Dimuat di Kabar Madura, Senin 9 Oktober 2017
Judul : Alang
Penulis : Desi Puspitasari
Penerbit : Republika
Cetakan : Pertama, Juni 2016
Tebal : iv + 235 hlm
ISBN : 978-602-9474-09-1
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.
Sudah menjadi berita umum, bahwa
profesi sebagai penulis masih dianggap sebelah mata oleh sebagian banyak
masyarat. Mereka kerap dianggap sebagai pengangguran dan tidak memiliki masa
depan cerah. “Menjadi penulis tidak akan pernah membuatmu kaya. Kau akan
hidup terlunta-lunta.” (hal 147).
Selain menulis salah satu profesi
lain yang kadang masih disepelekan adalah para pecinta seni. “Hidup di dunia
nyata mengajarkan bahwa yang dibutuhkan dalam hidup ini sesungguhnya hanya
duit! Dan duit tidak bisa kau dapat dengan bergelut di bidang seni. Seni itu
omong kosong. Seni itu tak bisa menghidupi yang ada malah membuatmu mati lebih
dini.” (hal 26).
Kedua hal ini kerap
dibanding-bandingkan dengan profesi lain yang lebih menjanjikan. Di mana
sebagian banyak masyarakat lebih mempercayai bahwa profesi dokter atau
pengacara lebih memiliki masa depan yang cerah. Oleh karena itu banyak orangtua
yang melarang keras anak-anak mereka
jika didapati memiliki cita-cita menjadi penulis atau musisi.
Padahal anggapan itu tidak seratus persen benar. karena setiap profesi pasti memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Novel ini mengambil isu menarik
dalam masyarakat dengan dipadukan tema tentang perjuangan dalam meraih mimpi.
Membaca novel ini kita disadarkan, bahwa kita tidak boleh menilai sesuatu dari
sebelah mata—atau dari hal jeleknya saja tapi harus menyeluruh. Selain itu di
sini kita juga diingatkan, untuk menjadi
dewasa ada hal-hal yang harus diputuskan dan menanggung resiko yang telah
dipilih.
April percaya bahwa bakat itu ada.
Tapi tidak semua keberhasilan terwujud karena bakat. April lebih percaya kalau
pandai dan sukses itu diraih karena tekun dan bekerja keras, ketimbang melulu
menggantungkan diri pada bakat (hal 40). Inilah paham yang dipegang erat oleh
April. Karena itu dia berusaha keras dalam mewujudkan mimpinya sebagai seorang
penyair. Meski itu harus melawan keinginan orangtua yang selalu menyepelekan
mimpinya.
Begitu juga dengan Alang. Sejak duduk dibangku sekolah dasar, dia sudah
sangat menyukai musik. Diam-diam dia
belajar bermain gitar dari guru seninya—Pak Gunawan. Dan agar dia bisa memiliki
gitar, Alang bekerja keras sambil bekerja. Hanya saja ayah Alang sama sekali
tidak menyukai cita-cita anaknya. Karena di desa mereka pun sudah ada teladan
kalau seni itu hanya omong kosong. Tidak ada masa depan bagi penggiat seni.
Kesamaan nasib, membuat April dan
Alang menjadi dekat. Hubungan yang semula hanya sebatas sahabat, lambat laun berubah
menjadi sesuatu yang spesial. Setelah
meenyelesaikan SMA, Alang mengambil peruntungan untuk melanjutkan sekolah musik
di Jakarta. Apalagi dia berkesempatan mendapatkan beasiswa. Sedangkan April melanjutkan kuliah di kedokteran. Sebuah perjuangan panjang
dan tidak mudah akhirnya mereka mulai. Tentang jatuh bangun dalam berjuang
meraih mimpi, juga tentang kenyataan pahit yang setiap saat harus mereka hadapi
“Mimpi itu hanya untuk seorang
pemenang, bukan pecundang. Pemenang itu
artinya dia yang tidak mogol atau berhenti di tengah jalan—pada apa pun
pilihannya. Pemenang itu juga tidak cengeng. Meski cita-cita dan cintanya
kandas, ia akan segera bangkit dan pulih.” (hal
195).
Dipaparkan dengan gaya bahasa yang
renyah dan memikat, membuat novel ini asyik untuk dinikmati. Apalagi teman yang dianggkat itu cukup dekat
dengan dunia literasi serta isu-isu yang kerap menyelimuti. Bahwa seni bukanlah
sebuah pekerjaan yang menjanjikan. Meski pada beberapa bagian ada yang terasa
lompat-lompat. Namun lepas dari kekurangannya novel ini cukup menghibur. Banyak
pesan tersirat yang bisa dijadikan pembelajaran. Seperti sikap tidak mudah
menyerah, kekuatan sabar, mau berusaha serta tidak takut dalam mengambil
pilihan.
“Kesuksesan itu bukan jalan singkat.
Kecuali kamu adalah anak seorang yang sangat kaya, selebihnya kamu harus jatuh
bangun berdarah-darah menempuh jalan seni yang terjal.” (hal 217).
Srobyong, 31 Juli 2017
No comments:
Post a Comment