Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 15 April 2018
Judul :
Sophismata
Penulis :
Alanda Kariza
Penerbit :
Gramedia
Cetakan :
Pertama, Juli 2017
Tebal :
272 halaman
ISBN :
978-602-03-5674-7
Peresensi :
Ratnani Latifah. Alumna Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
“Politik adalah tempat kepentingan yang berbeda-beda
diakomodir. Seperti memiliki satu piza yang hendak dimakan banyak orang. Potongan-potongannya
dibagikan ke sana-sini. Berapa besarannya? Tergantung proporsi kontribusi
mereka terhadap kemakmuran masyarakat.” (hal 10).
Bagi orang awam, kita sering menilai politik itu
jelek, kotor dan sederet prasangka lain yang memiliki konotasi negatif. Padahal tidak semua politik itu jelek atau
kotor. Novel ini dengan pemaparan yang
apik, mencoba mengenalkan sisi lain politik yang dikemas secara menarik dan menghibur.
Sigi tidak pernah tertarik dengan masalah politik,
bahkan kadang dia merasa politik itu merepotkan dan penuh dengan intrik kotor. Selama
ini Sigi melihat sesuatu hanya berdasarkan hitam dan putih. Begitu bulan dalam
memandang masalah politik. Meski begitu, Sigi bekerja selama tiga tahun di staf
DPR. Di mana alasannya, dia hanya ingin belajar dari seniornya—Johar Sancoyo yang
merupakan aktivis reformasi 1988 (hal 15).
Meski tidak terlalu suka dengan politik, Sigi tetap
peduli dengan kemaslahatan masyarakat
dan kemajuan Indonesia. Hal itulah yang mendorong Sigi untuk bisa menjadi
seorang Tenaga Ahli, karena dengan begitu dia bisa belajar lebih banyak tentang
kebijakan publik. Namun sayang, ketika Sigi mengajukan keinginannya pada
atasannya, Johar menolak keinginannya. Johar merasa Sigi lebih cocok sebagai
staf administrasi, apalagi Sigi bukanlah lulusan S2.
Ketidaksukaannya pada politik semakin tumbuh
berkembang, ketika dia melihat cara kerja Johar yang ternyata semakin lama
penuh dengan intrik kotor yang tidak pernah dia duga. Seperti kasus munculnya
gosip dengan wanita muda, yang diselesaikan dengan uang. Tapi yang lebih
membuat Sigi kecewa adalah dia selalu dimanfaatkan Johar demi meraih ambisinya,
yang ingin menjadi Menteri Koperasi-UKM. Seperti Sigi yang harus melobi Cipta
Dirgantara yang merupakan Kepala Staf Presdien, agar mereka bisa bertemu. Sedang janji yang Johar berikan kepada Sigi untuk diangkat
menjadi Tenaga Ahli—jika berhasil mempertemukannya dengan Cipta, dalam rangka memuluskan
jalan Johar hingga namanya di dengar bagian kepresidenan—tidak juga
direalisasikan.
Suatu hari, dalam keadaan yang tidak disengaja, Sigi bertemu dengan Timur—seniornya di masa SMA. Pertemuan
itu pada akhirnya membuat mereka lebih dekat. Namun yang tidak pernah Sigi
sangka adalah, kenyataan bahwa seniornya itu kebalikan darinya—Timur memiliki
ketertarikan yang kuat terhadap politik. Bahkan Timur tengah berusaha membuat
sebuah partai yang diberi nama Partai Indonesia Setara (hal 29). Timur berharap partai yang dia dirikan itu
bisa mengedepankan kesejahteraan sosial.
Kejutan lainnya adalah, selain mempelajari masalah
politik, Timur juga memiliki dasar tentang ilmu hukum. Karena menurut Timur, Hukum
tanpa kekuasan akan menimbulkan anarki.
Sebaliknya, kekuasaan tanpa hukum akan meninggalkan tirani. Hukum dan politik harusnya bisa menyokong
satu sama lain, bukan saling menghancurkan (hal 62).
Dari Timur akhirnya Sigi mulai melihat politik dari sisi
yang lain. Bahwa politik itu tidak
seburuk yang Sigi pikirkan. Semua tidak harus dilihat hitam dan putih. Selalu
ada manfaat dari segala sesuatu meski itu abu-abu—sebagaimana praktik politik
yang ada saat ini. “Politik itu soal kekuasaan dan kepentingan. Aku pengen bisa
memperjuangkan kepentingan orang banyak, tetapi untuk bisa memperoleh itu, ya
aku harus punya kekuasan dulu.” (hal 234).
Pada titik itu, Sigi menyadari bahwa memang kadang
ada orang-orang tertentu yang memanfaatkan politik demi ambisinya sendiri. Tapi
tidak menutup kemungkinan ada juga pihak yang memang berjuang secara
sungguh-sungguh untuk kepentingan masyarakat.
Jadi sebagai warga yang baik, dia tidak boleh menilai sesuatu hanya dari
luarnya saja. Politik tetap selalu dibutuhkan di negara ini.
Tidak ketinggalan Sigi pun menyadari bahwa dalam
hidup itu selalu ada pilihan. Seperti pilihan untuk terjun pada dunia politik
atau tidak. Semuanya sama-sama diperbolehkan. Karena pada kenyataanya keduanya
sama-sama memiliki harapan kemaslahatan masyarakat, hanya saja dengan cara
berbeda.
Buku ini membuka pengetahuan baru tentang masalah
politik, melalui sudut pandang anak
muda. Di sini kita diingatkan untuk tidak menilai sesuatu hanya dari luarnya
saja. Dan setiap orang berhak memiliki idealisme sendiri. Dipaparkan dan dieksekusi dengan baik, novel
ini patut dibaca dan dijadikan renungan.
Srobyong, 9 Februari 2018
No comments:
Post a Comment