Tuesday, 20 November 2018

[Resensi] Hijrah untuk Meraih Cinta-Nya

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 14 Oktober 2018 


Judul               : Hijrah itu Cinta
Penulis             : Abay Adhitya
Penerbit           : Penerbit Bunyan imprint of Bentang Pustaka
Cetakan           : Pertama, Mei 2018
Tebal               : viii +276 halaman
ISBN               : 978-602-291-478-5
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Hijrah merupakan usaha yang dilakukan seseorang  untuk meraih jalan yang lebih baik.  Misalnya dari yang malas beribadah, menjadi rajin beribadah. Dari mengumbar aurat menjadi menutup aurat dan masih banyak lagi contoh lainnya.  Proses ini bisa terjadi kepada siapa saja yang dikehendaki oleh Allah. Tidak peduli latar keluarga atau pendidikan, jika Allah sudah berkehendak, maka tidak ada yang bisa menghalanginya. 

“Ingat setiap orang suci punya masa lalu, dan setiap orang yang berdosa punya masa depan. Setiap orang bisa berubah setiap waktu kalau Allah berkehendak.” (hal 100).

Allah adalah sebaik-baik sutradara bagi seluruh manusia. Dia-lah yang paling tahu apa yang terbaik untuk hamban-Nya. Jangan karena amarah dan dendam, kita malah menjauh dari nikmat Allah.  Seyogyanya kita harus sabar, ikhlas dan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Membaca novel ini kita bisa mengambil banyak sekali pembelajaran hidup. Dari ajakan untuk selalu berserah kepada Allah, sabar ketika mendapat ujian, juga  seruan untuk terus memperbaiki diri di mana pun dan kapaun berada. Tidak ketinggalan adalah larangan bagi kita untuk tidak menilai seseorang hanya dari luarnya saja.

Novel ini sendiri berkisah tentang  Senja yang selama hidupnya harus memeluk luka, karena  ayahnya. Kepergian ayahnya meninggalkan sang ibu, membuat hidup mereka tidak keruan. Dimulai dari mendapat panggilan ‘jaddah’ hingga berbagai masalah pelik lainnya.  Akan tetapi, ketika kebencian Senja makin menggunung pada ayahnya, tiba-tiba dia mendapat sebuah hidayah yang membuatnya berniat untuk hijrah.  Apalagi setelah pertemuannya dengan Fajar, teman di masa lalunya, memberi banyak warna dalam perjalanannya menjadi muslimah yang lebih baik.

Ada pula Satria yang tidak pernah mendapat kasih sayang dari orangtuanya, yang selalu sibuk bekerja, membuat dirinya melampiaskan dengan bermain banyak wanita. Hingga suatu hari sebuah ketukan membuat Satria ingin meninggalkan masa kelamnya.  Yang menjadi pertanyaannya,  berhasilkan usaha mereka menunju jalan kebaikan? Atau mereka malah kembali terjebak pada jalan persimpangan?

Selain menggagas masalah hijrah, dalam novel ini ada pula bumbu cinta yang akan semakin membuat kisah ini menarik. Kisah cinta segitiga   antara Fajar, Senja dan Satria yang tidak terduga.  Kira-kira pada siapa cinta itu akan berlabuh?

Sebuah novel religi yang cukup menarik. Hanya saja saya tidak terlalu suka dengan gaya bercerita penulis yang masih terasa monoton, bahkan seringkali mirip non-fiksi. Hal ini pula yang saya rasakan pada novel sebelumnya “Cinta dalam Ikhlas”. namun lepas dari kekurangannya, nilai-nilai pembalajaran bertaburan dalam kisah ini. Di antaranya kita diajak untuk tidak suka mencela dan memaki orang. Karena bisa jadi orang yang kita caci atau cela itu lebih baik dari kita.

“Hijrah itu proses, slow but sure. Kalau belum bisa semua, sebagian dulu lakukan. Jadi jangan pernah kita nge-judge, orang yang sedang berproses untuk berhijrah. Jangan pernah mencerca. Jangan pernah memaki. Melainkan kita harus saling mendoakan terus-menerus agar lebih banyak kebaikan yang kita lakukan dibanding keburukan.” (hal 100).

KIta juga diingatkan tentang pentingnya niat. Karena dengan niat yang akan menumbuhkan kebaikan lainnya. Sebaliknya niat buruk, juga akan menimbulkan keburukan yang tidak terduga. Kita harus niat hanya karena Allah. “Hijrah itu niatnya harus karena Allah, bukan karena manusia. So, jadikan lelah kita dalam, berhijrah sebagai lillah, insya Allah bakal nikmat kita jalaninya.”  (hal 100).

Srobyong, 7 September 2018 

No comments:

Post a Comment