Sunday, 25 March 2018

[Resensi] Menjelajahi Indonesia Timur Lewat Sajak dan Cerita

Dimuat di Lampung Post, Minggu 25 Maret 2018 


Judul               : Dari Timur
Penulis             : MIWF
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, Mei 2017
Tebal               :  112 halaman
ISBN               : 978-602-03-5536-8
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama Jepara

Buku ini ditulis oleh  Makassar International Writers Festival—MIWF.  Sebuah ajang festival yang sengaja dibuat dan sudah dimulai sejak tahun 2011 guna menemukan bakat-bakat baru di wilayah timur.  Dalam buku ini sendiri—yang merupakan volume pertama hasil dari festival tersebut terdiri dari sebelas penulis ; Ama Achmad, Cicilia Oday, Deasy Tiroyah, Dicky Senda, Emil Amir, Erni Aladjai, Faisal Oddang, Ibe S. Palogai, Irma Agrayanti, Jamil Massa dan Mario F. Lawi—yang menawarkan puisi dan cerita.

Buku yang diberi judul Dari Timur—mencoba mengenalkan karya sastra dari wilayah Indonesia di bagian timur, wilayah yang dalam indikator pencapaian pembangunan infrastuktur, ekonomi dan kultural, tertinggal dibandingkan wilayah barat—namun disebut sebagai wilayah yang mengandung potensi besar.  Dan karya yang terpilih ini telah menunjukkan kekhasan dalam tema dan kematangan dalam pengungkapan.  Beberapa di antaranya di antaranya bahkan sangat berhasil dalam estetika. Di mana kebanyakan ide tulisan ini mencoba mengungkap isu-isu sosial, identitas dan adat budaya.

Sebut saja kisah berjudul “Air” karya Erni Aladjai  yang mana mencoba mengungkapkan tentang isu air yang akan dijadikan komoditas.  Di mana dipaparkan Zon tiba-tiba terbangun dalam keadaan yang tidak pernah dia duga. Keadan di mana dia harus kesulitan mencari air. Bahkan satu galon air dia harus membayar sebanyak satu juta (hal 17).  Kesulitan air membuat keadaan kacau. Terjadi pertengkaran dalam usaha mendapat air itu sudah biasa.  Dan ketiga Zon mengingat sesuatu dia merasa tertampar.  Apalagi ketika dia melihat para demonstran menulis “Air bukan komoditas. Pasang keran-keran air di ruang publik.

Lalu sebuah sajak karya  Ibe S. Palogai berjudul “Konkusinador” yang menggagas tentang pertempuran yang menelan banyak korban—baik dari pihak sendiri juga pihak musuh. Bahwa peperangan itu selalu mengerikan entah itu kalah atau menang. Karena selalu meninggalkan kesedihan bagi siapa saja yang ditinggal.

Karaeng karunrung, pertaruhan untuk rumahmu// dari rimbun pohon di pantai itu// asap di pucuk pandan dan batang manusia// berjaga sepanjang benteng, karena pasang laut// menghirup wangi gulita// hanyulah kamu// ratusan pasukan asing dan sedarah// antara Binga dan Ujung Tanah// kekalahan kami berbaris sebagai tuan rumah (hal 41).

Tidak kalah menarik adalah cerpen karya Emil Amir  “Silariang” yang mengangkat tema adat  budaya—tentang cinta tidak direstui. Kisah ini tentang cinta segi empat antara Saeba, Andi Jamaluddin, Halimah dan La Saddang. Saeba  dan La Saddang saling mencintai, namun tak ada restu dari orangtuanya, karena menganggap La Saddang dianggap tidak sederajat—kenyataan ibunya yang menikah dengan lelaki biasa, hingga mereka dicoret dari silsilah keluarga (hal 65).  Begitu pula Halimah dan Andi Jamaluddin, mereka saling mencintai namun terputus karena berbagai alasan. Kini Saeba akan menikah dengan Andi Jamaluddin.

Ada pula cerpen karya Faisal Oddang berjudul “Orang-orang dari Selatan Harus Mati Malam Itu” dalam kisah ini kita akan diajak melihat  isu perihal agama. Di mana masyarakat dipaksa menganut agama resmi, mencantumkannya di KTP dan dipaksa menjauhi Tuhan Dewata Sewwae. “Uwak harus memilih, atau hak sebagai warga negara  tidak kalian dapatkan, bisa saja diusir, bisa saja ada yang bertindak di luar  kendali, Uwak sudah  tahu  sendiri,  bukan, apa yang akan terjadi?” (hal 103).

Inilah dilema yang tengah dialami Isuri dan uwaknya. Mereka harus memilih salah satu. Isuki memohon agar Uwaknya mengalah namun bisakah dia membujuk orang yang sangat taan dan ajaran Tolotang?

“Lebih baik ditembaki tentara  daripada dibunuh orang-orang di kampung ini. Lebih baik  menodai aturan pemerintah daripada menodai agama orang lain.” (hal 109).

Selain beberapa yang sudah dipaparkan tentu saja kisah dan sajak yang ada  dalam buku ini, tidak kalah menarik dan memikat. Seperti Anak Penjaga Sekolah, Di Sebuah Biara, Purnama di Atas Rumah dan lain sebagainya. Semua memiliki cara khas dalam bertutur yang membuatnya menarik untuk dinikmati. Keunikan lain dari buku ini adalah kekentalan dalam unsur mistis dan mitos. Dan adanya ilustrasi yang cantik.

Srobyong, 11 Februari 2017 

6 comments:

  1. Sepertinya bukunya menarik untuk dibaca,, membaca resensinya yg penuh konflik aj udh greget,,

    ReplyDelete
  2. Saya pernah baca karya Faisal Odang (lupa judulnya) dan di bukunya itu disinggung pula ajaran Tolotang. Selalu menarik pas baca buku yang mengangkat nilai-nilai kedaerahan. Karena pembaca dikenalkan dengan sesuatu yang baru.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mas, buku-buku yang kental lokalitas daerah itu selalu menarik dan bisa nambah wawasan juga :)

      Delete
  3. Ternyata mau dimana pun lokasinya, yang namanya cinta itu memang tidak pernah mudah ya

    ReplyDelete