Kazuhana El Ratna Mida
Laisa sadar dia merasa
selalu tertarik dengan sepatu kaca. Dia ingin memilikinya. Mata itu selalu
berbinar jika melihat. Tapi anehnya berbanding terbalik dengan reaksi tubuhnya.
Ya, entah kenapa setiap kali menatap deretan sepatu kaca di
etalase toko, kepalanya mendadak pening dan matanya berkunang-kunang. Ada ketakutan
yang sama sekali tidak dipahaminya.
~*~
“Oh ..., Lai, kau sudah
pulang.” Sang ibu menyambutnya dengan tawa riang. “Aku senang, kau baik-baik saja. Ibu sungguh
khawatir kau kenapa-napa tadi.” Ibunya merangkul pundak Laisa.
“Lai tidak apa-apa, Bu. Lai
sudah sembuh.” Laisa tersenyum. Seminggu yang lalu, Laisa memang sempat harus
dirawat di rumah sakit. Tapi syukurlah tidak terlalu lama. Dia bahkan sudah
bisa kembali ke sekolah.
“Ya, sudah cepat ganti baju
dan kita makan siang bersama. Sebentar lagi dua kakakmu juga akaan datang.”
Laisa menurut. Dia sungguh bersyukur, memiliki ibu tiri yang sangat baik hati
itu. Dua kakakknya pun selalu
menyayanginya. Oh ..., padahal dulu Laisa sempat takut tentang mitos ibu tiri
yang akan selalu jahat pada anak angkat yang dimiliki. Dia bahkan sempat
menolak ketika ayahnya mengutarakan niat untuk menikah lagi. Ternyata dugaannya
salam.
“Ye ..., malah bengong. Ayuk
dari tadi ibu manggil kita untuk makan.”
Misca menepuk pundak Laisa hingga gadis itu sedikit berjingkat. Di pojok kanan
Kara yang juga melihat kejadian itu malah terpingkal-pingkal. “Makanya jangan
banyak melamun, Lai. Bisa-bisa kesurupaan.” Kara terkekeh.
Setelah selesai makan
siang, sang ibu memanggil Laisa juga kedua kakaknya. Ibunya memberikan
masing-masing sepatu kaca cantik yang membuat kedua kakaknya berjingkrak saking
senangnya. Tapi Laisa hanya menatap begong. Dia juga senang tapi sisi lain
dirinya seolah berbisik untuk tidak mengambilnya, mengisyaratkan marabahaya.
Laisa memgang kepalanya, matanya mulai berkunang-kunang Laisa pun akhirnya pingsan.
~*~
“Hah?! Masak, ibu kamu
baik banget sama kamu,” komentar Rosa. Teman sebangku Laisa terlihat kaget setelah
mendengar cerita temannya itu baru saja dapat sepatu kaca baru yang berakhir
dengan pingsan. Rosa mengernyitkan kening.
“Aih ... pasti ada udang
di balik rempeyek kalau sampai ibumu bersikap aneh gitu.” Rosa mencerca.
Laisa menatap bingung
temannya. “Apa yang kau bicarakan? Aku tidak paham deh. Bukankah sejak dulu ibu
dan dua kakakku memang selalu baik?” kini Laisa yang mengeryit.
“Ya! Apa kepalamu
terbentur batu hingga kau lupa segalaa kejahatan yang mereka lakukan?” Rosa
menutup mulut sendiri ketika ingatannya terpelanting pada saat Laisa ditemukan
jatuh dari tangga.
“Ros, kau baik-baik saja?”
Laisa semakin bingung.
“Kau sungguh ingat aku?”
Rosa memegaang pundak temannya itu.
“Tentu saja aku
mengingatmu, kau ini kenapa sih.” Laisa
mengangkat bahu.
“Ta-ta-pi ..., kenapa kamu
tidak ingat dengaan kejahatan ibu dan saudara tirimu?” Rosa menggaruk-garukkan
kepala. Lalu memanggil Natan yang tidak sengaja lewat di pintu kelas mereka.
“Kalau kau tidak percaya
padaku. Coba saja kau tanya Natan. Dia yang sering menyelamatkanmu ketika kau
disiksa ibu tirimu itu.”
“Natan?” Laisa
mengertnyitkan kening. Menatap Natan lamat-lamat hingga cowok tinggi itu
sedikit grogi. “Siapa dia? Apa aku mengenalnya. Seketika Rosa dan Natan
melongo. Ini namanya bencana. Laisa ternyata mengalami amnesia disosiatif.[1]
Natan yang memang tertarik dengan dunia kedokteran dan gila membaca itu
menyimpulkan.
Natan menatap
nanar pada gadis itu. Gadis yang selalu dia cintai sepenuh hati. Dan sekarang
gadis itu bahkan tidak mengingat dirinya, itu adalaah pukulan keras yang
sungguh membuatnya merasa sedih dan kesal. Ah ..., andai tidak ada hari itu.
Natan mengucapkannya dalam hati. Kejadian yang tidak pernah mereka duga
sebelumnya.
“Hai,
tenanglah. Pasti ada cara untuk menyembuhkan Lai. Dan kita harus melakukannya. Aku
yakin mereka punya maksud jahat dengan berpura-pura baik pada Laisa.” Rosa
berbisik.
“Sepertinya
Laisa tidak tahu kalau ayahnya telah meninggal,” lanjut Rosa. Natan mentap
temannya itu.
“Tadi
dia bercerita sepatu itu dibelikan untuk menyambut kepulangan ayahnya.” Natan mendelik.
“Hai,
kenapa kalian saling berbisik?” Laisa protes.
“Tidak
ada, kok.” Rosa menggeleng. “Eh ..., apa hari ini kami boleh main ke rumahmu?”
“Kau dan
dia?” Laisa menunjuk pada Natan. Rosa
mengangguk. “Kalau kau tidak kenal mulai sekarang kamu harus mengenalnya. Rosa tersenyum.
Setelah pulang
sekolah, mereka pun ke rumah Laisa seperti janji yang mereka buat. Di sana
Laisa disambut ramah oleh ibunya. Tapi Rosa dan Natan yang masih warasa tahu,
kalau itu hanya kepura-puraan.
“Aku
bolehkan melihat sepatu kacamu?”
Laisa mengangguk
dia mengajak Rosa dan Natan ke kamarnya.
“Coba
kau pakai.” Natan menyuruh Laisa. Namun Laisa langsung menolak dengan keras
meski hati kecilnya merasa ingin.
“Ayolah
kau tidak akan apa-apa.” Natan meyakinkan pun dengan Rosa. Awalnya Laisa ragu
tapi pada akhirnya dia berhasil mengenakana sepatu kaca itu. Meski dentuman
kesakitaan seperti mencabik-cabik kepalanya. Laisa jatuh terkulai lagi.
“Lai kau
tidaka apa-apa?” Rosa dan Natan sungguh khawatir.
Saat terjatuh
dan terbentur lantai, mendadak Laisa merasakan esensi yang berbeda. Seolah dia
merasa pernah mengalami kejadian seperti itu.
Memakai sepatu kaca dan bergegas pergi. Mendengar banyak suara yang
berdentum keras. Lalu jatuh tidak sadarkan diri.
~*~
“Kau
baik-baik saja?” Rosa dan Natan bernapas lega setelah melihat Laisa siuman. Laisa
menatap ke sekeliling dan menyadari kini dirinya berada di rumah sakit.
“Ibu dan
Kakakku mana?” Rosa menunjuk ke luar. “Panggilkan mereka, ya,” pinta Laisa.
Di luar ibu dan kedua kakak tirinya tampak gusar.
Mereka takut ingatan Laisa segera pulih dan tidak bisa mereka tipu lagi.
Padahal rencana yang mereka buat tinggal sebentar lagi akan sukses. Ketika mereka
bisa meminta tanda tangan dari Laisa maka gadis itu akan terdepak.
“Ibu
kenapa?” Laisa menatap ibunya yang terlihat kuyu ketika menemuinya.
“Tidak ada,
Sayang. Ibu hanya kecapean.” Dia berbohong. Laisa mengangguk dan mengizinkan ibunya untuk
pulang terlebih dahulu agar bisa istirahat.
Saat itulah tanpa sengaja dia melihat kertas yang disembunyikan ibunya.
Sebuah surat kuasa. Dia menutup mulut.
“Lai,
kau kenapa?” Rosa memegang pundak Laisa perlahan. Laisa menggeleng.
“Syukurlah.”
Rosa semringah pun dengan Natan.
“Boleh
aku meminta bantuan kalian?” mereka saling pandang dan mengangguk.
Sore itu
akhirnya ibu dan dua kakak tiri Laisa ditangkap polisi dengan tuduhan percobaan
pembunuhan dan penipuan.
Epilog
Laisa membiarkan dirinya di rangkul Natan. Mereka duduk
di bangku sebuah taman.
“Hari itu aku senang sekali akan pergi kencan denganmu. Aku
bahkan sampai membeli sepatu baru; sepatu kaca yang selalu kuincar sejak dulu. Sepatu
yang hanya kugunakan untuk kencan dengan seseorang yang sangat spesial di hatiku. Aku juga sedikit berdandan. Suatu hal yang
jarang kulakukan. Namun, ketika aku menuruni tangga, seseorang mendorongku dengan
keras. Membuatku jatuh berguling-guling.”
Srobyong, 11 September 2015.
Diikutkan dalam TakeOffMyRedShoesGA
[1] Kondisi ini berkaitan dengan
ketidakmampuan untuk mengingat informasi pribadi yang penting yang biasanya
bersifat traumatik secara emosional atau mempunyai beban tekanan yang kuat
terhadap emosional
Ahhh mantap inu ceritanya mbak...
ReplyDeleteSukses buat GA nya ya mbak Ratna....
Mbak... ini akun penyelenggaranya di mana ya. Aku ga bisa buka dr hape. :3
DeleteTerima kasih Rohma, itu ada di Twitter
ReplyDeleteOwhhh... he.eh mbak.e heee
ReplyDelete