Dimuat di Kabar Madura, Jumat 12 Januari 2018
Judul : Malam Sepasang Lampion
Penulis : Triyanto Triwikromo
Penerbit : Kompas
Cetakan : Pertama, 2017
Tebal : 192 halaman
ISBN : 978-602-412-256-0
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatu Ulama, Jepara
Setiap penulis pasti memiliki
keunikan masing-masing dalam mengeksekusi sebuah cerita dan pemilihan gaya
bahasa. Ada yang suka menulis dengan gaya bahasa puitis, tersirat, tersurat
bahkan satire. Begitu pula dengan
Triyanto Triwikromo, penulis yang juga Redaktur
Pelaksana Harian Suara Merdeka ini, memilih menulis dengan prosa
liris—yaitu sebuah karya sastra yang memiliki
irama tertentu, di mana setiap kalimat mempunyai jumlah suku kata yang
hampir sama. Dengan turut kata yang lembut dan menarik, penulis mencoba
mengkritisi tentang berbagai kekerasan sosial yang kerap terjadi dalam
masyarakat.
Kumpulan cerpen ini sendiri, terdiri
dari 19 cerpen yang sebelumnya pernah ditayangkan di berbagai media.
Seperti Kompas, Koran Tempo, Media
Indonesia, Suara Merdeka dan lain sebagainya. Semua dikemas dengan apik dan menarik,
sehingga kita akan dibuat penasaran dengan setiap cerita. Dan di sisi lain kita
juga harus siap membaca kisah-kisah yang menurut saya mencekam dan mengerikan.
Misalnya saja cerpen berjudul
“Ayoveva”. Cerpen ini dibuka dengan paragraf yang menarik dan membuat
penasaran. (hal 9). Diceritakan meski Ayoveva mengetahui kenyataan
tentang perihal dosa besar yang dia dapat ketika akan meninggalkan Ajjar, tetapi
dia tetap bertekad untuk pergi. Ayoveva tetap keukuh dengan pilihannya, meski dia
sudah diingatkan berkali-kali. Dia ingin
membuktikan bahwa di luar Ajjar dia tetap bisa menemukan kebahagiaan, cinta dan
wujud lain Tuhan yang lebih indah. Dia
pun memulai pengembarannya. Namun siapa sangka apa yang kemudian dia dapat
setelah keluar dari Ajjar benar-benar di luar perkiraannya. Belum lagi ketika
dia mendengar sebuah percakapan yang membuatnya menggigil.
Cerpen ini seolah menunjukkan bahwa
dalam masyarakat akan selalu ada perbedaan-perbedaan sikap dan pola pikir. Selain itu
cerpen ini secara tidak langsung juga mengkritisi para pemimpin yang
kerap kali tidak memiliki tanggungjawab—mereka suka menindas yang lemah dan
melindungi yang kuat. Dan tidak ketinggalan
mereka menjadikan agama sebagai kedok untuk kejahatan.
Ada juga cerpen “Morgot” cerpen ini
mengrkritisi manusia yang acap kali bersikap seperti ular. Licin dan
berbisa. Kita kerap melontarkan
kata-kata berbisa untuk menyakiti orang lain juga digunakan untuk memengaruhi
penduduk untuk memberontak. Selain itu
cerpen ini juga menyinggung tentang kekejaman
sekelompok orang, yang rela
membunuh demi memperkuatn kekuasaan (hal 42). Menceritakan tentang sosok Morgot
dalam berbagai sisi dengan menarik dan ajaib.
Tidak kalah menarik ada juga cerpen
berjudul “Pengadilan Terakhir”. Di mana cerpen ini mengkritisi sikap sebagian
orang yang selalu mendewakan uang. Mereka tidak segan-segan menyuap agar bisa
selamat. Dan mereka tidak takut hukum, karena hukum bisa dibeli. Oleh karena
itu, kematian di mata mereka hanya sebuah keiseengan yang bisa dengan mudah
diselesaikan dengan mencari kambing hitam untuk dijadikan korban.
Cerpen ini berkisah tentang Rosaria
yang tiba-tiba dia dihukum dan diadili
karena dianggap telah membunuh Bapak Direktur, tempat dia bekerja. Dia dicerca
dengan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan bahkan mengalami siksaan yang
mengerikan. pakaiannya dirobek-robek, rambut dijambak, bahkan dia diperkosa. Namun apa yang bisa dilakukan orang kecil
seperti dirinya? Karena bagi orang rendah seperti dirinya sia-sia jika melawan
hukum yang mendewakan uang. Jadi jika dia tidak memiliki uang, maka sudah
dipastikan dia akan kalah, meski dia tidak bersalah. Dibukan dengan paragraf yang menarik dan
ending yang diluar dugaan, membuat cerpen ini cukup menarik (hal 52).
Selain cerpen-cerpen tersebut tentu
saja masih banyak cerpen-cerpen lain yang tidak kalah menarik dan mendebarkan.
Seperti cerpen Bukit Cahaya, Anak-Anak
Pengasah Pisau, Malam Sepasang Lampion, Rahim Api, Ragaula dan banyak lagi. Membaca ini kita harus siap dengan kepekatan
penulis yang mengeksplore kekerasan. Hanya saja di balik keindahan gaya
bahasanya, kadang saya harus membaca cerpen ini berkali-kali untuk menangkan
isi cerita. Karena bagi saya gaya bercerita yang lugas bahkan satire lebih
cepat dipahami dan menarik. Namun lepas dari kekurangannyaa kumpulan cerpen ini
tetaplah karya yang patut dinikmati bagi penggemar prosa liris.
Srobyong, 14 Oktober 2017
No comments:
Post a Comment