Sumber Pizix
Judul : Rule of Thirds
Penulis : Suarcani
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, Desember 2016
Tebal : 279 halaman
ISBN : 978-602-03-3475-2
“Memaafkan
orang lain itu sama artinya kamu memaafkan diri sendiri. Tidakkah kamu
sadar, dengan memendam kemarahan seperti
ini pun kamu sebenarnya sudah berbuat salah?”
(hal 182).
Memaaafkan kadang memang sulit.
Apalagi jika orang itu telah menorehkan banyak luka pada hidup kita. Namun
akankan selamanya kita memendam kemarahan? Padahal Tuhan selalu mengingatkan
untuk menjadi pribadi yang saling memaafkan. Karena dengan begitu, hati menjadi
tenang dan pastinya kita tidak memutus tali silaturrahmi. Karena Tuhan tidak
suka terhadap hamba-hamba-Nya yang memutus tali keluarga dan persaudaraan.
Novel ini berkisah tentang Ladys dan Dias yang sama-sama memiliki luka.
Mereka disakiti oleh orang-orang yang paling mereka sayangi. Sehingga tanpa
mereka sadari kebencian terus mendekam
dalam diri mereka. Baik Ladys maupun
Dias sama-sama mepupuknya dengan subur, sehingga ketika dalam suatu kesempatan
mereka saling bertatap muka, keduanya bingung bagaimana dalam mengambil
sikap—memilih memaafkan atau merawat amarah.
Ladys, akhirnya kembali ke Bali demi
mengejar cinta Esa. Padahal sudah tiga belas tahun dia tinggal di Seoul bersama
papanya, demi merawat luka dan amarah karena perbuatan jahat ibunya. Karena Bali adalah tempat penuh memori yang
membuatnya sedih dan ketakutan. Tapi ketika
Ladys mengenal Esa, dia berharap kenangan buruk itu akan sirna. Bahkan
dia rela meninggalkan kariernya sebagai fotografer fashion.
Tapi ternyata harapan Ladys tidak
seindah yang ada di dalam bayangannya. Ketika dia akhirnya tiba di Bali, dia
mendapati kenyataan bahwa kekasihnya—Esa ternyata telah berselingkuh—bahkan
sudah hampir menikah (hal 35). Ternyata
Bali tidak pernah berubah, tempat itu kembali menyisakan luka dan amarah pada
Ladys. Seperti sang ibu yang juga tega mengkhianati papanya demi laki-laki
lain.
Di sinilah Ladys akhirnya mengenal
Dias. Laki-laki yang juga menyimpan banyak amarah karena masalah keluarganya.
Ayahnya suka mabuk-mabukkan dan ibunya meninggalkan mereka, lalu menikah
lagi. Belum lagi kenyataan bahwa
kekasihnya—Prajna juga sudah berkali-kali mengkhianti kepercayaannya.
Pertemua dua anak manusia yang
sama-sama mengalami luka ini, akhirnya mengatarkan pada kisah-kisah tidak
terduga. Ladys yang awalnya tidak terlalu suka dengan Dias yang sangat dingin
dan terkesan sombong, malah kemudian bersimpati pada Dias. Apalagi Dias
ternyata sangat berbakat dalam masalah fotografi. Padahal sebelumnya, Ladys
sempat meremehkan keahliannya. Namun siapa sangka ternyata Dias malah berhasil
menjadi juara dalam suatu lomba fotografi. Ladys pun akhirnya mengakui
kemampuan Dias dan minta diajari bagaimana mengambil foto sebagaimana yang
dilakukan Dias.
Dan seringnya bersama Ladys, lambat
laut membuat Dias semakin mengenal Ladys yang ternyata memiliki cerita hidup
tidak jauh dari dirinya. Hal ini-lah yang membuat Dias akhirnya berani jujur
dan saling berkisah tentang kehidupan keluarga dan masalah cinta mereka.
Bahkan keduanya sama-sama berusaha
mencari tahu bagaimana keadaan orang-orang di masa lalu yang telah menebarkan
luka. Meski mereka tidak yakin ...
sanggupkah mereka bertemu kembali dan membuka pintu maaf jika mereka meminta pengampunan?
“Semakin lama kamu memendam amarah,
semakin kamu menunda datangnya bahagia. Tidak ada yang lebih melegakan
ketimbang bisa memaafkan orang lain.”
(hal 184).
Bisa dibilang novel ini mengangkat
tema yang cukup umum—masa lalu dan luka yang dibaluk kisah cinta dan masalah
keluarga. Namun penulis mengeksekusinya dengan apik, sehingga membuat novel ini
terasa hidup. Bagaimana Ladys dan Dias yang sama-sama berusaha melepas masa
lalu, namun ternyata hal itu tidak semudah yang mereka pikir, ketika keikhlasan
tidak bersemayam di hati mereka.
Dan cerita semakin menarik ketika
ada cinta yang tumbuh berkembang. Meski di sini saya harus dibuat gemas dengan
Ladys yang benar-benar kesulitan move on dari Esa, serta Dias yang
terlalu baik hingga selalu mengalah. Dan yang lebih gemas adalah mereka tidak
menyadari rasa lain yang mulai tumbuh
subur.
Beruntung kisah dipaparkan dengan
gaya bahasa yang renyah dan memikat, sehingga kisahnya tetap asyik untuk
diikuti. Penulis dengan lihai
mengaduk-aduk emosi dengan kisah yang ditawarkan. Dan meski mengambil tema
sederhana yang sudah saya katakan sebelumnya, namun tema tersebut tetap memiliki
nilai jual yang mempu memikat pembaca. Belum lagi cover novel yang menurut saya
meski terlihat sederhana namun ada sisi elegan. Sejak melihat covernya saya
sudah sangat penasaran dengan novel ini.
Keunggulan lainnya adalah penjabaran
setting yang jauh dari kesan tempelan. Saya merasa penggambaran Bali
cukup membuat saya merasakan suasana di sana. Dan pengambilan pov—sudut pandang pertama
masing-masing tokoh, membuat kita tahu bagaimana watak Ladys dan Dias. Namun
pemilihan pov juga menjadi kekurangan
dalam novel ini. Di mana tidak ada batas mulai dan akhir dari pembagian pov,
yang membuat bingung. Padahal jika ada
batas peralihan pov masing-masing tokoh, pasti akan membuat pembaca lebih
nyaman. Namun lepas dari kekurangannya ... novel ini menarik untuk dibaca.
Apalagi bagi yang suka fotografi, di sini banyak ilmu yang bisa dipetik
pembelajaran.
Srobyong, 26 Juni 2017
No comments:
Post a Comment