Thursday, 29 November 2018

[Resensi] Petualangan, Persahabatan dan Sejarah Masa Lalu

Dimuat di Kabar Madura, Kamis 1 November 2018


Judul               : Ceros dan Batozar
Penulis             : Tere Liye
Co-Author       : Diena Yashinta
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, Mei 2018
Tebal               : 376 halaman
ISBN               : 978-602-038-591-4
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

“Ketahuilah, bukan tehnik bertarung, bukan menghancurkan gunung-gunung kekuatan terbaik dunia paralel, melainkan persahabatan.” (hal 124).

Masih tentang petualangan seru tiga sahabat; Raib, Seli dan Ali dengan kekuatan masing-masing. Jika pada seri sebelumnya—(baca novel Bintang)—kita diajak menemukan pasak bumi, maka pada seri ini kita diajak bernostalgia sejenak.  Karena pada seri ini, akan hadir beberapa tokoh di masa lalu, yang nantinya akan memiliki peran penting pada seri selanjutnya, yaitu Komet. Di mana mereka akan diajarkan beberapa teknik baru yang tidak pernah mereka duga.

Novel ini sendiri terbagi akan dua cerita. Pertama tentang pertemuan Raib, Ali dan Seli dengan Ceros. Dan bagian kedua, adalah pertemuan mereka dengan Batozar.  Yang jadi pertanyaan siapa itu Ceros dan Batozar? Maka di sinilah kita bisa menemukan jawabannya.

Dikisahkan pada awalnya Raib, Seli dan Ali tengah mengikuti karyawisata sekolah. Akan tiba-tiba, karena Ali, mereka harus berpisah dari rombongan dan melakukan petualangan sendiri ke tempat tidak terduga dan penuh tantangan. Ali memang tidak pernah bisa diam dan selalu memiliki rasa penasaran yang tinggi. Meski sudah diingatkan berkali-kali oleh Miss Selena, Seli dan Raib untuk tidak menggunakan teknologi klan lain di bumi, Ali tetap bandel.

Seperti kali ini dengan sensor dunia paralel yang dia buat, dia menemukan aktivitas dunia paralel di sekitar bangunan kuno. Kenyataan itu tentu saja membuat Ali yang selalu penasaran sangat bersemangat untuk menyelidikinya (hal 16).

Tidak punya pilihan, akhirnya Seli dan Raib pun ikut serta dengan perjalanan itu. Awalnya mereka sangat terkagum-kagum dengan sebuah tempat yang begitu indah di dasar laut. Namun tidak lama kemudian, mereka dikejutkan dengan sebuah  serangan mendadak dari dua monster. Dua monster itu terus memburu Ily, kapsul terbang yang diciptakan Ali. Berbagai upaya sudah mereka lakukan untuk mengalahkan dua monsters tersebut. Namun hasilnya nihil. Mereka tetap kewalahan dan tidak bisa berkutik di dalam kapsul. Akhirnya mereka memutuskan melawan secara terbuka dengan keluar dari kapsul. Tapi lagi-lagi mereka harus menerima kenyataan kekuatan dua  monster tersebut tidak sebanding dengan kekuatan mereka.  Mereka terpojok.

Beralih pada bagian kedua. Raib, Seli dan Ali mendengar berita bahwa ada seorang buronan  paling berbahaya dari Klan Bulan yang melarikan diri dari penjara. Dialah Batozar, yang dinyatakan telah membantai  seluruh keluarga salah satu anggota Komite Klan Bulan. Miss Selena sudah memperingatkan mereka untuk tidak berurusan dengan Batozar. Namun ternyata takdir berkata lain. Ketidaksengajaan membuat mereka mau tidak mau berhubungan dengan Batozar. 

Namun karena ketidaksengajaan itu telah membuat Raib, Seli dan Ali menyakini bahwa Batozar bukanlah seorang yang jahat. Mungkin telah ada kesalahpahaman yang membuat Batozar dicap sebagai penjahat.

Membaca novel ini kita akan dibuat penasaran dengan jalan cerita yang agar berbeda dari seri  lain  dari “Bumi”. Dan ini menjadi warna segar yang membuat saya semangat ketika membacanya. Penulis mampu menggiring pembaca untuk menyelesaikan bacaan sampai akhir.  Tentang bagaimana akhir pertualangan ketiga tokoh yang terjebak di bawah laut bersama Ceros,  atau bagaiamana Raib bisa membantu Batozar agar tidak diadili dengan salah. Tidak ketinggalan adalah sejarah tidak terduga tentang dunia paralel, yang menjadi kunci kenapa Ceros berada di bawah laut.  Menarik dan membuat penasaran.

Hanya saja ada bagian yang hemat saya tidak dijelaskan penulis lebih mendalam. Misalnya tentang bangunan kuno, yang tidak disebutkan dengan jelas namanya. Namun terlihat mengarah pada sejarah Candi Borobudur, meski ada sedikit perubahan yang dilakukan penulis.  Tapi lepas dari kekurangannya, kisah yang dituturkan tetap asyik untuk dinikmati. Fakta bahwa Tere Liye kembali mengandeng co-author, ternyata tidak mengurangi khas bahasa penulis yang mudah dipahami dan tidak jlimet.

Sindiran-sindiran halus tentang sikap manusia dan masalah politik sosial dalam novel ini sungguh patut kita renungkan dan sebagai bahan pencerahan.  Pelajaran yang bisa kita dapat dari novel ini adalah ajakan untuk  tidak mudah menyerah, selalu tulus dalam berteman, menjunjung tinggi persahabat dan tidak berburuk sangka. “Kamu tidak bisa  menilai seseorang  hanya dari  wajahnya, hanya dari penampilannya. Itu tidak adil.” (hal  180).

Srobyong, 25 Agustus 2018

2 comments: