Monday, 26 November 2018

[Resensi] Kritik Sosial Tentang Pemimpin Diktator

Dimuat di Kabar Madura, Senin 22 Oktober 2018


Judul               : Negeri yang Dilanda Huru-Hara
Penulis             : Ken Hanggara
Penerbit           : Basabasi
Cetakan           : Pertama, Maret 2018
Tebal               : 260 halaman
ISBN               : 978-602-6651
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Sebagai pemimpin negara kita harus berusaha menyejahterakan kehidupan rakyat. Kita tidak boleh bertindak sewenang-wenang dan memanfaatkan jabatan yang kita miliki demi kebutuhan diri sendiri. Apalagi sampai menyembunyikan sejarah demi menutupi kejahatan yang telah dilakukan para petinggi.   Mengambil tema politik, novel bergenre eksperimental dan semi fantasi ini, sangat menarik untuk dibaca.  Dengan gaya bercerita yang mudah dipahami, penulis mampu menghadirkan sebuah kisah berlatar kenegaraan dengan apik.

Mugo I adalah pemimpin pertama di Negeri Fiktif Belaka. Dia memiliki peran besar dalam mencapai kemerdekaan negeri itu dari tanah penjajah. Dia memimpin dengan cukup adil dan bijaksana.  Namun ketika tambuk kepemimpinan beralih pada Mugo II, aturan-aturan sedikit diubah. Dia mengerjakan tugasnya sesuka hati seakan-akan semua yang dikendalikannya hanya hiburan (hal 29). Selain itu dalam penempatan jabatan, Mugo II sengaja mengisi sebagian besar kursi pejabat istana dengan orang yang berdarah campuran, karena dirinya juga berdarah campuran.  Mugo II hanya suka menghabiskan berbagai makanan dan segala hiburan, tanpa memedulikan kesejahteraan rakyat.

Kemudian ketika kepempimpinan berganti pada Mugo III Negara Fiktif Belaka semakin kacau balau. Apalagi sikap Mugo III ini tidak selembut ayahnya, Mugo II dan memiliki ambisi-ambisi dan sifat yang tidak stabil. Sebagaimana ayahnya dia juga menyukai sastra, dengan plot-plot rekayasa dalam berbagai buku berlatar sejarah Negeri Fiktif Belaka. Dia akan marah dan tidak segan membunuh siapa saja yang berani menulis atau membicarakan  sejarah negerinya. Karena dia khawatir kekejaman yang pernah dia lakukan bisa terbongkar.

Keadaan itulah, yang  membut Popo Gusnaldi ingin menulis sebuah novel dengan latar belakang sejarah negaranya sendiri.  Dia ingin mengungkapkan sebuah kebenaran yang telah dikubur rapat oleh para petinggi negerinya.  Yaitu tentang pembantaian masal  di kota Kalodora, hingga menewaskan banyak penduduk.  Sayangnya perjuangan Popo tidaklah mudah. Apalagi saat ini, agar bisa menerbitkan novel, seorang penulis harus berhubungan langsung dengan kerajaan.

Di mana penerbitan buku milik raja memiliki aturan, bahwa isi naskah yang ingin diterbitkan haruslah bermanfaat bagi siapa pun yang akan membacanya. Akan ada sanski-sanksi yang diberlakukan bagi para pelanggar (hal 31-32).  Namun Popo Gusnaldi tidak pernah menyerah. Dengan penuh kesabaran dan ketelatenan, dia menyelidiki jejak-jejak sejarah sambil terus menulis buku.   Menurutnya, “Memelihara sejarah sendiri sama halnya dengan memelihara peradaban yang akan membuat kehidupan rakyat di Negeri Fiktif Belaka semakin baik.” (hal 144).

Dia juga meyakini bahwa keberadaan sebuah buku akan memiliki pengaruh besar dalam sebuah perjuangan. “Tidak ada pedang  atau tombak yang lebih tajam ketimbang hasil pekerjaan dalam menulis, maka angkatlah senjata lewat pena dan guncanglah dunia dengan senjata itu sampai mati.” (hal 145).

Maka ketika dia sudah menyelesaikan tulisannya, Popo Gusnaldi segera pergi ke istana untuk menyerahkan tulisannya. Menurut ayahnya, di sana dia akan dibantu sahabat ayanya, Hady Hamza untuk menerbitkan bukunya, tanpa adanya pencekalan. Tapi dia salah. Begitu dia menyerahkan tulisannya, Popo Gusnaldi langsung diringkus dan ditangkap. Dia mendapat berbagai siksaan yang menyakitkan.

Akan tepati siksaan itu tidak menyurutkan  keinginan Popo Gusnaldi untuk mengungkap kekejaman Mugo III. Dia ingin warga bisa terlepas dari kepemimpinan yang diktator dan kejam. Bersama Ben Asmara—paman Hady Hamza dan Guru Blewah, mereka saling bahu membahu untuk menjatuhkan Mugo III. Di sisi lain mereka juga menyelidiki apa yang sebenarnya telah terjadi pada sosok Hady Hamza yang dulu dikenal sebagai sosok ambisius ingin meruntuhkan kepemimpinan Mugo II.  Novel ini sangat menarik dan menegangkan. Penulis sukses membuat pembaca terkejut dengan akhir cerita yang tidak pernah kita duga sebelumnya.

Melalui novel ini kita bisa mengambil pembelajaran tentang pentingnya menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana. Jangan menjadi pemimpin zalim dan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki demi kepentingan pribadi. Serta kita diajak untuk menjadi pribadi yang mencintai tanah air dan berani berjuang demi kebenaran.

Selain itu dalam buku ini ada pesan-pesan tersirat tentang keagamaan. Sebagaimana tentang kebiasaan berbohong.  “Kebohongan tidak akan membawamu ke surga. Kebohongan adalah jalan mudah untuk siapa pun menjadi lebih dekat dengan neraka.” (hal 111). Tidak ketinggalan buku ini juga membuka mata kita tentang pentingnya bergelut dengan dunia literasi. 

Srobyong, 21 Juli 2018

No comments:

Post a Comment