Dimuat di Kabar Madura, Kamis 1 November 2018
Judul : Ceros dan Batozar
Penulis : Tere Liye
Co-Author : Diena Yashinta
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, Mei 2018
Tebal : 376 halaman
ISBN : 978-602-038-591-4
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
“Ketahuilah, bukan tehnik bertarung, bukan
menghancurkan gunung-gunung kekuatan terbaik dunia paralel, melainkan
persahabatan.” (hal 124).
Masih tentang petualangan seru tiga sahabat; Raib,
Seli dan Ali dengan kekuatan masing-masing. Jika pada seri sebelumnya—(baca
novel Bintang)—kita diajak menemukan pasak bumi, maka pada seri ini kita diajak
bernostalgia sejenak. Karena pada seri
ini, akan hadir beberapa tokoh di masa lalu, yang nantinya akan memiliki peran
penting pada seri selanjutnya, yaitu Komet. Di mana mereka akan diajarkan
beberapa teknik baru yang tidak pernah mereka duga.
Novel ini sendiri terbagi akan dua cerita. Pertama
tentang pertemuan Raib, Ali dan Seli dengan Ceros. Dan bagian kedua, adalah
pertemuan mereka dengan Batozar. Yang
jadi pertanyaan siapa itu Ceros dan Batozar? Maka di sinilah kita bisa
menemukan jawabannya.
Dikisahkan pada awalnya Raib, Seli dan Ali tengah
mengikuti karyawisata sekolah. Akan tiba-tiba, karena Ali, mereka harus
berpisah dari rombongan dan melakukan petualangan sendiri ke tempat tidak
terduga dan penuh tantangan. Ali memang tidak pernah bisa diam dan selalu
memiliki rasa penasaran yang tinggi. Meski sudah diingatkan berkali-kali oleh
Miss Selena, Seli dan Raib untuk tidak menggunakan teknologi klan lain di bumi,
Ali tetap bandel.
Seperti kali ini dengan sensor dunia paralel yang
dia buat, dia menemukan aktivitas dunia paralel di sekitar bangunan kuno.
Kenyataan itu tentu saja membuat Ali yang selalu penasaran sangat bersemangat
untuk menyelidikinya (hal 16).
Tidak punya pilihan, akhirnya Seli dan Raib pun ikut
serta dengan perjalanan itu. Awalnya mereka sangat terkagum-kagum dengan sebuah
tempat yang begitu indah di dasar laut. Namun tidak lama kemudian, mereka
dikejutkan dengan sebuah serangan
mendadak dari dua monster. Dua monster itu terus memburu Ily, kapsul terbang
yang diciptakan Ali. Berbagai upaya sudah mereka lakukan untuk mengalahkan dua
monsters tersebut. Namun hasilnya nihil. Mereka tetap kewalahan dan tidak bisa
berkutik di dalam kapsul. Akhirnya mereka memutuskan melawan secara terbuka
dengan keluar dari kapsul. Tapi lagi-lagi mereka harus menerima kenyataan
kekuatan dua monster tersebut tidak
sebanding dengan kekuatan mereka. Mereka
terpojok.
Beralih pada bagian kedua. Raib, Seli dan Ali
mendengar berita bahwa ada seorang buronan
paling berbahaya dari Klan Bulan yang melarikan diri dari penjara.
Dialah Batozar, yang dinyatakan telah membantai
seluruh keluarga salah satu anggota Komite Klan Bulan. Miss Selena sudah
memperingatkan mereka untuk tidak berurusan dengan Batozar. Namun ternyata
takdir berkata lain. Ketidaksengajaan membuat mereka mau tidak mau berhubungan
dengan Batozar.
Namun karena ketidaksengajaan itu telah membuat
Raib, Seli dan Ali menyakini bahwa Batozar bukanlah seorang yang jahat. Mungkin
telah ada kesalahpahaman yang membuat Batozar dicap sebagai penjahat.
Membaca novel ini kita akan dibuat penasaran dengan
jalan cerita yang agar berbeda dari seri
lain dari “Bumi”. Dan ini menjadi
warna segar yang membuat saya semangat ketika membacanya. Penulis mampu
menggiring pembaca untuk menyelesaikan bacaan sampai akhir. Tentang bagaimana akhir pertualangan ketiga
tokoh yang terjebak di bawah laut bersama Ceros, atau bagaiamana Raib bisa membantu Batozar
agar tidak diadili dengan salah. Tidak ketinggalan adalah sejarah tidak terduga
tentang dunia paralel, yang menjadi kunci kenapa Ceros berada di bawah
laut. Menarik dan membuat penasaran.
Hanya saja ada bagian yang hemat saya tidak
dijelaskan penulis lebih mendalam. Misalnya tentang bangunan kuno, yang tidak
disebutkan dengan jelas namanya. Namun terlihat mengarah pada sejarah Candi
Borobudur, meski ada sedikit perubahan yang dilakukan penulis. Tapi lepas dari kekurangannya, kisah yang
dituturkan tetap asyik untuk dinikmati. Fakta bahwa Tere Liye kembali
mengandeng co-author, ternyata tidak mengurangi khas bahasa penulis yang
mudah dipahami dan tidak jlimet.
Sindiran-sindiran halus tentang sikap manusia dan
masalah politik sosial dalam novel ini sungguh patut kita renungkan dan sebagai
bahan pencerahan. Pelajaran yang bisa
kita dapat dari novel ini adalah ajakan untuk
tidak mudah menyerah, selalu tulus dalam berteman, menjunjung tinggi
persahabat dan tidak berburuk sangka. “Kamu tidak bisa menilai seseorang hanya dari
wajahnya, hanya dari penampilannya. Itu tidak adil.” (hal 180).
Srobyong, 25 Agustus 2018
Mau dong bukuku diresensiin juga
ReplyDeleteMaaf Mas, belum punya buku sampeyan 🙏
Delete