Monday, 17 July 2017

[Resensi] Mengemas Luka dan Kesedihan Perempuan dalam Cerita

Dimuat di Harian Bhirawa, Jumat 14 Juli 2017

Judul               : Suatu Pagi di Dermaga
Penulis             : Khairani Piliang
Penerbit           : LovRinz Publishing
Cetakan           : Pertama, Mei 2017
Tebal               : viii + 170 halaman
ISBN               : 978-602-6652-25-6
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara


Perempuan dan cinta tidak pernah surut untuk dibicarakan. Karena keduanya saling terikat dalam benang merah. Memberi rasa kasih, menggembirakan namun tak luput menyisakan getir dan sakit jika tak dirawat dengan baik.  Buku ini dengan gaya tutur kata yang sederhana,  penulis  mencoba mengekplore kisah-kisah yang dipenuhi kegetiran, kepedikan akibat berbagai masalah hidup—ada keluarga, cinta—yang saling tubruk akibat pengkhianatan juga kemarahan. Terdiri dari 24 cerita, kita akan disuguhi kisah yang tidak biasa.

Sebut saja cerpen berjudul “Suatu Pagi di Dermaga” jika ditilik lebih saksama, cerpen ini mengungkapkan kisah yang akan sering kita jumpai. Namun karena diekseskusi dengan berbeda, membuat cerpen ini terasa dalam. Di mana di sini mengisahkan kisah cinta antara Randu dan Lintang yang ternyata sudah mulai tertanam ketika mereka remaja. Namun karena suatu hal mereka tidak bisa bersama. Hingga akhirnya Randu memutuskan pergi agar bisa merengkuh Lintang.

Lintang meski sedih, tetap mencoba mengikhlaskan. Mungkin itu adalah jalan terbaik untuk hubungan mereka. dan dengan penuh kesetiaan Lintang tetap menunggu kedatangan Randu. Sampai sebuah kabar tidak terduga diketahui Lintang di sebuah pagi di dermaga. Entah apa yang terjadi dengan Randu ... tapi pastinya ada kegetiran juga luka mengaga di hati Lintang (hal 19).

Ada juga kisah berjudul “Pinokio” menilik judul ini pasti kita tidak asing dengan dongeng masa kecil yang kerep kita dengar. Namun dalam buku ini, dengan kelihaiannya penulis yang saya pikir memang terinspirasi dari tokoh masa kecil itu, bisa menerapkannya menjadi sebuah cerpen yang menarik dan memikat (hal 43).

Dikisahkan pinokio dirawat seorang tukang kayu yang sudah tua. Pada awalnya Pinokio hidup bahagia bersama ayahnya itu—si tukang kayu dan ibu—istri pertama tukang kayu. Sampai kemudian sang ibu meninggal, dan ayahnya memilih menikah lagi dengan seorang perempuan cantik namun masih berusia belasan tahun. Awalnya Pinokio sempat kagum dengan kecantikan perempuan itu, sampai sebuah pemandangan mengerikan membuat Pinokio berubah total dan melakukan sebuah tindakan nekat.

Tidak kalah menarik adalah kisah “Gaun Merah” diawali dengan alenia pembuka yang mendebarkan, kita akan digiring pada sebuah kisah yang tidak terduga. Di mana Isabella, tokoh dalam kisah ini tiba-tiba mendapati sebuah mimpi aneh tentang sosok wanita yang mirip dengan dirinya.  Wanita itu memakai gaun merah, dengan keadaan mengenaskan karena ulah seorang laki-laki—yang  anehnya memakai pakaian di zaman Belanda, dan  mencoba memerkosa si wanita.

Awalnya Bella tidak berani menceritakan kisah itu, karena takutnya dibilang gila. Tapi akhirnya dia menceritakan mimpi itu kepada sahabatnya, Ben. Bertepatan dengan itu Bella tiba-tiba menemukan gaun merah di kamarnya dan bertemu dengan sosok laki-laki yang membuat jantung Bella berdetak lebih cepat dari biasanya. Apakah mimpi itu akan menjadi kenyataan dengan korbannya adalah dirinya sendiri?

Selain tiga cerpen ini, tentu saja masih banyak kisah lain yang menarik dan menghibur. Seperti ; Lelaki Gerhana, Patung Tangan, Serena, Malam yang Ungu, Sepotong Masa Lalu dan banyak lagi. Semua dipaparkan dengan gaya bahasa sederhana yang mudah dipahami. Hanya saja masih ada beberapa kekurangan dalam buku ini.  Seperti tidak konsisten dalam memanggil tokoh (hal 39–41), juga beberapa ending yang bagi saya cukup mudah ditebak.

Namun lepas dari kekurangannya, buku ini tetap asyik untuk dibaca, karena penulis berani memaparkan kisah-kisah yang berbeda dari penulis lainnya. Tidak ketinggalan adalah tentang renungan yang bisa kita rengkuh setelah membaca buku ini. Di antaranya, “Memaafkan adalah kemuliaan, apalagi  untuk darah daging yang mengikat selamanya” (hal 102).

Srobyong, 1 Juli 2017 


3 comments: