Tuesday, 17 April 2018

[Resensi] Dedikasi Haji Agus Salim Terhadap Indonesia

Dimuat di Koran Pantura, Selasa 27 Maret 2018 


Judul               : Agus Salim
Penulis             : Tim Tempo
Penerbit           : KPG
Cetakan           : Pertama, Agustus 2017
Tebal               : xiv + 203 halaman
ISBN               : 978-602-424-391-3
Peresensi         : Ratnani Latifah. Aluma Universitas Islam Nahdlatu Ulama, Jepara

Tercapainya kemerdekaan Indonesia, tidak luput  dari usaha para tokoh pergerakan nasional. Mereka adalah pahlawan yang memiliki keberanian dan sikap nasionalisme yang tinggi. Tanpa mengenal rasa takut, mereka terus berjuang. Untuk menghormati perjuangan mereka, maka tanggal 10 November diperingati sebagai hari pahlawan. Salah satu tokoh pergerakan nasional yang memiliki banyak peranan dalam meraih kemerdekaan adalah Haji Agus Salim.

Pemilik nama  asli Masyhudul Haq yang berarti ‘Pembela Kebenaran’, mendedikasikan hidupnya untuk perjuangan. Pria kelahiran Koto Gadang, Sumatra Barat, 8 Oktober 1844 ini, dengan semangat tinggi dan keberanian yang besar, dia terus melangkah tanpa rasa takut. Tidak peduli pemikirannya selalu dikritik dan dibuang,  Haji Agus Salim terus berjuang tanpa henti.   Buku ini dengan menarik memaparkan tentang peranan yang dilakukan Haji Agus Salim untuk Kemerdekaan Indonesia.

Pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Mesir misalnya. Hal ini tidak lepas dari tangan dingin Haji Agus Salim. Pengakuan de jure pertama dunia internasional terhadap proklamasi 17 Agustus 1945. Dan setelah Mesir, sejumlah negara Arab berturut-turut mendukung. Misalnya Libanon, Suriah, Irak, Arab Saudi dan Yaman.  Keberhasilannya ini membuatnya diberi julukan sebagai “The Grand Old Man” karena kepiawaiannya dalam berpolitik (hal 13).

Keberhasilannya ini membuat Belanda gagal untuk menguasai kembali Indonesia. Karena pada saat perjanjian Linggarjati, salah satu isinya berbunyi, Belanda dan Indonesia sepakat membuat Republika Indonesia Serikat—di mana Indonesia harus bergabung dalam persemakmuran Indonesia-Belanda dengan Belanda sebagai kepala. Namun dengan adanya pengakuan de facto dan de jure, posisi Indonesia sebagai negara merdeka yang berdaulat semakin kokoh.

Sedang sebelum  proklamasi, Haji Agus Salim ikut berperan aktif dalam persiapan kemerdekaan. Dia merupakan salah satu anggota BPUPKI. Dia juga termasuk bagian dari panitia sembilan. Tim yang melahirkan Piagam Jakarta, yang kelak menjadi rancangan preambul atau pembukaan Undang-Undangn Dasar (hal 19).  Dialah tokoh yang menjadi penghubung ketika terjadi perbedatan antara golongan Islam dan nasionalis.  Tidak hanya duduk di pantia perancang hukum dasar dan panitia sembilan, Haji Agus Salim juga duduk sebagai anggota panitia penghalus bahasa dalam rancangan undang-undang, bersama Soepomo dan Prof Dr P.A.H. Djajadiningrat.

Pria yang dijuluki sebagai poliglot—karena dia menguasai banyak bahasa asing, dia antaranya; Belanda, Inggris, Perancis, Arab, Jerman, Jepang dan Turki, merupakan anggota delegasi dalam perjanjian Renville. Dengan sikap tenang dia menghadapi tekanan dari Belanda. Bahkan Haji Agus Salim berani mengungkapkan argumen tentang kelicikan Belanda dalam perjanjian Linggarjati.

Sikap keras yang dimiliki Haji Agus Salim kemudian, membuatnya sering dimusuhi pemerintah Belanda. Bersama Sukarno, Mohammad Roem, Ali Sastroamidjojo, mereka dibuang dan diasingkan di  Wisma Ranggam, yang berdiri tidak jauh dari Pelabuna Muntok, Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung (hal 32).  Selain di sana Haji Agus Salim juga sempat dibuang ke Berastagi dan Parapat, Sumatra Utara.

Namun begitu, jiwa nasionalisme tidak mati. Ketika akhirnya bebas, Haji Agus Salim kembali berjuang mengusir penjajah. Dan selama masa pergerakan Haji Agus Salim  ikut andil membesarkan Sarekat Islam—yang kemudian berganti  menjadi Partai Sarekat Islam. Bersama HOS. Tjokroaminoto, mereka bahu membahu melawan penindasan dan penjajahan yang dilakukan Hindia-Belanda.  Tidak hanya itu Haji Agus Salim juga kerap kali mengecam tindakan pemerintah Belanda melalui tulisan-tulisannya yang tajam.  Hal inilah yang membuat Haji Agus Salim kerap ditegur dan dianjurkan untuk melunakkan kritikannya kepada pemerintah Belanda.

Sayangnya sikap keras Haji Agus Salim tidak bisa dipatahkan. Dia berkata, “Keyakinan saya  tentang peri kehidupan; dan pendapat saya tentang pemerintah Hindia-Belanda serta kebijakannya, saya tidak bisa tawar menawar.” (hal 104).  Inilah alasan yang membuatnya memilih mundur dari jabatan Pemimpin Redaksi Hindia Baroe yang membesarkan namanya. Begitu pula ketika sempat menjadi redaksi Koran Nerajta. Karena tidak lagi satu misi dan tidak mau dimanfaatkan pemerintah Belanda, Haji Agus Salim memilih mundur.

Sepak terjang Haji Agus Salim ini patut kita teladani. Dengan sikap gigih dan kepandaiannya dalam  berdiplomasi telah merintis jalan kemerdekaan Indonesia. Dia adalah sosok sederhana yang demi bangsa, tidak takut miskin dan hidup susah. Yang terpenting adalah berjuang meraih kemerdekaan Indonesia. Buku yang patut dibaca semua kalangan.

Srobyong, 4 November 2017


No comments:

Post a Comment