Sunday, 8 April 2018

[Resensi] Cobaan Pasangan Suami-Istri

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 8 April 2018


Judul               : Sepertiga Malam di Manhattan
Penulis             : Arumi E
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, Februari 2018
Tebal               : 276 halaman
ISBN               : 978-602-03-8042-1
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama, Jepara


“Memiliki  anak, artinya mendapat tanggung jawab lebih berat. Membesarkan manusia bukan cuma soal memberi makan cukup dan memenuhi kebutuhan raganya. Tapi, juga mengerjakan mereka tentang kehidupan.” (hal 28).

Kenyataan hidup yang sering kita alami, ketika kita  belum memiliki pasangan,  maka pertanyaan yang sering ditanyakan adalah “Kapan menikah?” namun ketika kita sudah membangun mahligai rumah tangga, maka pertanyaan berubah menjadi “Kapan punya momongan?”  Dalam hidup ini, kita memang akan selalu menghadapi berbagai masalah dan berbagai pertanyaan yang akan mengikuti ke mana pun kita berjalan.  Tinggal bagaimana kita menyikapi semua pertanyaan tersebut.

Sepertiga Malam di Manhattan merupakan skuel dari novel berjudul “Hatiku Memilihmu”—yang menceritakan tentang perjuangan Brad dan Dara menunju hubungan hahal. Tapi jangan khawatir meski belum membaca novel sebelumnya, kita tetap bisa mengikuti kisah ini. 

Mengambil tema cinta—khusunya masalah rumah tangga, novel ini menghadirkan kisah tentang cobaan yang akan kerap dialami para pasangan pasutri.  Di sinilah tantangan baru Dara Paramitha dan Brad Smith, setelah empat tahun perkawinan mereka. Bagaimana mereka menyikapi berbagai cobaan yang menerpa mereka? Sanggupkah mereka bertahan sebagaimana perjuangan yang mereka lakukan sebelum akhirnya bisa bersatu melalui ijab qabul yang sah?

Bagi pasangan yang sudah menikah, memiliki anak adalah salah satu harapan yang selalu didamba. Begitu pula impian Dara dan Brad. Namun ternyata Allah belum memberi tanggungjawab itu kepadanya, bahkan setelah empat tahun pernikahan. Hal itulah yang diam-diam membuat Dara suka bersedih dan merasa bersalah.  Apalagi dari pihak orangtua Brad—khususnya sang ayah, seolah menuntut Dara untuk segera memiliki momongan (hal 58).

Diam-diam Dara jadi merasa iri kepada Lea dan Richard, sahabatnya yang meski menikah setelah dirinya, pasangan itu kini sudah memilih anak kembar. Begitu pula dengan kakaknya—Rana yang juga sudah memiliki momongan. Padahal menurut dokter, tidak ada masalah apa pun baik dari kondisi Brad dan Dara.

“Hendaklah bersyukur atas apa yang kita miliki, jangan merisaukan apa yang tidak kita miliki.” (hal 51).

Selain harus bersabar soal momongan, Dara kembali diuji dengan apa arti kesetiaan. Dia memang paham, memiliki suami seperti Brad—yang tampan dan pemain piano yang memiliki banyak penggemar—haruslah memilih hati yang lapang. Namun masalahnya muncul ketika tanpa sengaja Brad bertemu dengan Vienna van Arkel—pemain harpa asal Belanda, keturunan Jawa dalam salah satu konser.

Apalagi tanpa sengaja Dara yang awalnya ingin memberikan kejutan pada sang suami, malah melihat Brad duduk berdua dengan Vienna dengan posisi yang cukup mencurigakan di matanya.  Dan gadis cantik itu dengan terang-terangan menyatakan rasa suka terhadap Brad. 

“Kamu tahu, sejak bertemu Brad, aku pelajari lagi tentang Islam. Kemudian aku tahu, laki-laki Muslim boleh memiliki istri lebih dari satu. Karena itu, aku merasa bukan kesalahan kalau aku mengejar suamimu. Kamu sebagai Muslim, pasti tahu tentang itu, kan?” (hal 205-206).

Siapa yang tidak marah mendengar pengakuan itu? Bersamaan dengan itu,  Dara mendapati sebuah kabar tentang keadaan dirinya yang membuat Dara kaget dan sedih. Yang menjadi pertanyaan langkah apa yang akan dilakukan Dara? Dan Sanggupkan Brad menerima keadaan Dara apa adanya atau malah memilih pilihan yang lain?

“Hidup pastinya nggak akan mulus. Ini dunia, bukan surga, jangan harap kita bisa bahagia setiap saat. Lagi pula, pernikahan lo belum tamat. Ini cuma kerikil kecil, bisa terjadi dalam hubungan suami-istri mana saja.” (hal 154).

Dengan tema sederhana, penulis berhasil membuat pembaca penasaran dengan akhirnya cerita, juga dibuat gregetan dengan sosok Vienna—apalagi saat ini tengah marak isu banyaknya  pelakor.  Khas dari penulis, setiap bukunya selalu terselip nilai-nilai Islam yang kuat. Inilah yang saya suka, meski mengusung tema cinta, kita juga akan selalu mendapat tambahan ilmu tentang masalah agama, juga kultur-kultur budaya—mengingat penulis juga kerap menggagas kisah beda negara.

Dari kisah ini saya belajar arti pentingnya kepercayaan serta pentingnya kesabaran dan rasa syukur terhadap berbagai cobaan yang diberikan Allah. Bahwa di balik cobaan selalu ada hikmah dan akan ada penyelesaian yang pas.

Srobyong, 17 Maret 2018 

No comments:

Post a Comment