Saturday 1 December 2018

[Resensi] Berdamai dengan Rasa Takut

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 18 November 2018 


Judul               : Turtles All The Way Down
Penulis             :  John Green
Penerjemah      : Prisca Primasari
Penerbit           : Qanita
Cetakan           : Pertama, April 2018
Tebal               : 344 halaman
ISBN               : 978-602-402-115-3
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Buku ini ditulis oleh John Green, penulis yang sebelumnya telah melahirkan buku best seller “The Fault in Our Stars” dan “Looking for Alasaka”. Sebagaimana buku sebelumnya, karya John Green ini pun telah mendapat banyak perhatian dan telah dinanti-nantikan oleh pembaca. Maka tidak salah jika kemudian buku terbarunya kembali mendulang sukses. Bahkan buku ini telah menyabet beberapa penghargaan bergengsi. John Green telah berhasil mengharu birukan para pembacanya lewat kisah yang romantis, humanis dan filosifis.  Lewat buku ini secara tidak langsung juga telah menunjukkan, bahwa John Green identik suka menulis kisah dengan latar tokoh yang berpenyakit.

Menceritakan tentang kehidupan Aza Holmes, gadis yang jika terlihat dari luar nampak biasa dan tidak memiliki masalah. Akan tetapi ketika kita mengenalnya lebih dekat, maka kita akan tahu, bahwa dia memiliki kecenderungan  suka gugup dan khawatir. Dia memiliki penyakit OCD—obsessive compulsive disorder. Mengutip dari  artikel karya Novita Josep, di web hello sehat, OCD adalah sebuah gangguan psikologi yang dapat mempengaruhi pikiran (obsesif) dan perilaku (kompulsif) manusia.  Kelainan ini akan menaganggu pikiran penderitanya dengan menghasilkan rasa gelisah, cemas, khawatir, takut dan menuntut hal yang sama berulang kali.

Aza selalu memiliki kekhawatiran berlebih, sehingga sering kali memunculkan berbagai pikiran di kelapa seperti, berbahayanya tentang gejala infeksi bakteri Clostridium difficile,  yang bisa berakibat fatal pada dirinya, mikroba manusia dan banyak lagi. Sehingga dia perlu membersihkan diri lagi dan lagi.  Meski berbeda, Aza tetaplah remaja biasa yang tetap bersekolah dan bergaul, meski harus berperang dengan pikirannya sendiri.  Aza memiliki sahabat terdekat bernama Daisy, yang telah mengenal berbagai tindakan aneh yang kerap terjadi pada Aza.

Kehidupan dua remaja itu awalnya berjalan normal, hingga suatau hari Daisy mengajak Aza untuk menyelidiki hilangnya seorang miliarder—Russell Pickett—yang berhadiah seratus ribu dolar. Untuk itulah mereka perlu mendekati putra sang miliarder untuk mengorek keterangan. Namun siapa sangka, putra miliarder tersebut, ternyata teman lama Daisy di masa kecilnya dulu, Davis  Pickett.

Dan di sinilah masalahnya, dalam upaya menyelidiki keberadaan Russell Pickett, Aza malah terjebak dalam zona cinta dengan  Davis. Keadaan yang kemudian membuat Aza kembali mengamali dilema berat terhadap pikirannya sendiri. Aza sangat menyadari bagaimana takutnya dirinya jika harus berdekatan dengan orang lain, saling bergesekan, jika di dalam pikirannya sering tumbuh ketakutan dan kekhawatiran tentang bakteri yang  tiba-tiba bisa menyerang dirinya.  Meskipun Aza melakukan pengobatan dengan sesi konseling, hal itu tidak mengurangi kekhawatiran dan ketakutan yang sering bersarang di kepalanya.

Belum lagi masalah lain yang muncul, yang membuat Aza harus berpikir ulang dalam menetukan keputusan  terbaik. Karena hal itu bisa memengaruhi kehidupan orang lain. Fakta menarik yang tidak sengaja dia temukan, ternyata bisa jadi akan menimbulkan kesengsaraan bagi Davis dan adiknya.

Membaca kisah ini, kita akan dihadapkan pada petualangan gadis remaja yang cukup menarik. kecerdasan menganalisa situasi patut untuk diacungi jempol. Dan lagi, meski Aza memiliki ketakutan tersendiri dalam hidupnya, dia tetap berusaha menjalaninya dengan baik. Novel ini menggagas tentang keuletan hidup yang dipadukan dengan kisah kekuatan persahabatan serta ketulusan cinta. Membuat kita seperti melihat langsung kisah tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Hanya saja bagi saya sendiri, novel ini belum sepenuhnya membuat saya jatuh cinta. Pada beberapa bagian, saya merasa ada  alur cerita,  yang cukup membosankan. Saya juga kurang suka dengan gaya bahasa penulis yang menurut hemat saya kurang lugas dan cukup sulit untuk dicerna. Memang benar kesuksesan sebuah buku tidak menjamin sebuah buku bisa dibaca dan disukai semua orang. Karena pada dasarnya semua kembali pada selera masing-masing pembaca.

Namun lepas dari kekurangannya novel ini banyak mengajarkan untuk berdamai dengan rasa takut. Bahwa kita harus berani menghadapi hidup. Tidak apa-apa kadang kita jatuh dan sedih, namun kita harus kuat dna terus melangkah. 

Srobyong, 11 November 2018

No comments:

Post a Comment