Dimuat di Haluan Padang, Minggu16 Juli 2017
Judul : Risttafel; Budaya Kuliner di
Indonesia Masa Kolonial
Penulis : Fadly Rahman
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, November 2016
Tebal : xii + 152 hlm
ISBN : 978-602-03-36603-9
Persensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama.
Jepara.
Salah satu unsur utama yang
membentuk kuliner Indonesia adalah pengaruh Barat (Eropa) dengan berbagai
warisannya. Pengaruh Barat ditandai dari ramainya persentuhan budaya (bazaar
culture) yang dimulai sejak abad ke-16 dan memuncak pada abad ke-19.
Perpaduan budaya Barat dan Pribumi sendiri mulia amat menggejala sejak abad
ke-19—suatu perpaduan yang kemudian dikenal dengan istilah “kebdayaan indis”
(hal 1).
Kebudayaan Indis yang populer pada
masa kolonial adalah budaya makan yang dinamakan rijsttafel. Jika
diartikan secara harfiah, rijst berarti nasi dan tafel berarti
meja, disatukan menjadi “hidangan nasi” (hal 2). Hidangan rijsttafel biasanya terdiri
dari nasi sebagai menu utama (hoofdschatel),
lalu ada menu tambahan (bijgerechten) yang biasanya terdiri dari, kari
(karrie), sajian sayur, sup dan daging. Yang terakhir adalah menu pencuci mulut
(nagerechten) seperti kue, buah-buahan—mangga, nanas, rambutan dan duku.
Pada awalnya dalam tradisi Belanda
mereka tidak ada menu nasi dalam hidangan mereka, namun bertahun-tahun
tinggal di negeri jajahan akhirnya
membawa perubahan besar bagi kehidupan orang-orang Belanda karena lingkungan kebudayaan Pribumi
yang mempengaruhi mereka. Dan kebiasaan
makan nasi dari generasi ke generasi pada akhirnya menjadi budaya tersendiri
dalam kehidupan orang-orang Belanda.
Sebagaimana Belanda yang terpengaruh
Pribumi, para Pribumi juga terpengaruh dengan
budaya yang dibawa Belanda. Hal ini bisa dilihat melalui tata cara penyajian
makanan ala Belanda. Kita bisa melihat
dari berbagai peralat yang mulai dipakai para pribumi. Jika sebelumnya dalam
makan para pribumi biasa hanya memakai jari tangan, tidak menggunakan piring sebagai
alas makan, hanya berlas daun dan duduk bersila di lantai, maka pada perkembangannya para pribumi mulai mengkuti budaya Belanda yang ketika
makan memakai sendok, garpu, piring dan makanan di sajikan di meja, dengan
duduk di kursi (hal 45).
Lalu pada sekitar tahun 1930, pola
penyajian makanan yang biasanya duduk bersama dalam satu meja dengan dilayani
para pelayan, mulai berubah dengan
menggunakan meja makan panjang untuk menyajikan hidangan, dengan para tamu
bebas mengambil menu mana yang disukai. Cara inilah yang kemudiaan diberi nama
prasmanan yang kita kenal seperti sekarang (hal 67). Biasanya cara ini dipakai dalm suatu perjamuan
atau pesta.
Keberadaan rijsttafel menunjukkan
bahwa kebiasaan makan tidak dapat dipisahkan sebagai bagian dari dinamika
hidup. Perpaduan unsur budaya Pribumi dan Barat tidak hanya menghasilkan wujud
budaya yang unik dan menarik. Tapi menghasilkan sebuah konsep ideal bagi
kuliner juga sebagai ajang promosi kuliner Indonesia.
Selain tata cara penyajian berbagai
jenis kuliner Indonesia pun sejatinya terpengaruh dengan berbagai jenis kuliner
dari Barat. Di antaranya frikadel yang di sini kemudian lebih dikenal dengan
sebutan perkedel, semur, kari dan banyak lagi.
Selain itu hidangan khas Belanda juga terlihat mengalami penyesuaian
bahan rempah-rempah. Perkembangan semacam ini merupakan wujud akulturasi dari
sejumlah kebudayaan asing yang secara harmonis telah meresap dan pada akhirnya
membentuk ciri khas baru dalam berbagai jenis hidangan (hal 77).
Sebuah buku yang menarik dan
memikat. Buku ini mengenalkan tentang sejarah lain yang jarang diungkapkan.
Bahhwa Belanda tidak hanya meninggalkan Indonesia dengan kesedihan dan
kepahitan, namun juga perkembangaan budaya kuliner yang siginifikan. Dipaparkan dengan menarik dan memikat membuat
buku ini nyaman di baca. Selain itu buku ini juga dilengkapi dengan ilustrasi
gambar, seolah membuat kita kembali membayangkan masa kolinial Belanda.
Srobyong, 6 Maret 2017
No comments:
Post a Comment