Dimuat di Koran Pantura, Selasa 27 Maret 2018
Judul : Agus Salim
Penulis : Tim Tempo
Penerbit : KPG
Cetakan : Pertama, Agustus 2017
Tebal : xiv + 203 halaman
ISBN : 978-602-424-391-3
Peresensi : Ratnani Latifah. Aluma Universitas
Islam Nahdlatu Ulama, Jepara
Tercapainya kemerdekaan Indonesia, tidak luput dari usaha para tokoh pergerakan nasional.
Mereka adalah pahlawan yang memiliki keberanian dan sikap nasionalisme yang
tinggi. Tanpa mengenal rasa takut, mereka terus berjuang. Untuk menghormati
perjuangan mereka, maka tanggal 10 November diperingati sebagai hari pahlawan.
Salah satu tokoh pergerakan nasional yang memiliki banyak peranan dalam meraih
kemerdekaan adalah Haji Agus Salim.
Pemilik nama
asli Masyhudul Haq yang berarti ‘Pembela Kebenaran’, mendedikasikan
hidupnya untuk perjuangan. Pria kelahiran Koto Gadang, Sumatra Barat, 8 Oktober
1844 ini, dengan semangat tinggi dan keberanian yang besar, dia terus melangkah
tanpa rasa takut. Tidak peduli pemikirannya selalu dikritik dan dibuang, Haji Agus Salim terus berjuang tanpa henti. Buku
ini dengan menarik memaparkan tentang peranan yang dilakukan Haji Agus Salim
untuk Kemerdekaan Indonesia.
Pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Mesir misalnya.
Hal ini tidak lepas dari tangan dingin Haji Agus Salim. Pengakuan de jure
pertama dunia internasional terhadap proklamasi 17 Agustus 1945. Dan setelah
Mesir, sejumlah negara Arab berturut-turut mendukung. Misalnya Libanon, Suriah,
Irak, Arab Saudi dan Yaman.
Keberhasilannya ini membuatnya diberi julukan sebagai “The Grand Old
Man” karena kepiawaiannya dalam berpolitik (hal 13).
Keberhasilannya ini membuat Belanda gagal untuk
menguasai kembali Indonesia. Karena pada saat perjanjian Linggarjati, salah
satu isinya berbunyi, Belanda dan Indonesia sepakat membuat Republika Indonesia
Serikat—di mana Indonesia harus bergabung dalam persemakmuran Indonesia-Belanda
dengan Belanda sebagai kepala. Namun dengan adanya pengakuan de facto
dan de jure, posisi Indonesia sebagai negara merdeka yang berdaulat
semakin kokoh.
Sedang sebelum
proklamasi, Haji Agus Salim ikut berperan aktif dalam persiapan
kemerdekaan. Dia merupakan salah satu anggota BPUPKI. Dia juga termasuk bagian
dari panitia sembilan. Tim yang melahirkan Piagam Jakarta, yang kelak menjadi
rancangan preambul atau pembukaan Undang-Undangn Dasar (hal 19). Dialah tokoh yang menjadi penghubung ketika
terjadi perbedatan antara golongan Islam dan nasionalis. Tidak hanya duduk di pantia perancang hukum
dasar dan panitia sembilan, Haji Agus Salim juga duduk sebagai anggota panitia
penghalus bahasa dalam rancangan undang-undang, bersama Soepomo dan Prof Dr
P.A.H. Djajadiningrat.
Pria yang dijuluki sebagai poliglot—karena dia
menguasai banyak bahasa asing, dia antaranya; Belanda, Inggris, Perancis, Arab,
Jerman, Jepang dan Turki, merupakan anggota delegasi dalam perjanjian Renville.
Dengan sikap tenang dia menghadapi tekanan dari Belanda. Bahkan Haji Agus Salim
berani mengungkapkan argumen tentang kelicikan Belanda dalam perjanjian
Linggarjati.
Sikap keras yang dimiliki Haji Agus Salim kemudian,
membuatnya sering dimusuhi pemerintah Belanda. Bersama Sukarno, Mohammad Roem,
Ali Sastroamidjojo, mereka dibuang dan diasingkan di Wisma Ranggam, yang berdiri tidak jauh dari
Pelabuna Muntok, Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung (hal 32). Selain di sana Haji Agus Salim juga sempat
dibuang ke Berastagi dan Parapat, Sumatra Utara.
Namun begitu, jiwa nasionalisme tidak mati. Ketika
akhirnya bebas, Haji Agus Salim kembali berjuang mengusir penjajah. Dan selama masa
pergerakan Haji Agus Salim ikut andil
membesarkan Sarekat Islam—yang kemudian berganti menjadi Partai Sarekat Islam. Bersama HOS.
Tjokroaminoto, mereka bahu membahu melawan penindasan dan penjajahan yang
dilakukan Hindia-Belanda. Tidak hanya
itu Haji Agus Salim juga kerap kali mengecam tindakan pemerintah Belanda
melalui tulisan-tulisannya yang tajam. Hal inilah yang membuat Haji Agus Salim kerap
ditegur dan dianjurkan untuk melunakkan kritikannya kepada pemerintah Belanda.
Sayangnya sikap keras Haji Agus Salim tidak bisa
dipatahkan. Dia berkata, “Keyakinan saya tentang peri kehidupan; dan pendapat saya
tentang pemerintah Hindia-Belanda serta kebijakannya, saya tidak bisa tawar
menawar.” (hal 104). Inilah alasan yang
membuatnya memilih mundur dari jabatan Pemimpin Redaksi Hindia Baroe yang
membesarkan namanya. Begitu pula ketika sempat menjadi redaksi Koran Nerajta.
Karena tidak lagi satu misi dan tidak mau dimanfaatkan pemerintah Belanda, Haji
Agus Salim memilih mundur.
Sepak terjang Haji Agus Salim ini patut kita
teladani. Dengan sikap gigih dan kepandaiannya dalam berdiplomasi telah merintis jalan kemerdekaan
Indonesia. Dia adalah sosok sederhana yang demi bangsa, tidak takut miskin dan
hidup susah. Yang terpenting adalah berjuang meraih kemerdekaan Indonesia. Buku
yang patut dibaca semua kalangan.
Srobyong, 4 November 2017
No comments:
Post a Comment