Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 20 Mei 2018
Judul : Ha Nahnu Dza
Penulis : Ira Madan
Penerbit : Tinta Medina, Imprint of Tiga
Serangkai
Cetakan : Pertama, Mei 2017
Tebal : x + 438 halamn
ISBN : 978-602-0894-64-5
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama Jepara
Pendidikan di pesantren identik dengan pendidikan
Islam yang kental. Di mana di pesantren, kita akan diajak belajar berbagai
kajian ilmu agama dari ilmu fiqih,
hadis, Al-quaran, ushul fiqih dan berbagai kajian ilmu lainnya. Selain itu dalam pesantren kita
juga dididik hidup dalam suasana yang kental akan ukhuah
islamiyah—persaudaraan, saling
mengharagi perbedaan status, adat dan budaya dari masing-masing santri—jika
memang tidak berasal dari daerah yang sama.
Selain itu di pesantren kita juga dididik menjadi anak yang memiliki mental kuat,
semangat juang mengali ilmu dan disiplin tinggi, karena terbiasa mengikuti
aturan-aturan yang berlaku.
Setidaknya inilah beberapa hal yang ingin
disampaikan Ira Madan—penulis asal Sumatra Utara—melalui karyanya “Ha Nahnu
Dza”—novel yang menjadi salah satu nominasi “Islamic Book Award 2018” dalam
kategori fiksi dewasa. Mengambil latar
pesantren sebagai setting cerita, Ira Madan berhasil menyuguhkan kisah
yang cukup menarik untuk dikaji bagi masyarakat luas.
Novel ini sendiri berkisah tentang empat tokoh
laki-laki remaja yang tengah mencari pencarian jati diri, usaha dalam meraih mimpi, dengan berbagai aspek
masalah keluarga yang tengah di hadapi. Ada
Sadam Husein, terlahir dari keluarga sederhana. Karena sebuah insiden dia
kemudian menjadi asisten Saiful—putra dari atasan ayahnya. Namun di sinilah
masalahnya, Saiful selalu berlaku menyebalkan dan membuat Sadam harus selalu
mengalah—bahkan harus bersediah mengerjakan tugas Saiful. Demi bisa lepas dari Saiful, Sadam akhirnya
memutuskan belajar di pesantren. Namun kenyataan tidak terduga, kembali
menghantui Sadam (hal 18).
Ada pula Sayydina Ali, seorang mualaf yang masih
enggan belajar agama Islam. Andai ibunya tidak menikah dengan seorang ustad,
pasti dia tidak perlu repot belajar shalat atau membaca Al-Quran. Namun demi
sang ibu, Ali dituntut belajar bahkan dimasukkan ke pesantren. Kemudian ada
Daffa Amhar yang mengidap savant syndrome, yang memilih masuk pesantren demi
bisa dekat dengan kakan satu ayah dengannya. Dan terakhir ada Nafiz Bunayya,
anak dari keluara terpandang—yang karena salah pergaulan, akhirnya dimasukkan
orangtunya ke pondok pesantren.
Pada awalnya
baik Sadam, Ali, Daffa dan Nafiz, merasa pesantren hanyalah sebuah tempat yang kurang menarik. Mereka
berada di sana karena tujuan tertentu, bukan karena ikhlas dari hati ingin
belajar mendalami ilmu agam. Tapi
semakin lama berada di pesantren, mereka kemudian menyadari pesantren bukanlah
tempat yang sepenuhnya buruk, sebagaimana yang sering terdengar di masyarakat
yang menggambarkan pesantren seperti penjara suci, karena para santri harus
hidup dalam berbagai aturan yang ketat.
Di pesantren mereka malah mulai menyadari tentang
pentingnya menuntut ilmu dan meraih mimpi.
Di sana mereka juga belajar tentang cara hidup sederhana dan saling
menghargai. Karena hidup dalam satu atap, lambat laun mereka pun menjadi akrab
dan tumbuhlah jalinan pesahabatan yang kental. Tidak kalah menarik, kehidupan
mereka menjadi berwana ketika ada santriwati yang membuat mereka belajar
bagaimana cara menghargai cinta dan menempatkan cinta pada tempatnya.
Sebuah novel yang cukup menarik. Ira Madan
menggambarkan kehidupan pesantren yang penuh dengan nilai-nilai keteladan. Namun lebih menarik lagi jika novel ini
diekseskusi lebih matang. Mengingat
tokoh utama di sini adalah laki-laki, tapi gaya bahasanya masih terasa khas
perempuan. Selain itu dalam beberapa bagian
masih ada beberapa bagian yang terasa bertele-tele dan loncat-loncat. Namun
lepas dari kekurangannya novel yang membidik masalah pendidikan dan kehidupan
pesantren, cukup menarik untuk dibaca
dan dikaji.
Banyak ilmu-ilmu yang bisa diteladani untuk
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti ajakan menuntut ilmu dan menghormati
guru, “Tuntutlah ilmu dan belajarlah (untuk ilmu) ketenangan dan kehormatan
diri, dan bersikaplah rendah hati kepada orang yang mengajar kamu.” (hal
15).
Srobyong, 27 April 2018
No comments:
Post a Comment