Friday, 11 September 2015

Glass Shoes





Kazuhana El Ratna Mida

Laisa sadar dia merasa selalu tertarik dengan sepatu kaca. Dia ingin memilikinya. Mata itu selalu berbinar jika melihat. Tapi anehnya berbanding terbalik dengan reaksi tubuhnya. Ya,  entah kenapa setiap kali menatap deretan sepatu kaca di etalase toko, kepalanya mendadak pening dan matanya berkunang-kunang. Ada ketakutan yang sama sekali tidak dipahaminya.

~*~
“Oh ..., Lai, kau sudah pulang.” Sang ibu menyambutnya dengan tawa riang.  “Aku senang, kau baik-baik saja. Ibu sungguh khawatir kau kenapa-napa tadi.” Ibunya merangkul pundak Laisa.

“Lai tidak apa-apa, Bu. Lai sudah sembuh.” Laisa tersenyum. Seminggu yang lalu, Laisa memang sempat harus dirawat di rumah sakit. Tapi syukurlah tidak terlalu lama. Dia bahkan sudah bisa kembali ke sekolah.

“Ya, sudah cepat ganti baju dan kita makan siang bersama. Sebentar lagi dua kakakmu juga akaan datang.” Laisa menurut. Dia sungguh bersyukur, memiliki ibu tiri yang sangat baik hati itu.  Dua kakakknya pun selalu menyayanginya. Oh ..., padahal dulu Laisa sempat takut tentang mitos ibu tiri yang akan selalu jahat pada anak angkat yang dimiliki. Dia bahkan sempat menolak ketika ayahnya mengutarakan niat untuk menikah lagi. Ternyata dugaannya salam.

“Ye ..., malah bengong. Ayuk dari tadi ibu manggil kita untuk  makan.” Misca menepuk pundak Laisa hingga gadis itu sedikit berjingkat. Di pojok kanan Kara yang juga melihat kejadian itu malah terpingkal-pingkal. “Makanya jangan banyak melamun, Lai. Bisa-bisa kesurupaan.” Kara terkekeh.

Setelah selesai makan siang, sang ibu memanggil Laisa juga kedua kakaknya. Ibunya memberikan masing-masing sepatu kaca cantik yang membuat kedua kakaknya berjingkrak saking senangnya. Tapi Laisa hanya menatap begong. Dia juga senang tapi sisi lain dirinya seolah berbisik untuk tidak mengambilnya, mengisyaratkan marabahaya. Laisa memgang kepalanya, matanya mulai berkunang-kunang Laisa pun akhirnya  pingsan.

~*~
“Hah?! Masak, ibu kamu baik banget sama kamu,” komentar Rosa. Teman sebangku Laisa terlihat kaget setelah mendengar cerita temannya itu baru saja dapat sepatu kaca baru yang berakhir dengan pingsan. Rosa mengernyitkan kening.

 “Aih ... pasti ada udang di balik rempeyek kalau sampai ibumu bersikap aneh gitu.” Rosa mencerca.

 Laisa menatap bingung temannya. “Apa yang kau bicarakan? Aku tidak paham deh. Bukankah sejak dulu ibu dan dua kakakku memang selalu baik?” kini Laisa yang mengeryit.

“Ya! Apa kepalamu terbentur batu hingga kau lupa segalaa kejahatan yang mereka lakukan?” Rosa menutup mulut sendiri ketika ingatannya terpelanting pada saat Laisa ditemukan jatuh dari tangga.

 “Ros, kau baik-baik saja?” Laisa semakin bingung.

 “Kau sungguh ingat aku?” Rosa memegaang pundak temannya itu.

 “Tentu saja aku mengingatmu, kau ini kenapa sih.”  Laisa mengangkat bahu.

 “Ta-ta-pi ..., kenapa kamu tidak ingat dengaan kejahatan ibu dan saudara tirimu?” Rosa menggaruk-garukkan kepala. Lalu memanggil Natan yang tidak sengaja lewat di pintu kelas mereka.

“Kalau kau tidak percaya padaku. Coba saja kau tanya Natan. Dia yang sering menyelamatkanmu ketika kau disiksa ibu tirimu itu.”

“Natan?” Laisa mengertnyitkan kening. Menatap Natan lamat-lamat hingga cowok tinggi itu sedikit grogi. “Siapa dia? Apa aku mengenalnya. Seketika Rosa dan Natan melongo. Ini namanya bencana. Laisa ternyata mengalami amnesia disosiatif.[1] Natan yang memang tertarik dengan dunia kedokteran dan gila membaca itu menyimpulkan.

Natan menatap nanar pada gadis itu. Gadis yang selalu dia cintai sepenuh hati. Dan sekarang gadis itu bahkan tidak mengingat dirinya, itu adalaah pukulan keras yang sungguh membuatnya merasa sedih dan kesal. Ah ..., andai tidak ada hari itu. Natan mengucapkannya dalam hati. Kejadian yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.

“Hai, tenanglah. Pasti ada cara untuk menyembuhkan Lai. Dan kita harus melakukannya. Aku yakin mereka punya maksud jahat dengan berpura-pura baik pada Laisa.” Rosa berbisik.

“Sepertinya Laisa tidak tahu kalau ayahnya telah meninggal,” lanjut Rosa. Natan mentap temannya itu.

 “Tadi dia bercerita sepatu itu dibelikan untuk menyambut kepulangan ayahnya.”  Natan mendelik.

 “Hai, kenapa kalian saling berbisik?” Laisa protes.

“Tidak ada, kok.” Rosa menggeleng. “Eh ..., apa hari ini kami boleh main ke rumahmu?” 

“Kau dan dia?” Laisa menunjuk pada Natan.  Rosa mengangguk. “Kalau kau tidak kenal mulai sekarang kamu harus mengenalnya. Rosa tersenyum.

Setelah pulang sekolah, mereka pun ke rumah Laisa seperti janji yang mereka buat. Di sana Laisa disambut ramah oleh ibunya. Tapi Rosa dan Natan yang masih warasa tahu, kalau itu hanya kepura-puraan.

“Aku bolehkan melihat sepatu kacamu?”

 Laisa mengangguk dia mengajak Rosa dan Natan ke kamarnya.

“Coba kau pakai.” Natan menyuruh Laisa. Namun Laisa langsung menolak dengan keras meski hati kecilnya merasa ingin.

“Ayolah kau tidak akan apa-apa.” Natan meyakinkan pun dengan Rosa. Awalnya Laisa ragu tapi pada akhirnya dia berhasil mengenakana sepatu kaca itu. Meski dentuman kesakitaan seperti mencabik-cabik kepalanya. Laisa jatuh terkulai lagi.

“Lai kau tidaka apa-apa?” Rosa dan Natan sungguh khawatir.

Saat terjatuh dan terbentur lantai, mendadak Laisa merasakan esensi yang berbeda. Seolah dia merasa pernah mengalami kejadian seperti itu.  Memakai sepatu kaca dan bergegas pergi. Mendengar banyak suara yang berdentum keras. Lalu jatuh tidak sadarkan diri.

~*~

“Kau baik-baik saja?” Rosa dan Natan bernapas lega setelah melihat Laisa siuman. Laisa menatap ke sekeliling dan menyadari kini dirinya berada di rumah sakit.

 “Ibu dan Kakakku mana?” Rosa menunjuk ke luar. “Panggilkan mereka, ya,” pinta Laisa.

 Di  luar ibu dan kedua kakak tirinya tampak gusar. Mereka takut ingatan Laisa segera pulih dan tidak bisa mereka tipu lagi. Padahal rencana yang mereka buat tinggal sebentar lagi akan sukses. Ketika mereka bisa meminta tanda tangan dari Laisa maka gadis itu akan terdepak.

 “Ibu kenapa?” Laisa menatap ibunya yang terlihat kuyu ketika menemuinya.

“Tidak ada, Sayang. Ibu hanya kecapean.” Dia berbohong.  Laisa mengangguk dan mengizinkan ibunya untuk pulang terlebih dahulu agar bisa istirahat.  Saat itulah tanpa sengaja dia melihat kertas yang disembunyikan ibunya. Sebuah surat kuasa. Dia menutup mulut.

“Lai, kau kenapa?” Rosa memegang pundak Laisa perlahan. Laisa menggeleng.

“Syukurlah.” Rosa semringah pun dengan Natan.

“Boleh aku meminta bantuan kalian?” mereka saling pandang dan mengangguk.

Sore itu akhirnya ibu dan dua kakak tiri Laisa ditangkap polisi dengan tuduhan percobaan pembunuhan dan penipuan.

Epilog

Laisa membiarkan dirinya di rangkul Natan. Mereka duduk di bangku sebuah taman.

“Hari itu aku senang sekali akan pergi kencan denganmu. Aku bahkan sampai membeli sepatu baru; sepatu kaca yang selalu kuincar sejak dulu. Sepatu yang hanya kugunakan untuk kencan dengan seseorang yang sangat spesial di hatiku.  Aku juga sedikit berdandan. Suatu hal yang jarang kulakukan. Namun, ketika aku menuruni tangga, seseorang mendorongku dengan keras. Membuatku jatuh berguling-guling.”  

Srobyong, 11 September 2015.

 Diikutkan dalam TakeOffMyRedShoesGA



[1] Kondisi ini berkaitan dengan ketidakmampuan untuk mengingat informasi pribadi yang penting yang biasanya bersifat traumatik secara emosional atau mempunyai beban tekanan yang kuat terhadap emosional

4 comments: