Dimuat di Kabar Madura, Senin 22 Oktober 2018
Judul : Negeri yang Dilanda Huru-Hara
Penulis : Ken Hanggara
Penerbit : Basabasi
Cetakan : Pertama, Maret 2018
Tebal : 260 halaman
ISBN : 978-602-6651
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
Sebagai pemimpin negara kita harus berusaha
menyejahterakan kehidupan rakyat. Kita tidak boleh bertindak sewenang-wenang
dan memanfaatkan jabatan yang kita miliki demi kebutuhan diri sendiri. Apalagi
sampai menyembunyikan sejarah demi menutupi kejahatan yang telah dilakukan para
petinggi. Mengambil tema politik, novel
bergenre eksperimental dan semi fantasi ini, sangat menarik untuk dibaca. Dengan gaya bercerita yang mudah dipahami,
penulis mampu menghadirkan sebuah kisah berlatar kenegaraan dengan apik.
Mugo I adalah pemimpin pertama di Negeri Fiktif
Belaka. Dia memiliki peran besar dalam mencapai kemerdekaan negeri itu dari
tanah penjajah. Dia memimpin dengan cukup adil dan bijaksana. Namun ketika tambuk kepemimpinan beralih pada
Mugo II, aturan-aturan sedikit diubah. Dia mengerjakan tugasnya sesuka hati
seakan-akan semua yang dikendalikannya hanya hiburan (hal 29). Selain itu dalam
penempatan jabatan, Mugo II sengaja mengisi sebagian besar kursi pejabat istana
dengan orang yang berdarah campuran, karena dirinya juga berdarah
campuran. Mugo II hanya suka
menghabiskan berbagai makanan dan segala hiburan, tanpa memedulikan
kesejahteraan rakyat.
Kemudian ketika kepempimpinan berganti pada Mugo III
Negara Fiktif Belaka semakin kacau balau. Apalagi sikap Mugo III ini tidak
selembut ayahnya, Mugo II dan memiliki ambisi-ambisi dan sifat yang tidak
stabil. Sebagaimana ayahnya dia juga menyukai sastra, dengan plot-plot rekayasa
dalam berbagai buku berlatar sejarah Negeri Fiktif Belaka. Dia akan marah dan
tidak segan membunuh siapa saja yang berani menulis atau membicarakan sejarah negerinya. Karena dia khawatir
kekejaman yang pernah dia lakukan bisa terbongkar.
Keadaan itulah, yang
membut Popo Gusnaldi ingin menulis sebuah novel dengan latar belakang
sejarah negaranya sendiri. Dia ingin
mengungkapkan sebuah kebenaran yang telah dikubur rapat oleh para petinggi
negerinya. Yaitu tentang pembantaian
masal di kota Kalodora, hingga
menewaskan banyak penduduk. Sayangnya
perjuangan Popo tidaklah mudah. Apalagi saat ini, agar bisa menerbitkan novel,
seorang penulis harus berhubungan langsung dengan kerajaan.
Di mana penerbitan buku milik raja memiliki aturan,
bahwa isi naskah yang ingin diterbitkan haruslah bermanfaat bagi siapa pun yang
akan membacanya. Akan ada sanski-sanksi yang diberlakukan bagi para pelanggar
(hal 31-32). Namun Popo Gusnaldi tidak
pernah menyerah. Dengan penuh kesabaran dan ketelatenan, dia menyelidiki
jejak-jejak sejarah sambil terus menulis buku.
Menurutnya, “Memelihara sejarah sendiri sama halnya dengan memelihara
peradaban yang akan membuat kehidupan rakyat di Negeri Fiktif Belaka semakin
baik.” (hal 144).
Dia juga meyakini bahwa keberadaan sebuah buku akan
memiliki pengaruh besar dalam sebuah perjuangan. “Tidak ada pedang atau tombak yang lebih tajam ketimbang hasil
pekerjaan dalam menulis, maka angkatlah senjata lewat pena dan guncanglah dunia
dengan senjata itu sampai mati.” (hal 145).
Maka ketika dia sudah menyelesaikan tulisannya, Popo
Gusnaldi segera pergi ke istana untuk menyerahkan tulisannya. Menurut ayahnya,
di sana dia akan dibantu sahabat ayanya, Hady Hamza untuk menerbitkan bukunya,
tanpa adanya pencekalan. Tapi dia salah. Begitu dia menyerahkan tulisannya,
Popo Gusnaldi langsung diringkus dan ditangkap. Dia mendapat berbagai siksaan
yang menyakitkan.
Akan tepati siksaan itu tidak menyurutkan keinginan Popo Gusnaldi untuk mengungkap
kekejaman Mugo III. Dia ingin warga bisa terlepas dari kepemimpinan yang
diktator dan kejam. Bersama Ben Asmara—paman Hady Hamza dan Guru Blewah, mereka
saling bahu membahu untuk menjatuhkan Mugo III. Di sisi lain mereka juga
menyelidiki apa yang sebenarnya telah terjadi pada sosok Hady Hamza yang dulu
dikenal sebagai sosok ambisius ingin meruntuhkan kepemimpinan Mugo II. Novel ini sangat menarik dan menegangkan.
Penulis sukses membuat pembaca terkejut dengan akhir cerita yang tidak pernah
kita duga sebelumnya.
Melalui novel ini kita bisa mengambil pembelajaran
tentang pentingnya menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana. Jangan menjadi
pemimpin zalim dan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki demi kepentingan
pribadi. Serta kita diajak untuk menjadi pribadi yang mencintai tanah air dan
berani berjuang demi kebenaran.
Selain itu dalam buku ini ada pesan-pesan tersirat
tentang keagamaan. Sebagaimana tentang kebiasaan berbohong. “Kebohongan tidak akan membawamu ke surga.
Kebohongan adalah jalan mudah untuk siapa pun menjadi lebih dekat dengan
neraka.” (hal 111). Tidak ketinggalan buku ini juga membuka mata kita
tentang pentingnya bergelut dengan dunia literasi.
Srobyong, 21 Juli 2018
No comments:
Post a Comment