Tuesday, 11 July 2017

[Resensi] Kisah Cinta dari Tembok Pesantren

Dimuat di Tribun Jateng, Minggu 4 Juni 2017 

Judul               : Habibie Ya Nour El Ain
Penulis             :  Maya Lestari GF
Penerbit           : Dar Mizan
Cetakan           : Pertama, Desember 2016
Tebal               : 240 hlm
ISBN               : 978-602-420-298-9
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

Novel ini mencoba memperlihatkan protret kehidupan dunia pesantren yang sampai saat ini masih sering dinilai sebagai tempat yang penuh aturan, seperti penjara yang selalu terkurung dalam sangkar. Di mana para santri harus tidur tepat waktu, bangun pada sepertiga malam untuk sahalat malam dan ikut berjamaah subuh. Kalau melanggar peraturan, para santri akan mendapat takziran atau hukuman, bahkan tidak jarang dikeluarkan.

Padahal di balik ketatnya peraturan pesantren, banyak manfaat yang akan dipetik kemudian.  Perlu digaris bawahi, bahwa sejatinya, pesantren adalah tempat belajar yang menyenangkan dan penuh rasa persaudaraan dan kekeluargaan. Kehidupan di pesantren mendidik para santri untuk menjadi pribadi yang disiplin dan memiliki tanggungjawab. Nilai-nilai akhlak dan moral pun dikenalkan dengan baik sebagai bekal ketika terjun di dalam masyarakat.

Kisah dimulai dengan kedatangan Barra yang dihukum kepala sekolahnya untuk mondok selama dua minggu,  di Pesantren Nurul Ilmi, untuk merenungkan kesalahannya.  Barra adalah murid nakal yang suka membangkang pada guru bahkan berkata dia tidak percaya kalau Tuhan itu ada akibat masa lalunya yang kelam (hal 44).

Ketika sampai di pesantren, Barra merasa tidak betah, karena banyak aturan yang harus dia lakukan. Dia merasa tidak terbiasa.  Bahkan Barra sempat berusaha kabur. Tapi yang mengejutkan, meski dia pernah melakukan kesalahan, para santri  tetap memperlakukannya dengan baik—tidak menghakimi atau menjauhinya. Mereka menerima Barra apa adanya. Berbeda jika di lingkungan sekolahnya sudah pasti Barra akan dihujat dan dijauhi.  (hal 63).

Begitu pula dengan sikap para guru. Mereka mengajak Barra melakukan kegiatan-kegiatan yang sederhana yang entah kenapa malah sangat menyentuhnya. Tidak ketinggalan adalah Buya—pemimpin pesantren yang selalu arif dan bijaksana, mengajarkan hal-hal yang tidak pernah Barra temukan di tempat lain.  Di pesantren Barra merasa diperlakukan sebagai manusia.  Tidak ketinggalan  Barra menemukan cinta yang tidak terduga. Pertemuan tanpa sengaja dengan Nilam, membuat Barra berdebar.  Tapi beranikah dia mengejar cinta itu jika dia merasa tidak pantas mencinta Nilam yang merupakan putri Buya? Lalu bagaimana dia menghalau rasa itu?  Belum Lagi Nilam kala itu juga tengah melakukan ta’aruf dengan laki-laki pilihan keluarga.

Novel ini sangat sarat makna. Banyak nasihat inspiratif yang bisa dipetik pembelajaran. Dia nataranya tentang potret kehidupan di pesantren, bagaimana menjaga hati yang baik sesuai anjuran agama, berjuang melepas masa lalu dan usaha berubah menjadi pribadi yang lebih baik.

 Dipaparkan dengan gaya bahasa yang lugas dan renyah. Baik alur, pemilihan pov juga latar cerita sudah digarap dengan porsi yang pas. Meski masih ditemukan beberapa kesalahan, tidak mengurangi kenikmatan dalam membaca buku ini yang memang sudah memikat sejak bab pertama.

Dalam kisah ini kita diajarkan untuk selalu menebar kebaikan. “Hidup adalah refleksi diri kita. Apa yang kamu keluarkan untuk dunia, itulah yang akan dipantulkan balik kepadamu. Kamulah yang memilih, akankah memberi kebaikan atau keburukan.” (hal 16).  Juga sikap welas asih dalam metode pendidikan.

Srobyong, 25 Februari 2017 

No comments:

Post a Comment