Saturday, 14 April 2018

[Resensi] Polaris; Sebuah Pijakan untuk Menemukan Poros Kehidupan

Dimuat di Kabar Madura, Rabu 4 April 2018 



Judul               : Polaris Fukuoka
Penulis             : Sinta Yudisia
Penerbit           : Pastel Books
Cetakan           : Pertama, Oktober 2017
Tebal               : 384 halaman
ISBN               : 978-602-6716-10-1
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama Jepara

“Konon katanya polaris itu selalu  bersinar terang, menjadi pemandu dan menunggu kita di satu titik. Tidak berpindah-pindah ke arah langit yang lain.”  (hal 340).

Tidak seperti kebanyakan novel yang  beredar—yang lebih sering membahas masalah percintaan—maka tidak dengan novel ini. Dengan tutur bahasa yang lembut, Sinta Yudisia hadir memperkenalkan kisah Sofia yang tengah berjuang menemukan poros kehidupannya.  Bagaimana dia mengenal tentang dirinya sendiri juga laku orang-orang disekitarnya.  Novel ini bisa dibilang adalah runtutan kehidupan Sofia yang memutuskan melanjutkan  kuliah di Jepang, setelah kehilangan sang ibu juga dilema karena sejak awal tak pernah mengenal ayahnya.

“Hidup itu seperti  rangkain red dost titik-titik merah yang saling berhubung. Kadang kita tidak akan tahu mengapa titik titik itu ada. Namun, ketika polanya sudah terbentuk dalam sejarah hidup ini, barulah kita sadari mengapa titik-titik itu perlu muncul di hari-hari yang lampau.” (hal 30-31).

Sofia menyadari  ketika dia memutuskan tinggal di Jepang, maka dia harus siap beradaptasi dengan lingkungan baru yang pastinya tidak mudah. Mengingat Jepang dan Indonesia, meski sama-sama di benua Asia, namun juga memiliki latar adat dan budaya yang berbeda. Inilah tantangan yang harus ditaklukkan Sofia.

Selama di Jepang, selain kuliah, Sofia juga membantu pamannya untuk mengurus toko bunga. Di sinilah  asal muasal pertemuan Sofia dengan Isao—salah satu pemasok barang di toko pamannya, yang pada awalnya dia kira bisu dan tulis karena Isao sangat pelit berkata-kata. Sampai suatu ketika dia mendengar laki-laki Jepang itu menyenandungkan lagu Fukai Mori (hal 12).  Dan sejak itu pertemuan mereka yang awalnya hanya saling diam, kemudian saling menyapa ala kadarnya.

Namun yang mengejutkan setelah kejadian itu, Isao malah tidak pernah terlihat lagi.  Yang ada kemudian hanyalah undangan pemakaman dari Isao yang dibawa Tatsuo. Di sinilah awal semua bermula. Rasa penasaran Sofia terhadap misteri di balik kematian Isao. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Isao memilih bunuh diri? Apakah dia telah kehilangan poros hidupnya hingga memilih kematian?

Dari Nozomi—adik Isao, Sofia mengenal lebih dalam tentang sosok yang pernah dikenalnya itu.  Dia tidak pernah menyangka di balik kehidupan keluarga yang sukses,  tersimpan luka yang begitu dalam.  Memikirkan hal itu Sofia jadi teringat dengan dirinya sendiri. Tentang  kehidupannya yang bisa dibilang tidak sempurna, namun berusaha dia syukuri.  Kadang Sofia memang sedih, setiap kali melihat teman-temannya memiliki keluarga lengkap, sedang dia hanya berdua dengan sang ibu. Tapi dia kemudian menyadari, mungkin ketentuan Tuhan-lah dia ditakdirkan hanya tinggal dengan ibunya.
Selain berurusan dengan masalah Isao, Sofia juga harus menghadapi berbagai kegiatan kuliah yang bisa dibilang tidak mudah. Banyak hal yang harus dia kerjakan untuk mendapat nilai baik.  Selain itu dia juga harus menghadapi masalah keluarganya sendiri—khusunya masalah paman dengan tante dan neneknya.  Sofia tidak pernah tahu kenapa pamannya memilih tinggal di Jepang dan tidak pernah kembali ke Indonesia.

Berbagai kejadian tumpang tindih menyapa Sofia di negeri sakura tersebut. Perkenalannya dengan orang-orang baru dengan berbagai latar dan sikap yang unik membuatnya dia mengenal lebih banyak kepribadian individu. Namun dari sana dia malah menyadari sesuatu yang lebih berharga.  Betapa pentingnya rasa syukur tertanam pada diri, agar kita tidak mudah goyah dan gampang putus asa.  Betapa pentingnya kejujuran dan saling memaafkan, agar kesalahpahaman tidak berujung lama.

Tidak ketinggalan selalu berhati-hati ketika berbicara atau bertindak, karena ketergesaan hanya akan membuat kita rugi bahkan menyesal. “Bersenyap-senyoalah ketika memulai. Bersunyi-sunyi ketika melangkah. Berhati-hatilah ketika berbicara dan bertindak.” (hal 342).

Secara keseluruhan, novel ini cukup menghibur dan memberi banyak pembelajaran hidup. Namun ada kalanya di beberapa bagian saya merasa novel ini sedikit  membingungkan—apalagi jika menyangkut tentang kosa kata Jepang yang menurut saya lebih baik diberi cacatan kaki secara langsung.  Meski ada Glosarium, di akhir naskah, tapi keterangan di bawah itu lebih terasa praktis. Lepas dari kekurangannya, novel ini cukup menghibur.

Srobyong, 24 Desember 2017 

No comments:

Post a Comment