Judul : Rumah Hujan
Penulis : Dewi Ria Utari
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, Mei 2016
Halaman : 256 hlm
ISBN : 978-602-03-2899-7
Peresensi : Ratnani Latifah. Penikmat buku dan
penyuka literasi alumni Unisnu. Jepara
Rumah hujan merupakan rumah joglo yang kokoh dan kuat. Dibangun dengan harapan bisa melindungi jiwa-jiwa yang
bernaung di dalamnya. Jiwa-jiwa yang membutuhkan perlindungan dan penghiburan.
Bahkan dalam pembangunan rumah ini, pemilik memilih bahan yang terbaik—campuran
dua kayu jati bertuang; uger-uger dan pandawa. Ada filosofi tersendiri kenapa
rumah hujan di bangun dengan kayu jati uger-uger—yaitu agar penghuninya selalu
hidup damai. Dan kenapa memilih kayu jati pandawa agar pemilih rumah selalu berhati
tabah dan teguh (hal. 7-8). Namun ternyata Rumah ini menyimpan sebuah misteri
yang tidak terduga. Entah ada kisah apa di rumah itu.
Novel ini merupakan pengembangan
dari cerpen berjudul sama “Rumah Hujan” yang pernah ditulis penulis dan dimuat
di Koran Kompas. Bahkan menjadi salah satu Cerpen Pilihan Kompas tahun
2005-2006—dengan judul buku Ripin.
Penulis memadukan antara targedi, misteri, romantisme dan berbagai
kejutan.
Mengisahkan tentang Dayu yang
membeli sebuah rumah kayu berbentuk joglo yang sudah lama diidamkannya. Apalagi
rumah itu memiliki desain etnis. Dayu yakin
rumah itu pasti akan membantunya untuk mendapatkan ide dalam berkarya. Rencanya
rumah itu akan dijadikan ruang studio lukis oleh Dayu. Sekaligus tempat untuk
menyepi bersama imajinasi, kenangan, impian, kesedihan, kemarahan serta
mengubur kenangan dari masa lalunya—Cakra—sosok yang sangat dicintainya. (hal.
12)
Di rumah itu, Dayu menemukan kotak
berisi foto-foto hitam putih dari pemilik sebelumnya. Di balik foto itu ada
tulisan Narparti di beranda Rumah Hujan. Anehnya setalah melihat foto itu, Dayu
merasa cemas dan melihat bayangan melintas di jendela dapur. Tidak hanya itu,
Dayu bahkan bermimpi tentang Narpati—hantu yang bersemanyam di rumah hujan. Dan mimpi itu datang setiap malam selama
seminggu. Dalam seminggu itu pula Dayu merasakan tubuhnya sangat lemas setelah
bangun tidur.
Karena terus diteror mimpi aneh itu,
Dayu mencoba menghubungi Kinan—kakak kelasnya yang mengetahui tentang hal-hal
mistis. Dan betapa kagetnya Dayu ketika
Kinan mengatakan apa yang sebenarnya tengah terjadi padanya. “Kamu itu
sebenarnya kerasukan. Kamu merasakan apa yang dirasakan orang-orang yang ada di
mimpimu.” Itulah yang Kinan katakan. (hal. 41)
Entah bagaimana Dayu bisa memiliki
kekuatan semacam itu—merasakan kehadiran sosok dan energi yang tidak kasat
mata. Pada awalnya Dayu memang agak terganggu. Namun entah kenapa perlahan dia
mulai menikmati keberadaan sosok tidak kasat mata itu. Apalagi karena kekuatan
itu, Dayu bisa menguak misteri tentang alasan kenapa ibunya sejak kecil
terlihat tidak menginginkan keberadaanya.
Lalu di hari ke 40 Dayu sangat ingin
melukis foto-foto Narpati. Tapi siapa sangka dari gambar itu awal mala petaka
terjadi. Pertemuannya dengan Narpati membawa Dayu pada kisah-kisah gelap yang
tidak pernah Dayu sangka. Belum lagi kisah itu juga memiliki sangkut pautnya
dengan sosok yang pernah dicintainya di masa lalu—Cakra. Orang yang sempat
memberi warna dalam dunia Dayu, juga memberi luka yang mengaga. Dayu berada
pada pesimpangan jalan. Antara memilih mengikuti keinginan Narpati atau
menyelamatkan Cakra. (hal. 197)
Novel ini memiliki kekurangan yang
cukup fatal. Banyak sekali typo yang bertebaran sehingga membuat kurang nyaman
ketika membaca. Belum lagi ada ketidaksinkronan dalam menyebutkan nama tokoh.
Lepas dari itu novel ini memiliki
kelebihan dalam gaya penceritaan. Diceritakan dengan gaya bahasa yang renyah
dan mengalir. Penulis pandai mengiring pembaca dengan sangat hati-hati sampai
menyelesaikan akhir kisah ini. Porsi antara misteri dan romance pun cukup
seimbang. Sehingga ketika membaca ini akan hadir rasa manis juga ketegangan dan
rasa penasaran untuk menyelesaikan puzzle-puzzle misteri yang ada.
Selain novel ini, penulis juga
membubuhkan tambahan beberapa cerpennya yang pernah dipublikasikan di media
nasional. Seperti Liang Liu, Pohon Mati dan lain-lain.
Membaca novel ini mengajarkan kita
untuk tidak memelihara dendam. Karena dendam hanya akan membawa kita pada jalan
yang salah.
Srobyong, 6 Oktober 2016
Novel ini pasti berasa menyeramkan. Ih, saya baca reviewnya aja ikut merinding.. Rumah aslinya kayak gimana ya/
ReplyDeleteKetika membaca novel ini aku membayangkan rumah ini joglo tua dan pastinya terlihat sintru, hehhh
DeleteUntuk ukuran seram, lumayan Mas. Kaget dan cukup tegang
jadi merinding nih baca reviewnya....
ReplyDeleteTerima kasih sudah mampir membaca, Iya novelnya ini cukup membuat merinding
Delete