Monday, 16 April 2018

[Resensi] Mengemas Politik dalam Novel

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 15 April 2018


Judul               : Sophismata
Penulis             : Alanda Kariza
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, Juli 2017
Tebal               : 272 halaman
ISBN               : 978-602-03-5674-7
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumna Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara


“Politik adalah tempat kepentingan yang berbeda-beda diakomodir. Seperti memiliki satu piza yang hendak  dimakan banyak orang. Potongan-potongannya dibagikan ke sana-sini. Berapa besarannya? Tergantung proporsi kontribusi mereka terhadap kemakmuran masyarakat.” (hal 10).

Bagi orang awam, kita sering menilai politik itu jelek, kotor dan sederet prasangka lain yang memiliki konotasi negatif.  Padahal tidak semua politik itu jelek atau kotor. Novel ini  dengan pemaparan yang apik, mencoba mengenalkan sisi lain politik yang dikemas  secara menarik dan menghibur.

Sigi tidak pernah tertarik dengan masalah politik, bahkan kadang dia merasa politik itu merepotkan dan penuh dengan intrik kotor. Selama ini Sigi melihat sesuatu hanya berdasarkan hitam dan putih. Begitu bulan dalam memandang masalah politik. Meski begitu, Sigi bekerja selama tiga tahun di staf DPR. Di mana alasannya, dia hanya ingin belajar dari seniornya—Johar Sancoyo yang merupakan aktivis reformasi 1988 (hal 15).

Meski tidak terlalu suka dengan politik, Sigi tetap peduli dengan  kemaslahatan masyarakat dan kemajuan Indonesia. Hal itulah yang mendorong Sigi untuk bisa menjadi seorang Tenaga Ahli, karena dengan begitu dia bisa belajar lebih banyak tentang kebijakan publik. Namun sayang, ketika Sigi mengajukan keinginannya pada atasannya, Johar menolak keinginannya. Johar merasa Sigi lebih cocok sebagai staf administrasi, apalagi Sigi bukanlah lulusan S2.

Ketidaksukaannya pada politik semakin tumbuh berkembang, ketika dia melihat cara kerja Johar yang ternyata semakin lama penuh dengan intrik kotor yang tidak pernah dia duga. Seperti kasus munculnya gosip dengan wanita muda, yang diselesaikan dengan uang. Tapi yang lebih membuat Sigi kecewa adalah dia selalu dimanfaatkan Johar demi meraih ambisinya, yang ingin menjadi Menteri Koperasi-UKM. Seperti Sigi yang harus melobi Cipta Dirgantara yang merupakan Kepala Staf Presdien, agar mereka bisa bertemu.  Sedang janji yang  Johar berikan kepada Sigi untuk diangkat menjadi Tenaga Ahli—jika berhasil mempertemukannya dengan Cipta, dalam rangka memuluskan jalan Johar hingga namanya di dengar bagian kepresidenan—tidak juga direalisasikan. 

Suatu hari, dalam keadaan yang tidak disengaja,  Sigi  bertemu dengan Timur—seniornya di masa SMA. Pertemuan itu pada akhirnya membuat mereka lebih dekat. Namun yang tidak pernah Sigi sangka adalah, kenyataan bahwa seniornya itu kebalikan darinya—Timur memiliki ketertarikan yang kuat terhadap politik. Bahkan Timur tengah berusaha membuat sebuah partai yang diberi nama Partai Indonesia Setara (hal 29).  Timur berharap partai yang dia dirikan itu bisa mengedepankan kesejahteraan  sosial.

Kejutan lainnya adalah, selain mempelajari masalah politik, Timur juga memiliki dasar tentang ilmu hukum. Karena menurut Timur, Hukum tanpa kekuasan  akan menimbulkan anarki. Sebaliknya, kekuasaan tanpa hukum akan meninggalkan tirani.  Hukum dan politik harusnya bisa menyokong satu sama lain, bukan saling menghancurkan (hal 62).

Dari Timur  akhirnya Sigi mulai melihat politik dari sisi yang lain.  Bahwa politik itu tidak seburuk yang Sigi pikirkan. Semua tidak harus dilihat hitam dan putih. Selalu ada manfaat dari segala sesuatu meski itu abu-abu—sebagaimana praktik politik yang ada saat ini. “Politik itu soal kekuasaan dan kepentingan. Aku pengen bisa memperjuangkan kepentingan orang banyak, tetapi untuk bisa memperoleh itu, ya aku harus punya kekuasan dulu.” (hal 234).

Pada titik itu, Sigi menyadari bahwa memang kadang ada orang-orang tertentu yang memanfaatkan politik demi ambisinya sendiri. Tapi tidak menutup kemungkinan ada juga pihak yang memang berjuang secara sungguh-sungguh untuk kepentingan masyarakat.   Jadi sebagai warga yang baik, dia tidak boleh menilai sesuatu hanya dari luarnya saja. Politik tetap selalu dibutuhkan di negara ini.

Tidak ketinggalan Sigi pun menyadari bahwa dalam hidup itu selalu ada pilihan. Seperti pilihan untuk terjun pada dunia politik atau tidak. Semuanya sama-sama diperbolehkan. Karena pada kenyataanya keduanya sama-sama memiliki harapan kemaslahatan masyarakat, hanya saja dengan cara berbeda.

Buku ini membuka pengetahuan baru tentang masalah politik, melalui sudut pandang  anak muda. Di sini kita diingatkan untuk tidak menilai sesuatu hanya dari luarnya saja. Dan setiap orang berhak memiliki idealisme sendiri.  Dipaparkan dan dieksekusi dengan baik, novel ini patut dibaca dan dijadikan renungan.

Srobyong, 9 Februari 2018



No comments:

Post a Comment