Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 14 Oktober 2018
Judul : Hijrah itu Cinta
Penulis : Abay Adhitya
Penerbit : Penerbit Bunyan imprint of Bentang
Pustaka
Cetakan : Pertama, Mei 2018
Tebal : viii +276 halaman
ISBN : 978-602-291-478-5
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
Hijrah merupakan usaha yang dilakukan seseorang untuk meraih jalan yang lebih baik. Misalnya dari yang malas beribadah, menjadi
rajin beribadah. Dari mengumbar aurat menjadi menutup aurat dan masih banyak
lagi contoh lainnya. Proses ini bisa
terjadi kepada siapa saja yang dikehendaki oleh Allah. Tidak peduli latar
keluarga atau pendidikan, jika Allah sudah berkehendak, maka tidak ada yang
bisa menghalanginya.
“Ingat setiap orang suci punya masa lalu, dan setiap
orang yang berdosa punya masa depan. Setiap orang bisa berubah setiap waktu
kalau Allah berkehendak.” (hal 100).
Allah adalah sebaik-baik sutradara bagi seluruh
manusia. Dia-lah yang paling tahu apa yang terbaik untuk hamban-Nya. Jangan
karena amarah dan dendam, kita malah menjauh dari nikmat Allah. Seyogyanya kita harus sabar, ikhlas dan
selalu mendekatkan diri kepada Allah. Membaca novel ini kita bisa mengambil
banyak sekali pembelajaran hidup. Dari ajakan untuk selalu berserah kepada
Allah, sabar ketika mendapat ujian, juga
seruan untuk terus memperbaiki diri di mana pun dan kapaun berada. Tidak
ketinggalan adalah larangan bagi kita untuk tidak menilai seseorang hanya dari
luarnya saja.
Novel ini sendiri berkisah tentang Senja yang selama hidupnya harus memeluk
luka, karena ayahnya. Kepergian ayahnya
meninggalkan sang ibu, membuat hidup mereka tidak keruan. Dimulai dari mendapat
panggilan ‘jaddah’ hingga berbagai masalah pelik lainnya. Akan tetapi, ketika kebencian Senja makin
menggunung pada ayahnya, tiba-tiba dia mendapat sebuah hidayah yang membuatnya
berniat untuk hijrah. Apalagi setelah
pertemuannya dengan Fajar, teman di masa lalunya, memberi banyak warna dalam
perjalanannya menjadi muslimah yang lebih baik.
Ada pula Satria yang tidak pernah mendapat kasih
sayang dari orangtuanya, yang selalu sibuk bekerja, membuat dirinya
melampiaskan dengan bermain banyak wanita. Hingga suatu hari sebuah ketukan
membuat Satria ingin meninggalkan masa kelamnya. Yang menjadi pertanyaannya, berhasilkan usaha mereka menunju jalan
kebaikan? Atau mereka malah kembali terjebak pada jalan persimpangan?
Selain menggagas masalah hijrah, dalam novel ini ada
pula bumbu cinta yang akan semakin membuat kisah ini menarik. Kisah cinta
segitiga antara Fajar, Senja dan Satria
yang tidak terduga. Kira-kira pada siapa
cinta itu akan berlabuh?
Sebuah novel religi yang cukup menarik. Hanya saja
saya tidak terlalu suka dengan gaya bercerita penulis yang masih terasa
monoton, bahkan seringkali mirip non-fiksi. Hal ini pula yang saya rasakan pada
novel sebelumnya “Cinta dalam Ikhlas”. namun lepas dari kekurangannya,
nilai-nilai pembalajaran bertaburan dalam kisah ini. Di antaranya kita diajak
untuk tidak suka mencela dan memaki orang. Karena bisa jadi orang yang kita
caci atau cela itu lebih baik dari kita.
“Hijrah itu proses, slow but sure. Kalau belum bisa
semua, sebagian dulu lakukan. Jadi jangan pernah kita nge-judge, orang yang
sedang berproses untuk berhijrah. Jangan pernah mencerca. Jangan pernah memaki.
Melainkan kita harus saling mendoakan terus-menerus agar lebih banyak kebaikan
yang kita lakukan dibanding keburukan.” (hal 100).
KIta juga diingatkan tentang pentingnya niat. Karena
dengan niat yang akan menumbuhkan kebaikan lainnya. Sebaliknya niat buruk, juga
akan menimbulkan keburukan yang tidak terduga. Kita harus niat hanya karena
Allah. “Hijrah itu niatnya harus karena Allah, bukan karena manusia. So,
jadikan lelah kita dalam, berhijrah sebagai lillah, insya Allah bakal nikmat
kita jalaninya.” (hal 100).
Srobyong, 7 September 2018
No comments:
Post a Comment