Dimuat di Tribun Jateng, Minggu 4 Juni 2017
Judul : Habibie Ya Nour El Ain
Penulis :
Maya Lestari GF
Penerbit : Dar Mizan
Cetakan : Pertama, Desember 2016
Tebal : 240 hlm
ISBN : 978-602-420-298-9
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.
Novel ini mencoba memperlihatkan
protret kehidupan dunia pesantren yang sampai saat ini masih sering dinilai
sebagai tempat yang penuh aturan, seperti penjara yang selalu terkurung dalam
sangkar. Di mana para santri harus tidur tepat waktu, bangun pada sepertiga
malam untuk sahalat malam dan ikut berjamaah subuh. Kalau melanggar peraturan,
para santri akan mendapat takziran atau hukuman, bahkan tidak jarang
dikeluarkan.
Padahal di balik ketatnya peraturan
pesantren, banyak manfaat yang akan dipetik kemudian. Perlu digaris bawahi, bahwa sejatinya,
pesantren adalah tempat belajar yang menyenangkan dan penuh rasa persaudaraan
dan kekeluargaan. Kehidupan di pesantren mendidik para santri untuk menjadi
pribadi yang disiplin dan memiliki tanggungjawab. Nilai-nilai akhlak dan moral
pun dikenalkan dengan baik sebagai bekal ketika terjun di dalam masyarakat.
Kisah dimulai dengan kedatangan
Barra yang dihukum kepala sekolahnya untuk mondok selama dua minggu, di Pesantren Nurul Ilmi, untuk merenungkan
kesalahannya. Barra adalah murid nakal
yang suka membangkang pada guru bahkan berkata dia tidak percaya kalau Tuhan
itu ada akibat masa lalunya yang kelam (hal 44).
Ketika sampai di pesantren, Barra
merasa tidak betah, karena banyak aturan yang harus dia lakukan. Dia merasa
tidak terbiasa. Bahkan Barra sempat
berusaha kabur. Tapi yang mengejutkan, meski dia pernah melakukan kesalahan,
para santri tetap memperlakukannya
dengan baik—tidak menghakimi atau menjauhinya. Mereka menerima Barra apa
adanya. Berbeda jika di lingkungan sekolahnya sudah pasti Barra akan dihujat
dan dijauhi. (hal 63).
Begitu pula dengan sikap para guru. Mereka
mengajak Barra melakukan kegiatan-kegiatan yang sederhana yang entah kenapa
malah sangat menyentuhnya. Tidak ketinggalan adalah Buya—pemimpin pesantren yang
selalu arif dan bijaksana, mengajarkan hal-hal yang tidak pernah Barra temukan
di tempat lain. Di pesantren Barra
merasa diperlakukan sebagai manusia.
Tidak ketinggalan Barra menemukan
cinta yang tidak terduga. Pertemuan tanpa sengaja dengan Nilam, membuat Barra
berdebar. Tapi beranikah dia mengejar
cinta itu jika dia merasa tidak pantas mencinta Nilam yang merupakan putri
Buya? Lalu bagaimana dia menghalau rasa itu? Belum Lagi Nilam kala itu juga tengah
melakukan ta’aruf dengan laki-laki pilihan keluarga.
Novel ini sangat sarat makna. Banyak
nasihat inspiratif yang bisa dipetik pembelajaran. Dia nataranya tentang potret
kehidupan di pesantren, bagaimana menjaga hati yang baik sesuai anjuran agama,
berjuang melepas masa lalu dan usaha berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
Dipaparkan dengan gaya bahasa yang lugas dan
renyah. Baik alur, pemilihan pov juga latar cerita sudah digarap dengan porsi
yang pas. Meski masih ditemukan beberapa kesalahan, tidak mengurangi kenikmatan
dalam membaca buku ini yang memang sudah memikat sejak bab pertama.
Dalam kisah ini kita diajarkan untuk
selalu menebar kebaikan. “Hidup adalah refleksi diri kita. Apa yang kamu
keluarkan untuk dunia, itulah yang akan dipantulkan balik kepadamu. Kamulah
yang memilih, akankah memberi kebaikan atau keburukan.” (hal 16). Juga sikap welas asih dalam metode
pendidikan.
Srobyong, 25 Februari 2017
No comments:
Post a Comment