Dimuat di Koran Jakarta, Sabtu-Minggu, 21-22 April 2018
Judul : Kartini
Penulis : Abidah El Khalieqy
Penerbit : Noura Books
Cetakan : Pertama, April 2017
Tebal : 376 halaman
ISBN :
978-602-385-280-2
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul
Ulama, Jepara
Nama R.A Kartini pastinya sudah
tidak asing di telinga kita. Dia merupakan salah satu pahlawan wanita yang
memiliki sumbangsih pada Indonesia—khususnya dalam mematahkan tradisi lama—tentang
pingitan dan berbagai tradisi yang diwajibkan kepada wanita Jawa. Di mana fokus
Kartini adalah untuk menyamaratakan hak kaum wanita dan laki-laki dalam
memperoleh pendidikan. Oleh karena itu
untuk menghargai jasanya, tanggal 21 April yang merupaka hari lahir Kartini
diperingati sebagai “Hari Kartini”.
Sejak Kecil Kartini sudah
menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Dia memiliki ingatan yang kuat juga
hafalan yang hebat. Hal itulah yang membuat ayahnya, Raden Mas Adipati Ario
Sosroningrat—Bupati Jepara sangat menyayangi Kartini. Jika kebanyakan anak
sesuainya selalu sendika dawuh—atau manut, tidak dengan Kartini. Dengn
kecerdasannya dia bisa menilai apa yang patut dia lakukan dan tidak.
Kartini merasa tidak adil dan tidak setuju dengan adat
tradisi di keluarga bangsawan. Di mana dia harus memanggil ibunya
sendiri—Ngasirah dengan sebutan Yu, karena sang ibu bukan keturunan bangsawan.
Dia hanya boleh memanggil ibu, pada istri kedua ayahnya yang berdarah
bangsawan.
Dia pun tidak suka dengan gelar Raden Ayu yang
membuatnya berbeda dari perempuan pribumi. “Bukankah kami sama-sama
perempuan. Sama-sama manusia juga.
Mengapa ada perbedaaan? Siapa yang membuat perbedaan itu?” (hal 57).
Kartini juga tidak terlalu suka dengan tradisi yang mengharuskan wanita untuk
masuk pingitan. Dia beranggapan bahwa masa pingitan sama dengan telah dijajah
dalam berbagai aturan. Yang paling membuat Kartini murka adalah aturan bahwa
perempuan tidak boleh mendapat pendidikan. Bagaimana kebodohan bisa hilang jika
rakyat tidak mendapat ilmu pengetahuan. Apakah salah jika seorang perempuan itu
pintar?
Di sinilah Kartini mulai berontak.
Meski dia tetap berada dalam pingitan, Kartini tetap melakukan berbagai upaya
agar pendapatnnya di dengar. Dengan bantuan Kartono—kakak Kartini satu ibu yang
memang paling dekat dan satu pikiran dengannya, bersedia membantu dengan
meminjamkan banyak buku untuk dijadikan bacaan Kartini ketika dalam masa
pingitan. “Kemerdekaan memang harus
dimulai dengan pikiran.” (hal 89).
Buku-buku itu kemudian menjadi
inspirasi Kartini. Dia harus berjuang dan menyuarakan isi hatinya melalui
tulisan. “Tubuh kita boleh saja dikurung tatatan, tapi kita harus berdaulat
atas imajinasi kita.” (hal 103).
Berkat bantuan Nyonya Ovink-Soer
dan Rosa Abendanon—salah satu teman korespondesinya dari Belanda, jalan yang diinginkan Kartini mulai terbuka
lebar. Bersama Kardinah dan Rukmini yang memiliki pemikiran yang sama, mereka
bertiga berusaha menaklukkan tradisi lama.
Namun ternyata perjuangan mereka
tidaklah mudah. Belum lagi, Slamet dan Busono—kakak kandung Kartini ini sangat
menentang usaha Kartini. Berbagai upaya dilakukan mereka untuk memojokkan
Kartini. Ada pula ibu angkat—Raden Ajeng Moerjam, juga paman-pamannya dari
pihak ayahnya yang tidak kalah berang kepadanya. Kartini dan ayahnya dianggap
telah menyalahi adat dan mempermalukan keluarga bangsawan.
Di sini Kartini akhirnya harus
menyerah pada takdirnya sebagai seorang perempuan. dia menerima lamaran dari
Bupati Rembang—Raden Mas Singgih Joyo Adiningrat. Tapi ternyata pernikahan
tidak membuat Kartini menyerah. Dia tetap berusaha untuk menyamakan hak
perempuan dan laki-kali. Dengan bantuan suaminya, Kartini malah berhasil
menuntaskan mimpinya. Dia berhasil membangun sebuah sekolah wanita di sebelah
timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang.
Kartni semakin mantap dengan
perjuangannya dalam menyamaratakan hak perempuan dalam memperoleh pendidikan
ketika dia bertemu Kiai Sholeh Darat, yang
menerangkan bahwa masalah pendidikan memang diwajibkan bagi setiap umat,
baik laki-laki dan perempuan. hal itu sesuai dengan terjamah dari surat
Al-Mujadalah. (hal 260). Selain
memperjuangkan kesamaan hak, Kartini juga berjasa dalam mengenalkan batik dan
ukiran Jawa.
Dipaparkan dengan menarik dan
memikat, novel garapan Abidah El Khalieqy ini patut sekali dinikmati. Di sini
kita diajak mengenal sejarah Kartini dengan napas berbeda. Apalagi novel ini
digarap berdasarkan skenarion garapan Hanung Bramantyo. Beberapa kekurangan seperti bagian Rukmini
yang tiba-tiba menghilang dan kurangnya pemaran tentang tokoh Kartono, tidak
mengurangi keseruan cerita. Kisah Kartini ini mengingatkan kita untuk tidak
mudah menyerah dalam meraih cita-cita, juga tentang kebepudian pada sesama dan
nasionalisme.
Srobyong, 21 Oktober 2017
No comments:
Post a Comment