Dimuat di Kabar Madura, Rabu 4 April 2018
Judul : Polaris Fukuoka
Penulis : Sinta Yudisia
Penerbit : Pastel Books
Cetakan : Pertama, Oktober 2017
Tebal : 384 halaman
ISBN : 978-602-6716-10-1
Peresensi :
Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama Jepara
“Konon katanya polaris itu selalu bersinar terang, menjadi pemandu dan menunggu
kita di satu titik. Tidak berpindah-pindah ke arah langit yang lain.”
(hal 340).
Tidak seperti kebanyakan novel yang beredar—yang lebih sering membahas masalah
percintaan—maka tidak dengan novel ini. Dengan tutur bahasa yang lembut, Sinta
Yudisia hadir memperkenalkan kisah Sofia yang tengah berjuang menemukan poros
kehidupannya. Bagaimana dia mengenal tentang
dirinya sendiri juga laku orang-orang disekitarnya. Novel ini bisa dibilang adalah runtutan
kehidupan Sofia yang memutuskan melanjutkan
kuliah di Jepang, setelah kehilangan sang ibu juga dilema karena sejak
awal tak pernah mengenal ayahnya.
“Hidup itu seperti
rangkain red dost titik-titik merah yang saling berhubung. Kadang kita
tidak akan tahu mengapa titik titik itu ada. Namun, ketika polanya sudah
terbentuk dalam sejarah hidup ini, barulah kita sadari mengapa titik-titik itu
perlu muncul di hari-hari yang lampau.” (hal 30-31).
Sofia menyadari ketika dia memutuskan tinggal di Jepang, maka
dia harus siap beradaptasi dengan lingkungan baru yang pastinya tidak mudah.
Mengingat Jepang dan Indonesia, meski sama-sama di benua Asia, namun juga
memiliki latar adat dan budaya yang berbeda. Inilah tantangan yang harus
ditaklukkan Sofia.
Selama di Jepang, selain kuliah, Sofia juga membantu
pamannya untuk mengurus toko bunga. Di sinilah
asal muasal pertemuan Sofia dengan Isao—salah satu pemasok barang di
toko pamannya, yang pada awalnya dia kira bisu dan tulis karena Isao sangat
pelit berkata-kata. Sampai suatu ketika dia mendengar laki-laki Jepang itu
menyenandungkan lagu Fukai Mori (hal 12).
Dan sejak itu pertemuan mereka yang awalnya hanya saling diam, kemudian
saling menyapa ala kadarnya.
Namun yang mengejutkan setelah kejadian itu, Isao
malah tidak pernah terlihat lagi. Yang
ada kemudian hanyalah undangan pemakaman dari Isao yang dibawa Tatsuo. Di
sinilah awal semua bermula. Rasa penasaran Sofia terhadap misteri di balik
kematian Isao. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Isao memilih bunuh diri? Apakah
dia telah kehilangan poros hidupnya hingga memilih kematian?
Dari Nozomi—adik Isao, Sofia mengenal lebih dalam
tentang sosok yang pernah dikenalnya itu. Dia tidak pernah menyangka di balik kehidupan
keluarga yang sukses, tersimpan luka
yang begitu dalam. Memikirkan hal itu
Sofia jadi teringat dengan dirinya sendiri. Tentang kehidupannya yang bisa dibilang tidak
sempurna, namun berusaha dia syukuri.
Kadang Sofia memang sedih, setiap kali melihat teman-temannya memiliki
keluarga lengkap, sedang dia hanya berdua dengan sang ibu. Tapi dia kemudian
menyadari, mungkin ketentuan Tuhan-lah dia ditakdirkan hanya tinggal dengan
ibunya.
Selain berurusan dengan masalah Isao, Sofia juga
harus menghadapi berbagai kegiatan kuliah yang bisa dibilang tidak mudah.
Banyak hal yang harus dia kerjakan untuk mendapat nilai baik. Selain itu dia juga harus menghadapi masalah
keluarganya sendiri—khusunya masalah paman dengan tante dan neneknya. Sofia tidak pernah tahu kenapa pamannya
memilih tinggal di Jepang dan tidak pernah kembali ke Indonesia.
Berbagai kejadian tumpang tindih menyapa Sofia di
negeri sakura tersebut. Perkenalannya dengan orang-orang baru dengan berbagai
latar dan sikap yang unik membuatnya dia mengenal lebih banyak kepribadian
individu. Namun dari sana dia malah menyadari sesuatu yang lebih berharga. Betapa pentingnya rasa syukur tertanam pada
diri, agar kita tidak mudah goyah dan gampang putus asa. Betapa pentingnya kejujuran dan saling memaafkan,
agar kesalahpahaman tidak berujung lama.
Tidak ketinggalan selalu berhati-hati ketika
berbicara atau bertindak, karena ketergesaan hanya akan membuat kita rugi
bahkan menyesal. “Bersenyap-senyoalah ketika memulai. Bersunyi-sunyi ketika
melangkah. Berhati-hatilah ketika berbicara dan bertindak.” (hal 342).
Secara keseluruhan, novel ini cukup menghibur dan
memberi banyak pembelajaran hidup. Namun ada kalanya di beberapa bagian saya
merasa novel ini sedikit
membingungkan—apalagi jika menyangkut tentang kosa kata Jepang yang
menurut saya lebih baik diberi cacatan kaki secara langsung. Meski ada Glosarium, di akhir naskah, tapi
keterangan di bawah itu lebih terasa praktis. Lepas dari kekurangannya, novel
ini cukup menghibur.
Srobyong, 24 Desember 2017
No comments:
Post a Comment