Wednesday 28 November 2018

[Resensi] Tentang Tempat Tinggal, Kerja Keras dan Kebahagiaan

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 28 Oktober 2018


Judul               : Chiken Soup for the Soul : Rumahku Istanaku
Penulis             : Jack Confield, Mark Victor Hansen, Amy Newmark
Penerjemah      : Lina Jusuf
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, 2018
Tebal               : 436 halaman
ISBN               : 978-602-03-8766-6
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

“Manusia paling bahagia, raja ataupun petani, adalah yang menemukan kedamaian di dalam rumahnya.” (hal 98).

Adakah tempat yang paling menyenangkan dan nyaman selain rumah? Rasanya tidak ada. Karena “rumahku adalah surgaku” itulah tagline yang sering kita dengar. Sejelek apa pun rumah kita, atau bagaimana bentuknya, kita akan selalu merindukan suasananya.  Ketika kita pergi sejenak rasanya kita sudah merindukan suasana di rumah. Karena di sanalah segala memori suka duka terbangun di sana. Dan di sanalah, ketanangan bisa kita dapatkan.  Rumah adalah tempat pulang, rumah adalah tempat mencari ketenangan dan rumah adalah muara kasih sayang yang tidak pernah habis.

Mengusung tema keluarga—khususnya tentang masalah rumah—buku ini cukup menarik untuk kita baca dan nikmati. Melalui cerita yang dipaparkan oleh para kontributor, kita akan dikenalkan dengan berbagai kejadian yang menarik, menginspirasi dan memotivasi. Kita jadi semakin paham tentang betapa berharganya rumah dan hal-hal yang termaktub di dalamnya.  Membaca  kisah-kisah inspiratif yang berhubungan dengan  tempat tinggal, kerja keras dan kebahagiaan, pastinya akan membuka cakrawala kita.  Banyak pelajaran hidup yang bisa kita petik dan kita renungkan untuk memperbaiki diri.

Misalnya saja kisah berjudul “Memulai Kembali” menceritakan tentang  Paula Bicknell yang harus pindah ke tempat baru yang menurutnya asing. Padahal sebelumnya dia sudah sangat nyaman dengan rumah mereka dulu. Meski di sana dia  harus sabar karena pekerjaan suaminya, yang merupakan seorang pilot militer, di mana hal itu menuntut suaminya jarang di rumah. Dia hanya tinggal dengan ketiga anaknya. Namun pada posisi ini, dia tidak bisa menolak kepindahan itu, karena melihat betapa bahagianya anak-anaknya ketika akhirnya akan memiliki ayah yang tidak lagi bepergian. Kepindahan mereka memang berhubungan dengan keputusan suaminya yang mencoba memperbaiki hubungan di antara mereka yang mulai renggang.

Meski tidak terlalu bersemangat, Paula tetap membersihkan rumah baru itu dengan  rapi.  Bahkan walau kadang dia merasa lelah dengan pernikahannya Paula mencoba tetap bertahan demi anak-anaknya. Hinga suatu hari, dia menyadari bahwa rumah itu jauh lebih baik dari rumah lama mereka. Karena rumah itu telah menghadirkan kembali kenangan-kenangan manis bahkan berhasil menyatukan dua hati yang hubungannya sempat retak. Rumah itu memberinya kedamaian dan memberinya kekuatan.

Kisah ini mengajarkan kita bahwa betapa pentingnya komunikasi antara pasangan. Kita disadarkan betapa pentingnya keluarga dan indahnya saling memaafkan. “Bagi kami, keluarga artinya saling merangkul dan mendampingi.” (hal  68).

Ada pula kisah berjudul “Yang Dibawa Serta”. Kisah ini dituturkan oleh Logan Eliasen.  Logan tidak pernah menyangka akan meninggalkan rumah yang semasa kecilnya sudah menjadi surga baginya. Namun apa mau dikata, keluarganya telah mengambil keputusan. Mereka harus segera pindah ke rumah yang lebih besar agar bisa  mereka tinggali bersama.  Mereka pun mulai mencari-cari rumah baru   dan rumah lama mereka juga sudah mendapatkan calon pembeli. Kala itu perasaan Logan benar-benar kacau. Dia masih merasa enggan dan tidak rela.

“Mam tahu berat meninggalkan hal-hal indah, Logan. Mom juga merasa berat. Tapi Tuhan akan memberikan berkat yang baru. Ketika suatu pintu tertutup, Dia selalu membukakan pintu yang baru.” Nasihat ibunya, sedikit banyak akhirnya membuat Logan berusaha ikhlas (hal 91). 

Kisah ini menyadarkan betapa lekatnya sebuah kenangan dari rumah yang pernah kita tinggali. Bahwa tidak mudah bagi siapa saja untuk melepas kenangan dan memri idan yang meneduhkan. Namun dari kisah kita kita diajarkan untuk ikhlas dalam menghadapi sebuah pilihan. Kadang memang kita sangat menyukai sesuatu, namun tidak selamanya kita bisa memilikinya.

Terdiri dari 10 bab yang kesemuanya jalin menjalin tentang tempat tinggal, masih banyak kisah lain dari dua kisah yang terpapar di atas. Menarik, lucu, mengharukan dan banyak emosi lain yang bisa kita rasakan di sini. Saya suka dengan pilihan cover buku yang bersih dan cantik. Kekurangan yang ada dalam buku ini tidak mengurangi esensi cerita. Apik dan menghibur.

Srobyong, 20 Oktober 2018

2 comments: