Dimuat di Jateng Pos, Minggu 23 Juli 2017
Judul : No Place Like Home
Penulis : Alma Aridatha
Penerbit : Penerbit Ikon
Cetakan : Pertama, April 2017
Tebal : 290 halaman
ISBN :
978-602-74653-7-4
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama
Jepara.
Memiliki keluarga yang utuh dan harmonis adalah harapan setiap anak.
Karena dengan begitu, kasih sayang yang didapatkan
akan terasa lebih lengkap. Oleh karena itu sudah semestinya sebagai orangtua
dan atau calon orangtua, harus memikirkan
dampak yang akan terjadi sebelum mengambil sebuah keputusan. Jangan karena ego
yang tinggi, hal itu malah menjadi bumerang—membuat anak sedih dan kecewa.
Novel ini mengambil teman keluarga broken
home yang dibalut dengan renyah dan gurih.
Kisah berpusat pada tokoh Ganda yang merasa bimbang. Di usianya yang ke
sepuluh, dia akhirnya mengetahui siapa ayah kandungnya—Gio. Namun di sanalah
masalahnya. Sejak kecil Ganda yang sudah dekat
dan nyaman dengan ayah tirinya—Dhimas. Ganda merasa tidak memerlukan keberadaan Gio. Sampai sebuah kejadian membuat Ganda berubah.
Setelah lulus sekolah menengah
pertama, Ganda memutuskan ingin tinggal bersama ayahnya. Dia akan bersekolah
SMA di Jakarta. Hal itu tentu saja membuat ibunya—Tara bingung dan merasa tidak
rela. Namun begitu, dia mencoba memahami pilihan putranya (hal 8-9). Maka kehidupan baru Ganda pun di mulai. Jika
di Bandung dia akan bersama Tara, Dhimas dan Juna, adiknya, di Jakarta dia
harus beradaptasi dengan keluarga Gio. Di sana Gio sudah memiliki istri bernama
Jess dan dua anak.
Ganda sadar, jika sebagian orang
harus tumbuh tanpa orangtua, dia malah memiliki dua ayah dan dua ibu. Sebuah
kenyataan yang harus disyukuri bukan? Namun pada kenyataannya anugerah itu juga
menjadi kesedihan bagi Ganda. Entah mengapa dia tidak merasakan arti sebuah
keluarga yang dia inginkan. Sebuah keluarga yang hangat dan mengayominya. Ganda
ingin tinggal di rumah yang memberinya kedamaiaan dan kenyamanan.
Sayangnya semua itu hanya harapan.
Ganda sadar baik ayah dan ibunya itu memiliki kesamaan. Mereka selalu merasa cukup memberinya
fasilitas dan materi yang melimpah, maka dia akan bahagia. Padahal anggapan itu
salah. “Ganda tidak menginginkan sepeda gunung mahal atau motor sport
terbaru atau rekening yang penuh dengan nominal angka. Dia hanya ingin lebih
diperhatikan. Apakah keinginannya terlalu berlebihan?” (hal 15).
Dan kesedihan Ganda semakin penuh,
ketika menyadari bahwa keberadaannya selalu menjadi alasan untuk disakit—dia
selalu disalahkan pada perbuatan yang tidak pernah dilakukan. Dia marah dan
terluka. Kenapa masa lalu orangtuanya harus dilimpahkaan padanya? Bukankah dia
hanya seoranag korban dari kesalahan dan keegoisan orangtuanya?
Kenyataan tentang masalah keluarga
yang rumit, sedikit banyak membawa dampak banyak bagi Ganda. Hal itu bisa
dilihat dari sikap atau tingkahnya. Dia memilih diam dan memendam semuanya
sendiri. Dia menjauh, menutup diri dan malas bersosialisasi. Sampai sebuah
kejadian dalam masa orientasi siswa membuat Ganda mengenal Nadya. Gadis itu
sangat rame dan bersemangat.
Nadya membawa suasanaa baru dalaam
hari-hari Ganda. Sampai kemudian Ganda tahu di balik senyum Nadya gadis itu
memiliki kisah yang tidak kalah pilu dari dirinya. Hanya saja Nadya berani
menghadapinya. Di sini Ganda belajar
banyak dari Nadya tentang arti memafkan.
Meminta
maaf itu gampang. Memberi maaf itu sedikit lebih sulit, tapi masih bisa
dilakukan. Namun, melupakan semua kejadian itu yang mustahil (hal 115).
Selain mengusung tema keluarga,
tentu saja ada kisah manis khas remaja. Tentang persahabatan, cinta, patah hati dan salah paham. Semua
diramu dengan cukup menarik. Sehingga kisahnya tidak monoton dan membosankan. Penulis pandai dalam mengeksekusi alur maju
mundur.
Hanya saja di balik keunggulannya,
dalam novel ini masih ditemukan beberapa salah tulis dan tulisan kurang
jelas. Namun lepas dari kekuranganya,
novel ini patut dibaca. Di sini kita dapat belajar bahwa dalam mendidik anak
bukan hanya materi yang diutamakan, namun juga kasih sayang dan pendidikan
langsung dari orangtua yang merupakan madrasah pertama. Menarik.
Srobyong, 10 Juni 2017
No comments:
Post a Comment