Monday 16 April 2018

[Resensi] Kisah Tentang Pertarungan dan Daya Tahan Manusia

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 15 April 2018 



Judul               : Yang Bertahan dan Binasa Perlahan
Penulis             : Okky Madasari
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, Juli 2017
Tebal               : 196 halaman
ISBN               : 978-602-0361-21-5
Peresensi         : Ratnani Latifah, Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama, Jepara

Dalam hidup ini akan selalu ada pertarungan. Apakah kita mau melakukan pertarungan dan bisa bertahan, atau kita memilih menyereah dengan keadaan. Kumpulan cerpen ini ditulis oleh Okky Madasari, penulis yang  dikenal dengan karya-karyanya yang selalu menyuarakan kritik sosial. Kerap mempertanyakan hal-hal kekinian, pertarungan manusia dengan diri sendiri, lingkungan, yang menjadi kegelisahan utama generasi zaman.

Buku ini sendiri terdiri dari 19 cerpen dengan paparan yang sederhana dan sangat dekat dengan kehidupan di sekitar kita. Kadang ada yang terasa memilukan, mengharukan bahkan sangat menyentil, membuat kita berpikir ulang tentang berbagai fenomena yang sudah tidak tabu  di  masyarakat, bahkan kadang sudah dilegalkan.

Misalnya kisah berjudul “Yang Bertahan dan Binasa Perlahan” Menceritakan tentang Bandiman yang berusaha memperbaiki kehidupannya agar lebih baik dengan memilih meninggalkan kampungnya dengan bertransmigrasi.  Padahal di sana—di desa Giriharjo, terkenal dengan prinsip hidup “lahir di sini, ya mati di sini” (hal 15).

Tapi iming-iming yang disampaikan petugas pemerintah yang menjanjikan tanah luas dan rumah, membuat Bandiman yang selama ini diremehkan kelurga dan mertunya, nekat membawa keluarganya meninggalkan desa. Namun ketika mereka akhirnya sampai di daerah baru, tiba-tiba Bandiman menanyakan kembali, benarkah pilihan yang dia pilih itu benar?

Ada pula kisah “Janin” yang menurut hemat saya sangat menyentil. Mengambil sudut pandang janin sebagai pencerita, kita akan berpikir ulang tentang bagaimana cara memperlakukan janin yang tertanam dalam perut kita. Di mana di sini kita akan dihadapkan pada perjalanan sebuah janin yang harus menerima keadaan mengerikan dari sang ibu.

“Udara yang aku hirup adalah racun, minuman yang aku teguk adalah limbah, dan yang bisa kumakan hanyalah sampah. Suara yang aku dengar adalah maki, doa untukku adalah sesal, belaian bagiku adalah guncangan-guncangan kasar.” (hal 63).

Keberadaan janin ini ternyata tidak disukai ibunya. Berkali-kali sang ibu berusaha melenyapkannya. Namun benarkan semudah itu kita bisa meluruhkan dosa yang pernah kita perbuat?

Tidak kalah menarik adalah adalah cerpen berjudul “Keumala” sebuah potret dari kehidupan anak yang lahir dari sebuah kesalahan yang kemudian terus dijadikan kambing hitam oleh kakek dan neneknya.“Keumala adalah simbol dosa, wujud petaka.” (hal 103). Dianggap aib, hingga membuat psikologi anak menjadi kacau. Dia  pun hidup dalam kubangan rasa bersalah, dia selalu merasa menjadi terdakwah.  

Kemudian ada kisah berjudul “Partai Pengasih” yang memaparkan kisah tentang Kyai Noto. Dia adalah sesepuh desa yang dihormati karena kehebatannya dalam membantu berbagai permasalahan warga dengan doa-doanya yang mustajab. Oleh sebab itu, banyak orang—baik dari desanya sendiri, juga dari desa tetangga datang untuk meminta bantuan—itulah yang sering disebut pengasih.

Bahkan ketika sedang rame kampanye, banyak orang-orang partai yang datang untuk meminta pengasih dari Kyai Noto agar partai mereka bisa menang. Seperti biasanya Kyai Noto pun memberikan wejarangan sesuai permintaan tamu yang datang.  Tidak mau kalah para penduduk pun berbondong-bondong meminta pendapat Kyai Noto, tentang parta apa yang sebaiknya dipilih. Di sinilah klimaks cerita yang akhirnya akan membuat kita tertegun juga tersenyum maklum. Menggelitik dan menghibur.

Selain beberapa kisah tersebut, kisah lainnya seperti, Sarap, Pemain Topeng, Laki-laki di Televisi, Hasrat, Riuh dan banyak lagi pun tidak kalah seru untuk dibaca. Semua memiliki keunikan dan daya pikat tersendiri.  Membaca kisah-kisah ini semakin membuat saya sadar bahwa masih banyak ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat. “Yang tertangkap dalam kasus korupsi adalah orang-orang rendahan yang hanya dipakai oleh mereka yang punya kekuasaan.” (hal 137).

Selain itu dalam kisah-kisah ini banyak juga kritik sosial dan politik baik yang tersirat atau tersurat. Yang paling saya sukai dari buku ini adalah gaya bercerita penulis yang sederhana dan tidak membuat pusing. Beberapa kekurangan yang ada dalam buku ini tidak mengurangi keseruan dalam membaca.

Srobyong, 17 Maret 2018 

No comments:

Post a Comment