Wednesday 25 April 2018

[Resensi] Perjuangan Kartini Menyetarakan Kedudukan Wanita

Dimuat di Koran Jakarta, Sabtu-Minggu, 21-22 April 2018 


Judul                : Kartini
Penulis              : Abidah El Khalieqy
Penerbit            : Noura Books
Cetakan           : Pertama, April 2017
Tebal                : 376 halaman
ISBN               : 978-602-385-280-2
Peresensi          : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Nama R.A Kartini pastinya sudah tidak asing di telinga kita. Dia merupakan salah satu pahlawan wanita yang memiliki sumbangsih pada Indonesia—khususnya dalam mematahkan tradisi lama—tentang pingitan dan berbagai tradisi yang diwajibkan kepada wanita Jawa. Di mana fokus Kartini adalah untuk menyamaratakan hak kaum wanita dan laki-laki dalam memperoleh pendidikan.  Oleh karena itu untuk menghargai jasanya, tanggal 21 April yang merupaka hari lahir Kartini diperingati sebagai “Hari Kartini”.

Sejak Kecil Kartini sudah menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Dia memiliki ingatan yang kuat juga hafalan yang hebat. Hal itulah yang membuat ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat—Bupati Jepara sangat menyayangi Kartini. Jika kebanyakan anak sesuainya selalu sendika dawuh—atau manut, tidak dengan Kartini. Dengn kecerdasannya dia bisa menilai apa yang patut dia lakukan dan tidak.

Kartini  merasa tidak adil dan tidak setuju dengan adat tradisi di keluarga bangsawan. Di mana dia harus memanggil ibunya sendiri—Ngasirah dengan sebutan Yu, karena sang ibu bukan keturunan bangsawan. Dia hanya boleh memanggil ibu, pada istri kedua ayahnya yang berdarah bangsawan.

Dia  pun  tidak suka dengan gelar Raden Ayu yang membuatnya berbeda dari perempuan pribumi. “Bukankah kami sama-sama perempuan. Sama-sama manusia juga.  Mengapa ada perbedaaan? Siapa yang membuat perbedaan itu?” (hal 57). Kartini juga tidak terlalu suka dengan tradisi yang mengharuskan wanita untuk masuk pingitan. Dia beranggapan bahwa masa pingitan sama dengan telah dijajah dalam berbagai aturan. Yang paling membuat Kartini murka adalah aturan bahwa perempuan tidak boleh mendapat pendidikan. Bagaimana kebodohan bisa hilang jika rakyat tidak mendapat ilmu pengetahuan. Apakah salah jika seorang perempuan itu pintar?

Di sinilah Kartini mulai berontak. Meski dia tetap berada dalam pingitan, Kartini tetap melakukan berbagai upaya agar pendapatnnya di dengar. Dengan bantuan Kartono—kakak Kartini satu ibu yang memang paling dekat dan satu pikiran dengannya, bersedia membantu dengan meminjamkan banyak buku untuk dijadikan bacaan Kartini ketika dalam masa pingitan.  “Kemerdekaan memang harus dimulai dengan pikiran.” (hal 89).

Buku-buku itu kemudian menjadi inspirasi Kartini. Dia harus berjuang dan menyuarakan isi hatinya melalui tulisan. “Tubuh kita boleh saja dikurung tatatan, tapi kita harus berdaulat atas imajinasi kita.” (hal 103).  Berkat bantuan   Nyonya Ovink-Soer dan Rosa Abendanon—salah satu teman korespondesinya dari Belanda,  jalan yang diinginkan Kartini mulai terbuka lebar. Bersama Kardinah dan Rukmini yang memiliki pemikiran yang sama, mereka bertiga berusaha menaklukkan tradisi lama.

Namun ternyata perjuangan mereka tidaklah mudah. Belum lagi, Slamet dan Busono—kakak kandung Kartini ini sangat menentang usaha Kartini. Berbagai upaya dilakukan mereka untuk memojokkan Kartini. Ada pula ibu angkat—Raden Ajeng Moerjam, juga paman-pamannya dari pihak ayahnya yang tidak kalah berang kepadanya. Kartini dan ayahnya dianggap telah menyalahi adat dan mempermalukan keluarga bangsawan.

Di sini Kartini akhirnya harus menyerah pada takdirnya sebagai seorang perempuan. dia menerima lamaran dari Bupati Rembang—Raden Mas Singgih Joyo Adiningrat. Tapi ternyata pernikahan tidak membuat Kartini menyerah. Dia tetap berusaha untuk menyamakan hak perempuan dan laki-kali. Dengan bantuan suaminya, Kartini malah berhasil menuntaskan mimpinya. Dia berhasil membangun sebuah sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang.

Kartni semakin mantap dengan perjuangannya dalam menyamaratakan hak perempuan dalam memperoleh pendidikan ketika dia bertemu Kiai Sholeh Darat, yang  menerangkan bahwa masalah pendidikan memang diwajibkan bagi setiap umat, baik laki-laki dan perempuan. hal itu sesuai dengan terjamah dari surat Al-Mujadalah. (hal 260).  Selain memperjuangkan kesamaan hak, Kartini juga berjasa dalam mengenalkan batik dan ukiran Jawa.

Dipaparkan dengan menarik dan memikat, novel garapan Abidah El Khalieqy ini patut sekali dinikmati. Di sini kita diajak mengenal sejarah Kartini dengan napas berbeda. Apalagi novel ini digarap berdasarkan skenarion garapan Hanung Bramantyo.  Beberapa kekurangan seperti bagian Rukmini yang tiba-tiba menghilang dan kurangnya pemaran tentang tokoh Kartono, tidak mengurangi keseruan cerita. Kisah Kartini ini mengingatkan kita untuk tidak mudah menyerah dalam meraih cita-cita, juga tentang kebepudian pada sesama dan nasionalisme.

Srobyong, 21 Oktober 2017 

No comments:

Post a Comment