunia, kini tinggal emaknya yang membanting tulang untuk dirinya. Akan tetapi tidak lama setelah itu sang emak pun tumbang. Sejak itu Alin-lah yang harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Karena keadaan itu Alin terpaksa menjambret. Akan tetapi yang ia curi bukanlah uang atau perhiasan. Ia hanya mencuri seplastik apel, yang sangat ingin ia berikan pada emaknya. Ia hanya ingin membahagiaan emaknya. Dengan memakan apel itu ia harap emaknya akan segera pulih. Namun siapa sangka, apel hasil jambretan itu malah menumbuhnya banyak sekali masalah beruntun lain yang tidak terduga.

Bersama sahabatnya, Jiko yang kutu buku, Alin mencoba menyelasaikan berbagai masalah yang ada. Berhasilkan Jiko dan Alin melakukannya? Dan apa saja ide-ide dari buku ajaib yang memberikan inspirasi bagi keduanya selama menyelesaikan masalah yang mereka hadapi?

Secara keseluruhan, novel ini sangat menarik dan menghibur. Tema yang diangkat pun menarik dan berbeda dari kebanyakan tema cerita anak yang sering saya baca. Selain mengisahkan permasalahan Alin dan Jiko, ada pula masalah lain yang dikembangkan penulis, yang semakin membuat kisah ini seru sekali untuk dibaca sampai akhir.  Buku ini memuat cukup banyak  pendidikan karakter  bagi anak.

Dari keutamaan membaca, “Dia tidak tahu kalau buku memberi  tahu kita tentang banyak hal. semuanya ada di buku. Seluruh pengetahuan dunia ini ada di buku.” (hal 36). Mengajarkan untuk selalu bersikap jujur, “Kita tidak boleh bohong, apalagi kepada orangtua.” (hal 45). Peduli pada sesama yang digambarkan pada kisah Yasmin yang rela mengajar anak-anak tidak mampu tanpa bayaran. Juga pembelajaran untuk memiliki semangat belajar yang tinggi.  Tidak heran, jika novel ini menjadi “Pemenang Pertama pada Kompetisi Menulis Indiva 2019 Kategori Novel Anak”.  

Srobyong, 12 Oktober 2020


Pernah dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat, Selasa 20 Oktober 2020