Dimuat di Radar Sampit, Minggu 28 Januari 2018
Judul : Trisula Mentari
Penulis : Shandy Tan
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, 2017
Tebal : 256 halaman
ISBN : 978-602-03-3913-9
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatu Ulama, Jepara.
“Jika ada yang terus memperlakukanmu
dengan buruk, bukan kamu yang bermasalah, melaikan orang itu. Manusia normal
nggak berkeliaran dengan misi menyakiti orang lain.” (hal 117).
Novel ini mengungkap tentang pem-bully-an yang masih sering terjadi
di sekolah. Sebagaimana kita ketahui, bullying adalah upaya penindasan
yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Di mana
penindasan itu biasanya hanya berupa gertakan, tekanan psikologi—dilakukan
dengan mengejek kelemahan dan yang paling parah adalah dengan kekerasan—bisa
dengan dipukul, ditendang dan lain sebagainya.
Hal ini sebagaimana yang terjadi
pada Trisula Mentari. Gadis itu sudah di bully sejak duduk di bangku SMP,
karena dia mempunyai kemampuan clairaudience—mendengar
suara orang yang sudah meninggal dan bisa berbicara dengan mereka (hal
148). Dia dianggap aneh dan nakal. Mengingat Trisula memang tidak pernah takut
dengan pem-bully-an yang dilakukan padanya. Dia selalu berani melawan. Oleh
karena itu, dia semakin diajauhi
teman-temannya.
Selain diajuhi teman-temannya, di
mata guru, Trisula juga dianggap sebagai trouble maker, padahal apa yang
dilakukan Trisula hanya sekadar untuk membela diri dari pem-bully-an
yang dilakukan teman-temannya. Sayangnya, Bu Anita—guru BK Trisula sama sekali
tidak percaya dengan pembelaaannya. Trisula selalu ditekan untuk mengalah dan
tidak menanggapi berbagai keusilan teman-temannya, yang sesungguhnya membuat
Trisula sedih.
“Perbaiki sikapmu, atau kamu
mendapat sanksi berat berupa skors hingga dikeluarkan, dan ibu menyayangkan
jika itu saampai terjadi. Kamu anak
pintar, nilai-nilaimu selama SMP di atas rata-rata. Alangkah senangnya jika nilai bagusmu dilengkapi
kelakukan bagus juga.” (hal 13).
Beruntung Trisula memiliki sahabat
bernama Mikaela yang selalu memahaminya. Lalu suatu hari, ada Alfa murid baru
yang terlihat lebih suka berdekatan dengan Trisula. Alfa menganggap Trisula
adalah pribadi yang unik dan menarik. Karena itu dia senang jika berteman
dengan Trisula, dari pada dengan Kristal, siswi paling cantik di sekolah, juga
yang paling suka mencari masalah dengan Trisula.
Trisula sungguh bingung dengan
situasi itu. Karena selama ini dia sudah terbiasa dijauhi di sekolah. Di satu sisi dia senang bisa
memiliki teman baru. Tapi di sisi lain dia takut, kalau Alfa pada akhirnya akan
takut jika mengetahui siapa Trisula yang sebenarnya. Seoraang siswi yang kerap
dipanggil tukang sihir dan dukun santet, karena kelebihan yang dimiliki. Namun, Mikaela meyakinkan Trisula, bahwa
tidak ada salahnya kali ini dia membuka diri dengan berteman dengan Alfa. “Tidak
ada larangan untuk memiliki teman lebih dari stu orang. Jangan berpikir
negatif.” (hal 63).
Hanya saja saat Trisula sudah mulai
merasa nyaman berteman dengan Alfa, sebuah kejadian tidak terduga terjadi. Saat
dia dan Mikaela bermain di rumah Alfa dan mengunjungi perpustakaan Alfa, di
sana dia mendengar suara roh jahat yang
mengusir mereka. Dan yang lebih parah, roh itu melempar komik-komik di
perpustakaan dua kali (hal 95).
Entah bagaimana Trisula menjelaskan
kejadian itu pada Alfa. Apakah teman barunya itu lebih mempercayainya atau
lebih percaya pada Kristal. Belum lagi di satu sisi, Trisula menyadari ada
bahaya yang amat besar yang berada di rumah Alfa.
Sebuah novel yang cukup menarik.
Novel ini memadukan kisah persahabat remaja dengan misteri dan horor. Dipaparkan dengan cukup lues, membuat kisah
ini asyik dibaca. Hanya saja untuk eksekusi akhir dari novel ini cukup membuat
saya terkejut. Antara suka dan tidak suka. Kemudian soal pem-bully-an,
penulis mencoba menunjukkan bahwa saat ini, perbedaan yang dimiliki seseorang
kerap kali dipandang sebelah mata, dan membuat orang lain memandang rendah.
Padahal seharusnya jika ada perbedaan, kita harus saling menghormati.
Membaca ini membuka cakrawala baru
tentang bagaimana kita harus menghadapi sebuah perbedaan. Selain itu dari novel
ini kita juga diajarkan untuk mensyukuri apa yang sudah digariskan Tuhan untuk
kita. “Kebahagiaan dan perasaan cukup tidak datang dari benda-benda dan
hal-hal duniawi, melainkan dari seberapa mampu kita bersyukur ketika kebutuhan
dasar kita tercukupi.” (hal 49).
Srobyong, 5 Agustus 2017
Awalnya aku baca kyaknya kisah siswi yg berjuang melawan bully taunya ada nuansa horornya jg. Keren nih novel. Bhasany jg ringan.
ReplyDeleteIya gabungan masalah bully dan horor, misteri jadi seru.
Delete🗿
ReplyDelete💀🗿
ReplyDeleteIta itu
Delete