Thursday, 19 October 2017

[Resensi] Pandangan Masyarakat Terhadap Seni dan Penulis

Dimuat di  Kabar Madura, Senin 9 Oktober 2017 


Judul               : Alang
Penulis             : Desi Puspitasari
Penerbit           : Republika
Cetakan           : Pertama, Juni 2016
Tebal               : iv + 235 hlm
ISBN               : 978-602-9474-09-1
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

Sudah menjadi berita umum, bahwa profesi sebagai penulis masih dianggap sebelah mata oleh sebagian banyak masyarat. Mereka kerap dianggap sebagai pengangguran dan tidak memiliki masa depan cerah. “Menjadi penulis tidak akan pernah membuatmu kaya. Kau akan hidup terlunta-lunta.” (hal 147).

Selain menulis salah satu profesi lain yang kadang masih disepelekan adalah para pecinta seni. “Hidup di dunia nyata mengajarkan bahwa yang dibutuhkan dalam hidup ini sesungguhnya hanya duit! Dan duit tidak bisa kau dapat dengan bergelut di bidang seni. Seni itu omong kosong. Seni itu tak bisa menghidupi yang ada malah membuatmu mati lebih dini.” (hal 26).

Kedua hal ini kerap dibanding-bandingkan dengan profesi lain yang lebih menjanjikan. Di mana sebagian banyak masyarakat lebih mempercayai bahwa profesi dokter atau pengacara lebih memiliki masa depan yang cerah. Oleh karena itu banyak orangtua yang melarang keras anak-anak mereka  jika didapati memiliki cita-cita menjadi penulis atau  musisi.   Padahal anggapan itu tidak seratus persen benar.  karena setiap profesi pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Novel ini mengambil isu menarik dalam masyarakat dengan dipadukan tema tentang perjuangan dalam meraih mimpi. Membaca  novel ini kita disadarkan,  bahwa kita tidak boleh menilai sesuatu dari sebelah mata—atau dari hal jeleknya saja tapi harus menyeluruh. Selain itu di sini kita juga diingatkan,  untuk menjadi dewasa ada hal-hal yang harus diputuskan dan menanggung resiko yang telah dipilih.

April percaya bahwa bakat itu ada. Tapi tidak semua keberhasilan terwujud karena bakat. April lebih percaya kalau pandai dan sukses itu diraih karena tekun dan bekerja keras, ketimbang melulu menggantungkan diri pada bakat (hal 40). Inilah paham yang dipegang erat oleh April. Karena itu dia berusaha keras dalam mewujudkan mimpinya sebagai seorang penyair. Meski itu harus melawan keinginan orangtua yang selalu menyepelekan mimpinya.

Begitu juga dengan Alang.  Sejak duduk dibangku sekolah dasar, dia sudah sangat menyukai musik.  Diam-diam dia belajar bermain gitar dari guru seninya—Pak Gunawan. Dan agar dia bisa memiliki gitar, Alang bekerja keras sambil bekerja. Hanya saja ayah Alang sama sekali tidak menyukai cita-cita anaknya. Karena di desa mereka pun sudah ada teladan kalau seni itu hanya omong kosong. Tidak ada masa depan bagi penggiat seni.

Kesamaan nasib, membuat April dan Alang menjadi dekat. Hubungan yang semula hanya sebatas sahabat, lambat laun berubah menjadi sesuatu yang spesial.  Setelah meenyelesaikan SMA, Alang mengambil peruntungan untuk melanjutkan sekolah musik di Jakarta. Apalagi dia berkesempatan mendapatkan beasiswa.  Sedangkan April melanjutkan  kuliah di kedokteran. Sebuah perjuangan panjang dan tidak mudah akhirnya mereka mulai. Tentang jatuh bangun dalam berjuang meraih mimpi, juga tentang kenyataan pahit yang setiap saat harus mereka hadapi

“Mimpi itu hanya untuk seorang pemenang, bukan  pecundang. Pemenang itu artinya dia yang tidak mogol atau berhenti di tengah jalan—pada apa pun pilihannya. Pemenang itu juga tidak cengeng. Meski cita-cita dan cintanya kandas, ia akan segera bangkit dan pulih.” (hal 195).  

Dipaparkan dengan gaya bahasa yang renyah dan memikat, membuat novel ini asyik untuk dinikmati.  Apalagi teman yang dianggkat itu cukup dekat dengan dunia literasi serta isu-isu yang kerap menyelimuti. Bahwa seni bukanlah sebuah pekerjaan yang menjanjikan. Meski pada beberapa bagian ada yang terasa lompat-lompat. Namun lepas dari kekurangannya novel ini cukup menghibur. Banyak pesan tersirat yang bisa dijadikan pembelajaran. Seperti sikap tidak mudah menyerah, kekuatan sabar, mau berusaha serta tidak takut dalam mengambil pilihan.

“Kesuksesan itu bukan jalan singkat. Kecuali kamu adalah anak seorang yang sangat kaya, selebihnya kamu harus jatuh bangun berdarah-darah menempuh jalan seni yang terjal.” (hal 217).


Srobyong, 31 Juli  2017 

No comments:

Post a Comment