Saturday, 3 February 2018

[Resensi] Kritik Tentang Kekerasan Sosial Melalui Cerita

Dimuat di Kabar Madura, Jumat 12 Januari 2018


Judul               : Malam Sepasang Lampion
Penulis             : Triyanto Triwikromo
Penerbit           : Kompas
Cetakan           : Pertama, 2017
Tebal               : 192 halaman
ISBN               : 978-602-412-256-0
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama, Jepara

Setiap penulis pasti memiliki keunikan masing-masing dalam mengeksekusi sebuah cerita dan pemilihan gaya bahasa. Ada yang suka menulis dengan gaya bahasa puitis, tersirat, tersurat bahkan satire.  Begitu pula dengan Triyanto Triwikromo, penulis yang juga Redaktur  Pelaksana Harian Suara Merdeka ini, memilih menulis dengan prosa liris—yaitu sebuah karya sastra yang memiliki  irama tertentu, di mana setiap kalimat mempunyai jumlah suku kata yang hampir sama. Dengan turut kata yang lembut dan menarik, penulis mencoba mengkritisi tentang berbagai kekerasan sosial yang kerap terjadi dalam masyarakat.

Kumpulan cerpen ini sendiri, terdiri dari 19 cerpen yang sebelumnya pernah ditayangkan di berbagai media. Seperti  Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Merdeka dan lain sebagainya.  Semua dikemas dengan apik dan menarik, sehingga kita akan dibuat penasaran dengan setiap cerita. Dan di sisi lain kita juga harus siap membaca kisah-kisah yang menurut saya mencekam dan mengerikan.

Misalnya saja cerpen berjudul “Ayoveva”. Cerpen ini dibuka dengan paragraf yang menarik dan membuat penasaran.  (hal 9).  Diceritakan meski Ayoveva mengetahui kenyataan tentang perihal dosa besar yang dia dapat ketika akan meninggalkan Ajjar, tetapi dia tetap bertekad untuk pergi. Ayoveva  tetap keukuh dengan pilihannya, meski dia sudah diingatkan berkali-kali.  Dia ingin membuktikan bahwa di luar Ajjar dia tetap bisa menemukan kebahagiaan, cinta dan wujud lain Tuhan yang lebih indah.  Dia pun memulai pengembarannya. Namun siapa sangka apa yang kemudian dia dapat setelah keluar dari Ajjar benar-benar di luar perkiraannya. Belum lagi ketika dia mendengar sebuah percakapan yang membuatnya menggigil. 

Cerpen ini seolah menunjukkan bahwa dalam masyarakat akan selalu ada perbedaan-perbedaan sikap dan pola pikir.  Selain itu  cerpen ini secara tidak langsung juga mengkritisi para pemimpin yang kerap kali tidak memiliki tanggungjawab—mereka suka menindas yang lemah dan melindungi yang kuat. Dan tidak ketinggalan  mereka menjadikan agama sebagai kedok untuk kejahatan.

Ada juga cerpen “Morgot” cerpen ini mengrkritisi manusia yang acap kali bersikap seperti ular. Licin dan berbisa.  Kita kerap melontarkan kata-kata berbisa untuk menyakiti orang lain juga digunakan untuk memengaruhi penduduk untuk memberontak.  Selain itu cerpen ini juga menyinggung tentang kekejaman  sekelompok orang,  yang rela membunuh demi memperkuatn kekuasaan (hal 42). Menceritakan tentang sosok Morgot dalam berbagai sisi dengan menarik dan ajaib.

Tidak kalah menarik ada juga cerpen berjudul “Pengadilan Terakhir”. Di mana cerpen ini mengkritisi sikap sebagian orang yang selalu mendewakan uang. Mereka tidak segan-segan menyuap agar bisa selamat. Dan mereka tidak takut hukum, karena hukum bisa dibeli. Oleh karena itu, kematian di mata mereka hanya sebuah keiseengan yang bisa dengan mudah diselesaikan dengan mencari kambing hitam untuk dijadikan korban.

Cerpen ini berkisah tentang Rosaria yang  tiba-tiba dia dihukum dan diadili karena dianggap telah membunuh Bapak Direktur, tempat dia bekerja. Dia dicerca dengan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan bahkan mengalami siksaan yang mengerikan. pakaiannya dirobek-robek, rambut dijambak, bahkan  dia diperkosa.  Namun apa yang bisa dilakukan orang kecil seperti dirinya? Karena bagi orang rendah seperti dirinya sia-sia jika melawan hukum yang mendewakan uang. Jadi jika dia tidak memiliki uang, maka sudah dipastikan dia akan kalah, meski dia tidak bersalah.  Dibukan dengan paragraf yang menarik dan ending yang diluar dugaan, membuat cerpen ini cukup menarik (hal 52).

Selain cerpen-cerpen tersebut tentu saja masih banyak cerpen-cerpen lain yang tidak kalah menarik dan mendebarkan. Seperti cerpen Bukit Cahaya,  Anak-Anak Pengasah Pisau, Malam Sepasang Lampion, Rahim Api, Ragaula dan banyak lagi.  Membaca ini kita harus siap dengan kepekatan penulis yang mengeksplore kekerasan. Hanya saja di balik keindahan gaya bahasanya, kadang saya harus membaca cerpen ini berkali-kali untuk menangkan isi cerita. Karena bagi saya gaya bercerita yang lugas bahkan satire lebih cepat dipahami dan menarik. Namun lepas dari kekurangannyaa kumpulan cerpen ini tetaplah karya yang patut dinikmati bagi penggemar prosa liris.

Srobyong,  14 Oktober 2017


No comments:

Post a Comment