Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 4 November 2018
Judul : Senandung Bisu
Penulis : Aguk Irawan MN
Penerbit : Republika
Cetakan : Pertama, Februari 2018
Tebal : viii +388 halaman
ISBN : 978-602-0822-99-0
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama,
Jepara
“Di dunia ini, kita tidak bisa mengharap semua orang
akan selalu baik pada kita. Tetapi tidak
berarti semua orang itu jahat kepada kita. Ada orang baik. Pun ada orang jahat.
Ada orang yang pura-pura baik, tetapi sesungguhnya jahat. Ada pula orang yang
tampak jahat walau hakikatnya baik. Engkau jangan terpengaruh omongan para
tetangga yang tidak baik tentang kita.” (hal 64).
Hidup dalam masyarakat kita tidak bisa terhindari
dari gunjing menggunjing. Karena hal itu sudah menjadi kebiasaan di setiap tempat.
Meski kita memahami bahaya lisan atau menggujing, tetap saja kita selalu
melakukannya. Kita seolah menutup mata dan menganggap bahwa hal itu biasa.
Selain itu, kebiasaan lain yang sering terjadi dalam
hidup bermasyarakat dan bertengga adalah rasa iri, cemburu, dengki dan
sombong. Sikap-sikap tersebut selalu ada dan tidak bisa luntur begitu saja.
Padalah sikap-sikap itu merupakan penyakit hati yang harus kita hilangkan dan
jauhi. Allah tidak pernah menyukai orang-orang yang mengagungkan sikap sombong,
iri dan dengki. Mengambil tema tentang
hidup bermasyarakat, novel ini mengungkapkan tentang potret kehidupan
yang sering kita lihat di dunia nyata.
Mengisahkan tentang keluarga pasangan
suami-istri—Dlori dan Zulfin dengan berbagai intrik menarik, mengharukan dan
menggemaskan. Kehidupan mereka awalnya berjalan diliputi dengan rasa bahagia
dan harmonis. Mereka mempercayai filsafat bahwa “banyak anak banyak
rezeki”. Akan tetapi sebuah kejadian
merubah mereka sikap mereka. Hingga putra bungsu mereka—Rahim, menjadi korban
keegoisan orangtuanya.
Dlori dan Zulfin memili lima anak yang rentan
usianya cukup dekat. Harus, Aisyah, Umi, Musa dan Rahim. Empat anak pertama adalah pelita yang sangat dibanggakan Dlori
dan Zulfin, mereka dirawat dengan baik dan disekolah hingga tinggi. Namun tidak dengan Rahim. Bagi mereka Rahim
adalah bencana. Sehingga, mereka tidak pernah memperlakukan Rahim dengan baik.
Bahkan nama itu pun bukan pemberian mereka, tapi diberikan oleh Kyai Na’im.
Kejadian itu ternyata bermula dari sejarah panjang
dari sikap orang-orang yang egois dan sombong. Dulu Dlori selalu rajin bekerja
demi memenuhi kebutuhan pangan dan tabungan untuk sekolah. Akan tetapi ternyata
kebahagiaan yang mereka miliki telah mengundang rasa iri, dengki dan kecemburuan
di mata tetangganya.
Adalah Wurnayi, salah satu tetangga Zulfin yang
diam-diam memiliki rasa iri dan dengki dengan kehidupan pasangan Dlori dan
Zulfin. Dia menebar bara api dengan menggunjingkan dan menjelek-jelekknya
Zulfin. Khususnya tentang Zulfin yang
mudah sekali hamil dan memiliki banyak anak. Gunjingan itu tentu sangat
meresahkan Zulfin.
“Di dalam masyarakat, mau kita suka atau tidak,
pasti akan selalu ada orang yang suka menggunjing, pasti akan selalu ada orang
yang bersikap buruk, walau kita tak pernah menyalahinya, walau kita tak pernah
membuat persoalan dengannya.” (hal 66).
Pada awalnya Dlori dan Zulfin berusaha bersabar dan
tidak memedulikan gunjingan tersebut. Akan tetapi lambat laun, mereka ternyata
tidak tahan juga dan mulai terprovokasi. Zulfin melabrak Wuryani hingga desa
geger.
Membaca kisah ini, kita seperti berada di
tengah-tengah tokoh cerita dengan melihat dan menyaksikan langsung kisah yang
dipaparkan penulis. Menarik dan menggetarkan hati. Apalagi ketika membaca
bagian Rahim yang selalu dilakukan tidak adil.
Diceritakan dengan bahasa yang mudah dipahami, membuat cerita ini asyik
untuk dibaca.
Dan khas tulisan Aguk, buku ini kaya akan wacana
ilmu. Beberapa bagian penulis menjabarkan dengan dalil-dalil yang mendukung
sikap tidak terpuji yang kerap
menggerogoti hati. Hanya saja ada beberapa bagian yang menurut saya kurang
memuaskan dan masih ada beberapa kesalahan.
Namun lepas dari kekurangan yang ada, novel ini
cukup menarik untuk dibaca. Melalui kisah ini kita diingatkan tentang
pentingnya menjaga lisan. Karena lisan itu lebih tajam daripada pedang. Sakit
karena terkena pisau bisa cepat sembuh, namun luka karena ucapan, sulit
disembuhkan. Selain itu kita juga diingatkan untuk tidak memilahara sikap iri,
dengki dan sombong. Lalu sesama tetangga harus saling menghormati, seorang anak
harus berbakti kepada orangtua dan bagaimana cara mendidik anak yang baik.
No comments:
Post a Comment