Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 15 April 2018
Judul :
Yang Bertahan dan Binasa Perlahan
Penulis :
Okky Madasari
Penerbit :
Gramedia
Cetakan :
Pertama, Juli 2017
Tebal :
196 halaman
ISBN :
978-602-0361-21-5
Peresensi :
Ratnani Latifah, Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama, Jepara
Dalam hidup ini akan selalu ada pertarungan. Apakah
kita mau melakukan pertarungan dan bisa bertahan, atau kita memilih menyereah
dengan keadaan. Kumpulan cerpen ini ditulis oleh Okky Madasari, penulis
yang dikenal dengan karya-karyanya yang
selalu menyuarakan kritik sosial. Kerap mempertanyakan hal-hal kekinian,
pertarungan manusia dengan diri sendiri, lingkungan, yang menjadi kegelisahan
utama generasi zaman.
Buku ini sendiri terdiri dari 19 cerpen dengan
paparan yang sederhana dan sangat dekat dengan kehidupan di sekitar kita.
Kadang ada yang terasa memilukan, mengharukan bahkan sangat menyentil, membuat
kita berpikir ulang tentang berbagai fenomena yang sudah tidak tabu di
masyarakat, bahkan kadang sudah dilegalkan.
Misalnya kisah berjudul “Yang Bertahan dan Binasa
Perlahan” Menceritakan tentang Bandiman yang berusaha memperbaiki kehidupannya
agar lebih baik dengan memilih meninggalkan kampungnya dengan bertransmigrasi. Padahal di sana—di desa Giriharjo, terkenal dengan
prinsip hidup “lahir di sini, ya mati di sini” (hal 15).
Tapi iming-iming yang disampaikan petugas pemerintah
yang menjanjikan tanah luas dan rumah, membuat Bandiman yang selama ini
diremehkan kelurga dan mertunya, nekat membawa keluarganya meninggalkan desa.
Namun ketika mereka akhirnya sampai di daerah baru, tiba-tiba Bandiman
menanyakan kembali, benarkah pilihan yang dia pilih itu benar?
Ada pula kisah “Janin” yang menurut hemat saya
sangat menyentil. Mengambil sudut pandang janin sebagai pencerita, kita akan
berpikir ulang tentang bagaimana cara memperlakukan janin yang tertanam dalam
perut kita. Di mana di sini kita akan dihadapkan pada perjalanan sebuah janin
yang harus menerima keadaan mengerikan dari sang ibu.
“Udara yang aku hirup adalah racun, minuman yang aku
teguk adalah limbah, dan yang bisa kumakan hanyalah sampah. Suara yang aku
dengar adalah maki, doa untukku adalah sesal, belaian bagiku adalah
guncangan-guncangan kasar.” (hal 63).
Keberadaan janin ini ternyata tidak disukai ibunya. Berkali-kali
sang ibu berusaha melenyapkannya. Namun benarkan semudah itu kita bisa
meluruhkan dosa yang pernah kita perbuat?
Tidak kalah menarik adalah adalah cerpen berjudul
“Keumala” sebuah potret dari kehidupan anak yang lahir dari sebuah kesalahan yang
kemudian terus dijadikan kambing hitam oleh kakek dan neneknya.“Keumala adalah
simbol dosa, wujud petaka.” (hal 103). Dianggap aib, hingga membuat psikologi
anak menjadi kacau. Dia pun hidup dalam
kubangan rasa bersalah, dia selalu merasa menjadi terdakwah.
Kemudian ada kisah berjudul “Partai Pengasih” yang
memaparkan kisah tentang Kyai Noto. Dia adalah sesepuh desa yang dihormati
karena kehebatannya dalam membantu berbagai permasalahan warga dengan
doa-doanya yang mustajab. Oleh sebab itu, banyak orang—baik dari desanya
sendiri, juga dari desa tetangga datang untuk meminta bantuan—itulah yang
sering disebut pengasih.
Bahkan ketika sedang rame kampanye, banyak
orang-orang partai yang datang untuk meminta pengasih dari Kyai Noto agar
partai mereka bisa menang. Seperti biasanya Kyai Noto pun memberikan wejarangan
sesuai permintaan tamu yang datang.
Tidak mau kalah para penduduk pun berbondong-bondong meminta pendapat
Kyai Noto, tentang parta apa yang sebaiknya dipilih. Di sinilah klimaks cerita
yang akhirnya akan membuat kita tertegun juga tersenyum maklum. Menggelitik dan
menghibur.
Selain beberapa kisah tersebut, kisah lainnya
seperti, Sarap, Pemain Topeng, Laki-laki di Televisi, Hasrat, Riuh dan banyak
lagi pun tidak kalah seru untuk dibaca. Semua memiliki keunikan dan daya pikat
tersendiri. Membaca kisah-kisah ini
semakin membuat saya sadar bahwa masih banyak ketimpangan sosial yang terjadi
di masyarakat. “Yang tertangkap dalam kasus korupsi adalah orang-orang
rendahan yang hanya dipakai oleh mereka yang punya kekuasaan.” (hal 137).
Selain itu dalam kisah-kisah ini banyak juga kritik
sosial dan politik baik yang tersirat atau tersurat. Yang paling saya sukai
dari buku ini adalah gaya bercerita penulis yang sederhana dan tidak membuat
pusing. Beberapa kekurangan yang ada dalam buku ini tidak mengurangi keseruan
dalam membaca.
Srobyong, 17 Maret 2018
No comments:
Post a Comment