Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 7 Januari 2018
Judul :
Luka yang Kau Tinggal Senja Tadi
Penulis :
Susan Arisanti
Penerbit :
Pastel Books
Cetakan :
Pertama, Agustus 2017
Tebal :
336 halaman
ISBN :
978-602-6716-04-0
Peresensi :
Ratnani Latifah
Setiap pilihan sudah pasti memiliki dampak dan
risiko. Entah itu baik atau buruk. Di sanalah kita harus siap menerima segela
risiko dari apa yang telah kita pilih. Novel ini dengan paparan yang cukup menarik
menawarkan sebuah kisah yang tidak hanya membahas cinta, tapi juga tentang keimanan,
masalah keluarga, masa lalu, serta dendam.
Mengisahkan tentang Nawaila yang tiba-tiba diminta
ayahnya untuk tinggal di pesantren. Menurut sang ayah, hal itu dilakukan untuk
membangun pondasi kuat keimanan bagi putrinya. “Papa ingin yang terbaik untuk
kalian. Memberikan fondasi iman yang
kokoh. Sebab, iman itu seperti bangunan di mana fondasinya harus kuat. Sebagus
apa pun bangunan di mana fondasinya rapuh, maka dia tidak akan bisa dijadikan
sebagai tempat tinggal.” (hal 22).
Meski awalnya menolak gagasan itu, pada akhirnya
Nawaila tetap pergi ke pesantren. Dia pikir mungkin pilihan itu akan
membantunya move on dari mantan kekasinya Harris, yang ternyata selama
ini, mau menjalin hubungan dengan dirinya untuk sebuah taruhan. Harga diri
Nawaila sungguh terluka.
Namun siapa sangka ketika dia sudah di pesantren,
Harris juga ada di sana dengan status yang membuat Nawaila tidak percaya.
Nawaila sunggh tidak tahu bahwa Harris adalah putra dari pemilik pesantren yang
lebih dikenal dengan panggilan Gus Nizam (hal 28). Dan tidak hanya Harris, Kintan—sahabat Harris
yang menyebalkan, yang membuat Nawaila jadi bahan taruhan juga ada di sana.
Pada titik inilah, Nawaila kemudian memasuki dunia
baru yang tidak pernah dia bayangkan. Dimulai dari hubungannya dengan Harris
yang ternyata tidak sesederhana yang dia pikir. Hingga berbagai kejadian yang
sempat membuat Nawaila berada dalam bahaya.
Dia hampir tertembak juga terjebak dalam kebarakan.
Di lain sisi Harris yang terlihat selalu tenang
itu, ternyata juga memiliki masalah
tidak kalah rumit. Dia tidak pernah
menduga, pilihan yang dia pilih telah menjebakknya dalam buah simalakama. Masa lalu keluarga yang dia miliki juga
sebuah hasutan dari seseorang telah membuat Harris melakukan hal-hal yang tidak
terduga.
Pada awalnya dia mendekati Nawaila hanyalah sebagai
jalan pemulus untuk memudahkannya dalam membalas dendam pada ayah Nawaila. Tapi
siapa sangka dia malah jatuh cinta pada gadis energik itu. Di sinilah semua dilema dimulai. Apakah dia
akan terus meneruskan misinya atau memilih berhenti.
Bersamaan dengan itu, Nawaila yang sejak awal memang
sudah menyukai Harris, sangat terpukul dengan kenyataan itu. Dia marah dan
merasa dikhianati. Bagaimana mungkin dia bisa jatuh cinta pada laki-laki yang
siap membuat keluarganya celaka?
Novel ini cukup menghibur ketika membacanya. Membuat
kita penasaran bagaimana akhir hubungan Nawaila dan Harris yang ternyata tidak
sesederhana kelihatannya. Belum lagi keberadaan Karin yang begitu memuja Harris
bahwa bersedia menjadi yang kedua. Yang
saya salutkan dari penulis adalah kepiawainnya dalam menyembunyikan setiap klue
di balik setiap misteri yang ada. Maka bersiaplah ketika membaca novel ini,
untuk menebak-nebak bagaimana akhir ceritanya.
Hanya saja pada beberapa bagian novel ini, ada yang tidak konsisten (hal 100). Jadi sempat
membuat bingung saat membaca. Selain itu
masih ada beberapa kesalahan tulis yang saya temukan. Dan menyinggung tentang dunia pesantren,
jujur saya tidak merasakan aura dunia pesantren dalam novel secara kental.
Meski banyak petuah-petuah yang disisipkan penulis yang memang Islam banget,
hal itu hanya seperti pemanis tanpa menunjukkan jati diri kehidupan pesantren
sepenuhnya.
Namun lepas dari kekurangannya, novel ini banyak
memberi pelajaran hidup yang menginspirasi. Banyak hal yang bisa kita pelajari
saat membaca novel ini. Bahwa keegoisan hanya akan menyakiti diri sendiri dan
orang lain (hal 245). Dan pada akhirnya, pendendam itu akan menyalahkan orang
lain dan menjadikan orang lain menderita (hal 256).
Kita juga diingatkan untuk selalu menjaga lisan dan
tidak menjelek-jelekkan orang lain. “Orang-orang yang dijelekkan belum tentu
memiliki kualitas yang buruk, bisa jadi kitalah yang bermutu rendahan.”
(hal 180). Serta selalu menahan amarah. “Orang Islam yang kuat itu adalah
yang bisa menahan amarahnya.” (hal
181).
Srobyong, 16 Desember 2017
No comments:
Post a Comment