Friday 2 February 2018

[Resensi] Ketika Menjadi Korban Bullying di Sekolah

Dimuat di Radar Sampit, Minggu 28 Januari 2018 

Judul               : Trisula Mentari
Penulis             : Shandy Tan
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, 2017
Tebal               : 256 halaman
ISBN               : 978-602-03-3913-9
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama, Jepara.

“Jika ada yang terus memperlakukanmu dengan buruk, bukan kamu yang bermasalah, melaikan orang itu. Manusia normal nggak berkeliaran dengan misi menyakiti orang lain.” (hal 117).

Novel ini  mengungkap tentang  pem-bully-an yang masih sering terjadi di sekolah. Sebagaimana kita ketahui, bullying adalah upaya penindasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Di mana penindasan itu biasanya hanya berupa gertakan, tekanan psikologi—dilakukan dengan mengejek kelemahan dan yang paling parah adalah dengan kekerasan—bisa dengan dipukul, ditendang dan lain sebagainya.

Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Trisula Mentari. Gadis itu sudah di bully sejak duduk di bangku SMP, karena dia  mempunyai kemampuan clairaudience—mendengar suara orang yang sudah meninggal dan bisa berbicara dengan mereka (hal 148).  Dia dianggap aneh dan nakal.  Mengingat Trisula memang tidak pernah takut dengan pem-bully-an yang dilakukan padanya. Dia selalu berani melawan. Oleh karena itu,  dia semakin diajauhi teman-temannya.

Selain diajuhi teman-temannya, di mata guru, Trisula juga dianggap sebagai trouble maker, padahal apa yang dilakukan Trisula hanya sekadar untuk membela diri dari pem-bully-an yang dilakukan teman-temannya. Sayangnya, Bu Anita—guru BK Trisula sama sekali tidak percaya dengan pembelaaannya. Trisula selalu ditekan untuk mengalah dan tidak menanggapi berbagai keusilan teman-temannya, yang sesungguhnya membuat Trisula sedih.

“Perbaiki sikapmu, atau kamu mendapat sanksi berat berupa skors hingga dikeluarkan, dan ibu menyayangkan jika itu saampai terjadi. Kamu anak  pintar, nilai-nilaimu selama SMP di atas rata-rata. Alangkah  senangnya jika nilai bagusmu dilengkapi kelakukan bagus juga.” (hal 13).

Beruntung Trisula memiliki sahabat bernama Mikaela yang selalu memahaminya. Lalu suatu hari, ada Alfa murid baru yang terlihat lebih suka berdekatan dengan Trisula. Alfa menganggap Trisula adalah pribadi yang unik dan menarik. Karena itu dia senang jika berteman dengan Trisula, dari pada dengan Kristal, siswi paling cantik di sekolah, juga yang paling suka mencari masalah dengan Trisula. 

Trisula sungguh bingung dengan situasi itu. Karena selama ini dia sudah terbiasa dijauhi  di sekolah. Di satu sisi dia senang bisa memiliki teman baru. Tapi di sisi lain dia takut, kalau Alfa pada akhirnya akan takut jika mengetahui siapa Trisula yang sebenarnya. Seoraang siswi yang kerap dipanggil tukang sihir dan dukun santet, karena kelebihan yang dimiliki.   Namun, Mikaela meyakinkan Trisula, bahwa tidak ada salahnya kali ini dia membuka diri dengan berteman dengan Alfa. “Tidak ada larangan untuk memiliki teman lebih dari stu orang. Jangan berpikir negatif.” (hal 63).

Hanya saja saat Trisula sudah mulai merasa nyaman berteman dengan Alfa, sebuah kejadian tidak terduga terjadi. Saat dia dan Mikaela bermain di rumah Alfa dan mengunjungi perpustakaan Alfa, di sana dia mendengar suara roh  jahat yang mengusir mereka. Dan yang lebih parah, roh itu melempar komik-komik di perpustakaan dua kali (hal 95).

Entah bagaimana Trisula menjelaskan kejadian itu pada Alfa. Apakah teman barunya itu lebih mempercayainya atau lebih percaya pada Kristal. Belum lagi di satu sisi, Trisula menyadari ada bahaya yang amat besar yang berada di rumah Alfa.

Sebuah novel yang cukup menarik. Novel ini memadukan kisah persahabat remaja dengan misteri dan horor.  Dipaparkan dengan cukup lues, membuat kisah ini asyik dibaca. Hanya saja untuk eksekusi akhir dari novel ini cukup membuat saya terkejut. Antara suka dan tidak suka. Kemudian soal pem-bully-an, penulis mencoba menunjukkan bahwa saat ini, perbedaan yang dimiliki seseorang kerap kali dipandang sebelah mata, dan membuat orang lain memandang rendah. Padahal seharusnya jika ada perbedaan, kita harus saling menghormati.

Membaca ini membuka cakrawala baru tentang bagaimana kita harus menghadapi sebuah perbedaan. Selain itu dari novel ini kita juga diajarkan untuk mensyukuri apa yang sudah digariskan Tuhan untuk kita. “Kebahagiaan dan perasaan cukup tidak datang dari benda-benda dan hal-hal duniawi, melainkan dari seberapa mampu kita bersyukur ketika kebutuhan dasar kita tercukupi.” (hal 49).

Srobyong, 5 Agustus 2017 

5 comments: