Dimuat di Koran Jakarta, Kamis 1 November 2018
Judul : Change Your Destiny
Penulis : Rully Roesli
Penerbit : Qanita
Cetakan : Pertama, Agustus 2018
Tebal : 200 halaman
ISBN : 978-602-402-124-5
Peresensi : Ratnani Latifah, Alumna Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
Terlahir sebagai seorang disabilitas, hal itu tidak menghalangi Rully
Roesli untuk berjuang meraih cita-citanya menjadi dokter. Dengan ketekunan, semangat juang tinggi dan
tidak mudah putus asa, dia akhirnya berhasil menjadi dokter ginjal terkemuka di
Indonesia. Bahkan dia berhasil mendirikan RS khusus Ginjal Ny. R.A Habibie.
Buku ini memberikan energi positif kepada siapa saja
yang membacanya. Menginspirasi dan sangat memotivasi. Memaparkan tentang
semangat merubah takdir yang kita miliki dengan mengenal
dan meningkatkan potensi diri sendiri. “Kadang kehidupan dapat menumbangkan kita. Kitalah yang memutuskan
untuk tetap jatuh atau kembali bangkit.” (hal 61).
Pada usia lima tahun, Rully tiba-tiba terserang
penyakit polio, yang menyebabkan kelumpuhan permanen pada kaki kirinya. Keadaan
itu tentu saja mengubah jalan hidup Rully. Akan tetapi dia berani melawan
takdir tersebut. Alih-alih merasa terpuruk, Rully memilih bangkit dan
mengembangkan potensi yang dia miliki. Dia menyakini bahwa seseorang yang telah
dilahirkan dengan kondisi yang “kurang beruntung”, sebenarnya diberi kesempatan
untuk mengubah nasibnya (hal 35).
Dia juga menyadari bahwa setiap manusia itu memiliki kedudukan sama. Baik penyandang
disabilitas atau tidak, masing-masing memiliki hak untuk berprestasi dan meraih kesuksesan. Kunci untuk meraih kesuksesan itu adalah mau berusaha
dengan gigih, berdoa dengan sungguh-sungguh dan tawakal kepada Allah.
Selain Rully, dipaparkan juga tentang
pengalaman-pengalaman menarik dari para penyandang disabilitas lain, yang telah
berani untuk merubah takdir mereka. Keterbatasan yang dimiliki, tidak
menghalangi mereka untuk berprestasi dan mengejar mimpi hingga meraih
kesuksesan.
Adalah Jessica Cox. Dia terlahir tanpa lengan. Keadaan
itu sempat membuat dia marah sedih, karena kekurangan fisiknya itu telah
membuat dia kesulitan dalam melakukan berbagai aktivitas. Akan tetapi pada usia
empat tahun. Jessica berhasil mengatasi kekurangannya dan mulai percaya diri. Lalu pada usia 10 tahun dia ikut pelatihan
taekwondo di sekolahnya, dan berhasil meraih sabuk hitamnya pada usia 14 tahun.
Prestasi lain yang diperolahnya adalah berhasil
menyabet gelar juara pertandingan Arizona State Champion dalam peserta
umum, bukan khusus penyandang difabel. Tidak hanya menggeluti taekwondo, dia
juga aktif dalam olahraga renang, selam dan selancar. Yang lebih menakjubkan
adalah dia berhasil mengantongi lisensi pilot. Dia memperoleh pernghargaan “Guinness
World Record : The Only Pilot to Fly with Their Feet—satu-satunya pilot yang
terbang menggunakan kakinya—dan US Inspiration Awards for Woman 2012”. Dia
telah menjadi pembicara motivasi dan berbagi pengalaman hidupnya di 20 negara
yang berbeda. Tahun 2015 dia telah menerbitkan buku autobiografi dengan judul Disarm
Your Limits (Lucuti Keterbatasan Anda). (hal 116-117).
Dari negeri sendiri, ada Untung, yang merupakan
seorang guru yang lahir di Madura.
Sebagaimana Jessica Cox, dia juga terlahir tanpa tangan. Namun keadaan
itu tidak membuatnya sedih berkepanjangan. Menurutnya masih banyak hal yang
patut disyukuri. Tidak ada tangan, masih ada kaki. Meski dia kerap diganggu dan harus berjuang
lebih keras saat menempuh pendidikan di sekolah umum, Untung tetap menjalani
dengan kuat dan tegar.
Dan meski menjadi penyandang cacat permanen, hal itu
tidak menghalanginya untuk menjadi seorang guru. Karena baginya guru adalah
panggilan jiwanya. Dia memiliki etos
kerja yang sangat baik, sehingga
meskipun statusnya sebagai guru
honorer, oleh teman-temannya dia diangkat sebagai Wakil Kepala Sekolah. Selain
menjadi guru, untuk menafkahi keluarganya dia juga beternak ayam di kampung
(hal 118).
Selain dua tersebut masih ada kisah-kisah lain
penyandang disabilitas yang telah berhasil meraih kesuksesan. Seperti Helen Keller, Albert Einstein, Ludwig Van
Beethoven, Louis Braille, Stephen William Hawking dan banyak lagi. Merekalah orang-orang yang telah menjadikan
kecatatan tubuhnya sebagai epinafi atau titik balik kehidupan. Sebuah titik balik yang mengarahkan mereka
pada jalan yang lebih baik.
Melalui buku ini kita bisa mengambil pelajaran,
bahwa dalam menghadapi berbagai masalah, kita harus percaya dengan kemampuan
diri sendiri, gigih dalam berjuang dan tidak mudah putus ada dengan keadaan
yang menimpa kita. Keunggulan lain dari
buku ini adalah penulis menggabungkan dasar ilmiah dengan kajian agama yang
selaras dan mudah dicerna.
Srobyong, 19 Oktober 2018
No comments:
Post a Comment