Friday 19 January 2018

[Resensi] Risiko dari Sebuah Pilihan

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 7 Januari 2018 


Judul               : Luka yang Kau Tinggal Senja Tadi
Penulis             : Susan Arisanti
Penerbit           : Pastel Books
Cetakan           : Pertama, Agustus 2017
Tebal               : 336 halaman
ISBN               : 978-602-6716-04-0
Peresensi         : Ratnani Latifah


Setiap pilihan sudah pasti memiliki dampak dan risiko. Entah itu baik atau buruk. Di sanalah kita harus siap menerima segela risiko dari apa yang telah kita pilih. Novel ini dengan paparan yang cukup menarik menawarkan sebuah kisah yang tidak hanya membahas cinta, tapi juga tentang keimanan, masalah keluarga, masa lalu, serta dendam.

Mengisahkan tentang Nawaila yang tiba-tiba diminta ayahnya untuk tinggal di pesantren. Menurut sang ayah, hal itu dilakukan untuk membangun pondasi kuat keimanan bagi putrinya. “Papa ingin yang terbaik untuk kalian. Memberikan  fondasi iman yang kokoh. Sebab, iman itu seperti bangunan di mana fondasinya harus kuat. Sebagus apa pun bangunan di mana fondasinya rapuh, maka dia tidak akan bisa dijadikan sebagai tempat tinggal.” (hal 22).

Meski awalnya menolak gagasan itu, pada akhirnya Nawaila tetap pergi ke pesantren. Dia pikir mungkin pilihan itu akan membantunya move on dari mantan kekasinya Harris, yang ternyata selama ini, mau menjalin hubungan dengan dirinya untuk sebuah taruhan. Harga diri Nawaila sungguh terluka.

Namun siapa sangka ketika dia sudah di pesantren, Harris juga ada di sana dengan status yang membuat Nawaila tidak percaya. Nawaila sunggh tidak tahu bahwa Harris adalah putra dari pemilik pesantren yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Nizam (hal 28).  Dan tidak hanya Harris, Kintan—sahabat Harris yang menyebalkan, yang membuat Nawaila jadi bahan taruhan juga ada di sana.
Pada titik inilah, Nawaila kemudian memasuki dunia baru yang tidak pernah dia bayangkan. Dimulai dari hubungannya dengan Harris yang ternyata tidak sesederhana yang dia pikir. Hingga berbagai kejadian yang sempat membuat Nawaila berada dalam bahaya.  Dia hampir tertembak juga terjebak dalam kebarakan.

Di lain sisi Harris yang terlihat selalu tenang itu,  ternyata juga memiliki masalah tidak kalah rumit.  Dia tidak pernah menduga, pilihan yang dia pilih telah menjebakknya dalam buah simalakama.  Masa lalu keluarga yang dia miliki juga sebuah hasutan dari seseorang telah membuat Harris melakukan hal-hal yang tidak terduga.

Pada awalnya dia mendekati Nawaila hanyalah sebagai jalan pemulus untuk memudahkannya dalam membalas dendam pada ayah Nawaila. Tapi siapa sangka dia malah jatuh cinta pada gadis energik itu.  Di sinilah semua dilema dimulai. Apakah dia akan terus meneruskan misinya atau memilih berhenti.
Bersamaan dengan itu, Nawaila yang sejak awal memang sudah menyukai Harris, sangat terpukul dengan kenyataan itu. Dia marah dan merasa dikhianati. Bagaimana mungkin dia bisa jatuh cinta pada laki-laki yang siap membuat keluarganya celaka?

Novel ini cukup menghibur ketika membacanya. Membuat kita penasaran bagaimana akhir hubungan Nawaila dan Harris yang ternyata tidak sesederhana kelihatannya. Belum lagi keberadaan Karin yang begitu memuja Harris bahwa bersedia menjadi yang kedua.  Yang saya salutkan dari penulis adalah kepiawainnya dalam menyembunyikan setiap klue di balik setiap misteri yang ada. Maka bersiaplah ketika membaca novel ini, untuk menebak-nebak bagaimana akhir ceritanya.

Hanya saja pada beberapa bagian novel ini, ada  yang tidak konsisten (hal 100). Jadi sempat membuat bingung saat membaca.  Selain itu masih ada beberapa kesalahan tulis yang saya temukan.  Dan menyinggung tentang dunia pesantren, jujur saya tidak merasakan aura dunia pesantren dalam novel secara kental. Meski banyak petuah-petuah yang disisipkan penulis yang memang Islam banget, hal itu hanya seperti pemanis tanpa menunjukkan jati diri kehidupan pesantren sepenuhnya.

Namun lepas dari kekurangannya, novel ini banyak memberi pelajaran hidup yang menginspirasi. Banyak hal yang bisa kita pelajari saat membaca novel ini. Bahwa keegoisan hanya akan menyakiti diri sendiri dan orang lain (hal 245). Dan pada akhirnya, pendendam itu akan menyalahkan orang lain dan menjadikan orang lain menderita (hal 256).

Kita juga diingatkan untuk selalu menjaga lisan dan tidak menjelek-jelekkan orang lain. “Orang-orang yang dijelekkan belum tentu memiliki kualitas yang buruk, bisa jadi kitalah yang bermutu rendahan.” (hal 180). Serta selalu menahan amarah. “Orang Islam yang kuat itu adalah yang bisa menahan amarahnya.”  (hal 181).

Srobyong, 16 Desember 2017

No comments:

Post a Comment