Dimuat di Haluan Padang, Minggu 9 Juli 2017
Judul : Jalan Cinta Buya
Penulis : Haidar Musyafa
Penerbit : Imania
Cetakan : Pertama, Januari 2017
Tebal : xxii + 524 halaman
ISBN :
978-602-7926-32-5
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama,
Jepara
Buya Hamka atau sosok yang memiliki
nama lengkap Abdul Malik Karim Amrullah ini merupakan seorang putra bangsa yang
memiliki banyak prestasi. Selain disebut sebagai ulama, Buya Hamka juga dikenal
sebagai seorang sastrawan, jurnalis, juga politisi. Mengingat kiprahnya memang tidak hanya ikut
terjun dalam dakwah Islam. Namun juga memberi sumbangsi dalam sentuhan sastra
dengan karya-karya yang luar biasa—seperti tafsir Al-Azhar, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Falsafa Hidup dan banyak
lagi. Tidak ketinggalan di tengah
kesibukannya itu, Buya Hamka juga ikut andil dalam usaha meraih kemerdekaan
Indonesia.
Haidar Musyafa dengan riset sejarah
ini memaparkan dengan apik bagaimana kisah hidup dan perjuangan Buya Hamka. Buku ini sangat memikat
dan memberi banyak inspirasi bagi siapa saja yang membaca. Di sini seolah kita
bisa melihat potret hidup bagaimana Buya Hamka dalam berjuang secara
sungguh-sungguh, tanpa kenal takut apalagi putus asa.
12 Februari 1942 Jepang mendaratkan
pasukan Rikugun—Pasukan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang—di Pelembang.
Pada masa ini Belanda harus menerima kekalahannya, sehingga tambuk kekuasan
yang dulu dalam genggaman, harus rela dilepas dan diberikan kepada Pemerintah
Dai Nippon—Jepang.
Pergantihan kekuasaan pun
berpengaruh besar dalam kehidupan rakyat Indonesia. Termasuk salah satunya di
Sumatra, tempat Buya Hamka mendedikasikan diri dalam perjuangan
mengembangkan penerbitan majalah Pemodan
Masyarakat. Kala itu Dai Nippon memberi perintah untuk
membekukan perkumpulan-kumpulan yang didirikan Bumi Putra juga melarang
penerbitan majalah dan surat kabar, baik yang diterbitkan oleh Gonvernemen
Hindia Belanda ataupun yang dimiliki oleh kaum pribumi (hal 18).
Disinyalir pembekuan ini terjadi
akibat ketakutan Dai Nippon jikalau para pribumi berjuang mencoba
menggulingkan pemerintahan mereka. Dan
salah satu perkumpulan yang dibekukan adalah persyerikatan Muhammadiyah. Pun
dengan majalah Pemodan Masyarakat. Hal ini tentu saja membuat Hamka sedih.
Karena dengan berhentinya penerbitan berarti sama saja jalan dakwah melalui
media itu terputus. Namun larut dalam
kesedihan bukanlah jalan terbaik.
Buya Hamka lalu menyusun strategi
melalui jalur kooperatif—yaitu menjalin kerja sama dengan Pemerintah Dai Nippon
sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan perjuangan (hal 20). Hamka kemudian menjalin hubungan dengan
Letnan Jenderal T. Nakashima, selaku
pemangku kepentingan Pemerintah Dai Nippon di Sumatra. Tujuannya agar
keberadaan orang-orang Jepang itu bisa memberi keuntungan besar bagi kaum
pribumi di pulau Sumatra.
Pendekatannya pun berhasil. Hamka mendapat izin untuk menerbitkan majalah Seruan
Islam dan kegiatan-kegiatan Perserikatan Muhammadiyah juga tidak
dibekukan. Dengan begitu maka Hamka
tetap bisa berdakwa dan berjuang mencari celah untuk mewujudkan kemerdekaan
Indonesia.
Kemudian pada 9 September 1944 tiba-tiba Pemerintah Dai Nippon mengumumkan
akan membantu rakyat Indonesi untuk meraih kemerdekaan. Mendengar itu Hamka
senang namun juga waswas. Karena bisa jadi itu hanya tipu muslihat untuk
menarik simpati rakyat Indonesia agar bersedia mewujudkan keinginan dan tujuan
yang ingin diraih oran-orang penyembah matahari itu.
Oleh karena itu, Hamka tetap selalu
waspada. Bersama pada pejuang lainnya Hamka tetap menjalankan misi-misi rahasia
untuk meningkatkan semangat juang rakyat di Sumatra, bekerja sama untuk meraih
kemerdekaan secara mandiri.
Selain itu, Buya Hamka juga ikut
terlibat dalam perjuangan Agresi Militer Belanda pada Juli 1947, juga pernah
menjabat sebagai pegawai Kantor Kementrian Agama RI. Namun tentu saja
perjuangannya itu tidak berjalan mulus. Hamka kerap menjadi sasaran fitnah
keji, bahkan akhirnya mengantarkan Hamka dimasukkan dalam penjara. Tapi semua itu tidak lantas membuat Hamka
menjadi seorang yang putus asa dan demdam. Hamka menghadapinya dengan penuh
keberanian. Karena dia percaya setiap
kejadian sudah pasti ada hikmahnya. Mengingat dalam penjara itulah akhirnya
Hamka menulis Tafsir Al-Azhar yang sampai saat ini masih menjadi kajian buku
yang selalu dicari dan dibaca.
Buku ini sangat menginspirasi dan
memberi banyak motivasi. Mengajarkan kita untuk memiliki sikap pemberani, tidak
mudah menyerah dan memelihara dendam. “Memelihara dendam sama dengan
menghancurkan diri sendiri.” (hal 433).
Srobyong, 28 Mei 2017
No comments:
Post a Comment