Dimuat di Singgalang, Minggu 18 Juni 2017
Judul : Alex
Penulis : Pierre Lemaitre
Penerjemah : Mimma Sutisna
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, September 2016
Tebal : 440 halaman
ISBN : 978-602-03-3039-8
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdaltu Ulama, Jepara
Novel ini merupakan karya dari
penulis Prancis yang konon mendapat sebutan sebagai master novel kriminal.
Selain itu penulis juga sudah kerap mendapat penghargaan. Salah satunya adalah
Prix Goncourt pada november 2013—sebuah pernghargaan bidang sastra yang paling
pretisius di Prancis. Dan novel Alex
sendiri, merupakan novel yang memperoleh Crime Writer’s Assosiation Award pada
2013.
Kisahnya sendiri terpusat pada sosok
Alex sesuai judul novel yang digunakan. Di mana Alex Prevost dikabarkan
diculik. Anehnya ketika terjadi penculikan ini, ternyata tidak akan kabar dari
teman atau saudara yang berusaha mencarinya. Seolah Alex ini hanya hidup
sebatang kara. Dan kasus ini yang sempat disangka sebagai kejahatan seksual ternyata
juga salah.
Penculik meski berkali-kali
memanggil Alex dengan sebuta pelacur, dia sama sekali tidak berminat kepada
Alex, bahkan ketika dia menyuruh Alex telanjang bulat. Satu hal yang dilakukan
penculik adalah mengurung Alex dalam keadaan babak belur di gudang kosong. Di
mana Alex dimasukkan dalam sebuah kandang. Apakah nantinya dia bisa bertahan
atau mati karena rasa kelaparan, kehausan atau karena tikus-tikus yang berada
di sekitarnya.
Di sisi lain Komandan Polisi Camille
Verhoeven sama sekali tidak memiliki petunjuk. Penculikan itu benar-benar rapi
dan tidak meninggalkan jejak. Padahal
Camille sadar kalau dia harus segera menemukan wanita itu. Inilah tantangan yang harus bisa Camille
ungkap kebenarannya. Meski sejatinya dia
kurang tertarik—tepatnya tidak ingin terlibat karena penculikan akan
mengingatkannya pada mendiang istrinya yang meninggal karena diculik.
Penculikan merupakan tindak pidana
yang amat unik, korbannya tidak terlihat di depan mata seperti dalam kasus
pembunuhan (hal 51).
Sampai sebuah titik terang
ditemukan, tentang alasan di balik misi penculikan terjadi, Camille malah
berhadapan pada sebuah kasus yang tidak terduga. Si penculik yang ternyata Trarieux, si
penculik meninggal dengan menjatuhkan diri dari jembatan (hal 108). Dan ketika
Camille melihat foto gadis yang diculik, ternyata tak seorang pun yang
mengenalnya. Camille benar-benar bingung.
Dan kebingungannya semakin bertambah, ketika akhirnya dia berhasil
menemukan lokasi penculikan Alex—gadis yang diculik itu sudah menghilang.
Sebuah kasus yang menarik. Karena
setelah itu Camille menyadari sesuatu. Bahwa gadis itu bukanlah gadis biasa.
Karena disinyalir Trarieux, mencari Alex adalah untuk balas dendam karena dia
kehilangan putranya setelah menjalin hubungan dengan Alex. Camille pun memulai
penyelidikan lagi—tepatnya mengungkap jati diri Alex yang ternyata bukan nama
asli.
Belum lagi saat berusaha
mengungkapkan jati diri Alex, Camille menemukan mayat di apartemen yang pernah
ditempati Alex dulu—yang kala itu memakai nama Nathalie Granger—dan mayat itu
adalah putra Trarieux—Pascal. Di mana disinyalir Alex atau Nathalie inilah
pembunuhnya. Dia memukul amat keras di bagian kepala, lalu setelah korban mati,
dia menuangkan seliter asam ke tenggorakannya (hal 168). Kasus itu seketika mengingatkan Camille
dengan kasus lain yang sama persis.
Camille pun bertekad untuk
mengungkap semuanya agar jelas. Namun baru beberapa langkah dia bergerak,
pembunuhan dengan metode yang serupa kembali terjadi.
Sebuah novel yang menarik dan menegangkan.
Pada setiap lembar kisah kita akan dibuat penasaran dengan sosok Alex, gadis
cantik yang selalu suka memakai wig. Kita juga akan diajak menyelesaikan kasus
dengan cara unik dari Camille. Bagaimana dia menyikapi setiap kejadian dan
kemudian membuat analisis dan
kesimpulan. Apakah benar Alex adalah
pembunuh dan alasan apa hingga Alex melakukan semua itu, Camille memaparkannya
dengan memikat.
Hanya saja dalam novel ini masih
cukup banyak kesalahan tulis yang ditemukan. Namun lepas dari itu, novel ini
patut dibaca. Di sini saya belajar bahwa dendam hanya akan merugikan diri
sendiri. Dan pola didikan orangtua pada
anak akan mempengaruhi psikologi anak. Oleh karena itu anak harus diberi
pelajaran yang baik bukan diselewengkan.
Srobyong, 14 Mei 2017
No comments:
Post a Comment