Thursday 29 November 2018

[Resensi] Bahasa Sikap Iri dan Dengki

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 4 November 2018


Judul               : Senandung Bisu
Penulis             : Aguk Irawan MN
Penerbit           : Republika
Cetakan           : Pertama, Februari 2018
Tebal               : viii +388 halaman
ISBN               : 978-602-0822-99-0
Peresensi         : Ratnani Latifah.  Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama, Jepara

“Di dunia ini, kita tidak bisa mengharap semua orang akan selalu baik pada kita.  Tetapi tidak berarti semua orang itu jahat kepada kita. Ada orang baik. Pun ada orang jahat. Ada orang yang pura-pura baik, tetapi sesungguhnya jahat. Ada pula orang yang tampak jahat walau hakikatnya baik. Engkau jangan terpengaruh omongan para tetangga yang tidak baik tentang kita.” (hal 64).

Hidup dalam masyarakat kita tidak bisa terhindari dari gunjing menggunjing. Karena hal itu sudah menjadi kebiasaan di setiap tempat. Meski kita memahami bahaya lisan atau menggujing, tetap saja kita selalu melakukannya. Kita seolah menutup mata dan menganggap bahwa hal itu biasa. 

Selain itu, kebiasaan lain yang sering terjadi dalam hidup bermasyarakat dan bertengga adalah rasa iri, cemburu, dengki dan sombong.  Sikap-sikap tersebut  selalu ada dan tidak bisa luntur begitu saja. Padalah sikap-sikap itu merupakan penyakit hati yang harus kita hilangkan dan jauhi. Allah tidak pernah menyukai orang-orang yang mengagungkan sikap sombong, iri dan dengki. Mengambil tema tentang  hidup bermasyarakat, novel ini mengungkapkan tentang potret kehidupan yang sering kita lihat di dunia nyata.

Mengisahkan tentang keluarga pasangan suami-istri—Dlori dan Zulfin dengan berbagai intrik menarik, mengharukan dan menggemaskan. Kehidupan mereka awalnya berjalan diliputi dengan rasa bahagia dan harmonis. Mereka mempercayai filsafat bahwa “banyak anak banyak rezeki”.   Akan tetapi sebuah kejadian merubah mereka sikap mereka. Hingga putra bungsu mereka—Rahim, menjadi korban keegoisan orangtuanya.

Dlori dan Zulfin memili lima anak yang rentan usianya cukup dekat. Harus, Aisyah, Umi, Musa dan Rahim.  Empat anak pertama  adalah pelita yang sangat dibanggakan Dlori dan Zulfin, mereka dirawat dengan baik dan disekolah hingga tinggi.  Namun tidak dengan Rahim. Bagi mereka Rahim adalah bencana. Sehingga, mereka tidak pernah memperlakukan Rahim dengan baik. Bahkan nama itu pun bukan pemberian mereka, tapi diberikan oleh Kyai Na’im.

Kejadian itu ternyata bermula dari sejarah panjang dari sikap orang-orang yang egois dan sombong. Dulu Dlori selalu rajin bekerja demi memenuhi kebutuhan pangan dan tabungan untuk sekolah. Akan tetapi ternyata kebahagiaan yang mereka miliki telah mengundang rasa iri, dengki dan kecemburuan di mata tetangganya.

Adalah Wurnayi, salah satu tetangga Zulfin yang diam-diam memiliki rasa iri dan dengki dengan kehidupan pasangan Dlori dan Zulfin. Dia menebar bara api dengan menggunjingkan dan menjelek-jelekknya Zulfin. Khususnya tentang  Zulfin yang mudah sekali hamil dan memiliki banyak anak. Gunjingan itu tentu sangat meresahkan Zulfin.

“Di dalam masyarakat, mau kita suka atau tidak, pasti akan selalu ada orang yang suka menggunjing, pasti akan selalu ada orang yang bersikap buruk, walau kita tak pernah menyalahinya, walau kita tak pernah membuat persoalan dengannya.” (hal 66).

Pada awalnya Dlori dan Zulfin berusaha bersabar dan tidak memedulikan gunjingan tersebut. Akan tetapi lambat laun, mereka ternyata tidak tahan juga dan mulai terprovokasi. Zulfin melabrak Wuryani hingga desa geger.

Membaca kisah ini, kita seperti berada di tengah-tengah tokoh cerita dengan melihat dan menyaksikan langsung kisah yang dipaparkan penulis. Menarik dan menggetarkan hati. Apalagi ketika membaca bagian Rahim yang selalu dilakukan tidak adil.  Diceritakan dengan bahasa yang mudah dipahami, membuat cerita ini asyik untuk dibaca.

Dan khas tulisan Aguk, buku ini kaya akan wacana ilmu. Beberapa bagian penulis menjabarkan dengan dalil-dalil yang mendukung sikap  tidak terpuji yang kerap menggerogoti hati. Hanya saja ada beberapa bagian yang menurut saya kurang memuaskan dan masih ada beberapa kesalahan.

Namun lepas dari kekurangan yang ada, novel ini cukup menarik untuk dibaca. Melalui kisah ini kita diingatkan tentang pentingnya menjaga lisan. Karena lisan itu lebih tajam daripada pedang. Sakit karena terkena pisau bisa cepat sembuh, namun luka karena ucapan, sulit disembuhkan. Selain itu kita juga diingatkan untuk tidak memilahara sikap iri, dengki dan sombong. Lalu sesama tetangga harus saling menghormati, seorang anak harus berbakti kepada orangtua dan bagaimana cara mendidik anak yang baik.

Srobyong, 26 Oktober 2018 

No comments:

Post a Comment