Wednesday, 10 January 2018

[Review Buku] Indahnya Saling Memaafkan

Sumber Pizix 

Judul               : Rule of Thirds
Penulis             : Suarcani
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, Desember 2016
Tebal               : 279 halaman
ISBN               : 978-602-03-3475-2

 “Memaafkan  orang lain itu sama artinya kamu memaafkan diri sendiri. Tidakkah kamu sadar,  dengan memendam kemarahan seperti ini pun kamu sebenarnya sudah berbuat salah?” (hal 182).

Memaaafkan kadang memang sulit. Apalagi jika orang itu telah menorehkan banyak luka pada hidup kita. Namun akankan selamanya kita memendam kemarahan? Padahal Tuhan selalu mengingatkan untuk menjadi pribadi yang saling memaafkan. Karena dengan begitu, hati menjadi tenang dan pastinya kita tidak memutus tali silaturrahmi. Karena Tuhan tidak suka terhadap hamba-hamba-Nya yang memutus tali keluarga dan persaudaraan.

Novel ini berkisah tentang  Ladys dan Dias yang sama-sama memiliki luka. Mereka disakiti oleh orang-orang yang paling mereka sayangi. Sehingga tanpa mereka sadari  kebencian terus mendekam dalam diri mereka.  Baik Ladys maupun Dias sama-sama mepupuknya dengan subur, sehingga ketika dalam suatu kesempatan mereka saling bertatap muka, keduanya bingung bagaimana dalam mengambil sikap—memilih memaafkan atau merawat amarah.

Ladys, akhirnya kembali ke Bali demi mengejar cinta Esa. Padahal sudah tiga belas tahun dia tinggal di Seoul bersama papanya, demi merawat luka dan amarah karena perbuatan jahat ibunya.  Karena Bali adalah tempat penuh memori yang membuatnya sedih dan ketakutan. Tapi ketika  Ladys mengenal Esa, dia berharap kenangan buruk itu akan sirna. Bahkan dia rela meninggalkan kariernya sebagai fotografer fashion.

Tapi ternyata harapan Ladys tidak seindah yang ada di dalam bayangannya. Ketika dia akhirnya tiba di Bali, dia mendapati kenyataan bahwa kekasihnya—Esa ternyata telah berselingkuh—bahkan sudah hampir menikah (hal 35).  Ternyata Bali tidak pernah berubah, tempat itu kembali menyisakan luka dan amarah pada Ladys. Seperti sang ibu yang juga tega mengkhianati papanya demi laki-laki lain.
Di sinilah Ladys akhirnya mengenal Dias. Laki-laki yang juga menyimpan banyak amarah karena masalah keluarganya. Ayahnya suka mabuk-mabukkan dan ibunya meninggalkan mereka, lalu menikah lagi.  Belum lagi kenyataan bahwa kekasihnya—Prajna juga sudah berkali-kali mengkhianti kepercayaannya.

Pertemua dua anak manusia yang sama-sama mengalami luka ini, akhirnya mengatarkan pada kisah-kisah tidak terduga. Ladys yang awalnya tidak terlalu suka dengan Dias yang sangat dingin dan terkesan sombong, malah kemudian bersimpati pada Dias. Apalagi Dias ternyata sangat berbakat dalam masalah fotografi. Padahal sebelumnya, Ladys sempat meremehkan keahliannya. Namun siapa sangka ternyata Dias malah berhasil menjadi juara dalam suatu lomba fotografi. Ladys pun akhirnya mengakui kemampuan Dias dan minta diajari bagaimana mengambil foto sebagaimana yang dilakukan Dias.

Dan seringnya bersama Ladys, lambat laut membuat Dias semakin mengenal Ladys yang ternyata memiliki cerita hidup tidak jauh dari dirinya. Hal ini-lah yang membuat Dias akhirnya berani jujur dan saling berkisah tentang kehidupan keluarga dan masalah cinta mereka.

Bahkan keduanya sama-sama berusaha mencari tahu bagaimana keadaan orang-orang di masa lalu yang telah menebarkan luka.  Meski mereka tidak yakin ... sanggupkah mereka bertemu kembali dan membuka pintu maaf jika  mereka meminta pengampunan?

“Semakin lama kamu memendam amarah, semakin kamu menunda datangnya bahagia. Tidak ada yang lebih melegakan ketimbang bisa memaafkan orang lain.” (hal 184).

Bisa dibilang novel ini mengangkat tema yang cukup umum—masa lalu dan luka yang dibaluk kisah cinta dan masalah keluarga. Namun penulis mengeksekusinya dengan apik, sehingga membuat novel ini terasa hidup. Bagaimana Ladys dan Dias yang sama-sama berusaha melepas masa lalu, namun ternyata hal itu tidak semudah yang mereka pikir, ketika keikhlasan tidak bersemayam di hati mereka.
Dan cerita semakin menarik ketika ada cinta yang tumbuh berkembang. Meski di sini saya harus dibuat gemas dengan Ladys yang benar-benar kesulitan move on dari Esa, serta Dias yang terlalu baik hingga selalu mengalah. Dan yang lebih gemas adalah mereka tidak menyadari rasa lain yang  mulai tumbuh subur.

Beruntung kisah dipaparkan dengan gaya bahasa yang renyah dan memikat, sehingga kisahnya tetap asyik untuk diikuti. Penulis dengan  lihai mengaduk-aduk emosi dengan kisah yang ditawarkan. Dan meski mengambil tema sederhana yang sudah saya katakan sebelumnya, namun tema tersebut tetap memiliki nilai jual yang mempu memikat pembaca. Belum lagi cover novel yang menurut saya meski terlihat sederhana namun ada sisi elegan. Sejak melihat covernya saya sudah sangat penasaran dengan novel ini.

Keunggulan lainnya adalah penjabaran setting yang jauh dari kesan tempelan. Saya merasa penggambaran Bali cukup membuat saya merasakan suasana di sana. Dan  pengambilan pov—sudut pandang pertama masing-masing tokoh, membuat kita tahu bagaimana watak Ladys dan Dias. Namun pemilihan pov  juga menjadi kekurangan dalam novel ini. Di mana tidak ada batas mulai dan akhir dari pembagian pov, yang membuat bingung.  Padahal jika ada batas peralihan pov masing-masing tokoh, pasti akan membuat pembaca lebih nyaman. Namun lepas dari kekurangannya ... novel ini menarik untuk dibaca. Apalagi bagi yang suka fotografi, di sini banyak ilmu yang bisa dipetik pembelajaran.  


Srobyong, 26 Juni 2017 

No comments:

Post a Comment